Chereads / Gadis Kelam 2 / Chapter 5 - Bab 5, Ketentraman yang Semu

Chapter 5 - Bab 5, Ketentraman yang Semu

Ketentraman yang Semu

Satu minggu telah berlalu.

Lina dan ibunya kini benar-benar merasa nyaman tinggal di Bandung. Tidak ada gangguan, tidak ada suara-suara aneh, tidak ada mimpi buruk.

Semuanya terasa... normal.

Mereka sudah mulai terbiasa menjalani hari-hari yang damai. Bahkan, Lina dan Natan kini sedang dalam masa libur kerja yang cukup panjang, memberi mereka kesempatan untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama.

Di pagi hari yang cerah itu, Lina duduk di ruang tamu, menyeruput kopi hangatnya. Natan, seperti biasa, duduk di sofa dengan ekspresi santai, memainkan ponselnya sambil bersiul pelan.

"Aku gak nyangka bisa liburan sepanjang ini," ujar Natan tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

Lina mengangkat alis. "Kamu kerja atau main-main sih di kantor?"

"Eh, jangan salah! Aku pekerja keras, lho," jawab Natan dengan nada bercanda. "Tapi kalau kerja terus, hidup ini jadi membosankan. Jadi aku menikmati liburan ini sepenuhnya!"

Lina hanya menggeleng, tersenyum tipis. Ia mulai terbiasa dengan tingkah Natan yang selalu humoris. Bahkan, ia merasa kehadiran pria itu membuat suasana rumah lebih hidup.

Sementara itu, ibunya sedang berada di dapur, menyiapkan sarapan. Semuanya terasa sempurna, seolah tidak ada tragedi di masa lalu.

Lina berpikir... Mungkin ini memang akhirnya.

Mungkin ia benar-benar sudah lepas dari masa lalunya.

Namun, ia tidak tahu bahwa ketenangan ini hanyalah ilusi semata.

---

Tatapan yang Menyeramkan

Setelah sarapan, Lina merasa tubuhnya sedikit lengket karena udara Bandung yang cukup panas hari ini.

"Aku mau mandi dulu," katanya sambil berdiri dari kursinya.

Natan, yang masih sibuk dengan ponselnya, hanya melambaikan tangan tanpa melihat ke arahnya. "Jangan lama-lama, nanti aku kangen."

Lina mendengus, tapi tidak membalas perkataan Natan. Ia hanya berjalan ke kamar mandi dengan santai, merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Saat masuk ke kamar mandi, ia menyalakan lampu dan berdiri di depan cermin.

Wajahnya terlihat biasa saja—matanya sedikit mengantuk, rambutnya sedikit berantakan, tapi semuanya tampak normal.

Ia menyalakan keran, mengambil air dengan kedua tangannya, lalu mencuci wajahnya perlahan.

Dinginnya air terasa menyegarkan.

Namun, ketika ia kembali menatap cermin setelah mencuci muka...

Itu bukan wajahnya.

Bibir Lina perlahan bergetar.

Yang menatapnya dari dalam cermin bukan dirinya. Itu adalah wajah Natalia.

Kulitnya pucat, matanya penuh kebencian, dan darah mengalir dari bibirnya yang tersenyum menyeringai.

Lina ingin bergerak, tapi tubuhnya terasa kaku.

Lalu, suara itu terdengar.

"Jika bukan karena kau... aku masih hidup..."

Suara itu begitu dingin, penuh kebencian, seolah-olah menusuk langsung ke dalam pikirannya.

Lina menelan ludah, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah imajinasi.

Ia segera menyalakan keran kembali, mencuci wajahnya sekali lagi, lalu dengan gemetar menatap ke cermin.

Wajahnya sudah kembali normal.

Tidak ada Natalia.

Tidak ada darah.

Tidak ada suara.

Lina mundur beberapa langkah, merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia menggenggam dadanya, berusaha menenangkan diri.

"Hanya halusinasi..." gumamnya pelan.

Tapi entah kenapa, perasaan takut itu tetap ada.

Seolah sesuatu sedang mengawasinya dari balik cermin.

---

Perasaan yang Tidak Bisa Hilang

Lina keluar dari kamar mandi dengan langkah yang sedikit ragu.

Saat ia kembali ke ruang tamu, ia melihat ibunya dan Natan masih duduk di sana, mengobrol santai seperti tidak terjadi apa-apa.

Lina ingin memberitahu mereka tentang apa yang baru saja ia lihat, tapi di saat yang sama, ia ragu.

Apakah mereka akan percaya?

Ataukah mereka akan menganggapnya hanya sekadar paranoid?

"Lina? Kamu kenapa?" tanya ibunya tiba-tiba, melihat wajah Lina yang sedikit pucat.

"Ah, gak apa-apa..." Lina tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan ketakutannya.

Natan, yang biasanya ceria, tiba-tiba memasang wajah serius. "Kamu yakin? Wajahmu kayak orang yang baru lihat hantu."

Lina tertawa kecil, meskipun hatinya masih berdebar. "Aku cuma sedikit pusing, mungkin butuh istirahat."

Ibunya mengangguk. "Kalau begitu, istirahat saja dulu, Nak. Jangan terlalu capek."

Lina mengangguk pelan, lalu duduk di sofa, mencoba menenangkan pikirannya.

Namun, di sudut pikirannya, perasaan takut itu masih ada.

Dan ia tahu... Ini belum berakhir.

To Be Continue...