Chereads / Eclipse: Kegelapan di Balik Kasus / Chapter 5 - CHAPTER 5 - Napas Sang Purba

Chapter 5 - CHAPTER 5 - Napas Sang Purba

Mereka melangkah pelan.

Terlalu pelan.

Detak jantung berpacu di dada.

Udara berdenyut.

Dingin.

Berat.

---

Bayangan itu masih diam.

Tersembunyi di sudut ruangan.

Di luar jangkauan cahaya hijau kristal zamrud.

Gelap menelannya.

Namun kehadirannya terasa.

Mengancam.

---

Aroma musky semakin tajam.

Bau darah tua mengering menyengat hidung.

Seakan waktu di ruangan ini terhenti.

Membusuk dalam keabadian.

---

Karsa menggenggam batu zamrudnya erat.

Tangannya gemetar.

Bukan hanya ketakutan.

Tapi juga karena sesuatu yang lain.

Sesuatu yang meresap ke dalam tubuhnya.

Getaran halus.

Menyusup ke tulang-tulangnya.

Menghubungkannya dengan kristal raksasa di tengah ruangan.

---

"Rasanya… seperti jantung dunia berdetak," bisiknya.

Napasnya pendek.

Tatapannya terkunci pada batu di tangannya.

Cahaya hijau berdenyut lembut.

Seirama dengan denyutan kristal raksasa.

Seirama dengan sesuatu yang lebih dalam.

Lebih tua.

Lebih kuat.

---

Elric memperhatikan.

Ia bisa merasakannya juga.

Samar.

Bergetar di udara.

Namun pikirannya tetap fokus pada bayangan itu.

Sesuatu ada di sana.

Besar.

Penuh kekuatan.

---

Tapi bukan sekadar kekuatan jahat.

Bukan seperti entitas yang pernah ia hadapi.

Ini lebih purba.

Lebih dalam.

Lebih berbahaya.

---

"Kita harus berhati-hati."

Suara Elric tenang.

Tapi tegas.

Karsa mengangguk pelan.

Ketegangan menggantung di udara.

---

Elric mengangkat kamera infra merahnya.

Lensa menangkap sesuatu.

Buram.

Samar.

Tapi perlahan membentuk sosok.

Sisik besar.

Cakar tajam.

Mata merah menyala dalam kegelapan.

---

Ia menahan napas.

Matanya membulat.

Seekor naga.

---

Bukan sekadar bayangan.

Makhluk nyata.

Terkurung dalam ruangan ini.

Besar.

Lebih besar dari yang pernah dibayangkan.

---

Denyutan kristal semakin kuat.

Menyatu dengan napas makhluk itu.

Udara terasa semakin padat.

Seakan ruangan ini bernafas bersama naga itu.

---

Aroma musky memenuhi ruangan.

Bercampur dengan bau tanah dan lumut.

Menyatu menjadi sesuatu yang kuno.

Dan mengerikan.

---

Elric dan Karsa membisu.

Mereka menunggu.

Menunggu sesuatu terjadi.

Menunggu keputusan selanjutnya.

---

Keheningan mencekam.

Hanya suara napas mereka yang terdengar.

Berat.

Tertekan.

Aroma musky masih memenuhi ruangan, bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam.

Aura kekuatan purba terasa menekan dari segala arah.

---

Bayangan itu tetap diam.

Mengintai.

Menilai.

Denyutan kristal zamrud semakin cepat.

Cahayanya semakin terang.

Ukiran-ukiran di dinding mulai terlihat jelas.

Bukan sekadar simbol.

Ini adalah peta.

Atau kisah kuno.

---

Karsa menelan ludah.

Tangannya gemetar.

Suara bergetar ketika ia berbisik, "Kita harus... keluar dari sini."

Napasnya pendek.

Matanya penuh ketakutan.

Batu zamrud di tangannya terasa panas.

Seolah-olah ada sesuatu yang terbangun.

Membakar kulitnya pelan-pelan.

---

Elric tetap diam.

Matanya tak lepas dari bayangan itu.

Ia tahu Karsa ketakutan.

Tapi melarikan diri tanpa rencana bukanlah pilihan.

Ia harus memahami situasi.

Mengendalikan ketegangan.

Atau setidaknya... menemukan jalan keluar yang aman.

---

"Tenang," katanya pelan.

Datar.

Tapi menenangkan.

"Kita harus mencari tahu apa yang terjadi."

Suara Karsa tercekat.

"Kita tidak bisa hanya lari."

---

Elric mengangkat kamera infra merahnya lagi.

Gambar yang tertangkap masih buram.

Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Sebuah rantai.

Hitam pekat.

Melingkari salah satu kaki naga itu.

Tertanam dalam di dinding.

Kuno.

Termakan usia.

Mungkin tersihir.

---

"Lihat ini," bisik Elric.

Tangannya menunjuk ke layar kamera.

"Rantai itu... mungkin itu yang menahannya."

---

Sebuah pemikiran mulai terbentuk di benaknya.

Naga ini bukan sekadar makhluk purba.

Ia adalah tahanan.

Dipenjara entah sejak kapan.

Dan kristal zamrud raksasa mungkin kuncinya.

Kunci untuk membebaskan.

Atau untuk menjaga tetap terkurung.

---

Ketegangan menebal.

Seperti tali busur yang ditarik ke titik puncaknya.

Siap melepaskan sesuatu yang dahsyat.

Satu gerakan salah...

Satu keputusan keliru...

Bisa mengubah segalanya.

---

Elric dan Karsa menunggu.

Tapi kali ini, mereka tak hanya diam.

Mereka bersiap.

Untuk konfrontasi yang mungkin jauh lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan

---

Elric memperbesar tampilan kameranya.

Rantai itu mencengkeram erat kaki naga.

Logam hitam pekat, memancarkan aura dingin yang menusuk.

Bertolak belakang dengan cahaya hijau hangat dari kristal zamrud.

Ini bukan sekadar belenggu.

Ini adalah segel.

Artefak sihir yang diciptakan untuk menundukkan sesuatu yang lebih kuat dari manusia.

Elric menelan ludah.

"Rantai itu… itu kunci," gumamnya.

Pikirannya berpacu.

"Jika kita bisa melepaskannya…"

---

Karsa menegang.

Matanya melebar, napasnya tersengal.

"Kau gila?" bisiknya tajam.

"Membebaskan naga itu? Itu bisa menghancurkan semuanya!"

Batu zamrud di tangannya berdenyut.

Tidak menentu.

Seakan bereaksi terhadap situasi yang semakin genting.

---

Elric menatap Karsa.

Tenang.

Tegas.

"Kita tidak perlu melepaskannya sepenuhnya," katanya pelan.

Hanya cukup melemahkannya.

Cukup untuk menemukan jalan keluar.

Ia melirik ukiran-ukiran di dinding.

Ada pola.

Ada cerita yang tersembunyi di sana.

Mungkin petunjuk.

"Mungkin ada cara untuk melemahkan rantai itu."

Matanya menyipit.

"Atau… mungkin bahkan ada cara untuk menggunakan kekuatan kristal untuk mengendalikan naga."

---

Karsa ragu.

Bahunya menegang, pikirannya bergejolak.

"Tapi… apa yang terjadi jika kita gagal?"

Suaranya bergetar.

Namun, di matanya ada sesuatu yang berbeda.

Tekad yang perlahan tumbuh.

---

Elric mendekat.

Nyaris berbisik.

"Kita harus mengambil risiko."

Tatapannya tajam.

"Diam di sini bukan pilihan."

Tangannya bergerak ke pistol di sabuknya.

Bukan untuk menembak naga.

Tapi untuk berjaga-jaga.

---

Udara di ruangan itu semakin berat.

Denyutan kristal zamrud semakin kuat.

Bayangan naga bergeser.

Nyaris tak terlihat.

Tapi cukup untuk membuat mereka menahan napas.

Makhluk itu mendengar mereka.

Mengetahui keberadaan mereka.

---

Keheningan membentang.

Detik-detik yang terasa abadi.

Kemudian…

Keduanya bertukar pandang.

Keputusan telah diambil.

Mereka akan mencoba.

Mereka akan menghadapi makhluk purba ini.

Dan mereka hanya bisa berharap…

Keberanian dan kecerdasan cukup untuk membuat mereka tetap hidup.

---

Elric mendekat.

Cahaya hijau dari kristal zamrud raksasa menyorot ukiran di dinding.

Garis-garisnya rumit.

Detailnya terukir dengan presisi kuno.

Ia menyalakan lampu sorot kecil di helmnya.

Menyinari setiap simbol.

Menelusuri setiap lekuk dengan mata yang penuh perhatian.

Di belakangnya, Karsa berdiri tegang.

Tubuhnya masih gemetar.

Tapi sorot matanya berubah.

Ada ketakutan, tetapi juga rasa ingin tahu yang tak terduga.

Udara semakin dingin.

Aroma tanah lembap bercampur dengan bau samar belerang.

---

Elric menyipitkan mata.

"Ini..." ia bergumam.

Jarinya menyentuh ukiran.

"Bahasa Sansekerta kuno."

Beberapa simbol tampak familiar.

Tapi banyak yang asing.

Terlalu tua.

Terlalu jauh dari bahasa yang ia pahami.

Ia mengeluarkan perekam suara.

Teknologi canggihnya mulai berdengung, menganalisis ukiran.

Layar kecil berkedip.

Suara sintetis dari perangkat itu berbicara.

"Untuk menjinakkan amarah naga purba, tiga persembahan harus diberikan..."

"Air suci dari mata air tersembunyi."

"Tumbuhan langka dari gunung suci."

"Nyanyian nenek moyang yang hilang."

---

Karsa menegang.

Matanya membelalak.

"Air suci? Tumbuhan langka? Nyanyian nenek moyang?"

Suaranya bergetar.

"Ini... ini gila! Bagaimana kita bisa menemukan semua itu?"

---

Elric menatapnya.

Ada ketakutan dalam mata Karsa.

Tapi juga sesuatu yang lain.

Secercah harapan.

Atau mungkin... keinginan untuk percaya.

"Kita harus mencoba."

Nada suara Elric tetap tenang.

"Kunci ini bukan untuk menundukkan naga."

Tatapannya kembali ke ukiran.

"Tapi untuk melemahkan rantainya."

Ia berpikir cepat.

"Mata air tersembunyi… mungkin ada di sekitar sini."

"Gunung suci…" ia bergumam.

"Aku pernah dengar legenda tentang gunung yang tersembunyi di balik air terjun di Puncak."

Ia menghela napas.

"Nyanyian nenek moyang… kita mungkin bisa menemukannya di perpustakaan kuno atau arsip tersembunyi."

---

Rantai berderak.

Bayangan naga bergerak.

Lebih jelas kali ini.

Dari kegelapan, terdengar desisan rendah.

Seperti batu yang bergesekan.

Kristal zamrud berdenyut lebih cepat.

Cahayanya membanjiri ruangan.

Hijau.

Menyilaukan.

Menakutkan sekaligus menenangkan.

Bulu kuduk Elric meremang.

Ini bukan sekadar pencarian.

Ini perlombaan melawan waktu.

---

"Kita mulai dari mata air tersembunyi."

Suara Elric memecah keheningan.

Ia menunjuk ke ukiran berbentuk gua.

"Menurut terjemahan ini, letaknya 'di jantung bumi yang tertidur'."

Ia menyorotkan lampunya ke berbagai sudut ruangan.

Mencari sesuatu.

Pintu tersembunyi.

Lorong rahasia.

Karsa tidak menjawab.

Matanya masih terpaku pada bayangan naga.

Mahluk purba itu bergerak sedikit.

Rantainya bergetar.

Aroma belerang semakin kuat.

Naga itu tidak sabar.

Dan mereka harus bergerak cepat.

---

Elric meraba dinding.

Jari-jarinya menelusuri setiap lekuk ukiran.

Cahaya hijau dari kristal raksasa berpendar lembut.

Bayangan-bayangan menari di permukaan batu.

Di belakangnya, Karsa mengikuti.

Tangannya masih mencengkeram batu zamrud.

Jari-jarinya berkeringat.

Udara terasa lebih berat.

Bau belerang semakin menyengat.

---

Tiba-tiba, Elric berhenti.

Telapak tangannya merasakan sesuatu.

Batu yang lebih lunak.

Sedikit berbeda dari yang lain.

Ia menekan dengan hati-hati.

Sklik!

Sebuah suara mekanis bergema.

Lempengan batu bergeser.

Debu berjatuhan.

Dinding terbuka.

Sebuah lorong sempit, gelap gulita, terbentang di depan mereka.

---

"Ini dia," bisik Elric.

Matanya berbinar.

Ia mengeluarkan lampu sorot cadangan.

Menyorot ke dalam kegelapan.

Udara dari dalam lorong lebih dingin.

Lembap.

Dan bau belerang semakin kuat.

---

Karsa menelan ludah.

"Kau yakin ini aman?"

Suaranya hampir tak terdengar.

Dari ruangan utama, desisan naga terdengar lebih jelas.

Bayangannya bergerak.

Mendekat.

---

Elric menghela napas.

"Tidak ada jaminan."

Ia menatap Karsa.

"Tapi jika kita tetap di sini, kita akan jadi santapannya."

Ia melangkah masuk.

Cahaya lampu sorotnya menari di dinding yang basah.

Air menetes dari langit-langit.

Membentuk genangan kecil di lantai berbatu.

"Kita harus bergerak cepat."

Langkahnya mantap.

"Dan hati-hati. Lorong ini mungkin penuh jebakan."

---

Karsa diam.

Ia menggigit bibir.

Lalu, tanpa kata, ia mengikuti.

Langkahnya waspada.

Matanya mengawasi setiap sudut.

---

Keheningan menyelimuti.

Hanya suara napas dan tetesan air yang terdengar.

Bayangan-bayangan di dinding bergerak liar.

Goyangannya terasa ganjil.

Seolah ada sesuatu yang bersembunyi.

Di luar jangkauan cahaya.

---

Mata air tersembunyi.

Tiga persembahan.

Teka-teki ini telah membawa mereka ke tempat yang lebih dalam.

Lebih berbahaya.

Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas jurang.

Di ujung lorong ini, kebenaran menanti.

Atau malapetaka yang lebih besar.

---

Lorong itu semakin menyempit.

Mereka harus merangkak.

Batu-batu lembap menusuk telapak tangan.

Udara makin berat.

Bau belerang bercampur aroma tanah basah.

Ada jejak logam berkarat.

Elric mengamati dinding.

Ukiran kecil terukir di beberapa tempat.

Mirip dengan yang ada di ruangan utama.

Namun lebih sederhana.

Kamera infra merahnya menangkap sesuatu.

Gerakan di kegelapan.

Bayangan-bayangan kecil.

Cepat.

Terlalu cepat untuk mata telanjang.

---

Karsa menelan ludah.

"Ada sesuatu yang mengikuti kita."

Suaranya hampir tak terdengar.

Tangannya meraba batu zamrud di sakunya.

Cahayanya berkedip lemah.

---

Elric tetap melangkah.

Jantungnya berdebar.

Tapi ia tak menunjukkan rasa takut.

"Kita harus menemukan mata air itu secepatnya."

Nada suaranya rendah.

Penuh ketegasan.

"Jika kita bertemu penjaga, kita harus siap bertarung."

---

Mereka terus maju.

Lorong itu berkelok beberapa kali.

Hingga akhirnya terbuka ke sebuah ruangan kecil.

Luasnya tak lebih dari empat meter persegi.

Di tengahnya, ada sebuah kolam.

Airnya jernih.

Biru kehijauan.

Batu-batu di sekitarnya licin, tertutup lumut.

Udara terasa lebih dingin.

Bau belerang memudar.

Digantikan aroma segar yang menenangkan.

---

Mata air tersembunyi.

Mereka menemukannya.

---

Namun di seberang kolam…

Sosok itu berdiri.

Diam.

Menatap mereka.

---

Kulitnya hijau keabu-abuan.

Mata merahnya bersinar.

Bentuknya menyerupai manusia.

Tapi tangannya panjang dan kurus.

Jari-jarinya berujung cakar.

Udara di ruangan terasa lebih berat.

Seakan keberadaannya menyerap setiap kehangatan.

---

Elric menegang.

"Penjaga," bisiknya.

Tangannya meraih pistol.

Karsa mundur selangkah.

Batu zamrud di genggamannya bersinar lebih terang.

---

Mereka terjebak.

Dan pertempuran tampaknya tak terhindarkan.

Tetesan air dari langit-langit jatuh ke kolam.

Suaranya menggema.

Menambah ketegangan.

Mereka menunggu.

Siap bertarung.

Perjalanan baru saja dimulai.

Dan tantangan pertama telah berdiri di hadapan mereka.

---

Udara dingin menggigit kulit.

Napas Elric mengepul di udara lembap.

Ruangan sempit itu terasa semakin mencekik.

---

Penjaga berdiri tegak.

Tak bergerak.

Matanya merah menyala menembus kegelapan.

Kulitnya hijau keabu-abuan, kasar seperti batu tua.

Cakar tajamnya berkilau samar di bawah cahaya redup.

---

Hening.

Hanya suara tetesan air yang terdengar.

Nyaring.

Menekan.

---

Elric menatap makhluk itu.

Bukan roh jahat.

Bukan entitas supranatural seperti di pabrik tekstil.

Ini lebih… primitif.

Seolah kekuatannya berasal dari alam itu sendiri.

Bukan dari sihir.

Bukan dari ritual.

---

Di sampingnya, Karsa bergerak gelisah.

Genggaman pada batu zamrudnya semakin erat.

Cahayanya berkedip, menyesuaikan diri dengan denyut jantungnya.

Takut.

Namun ada secercah tekad dalam matanya.

---

Elric menarik napas.

Pelan.

Dalam.

Ia tak ingin pertempuran.

Tidak jika bisa dihindari.

---

"Kita harus bicara," ucapnya.

Suaranya memecah keheningan.

Dingin.

Tak ada jawaban.

---

Elric mengangkat tangannya.

Perlahan.

Telapak terbuka.

Tanda perdamaian.

"Kami tidak ingin bermusuhan," katanya, suaranya tenang tapi tegas.

"Kami hanya ingin mengambil sedikit air dari mata air ini."

---

Hening.

Tatapan merah itu tetap terpaku pada mereka.

Diam.

Menilai.

Memutuskan.

---

Elric menahan napas.

Setiap detik terasa seperti berabad-abad.

Tekanan di dadanya makin kuat.

Ia tetap tenang.

Menganalisis.

Mencari celah.

---

Aroma lumut bercampur dengan jejak belerang dari lorong di belakang mereka.

Ketegangan merayap.

Pekat.

Mencekik.

---

Detik berikutnya akan menentukan.

Hidup atau mati.

Harapan atau kehancuran.

Mereka menunggu.

---

Detik-detik menegangkan berlalu.

Penjaga tetap diam.

Seakan menimbang-nimbang sesuatu yang tak terlihat.

Matanya yang merah menyala tak berkedip.

Menilai.

Menghakimi.

---

Lalu, perlahan, ia menganggukkan kepala.

Gerakan kecil.

Hampir tak terlihat.

---

Suara kasar terdengar, serupa gesekan batu di gua yang sunyi.

"Air suci… bukan untuk sembarang orang."

Suaranya bergema, berat dan penuh makna.

---

Elric menghela napas.

Sedikit lega.

Namun ia tahu ini belum berakhir.

"Kami mengerti," katanya, tenang tapi mantap.

Ia melangkah sedikit ke depan.

Jarak aman tetap dijaga.

"Kami membutuhkannya untuk… mengembalikan keseimbangan."

Singkat.

Tidak terlalu banyak informasi.

---

Penjaga menatapnya lebih lama.

Tatapan itu menembus, seolah melihat ke dalam jiwanya.

Elric menahan napas.

Merasa diuji.

---

Di sampingnya, Karsa bergerak gelisah.

Batu zamrud di tangannya masih memancarkan cahaya redup.

Detik berlalu.

Seperti abad.

---

Lalu penjaga itu menunjuk kolam dengan cakarnya.

"Ambil yang kau butuhkan."

Suaranya tetap kasar.

Namun kali ini, ada nada lebih lembut.

"Tapi… ingatlah, ini hanya sebagian dari yang dibutuhkan."

---

Elric mengangguk.

Udara dingin dari mata air menyelusup ke paru-parunya.

Ia melangkah mendekati kolam.

Airnya jernih, berwarna biru kehijauan.

Tenang.

Namun terasa hidup.

---

Ia mengeluarkan botol kosong dari ranselnya.

Perlahan, ia mencelupkannya ke dalam air.

Dingin.

Menusuk.

Namun ada sesuatu yang lain.

Tenaga yang menyegarkan.

Seperti denyut halus yang mengalir ke kulitnya.

---

Karsa tetap waspada.

Batu zamrud masih digenggam erat.

Tatapannya tak lepas dari penjaga.

Siaga.

Bersiap jika sesuatu berubah.

---

Perjalanan mereka belum selesai.

Mata air ini hanya awal.

Masih ada dua persembahan lain.

Dan di balik itu semua…

Naga purba menunggu.

Bayangannya masih mengintai di benak mereka.

Mengancam.

Mengingatkan.

Perjuangan baru saja dimulai.

---

Elric menutup botol dengan hati-hati.

Air suci itu kini ada dalam genggamannya.

Satu langkah lebih dekat menuju tujuan mereka.

---

Ia dan Karsa berbalik.

Penjaga tetap diam.

Tatapan merahnya tak berkedip.

Keheningan menyelimuti ruangan.

Tidak ada kata perpisahan.

Hanya kesunyian yang terasa lebih berat dari sebelumnya.

---

Mereka melangkah keluar.

Udara di lorong terasa berbeda.

Dingin.

Menyesakkan.

Seakan sesuatu yang tak terlihat merayap di balik kegelapan.

---

"Rasanya… ada yang mengawasi kita," bisik Karsa.

Suaranya gemetar.

Elric mengangguk.

Ia juga merasakannya.

---

Langkah mereka dipercepat.

Jejak kaki bergema di lorong sempit yang lembap.

Bayangan bergerak di sudut mata mereka.

Bukan hanya satu.

Ada banyak.

Mengintai.

---

Cahaya batu zamrud menjadi satu-satunya penerangan.

Kelam di sekeliling mereka terasa semakin pekat.

Mencekik.

---

"Kita harus keluar dari sini secepatnya," kata Elric.

Suaranya tenang, tapi berisi tekad.

Ia menarik pistolnya.

Jari-jarinya menggenggam erat.

Bersiap.

---

Tiba-tiba, suara berat menggema dari depan.

Dalam.

Menakutkan.

"Kalian tidak akan bisa lolos begitu saja."

---

Dari kegelapan, sesuatu muncul.

Sosok besar.

Jauh lebih besar dari penjaga sebelumnya.

---

Cahaya redup mengungkap wujudnya.

Bersisik.

Cakar besar mencengkeram lantai batu.

Sepasang mata menyala-nyala.

Lebih mengerikan.

Lebih haus darah.

---

Karsa tersentak.

Batu zamrud di tangannya bergetar.

Cahayanya makin terang.

Tapi… terasa lemah.

Tak sebanding dengan kengerian di hadapan mereka.

---

Aroma belerang semakin menusuk.

Bau amis bercampur dengan tanah basah.

Udara bergetar.

Seolah dunia sendiri menahan napas.

---

Elric mengokang pistolnya.

Jantungnya berdetak cepat.

Mereka telah memasuki babak baru.

Dan kali ini…

Tidak ada jalan mundur.