(Gaya narasi dalam novel ini menggunakan kalimat pendek dan atmosferik untuk meningkatkan ketegangan serta memperdalam suasana.)
Hujan deras mengguyur Jakarta, membasahi jalanan beraspal yang biasanya ramai kini tampak lengang. Air menggenang di beberapa titik, memantulkan cahaya redup lampu-lampu kota. Di sebuah apartemen sederhana di daerah Menteng, seorang pria duduk di depan meja kerjanya.
Elric Satya—seorang detektif paranormal—menatap layar laptopnya dengan ekspresi serius. Pria berpostur 175 cm itu memiliki tubuh ramping namun kuat, rambut hitam pendek yang sedikit berantakan, serta sepasang mata tajam yang seolah mampu menembus kegelapan. Cahaya layar laptop menerangi wajahnya, memperjelas kerutan halus di dahinya—jejak dari beban yang telah lama ia pikul. Aroma kopi pahit memenuhi ruangan, menyatu dengan kesunyian malam yang hanya diiringi suara tetesan air hujan.
Di tangannya, Elric memegang selembar foto. Gambar itu menampilkan sebuah gang sempit di Glodok, dipenuhi sampah dan aroma rempah-rempah yang menyengat. Foto kedua menunjukkan simbol aneh yang terukir di dinding dekat tempat kejadian perkara—sebuah pembunuhan yang oleh polisi dianggap sebagai perampokan biasa. Namun, Elric melihat lebih dari itu. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik kegelapan, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia.
Dunia manusia dan dunia gaib selalu diikat oleh perjanjian-perjanjian kuno. Namun kini, keseimbangan yang telah dijaga selama berabad-abad tampaknya mulai goyah.
Elric tidak memiliki kekuatan supranatural, hanya kecerdasan tajam, ketelitian luar biasa, dan beberapa peralatan khusus yang dibantu oleh jaringan informan rahasia. Pengalaman pahit di masa lalu telah membentuknya menjadi seseorang yang sulit percaya pada orang lain. Meskipun memiliki moral yang kuat, ia kerap berjalan di jalur abu-abu—di tempat di mana hukum biasa tak mampu menjangkau.
Malam itu, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk.
Suara di seberang terdengar panik, melaporkan kejadian aneh di sebuah pabrik tekstil tua di pinggiran kota. Mendengar laporan itu, firasat Elric semakin menguat. Ini bukan sekadar gangguan biasa. Sesuatu yang besar sedang terjadi. Sesuatu yang bisa menghancurkan batas antara dunia manusia dan dunia gaib.
Apakah ia akan tetap menjadi pengamat netral atau terseret dalam konflik yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri?
Hujan semakin deras. Elric meletakkan foto itu, lalu menatap layar laptopnya yang menampilkan peta Jakarta. Titik-titik merah menandai lokasi kejadian supranatural yang telah ia selidiki.
Dengan gerakan tenang, ia meraih jaket kulitnya. Saatnya bergerak. Malam ini, kegelapan Jakarta menanti dirinya.
Elric melangkah keluar dari apartemennya. Hujan masih deras, butiran air menghantam aspal dan memantulkan cahaya lampu jalan yang redup. Angin malam berembus dingin, menusuk hingga ke balik jaket kulitnya. Ia berjalan menuju mobilnya—sebuah Jeep Wrangler tua yang telah dimodifikasi untuk menghadapi medan berat, persiapan untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Di dalam mobil, ia memeriksa peralatannya: kamera inframerah, perekam suara canggih, serta beberapa alat lainnya yang hanya dimengerti oleh segelintir orang. Semua sudah siap. Tujuannya malam ini adalah pabrik tekstil tua di pinggiran kota—lokasi yang disebutkan dalam telepon misterius tadi malam.
Perjalanan ke sana memakan waktu lebih lama dari biasanya. Hujan deras membuat jalanan tergenang, memperlambat laju kendaraannya. Saat akhirnya tiba di lokasi, suasana mencekam langsung menyelimuti tempat itu. Pabrik tua berdiri di tengah kegelapan, dihantam derasnya hujan. Beberapa jendela pecah, pintu utama setengah terbuka, berderit-derit diterpa angin.
Elric memarkir mobilnya agak jauh. Ia mengamati sekeliling dengan seksama—tidak ingin lengah. Langkahnya tenang dan terukur saat ia mendekati pabrik. Begitu masuk, udara pengap dan berbau apek memenuhi hidungnya, bercampur dengan aroma samar anyir darah.
Ia menyalakan lampu sorotnya. Cahaya menerangi ruangan gelap yang dipenuhi debu dan mesin-mesin tua yang kini hanya rongsokan berkarat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas.
Elric langsung berhenti, tubuhnya menegang. Tangannya bergerak sigap ke pistol yang terselip di pinggang. Dengan hati-hati, ia menaiki tangga tua yang berderit di setiap pijakan.
Di puncak tangga, ia menemukan seorang wanita muda. Rambutnya basah kuyup, pakaiannya compang-camping, tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat pasi, bibirnya menggigil.
"Tolong..." bisiknya dengan suara terputus-putus. "Ada... sesuatu di sini..."
Elric menatapnya tajam, menganalisis setiap detail. Ia mengangkat lampu sorot, menerangi wajah wanita itu lebih jelas.
"Ceritakan apa yang terjadi," perintahnya, suaranya tenang namun tegas. "Dari awal."
Namun, bahkan sebelum wanita itu bisa menjawab, Elric merasakan sesuatu. Aura dingin yang menyeramkan, melingkupi mereka berdua. Apa pun yang ada di pabrik ini, masih mengawasi.
Wanita muda itu menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Saya... saya bekerja lembur malam ini," katanya, suaranya masih gemetar. "Saya seorang penjaga malam di pabrik ini. Biasanya sepi, tapi tadi malam... berbeda. Saya mendengar suara-suara aneh, seperti bisikan dari balik dinding. Lalu... saya melihatnya."
Tangannya gemetar saat menunjuk ke arah lorong gelap di ujung lantai atas. "Bayangan... besar dan gelap. Ia bergerak cepat, dan... dan saya melihatnya menyeret sesuatu."
Elric mengamati ekspresinya, mencari tanda-tanda kepalsuan. Namun, ketakutan dalam sorot matanya terlihat nyata, bukan sandiwara.
"Sesuatu?" ulangnya, suaranya datar. "Apa yang diseret?"
Wanita itu menggeleng, air mata mulai mengalir di pipinya. "Saya tidak tahu pasti. Gelap sekali. Hanya bayangan yang saya lihat. Tapi... saya melihat sesuatu yang berkilau, seperti logam."
Elric mengerutkan kening. Logam? Itu menarik. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan alat perekam suara, lalu menyalakannya. "Jelaskan lebih rinci. Suara-suara yang Anda dengar, bayangan yang Anda lihat. Beri saya sebanyak mungkin detail yang bisa Anda ingat."
Wanita itu mulai bercerita, suaranya masih bergetar. Ia menggambarkan suara bisikan yang hampir tak terdengar, bayangan gelap yang bergerak dengan kecepatan luar biasa, dan kilatan logam samar yang sempat tertangkap matanya.
Setiap detailnya terdengar ganjil—terlalu spesifik untuk dianggap ilusi, terlalu tidak biasa untuk diabaikan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar.
Kali ini lebih dekat. Lebih berat.
Langkah-langkah itu bergema di lantai kayu tua, menciptakan suasana yang semakin menegang. Elric menoleh ke arah lorong gelap yang ditunjuk wanita itu sebelumnya.
Bayangan samar bergoyang di kejauhan. Besar. Gelap. Bergerak mendekat.
Elric meraih pistolnya. Suaranya tetap tenang meski situasi semakin genting.
"Diam," bisiknya tegas. "Jangan berteriak. Bersembunyi di balik mesin itu."
Wanita itu terkejut, tetapi langsung menuruti perintahnya. Ia bergerak perlahan ke belakang sebuah mesin jahit tua yang besar, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Udara di sekitarnya berubah. Semakin dingin.
Tekanan di ruangan meningkat.
Sesuatu sedang mendekat.
Bayangan gelap itu muncul dari ujung lorong. Sosoknya tinggi besar, hampir memenuhi seluruh lebar lorong sempit itu. Bukan manusia.
Entitas itu tampak seperti kabut pekat yang membentuk wujud humanoid, tetapi terus berubah, seolah-olah tak memiliki bentuk tetap. Detail tubuhnya samar, seakan bergerak di antara batas nyata dan ilusi. Namun, ada satu hal yang tidak berubah—sepasang mata merah menyala di balik kabut hitamnya. Mata yang memancarkan kebencian dingin, menusuk hingga ke tulang.
Bau anyir darah menguar lebih kuat, memenuhi seluruh ruangan seperti pertanda buruk.
Elric tetap diam, tubuhnya tegang, tetapi pikirannya bekerja cepat. Ia mengarahkan lampu sorotnya ke arah entitas itu. Cahaya terang menerpa bayangan gelap itu, membuatnya tersentak. Kabut yang menyelimutinya tampak menipis sesaat, memperlihatkan sesuatu yang berkilau dalam kegelapan.
Kilatan logam.
Sebuah pisau besar. Berkarat. Terlihat sangat tua.
Elric langsung teringat pada deskripsi wanita itu. Benda itu bukan sekadar senjata. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya, tersembunyi di baliknya.
Hawa dingin tiba-tiba menyergap ruangan, bukan sekadar perubahan suhu, tetapi aura jahat yang menusuk jauh ke dalam pikiran dan tubuh.
Wanita itu terisak pelan di balik mesin jahit, tubuhnya mengecil ketakutan.
Sementara itu, entitas gelap itu berhenti beberapa meter di depan Elric. Tatapan merahnya tajam, penuh perhitungan.
Lalu, sebuah suara terdengar.
"Kau mengganggu keseimbangan."
Suara serak dan berat itu bergema di udara, seperti batu-batu besar yang saling bergesekan. Bukan berasal dari mulut, melainkan dari entitas itu sendiri—seolah-olah kegelapan di sekitarnya yang berbicara.
Elric tetap diam. Matanya tak lepas dari sosok itu, pistolnya tergenggam erat, siap menghadapi segala kemungkinan.
"Aku akan mengambil apa yang menjadi hakku," suara itu melanjutkan. Dingin. Mengancam.
Kabut di sekitar entitas itu semakin menebal, tekanan udara semakin berat.
"Dan kau..."
Suara itu bergetar, bergema di dalam kepala Elric.
"...akan menjadi korban berikutnya."
Tegangan di udara mencapai puncaknya.
Pertempuran tampaknya tak bisa dihindari.
Suasana mencekam mencengkeram Elric.
Detak jantungnya beradu dengan suara tetesan air yang menetes dari atap pabrik yang bocor. Hujan deras di luar semakin memperkuat kesan suram tempat itu, sementara udara di dalam terasa lebih berat—dingin dan pekat, seolah-olah ruangan itu sendiri menolak kehadirannya.
Entitas gelap itu tetap diam, berdiri tegak di ujung lorong, seperti predator yang mengawasi mangsanya. Mata merahnya tak berkedip, penuh kesadaran yang mengerikan. Pisau besar yang sempat terlihat kini kembali tersembunyi di balik kabut yang berputar-putar di tubuhnya, tetapi Elric tahu ancamannya tidak berkurang. Justru semakin kuat.
Ini bukan sekadar makhluk halus biasa.
Ini sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Wanita di balik mesin jahit menahan napasnya, isakannya masih terdengar samar. Elric meliriknya sekilas, memastikan dia tetap diam dan aman untuk saat ini.
Tapi dia tidak bisa terus berdiam diri.
Dengan perlahan, Elric menggeser kakinya, bersiap untuk bergerak. Ia tidak ingin memicu entitas itu, tetapi ia juga tidak bisa pasif menunggu ajal menjemput. Ada celah di sini, ada sesuatu yang bisa ia manfaatkan—ia hanya perlu menemukannya sebelum semuanya terlambat.
Pistol di tangannya terasa lebih berat dari biasanya. Lebih dari sekadar logam dan peluru. Senjata ini adalah batas tipis antara hidup dan mati.
Tiba-tiba—
Entitas gelap itu bergerak.
Bukan sekadar melangkah, melainkan melesat. Kabut yang menyelimutinya bergetar hebat, bergoyang seperti pusaran asap yang bergerak dengan kecepatan luar biasa. Elric tersentak, nyaris kehilangan keseimbangan.
Pisau besar itu kembali terlihat sekejap, berkilat tajam di bawah cahaya lampu sorotnya.
Gerakan entitas itu melampaui batas manusiawi.
"Kau tidak akan lolos," desis suara itu. Serak. Berat.
Denting logam terdengar di udara—pisau itu diseret di lantai besi pabrik, menciptakan suara yang menggetarkan tulang.
"Keseimbangan harus dipulihkan. Dan kematianmu adalah bagian dari pemulihan itu."
Bau anyir darah semakin menyengat. Elric bisa merasakannya menempel di tenggorokannya, menusuk masuk ke paru-parunya.
Pikirannya berpacu. Napasnya memburu.
Namun, di balik semua itu—di balik ketakutan yang menggelegar dalam tubuhnya—sebuah tekad baja mulai mengeras.
Ia tidak akan menyerah.
Ia tidak akan menjadi korban.
Pertempuran sudah dimulai.
Tanpa ragu, Elric melepaskan tembakan.
Peluru-peluru tajam melesat menembus udara, menghujani entitas gelap itu. Namun, tidak ada dampak yang terlihat. Peluru hanya menembus kabut pekatnya tanpa melukai apapun. Entitas itu bergetar sedikit, seolah tembakan tersebut hanyalah gangguan kecil yang tak berarti.
Lalu, ia bergerak.
Kecepatannya luar biasa. Dalam sekejap, ia sudah berada tepat di hadapan Elric. Pisau besar yang diselubungi karat itu berkelebat di udara, menciptakan suara desingan tajam. Elric mengangkat pistolnya untuk menangkis, tapi dampaknya terlalu kuat. Pistol itu terlepas dari tangannya, terlempar ke lantai dengan suara nyaring.
Elric nyaris tak punya waktu untuk bereaksi. Ia berguling ke samping, menghindari serangan berikutnya. Hembusan angin dingin menerpa kulitnya saat pisau itu meleset tipis dari lehernya.
Ketakutan menyelinap masuk.
Bukan ketakutan akan kematian, tetapi kesadaran akan betapa lemahnya dirinya di hadapan makhluk ini.
Di belakangnya, wanita itu menjerit histeris, suaranya bergetar karena teror.
"Bodoh!"
Suara entitas itu terdengar seperti bisikan, tetapi berat dan menggema, seperti palu yang menghantam kesadaran Elric.
"Kau melawan kekuatan yang jauh melampaui pemahamanmu!"
Pisau itu berhenti hanya beberapa sentimeter dari wajahnya. Ujungnya begitu dekat hingga Elric bisa merasakan dinginnya logam yang menusuk kulitnya.
Mata merah menyala itu menatapnya dalam, penuh dengan sesuatu yang tidak manusiawi. Bayangan-bayangan bergerak liar di balik kabut pekatnya, memperlihatkan sekilas sosok-sosok mengerikan yang berputar di dalamnya.
Elric menarik napas dalam.
Pistolnya tak berguna.
Peluru-peluru itu bukanlah jawabannya.
Ia harus mencari cara lain.
Dengan gerakan cepat, tangannya meraih sesuatu di lantai—sebuah kunci inggris tua yang tergeletak di dekat mesin jahit. Bukan senjata ideal, tapi saat ini, itu satu-satunya harapannya.
Ia menggenggam erat benda itu, lalu berdiri.
Bukan sebagai seorang detektif.
Bukan sebagai seseorang yang mengandalkan logika.
Tapi sebagai seseorang yang hanya memiliki satu pilihan: bertahan hidup.
Mata Elric menatap tajam ke arah entitas itu, membaca gerakannya, mencari celah sekecil apa pun.
Bau anyir darah semakin kuat, bercampur dengan aroma logam dan kelembaban pabrik tua.
Pertempuran belum berakhir.
Mungkin, ini baru permulaan.
Dengan teriakan amarah yang diredam, Elric menyerang.
Kunci inggris yang digenggamnya melayang, menghantam sisi entitas gelap itu dengan keras.
Suara benturan terdengar—bukan seperti sesuatu yang menembus kabut, tetapi lebih seperti logam beradu dengan permukaan keras yang tak terlihat. Pukulan itu tidak menembus, namun entitas tersebut terhuyung. Kabutnya bergetar hebat, seakan ada sesuatu di dalamnya yang terkena dampak pukulan tersebut.
Sesaat, sesuatu yang berkilauan terlihat di antara bayangan pekat.
Bukan logam pisau yang sebelumnya terlihat.
Bukan sesuatu yang mekanis.
Kilatan hijau zamrud bersinar samar, seperti batu permata yang terkubur di dalam tubuh bayangan itu.
Itu bukan bagian dari entitasnya. Itu sesuatu yang ia sembunyikan.
Elric tidak membuang waktu.
Ia melancarkan serangan demi serangan, mengandalkan kecepatan dan instingnya. Kunci inggris itu terus menghantam, menciptakan celah kecil di antara kabut pekat. Setiap pukulan membuat entitas itu semakin goyah, dan semakin banyak kilatan hijau zamrud yang terlihat.
Di balik mesin jahit tua, wanita itu masih menjerit. Suaranya kini lebih terdengar seperti rengekan putus asa.
Entitas itu meraung.
Bukan suara biasa—tetapi gelombang kekuatan yang bergema di udara, menghantam dada Elric seperti hantaman tak kasatmata. Ia terhuyung sesaat, namun tetap menggenggam erat kunci inggris di tangannya.
Kabut entitas itu semakin menipis.
Kilauan hijau zamrud itu semakin jelas, dan Elric mulai memahami sesuatu: makhluk ini melindungi sesuatu.
Bukan tubuhnya.
Bukan pisau karatnya.
Tetapi sesuatu di dalamnya.
Sesuatu yang membuatnya tetap eksis.
Dan itu berarti… kelemahannya.
Elric bisa merasakan perubahannya. Entitas itu kini lebih rapuh, gerakannya melambat, serangannya kurang akurat. Rasa takut yang semula menelannya kini berubah menjadi tekad.
Serangannya bekerja.
Ia hanya perlu menemukan cara untuk menghancurkannya sepenuhnya.
Namun entitas itu tidak tinggal diam.
Dengan gerakan terakhir yang tersisa, ia menyerang—lemah, tetapi tetap mematikan.
Peluang ini tidak akan datang dua kali.
AKHIR
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Elric melancarkan serangan pamungkas.
Kunci inggris di tangannya berputar, melesat dengan kekuatan penuh, menargetkan titik pusat kilauan hijau zamrud di dalam kabut.
Brak!
Bunyi benturan yang terdengar kali ini berbeda. Ada suara retakan, seperti kaca yang pecah berkeping-keping.
Kabut hitam yang melingkupi entitas itu berhamburan, lenyap dalam pusaran gelap yang menghilang ke udara. Untuk pertama kalinya, Elric bisa melihat apa yang tersembunyi di baliknya.
Bukan makhluk mengerikan.
Bukan sisa tubuh yang hancur.
Tapi hanya sebuah batu kecil berwarna hijau zamrud, memancarkan cahaya redup yang menenangkan.
Batu itu berdenyut pelan, seperti jantung yang masih berdetak lemah.
Entitas gelap itu… hilang sepenuhnya.
Keheningan memenuhi pabrik tua itu. Aroma anyir darah yang memenuhi udara perlahan memudar. Di sudut ruangan, wanita itu terduduk lemas, tubuhnya masih gemetar ketakutan.
Elric terengah-engah. Tubuhnya sakit, tenaganya hampir habis. Tapi beban yang tadi menekan dadanya kini terasa lebih ringan.
Dengan hati-hati, ia mendekati batu itu, lalu menyentuhnya dengan ujung kunci inggris.
Batu itu terasa… hangat. Tidak seperti sesuatu yang baru saja menjadi inti dari kengerian yang hampir membunuhnya.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar.
Samar. Lembut.
Bukan suara serak dan mengancam seperti entitas tadi.
Melainkan bisikan angin yang nyaris tak terdengar.
"Terima kasih… telah membebaskanku…"
Elric membeku.
Matanya menatap batu itu dengan waspada.
Apa arti semua ini?
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Di tangannya, batu hijau zamrud itu masih berdenyut pelan…
Menyimpan rahasia yang belum terungkap.