CHAPTER 3: Bayangan di Hutan
Elric mengetikkan kata kunci di layar laptopnya.
"Arjuna Corpora."
Hasilnya mengecewakan.
Profil perusahaan yang terlalu bersih. Tak ada celah, tak ada kontroversi. Sejarah yang disusun rapi, seperti sudah disaring berkali-kali.
Ia mengubah strategi.
Tangannya mengetik lebih cepat. "Arjuna Corpora "sejarah" , "pemilik" , "skandal"."
Tetap nihil.
Hanya laporan bisnis standar dan foto-foto para eksekutif yang tersenyum kaku di acara perusahaan.
Elric mendesah.
Matanya beralih ke tab lain—database berbayar. Ia memasukkan kredensial yang tak seharusnya ia miliki, lalu mulai menyisir arsip-arsip tersembunyi di balik paywall.
Berjam-jam berlalu.
Hingga sebuah artikel berita lokal yang terarsip menarik perhatiannya.
"Kebakaran Misterius di Gudang Tekstil Lama."
Elric memperbesar tampilan artikel itu.
Kebakaran besar. Gudang tekstil di pinggiran kota. Kejadian bertahun-tahun silam.
Dahinya berkerut saat membaca detail berikutnya.
Gudang itu ternyata dulunya dimiliki oleh nenek moyang pemilik Arjuna Corpora saat ini.
Dan ada kejanggalan.
Laporan resmi menyebutkan penyebabnya adalah korsleting listrik. Tapi menurut kesaksian beberapa pekerja, ada sesuatu yang lain—bayangan hitam besar—terlihat sebelum api berkobar.
Elric membacanya berulang kali.
Kemudian, ia membuka peta digital.
Jarinya menandai dua titik.
Gudang yang terbakar.
Kantor pusat Arjuna Corpora saat ini.
Kedua lokasi itu… berdekatan.
Dipisahkan oleh sebuah hutan kecil.
Hutan yang tampak gelap dan sepi di peta, seolah-olah tak tersentuh selama bertahun-tahun.
Elric merasakan sesuatu di dalam dirinya.
Naluri.
Ada yang menghubungkan kebakaran lama itu dengan aktivitas Arjuna Corpora sekarang.
Ia menyimpan semua informasi yang berhasil dikumpulkannya, lalu mengambil keputusan.
Ia harus pergi ke sana.
---
Udara malam terasa lebih dingin saat Elric berdiri di tepi hutan kecil itu.
Jakarta biasanya tak pernah benar-benar gelap. Tapi malam ini… berbeda.
Cahaya lampu jalan tak mampu menembus rimbunnya pepohonan.
Ia melangkah masuk.
Tanah basah. Aroma lumut dan sesuatu yang lain… sesuatu yang tak bisa ia definisikan, memenuhi udara.
Langkahnya melambat.
Di kejauhan, suara dentingan samar terdengar.
Logam beradu.
Elric menghentikan langkahnya.
Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
Tangannya meraba pistol di pinggang.
Jemarinya mengencang di gagang senjata.
Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan langkah.
Hutan di sekelilingnya semakin gelap.
Dan dentingan itu semakin keras.
Dentingan itu semakin keras.
Logam beradu. Irama yang tak wajar, seperti seseorang sedang bekerja dalam kegelapan.
Elric bergerak perlahan. Merunduk di antara semak belukar, kamera inframerahnya aktif, menyaring bayangan pekat di hadapannya.
Cahaya merah menyala di layar.
Kerangka gudang itu muncul di hadapannya—reruntuhan hangus yang masih berdiri sebagian. Bentuknya seperti rahang yang menganga ke langit malam, seolah siap menelan siapa pun yang mendekat.
Lalu, ia melihat mereka.
Sosok-sosok kecil, berbentuk manusia, tetapi… tidak sepenuhnya.
Gerakan mereka terlalu cepat, seolah melayang di udara. Tak kasatmata bagi mata telanjang, namun jelas di layar kameranya. Seperti bayangan yang menari di antara puing-puing.
Elric menggenggam pistolnya erat.
Ia tak tahu apa yang sedang dihadapinya.
---
Dentingan itu terus berlanjut.
Pelan, ia merayap lebih dekat, mengikuti suara itu. Di balik dinding yang masih berdiri, ada sebuah ruangan kecil—nyaris utuh, terselamatkan dari amukan api bertahun-tahun lalu.
Di dalamnya, dua sosok manusia.
Lampu senter mereka berpendar redup.
Salah satu pria bertubuh kekar, bertato naga di lengannya. Rahangnya mengatup rapat, suaranya bergetar oleh amarah.
"Ini bukan tempatnya, Karsa!"
Suara berat itu menggema di ruangan.
Di hadapannya, seorang pria lain berdiri dalam bayangan. Tak terlihat jelas, tapi tubuhnya kaku.
"Kau tahu konsekuensinya jika kita gagal!"
Suara kedua terdengar samar, teredam ketegangan.
"Tapi… batu itu… kita hampir—"
"HENTIKAN!"
Pria bertato itu menoleh tajam.
Tangannya mencengkeram sesuatu—logam berkilat di bawah cahaya.
Sumber suara dentingan itu.
"Kita mundur. Kita akan kembali setelah—"
Kata-katanya terputus.
Lampu senternya beralih.
Sinar terang itu menyorot wajah Elric.
Mata pria bertato melebar.
Sesaat, ia buta oleh cahaya inframerah yang masih menyala.
Elric tak menyia-nyiakan momen itu.
Ia bergerak.
Pria bertato itu tersentak.
Matanya menyipit, menajam, memperhatikan Elric yang muncul dari balik bayangan.
"Siapa kau?"
Suaranya berat. Dingin. Penuh ancaman.
Di belakangnya, sosok yang semula tersembunyi kini terlihat jelas.
Karsa.
Kurus. Pucat. Matanya gelisah, seperti seseorang yang ingin melarikan diri tapi tak tahu ke mana.
Elric menangkap sesuatu di tangannya—pantulan cahaya hijau.
Batu zamrud.
Sejenis dengan yang ia temukan di pabrik tekstil.
---
Elric mengangkat tangannya perlahan.
Pistolnya terlihat, tapi ia tetap tenang.
"Saya hanya ingin tahu apa yang sedang kalian lakukan," katanya, suaranya datar.
Ia mengamati mereka, membaca situasi.
Tidak agresif. Tidak langsung menyerang.
Sebuah taktik.
"Saya menyelidiki Arjuna Corpora."
---
Pria bertato itu tertawa.
Kasarnya menusuk telinga.
Ejekan. Ancaman terselubung.
"Arjuna Corpora?" katanya, masih dengan senyum sinis. "Kau datang ke tempat yang salah. Pergilah sebelum kau menyesal."
Tangannya terangkat.
Benda logam yang tadi ia genggam kini terlihat jelas—sebuah palu ritual kuno.
Ukiran rumit menghiasi gagangnya. Simbol-simbol tua, samar tertutup debu dan kotoran.
Di sampingnya, Karsa masih gemetar.
Matanya tak pernah lepas dari batu zamrud di tangannya.
Seperti ketakutan.
Seperti terhipnotis.
---
Elric melihat celah.
Karsa bukan ancaman.
Pria bertato itu, meskipun kuat, tampak lebih peduli pada batu daripada pada Elric.
Kesempatan.
Elric mengubah nadanya. Lebih keras. Lebih tajam.
"Batu itu," katanya. "Saya tahu apa itu. Dan saya tahu kalian mencarinya."
Keheningan menggantung di udara.
Mereka menatapnya.
Menunggu.
Masing-masing menimbang langkah berikutnya.
Hanya suara serangga malam yang terdengar.
Dan angin.
Mendesir di antara reruntuhan gudang.
Udara mengandung sesuatu yang lain…
Tanah lembab.
Asap.
Darah.
Dan sesuatu yang lebih tua.
Lebih dalam.
Bau sejarah yang terkubur.
Bayu menggeram rendah.
Tatapannya tajam, penuh perhitungan.
Ia melirik Karsa sejenak, lalu kembali menatap Elric.
Dingin. Berbahaya.
"Kau tahu terlalu banyak," desisnya. "Dan itu akan menjadi masalahmu."
Ia mengayunkan palu ritual.
Siap menghantam.
---
"Jangan!"
Suara Karsa melengking, memecah ketegangan.
Tubuhnya gemetar.
"Dia… dia tahu tentang Naga!"
---
Bayu terhenti.
Rahangnya mengeras.
Matanya beralih ke Karsa, lalu kembali ke Elric.
"Naga?"
Suaranya lebih pelan.
Hilang sebagian arogansinya.
"Apa yang kau tahu tentang Naga?"
---
Elric merasakan celah.
Sebuah kesempatan.
Ia mengingat kisah Respati.
Naga penjaga keseimbangan.
Jantungnya.
Elric mengangguk ke arah Karsa.
"Saya tahu batu itu adalah jantungnya," katanya mantap.
Nada suaranya tetap tenang.
"Dan saya tahu kalian ingin menggunakannya untuk… sesuatu."
---
Bayu tampak gelisah.
Tatapannya bergeser ke Karsa.
Karsa masih menggenggam batu itu erat.
Tangannya gemetar.
Ketakutan.
"Karsa…" Bayu bergumam.
Dingin.
Lebih berbahaya dari sebelumnya.
"Kau bicara terlalu banyak."
---
Udara menegang.
Berat.
Aroma darah semakin pekat.
Sesuatu yang busuk.
Bau sihir hitam.
Dingin menyentuh kulit Elric.
Tak terlihat.
Tapi terasa.
---
Gudang runtuh itu berubah.
Bayangan-bayangan bergerak.
Berbisik-bisik.
Bahasa yang tak dimengerti Elric.
Namun ia bisa merasakannya.
Dingin. Mengancam.
Merayap di tulang punggungnya.
Permainan telah berubah.
Pertarungan fisik mungkin bukan lagi pilihan utama.
Udara berdesir.
Dingin.
Menusuk hingga ke tulang.
Bau anyir sihir hitam semakin menyengat.
Hampir membuat Elric mual.
---
Bayangan di luar jangkauan cahaya senternya bergerak.
Lebih cepat.
Lebih agresif.
Bisikan-bisikan berubah menjadi geraman rendah.
Bukan lagi suara manusia.
Terdengar seperti binatang buas yang kelaparan.
---
Elric merasakan sesuatu melekat di kulitnya.
Dingin.
Menggigit.
Seperti cakar es yang tak terlihat.
Bulu kuduknya meremang.
Sesuatu sedang mengawasinya.
---
Bayu maju selangkah.
Matanya menyala-nyala.
Bukan manusia lagi.
Kulitnya menggelap.
Urat-uratnya menonjol, seperti akar pohon tua.
Kilauan merah aneh berpendar dalam bola matanya.
Palu ritual di tangannya bergetar.
Dipenuhi energi gelap.
Terasa nyata.
---
"Kau pikir bisa mengalahkan kami dengan sedikit pengetahuan tentang legenda?"
Suaranya bergema.
Dalam.
Berat.
Tak lagi memiliki nada manusia.
"Kau telah mencampuri hal yang jauh melampaui pemahamanmu."
---
Karsa gemetar.
Matanya terpaku pada batu zamrud di tangannya.
Seakan-akan batu itu satu-satunya yang menahannya tetap hidup.
Ia terisak.
Tak berani bicara.
Tak berani bergerak.
---
Elric mengamati mereka.
Menganalisis.
Menilai.
Pertempuran fisik akan menjadi bunuh diri.
Bayu telah berubah.
Dikuasai kekuatan gelap yang jauh melampaui batasnya.
Ia perlu cara lain.
---
Pikirannya berpacu.
Mencari celah.
Mencari kelemahan.
Legenda Naga.
Batu zamrud.
Keseimbangan.
Tiga elemen itu saling terkait.
Di situlah kunci untuk bertahan hidup.
---
Elric melirik batu zamrud di tangan Karsa.
Cahayanya redup.
Namun masih ada.
Apakah itu sumber kekuatannya?
Atau justru kelemahannya?
Bisakah ia memanipulasi energi itu?
Sebuah risiko.
Besar.
Tapi mungkin satu-satunya peluangnya.
---
Bayu mengangkat palu ritual lebih tinggi.
"Akhirnya tiba."
Bisikannya menggema.
Dingin.
Penuh ancaman kematian.
---
Ruangan terasa sunyi.
Hanya desiran udara dingin dan geraman bayangan yang tersisa.
Semua mata tertuju pada Elric.
Keputusannya akan menentukan segalanya.
Bukan hanya nyawanya.
Tapi juga keseimbangan dunia.
Elric menarik napas dalam.
Dalam.
Dalam.
Jantungnya berdebar kencang.
Kesempatan ini mungkin hanya sekali.
Ia menatap batu zamrud di tangan Karsa.
Cahaya redupnya berpendar, seperti percikan harapan di tengah kegelapan.
Bukan kekuatan yang bisa dikuasai.
Melainkan sesuatu yang harus dijaga.
Elric mengangkat wajahnya.
Suaranya tenang, namun tegas.
"Bayu, kau terobsesi dengan kekuatan batu ini. Tapi kau salah mengerti."
"Batu ini bukan untuk dikuasai, melainkan untuk dijaga."
"Ia adalah jantung Naga, penjaga keseimbangan."
"Menggunakannya akan menghancurkan, bukan menciptakan."
---
Bayu tertawa.
Tawa yang menggema.
Dingin.
Seperti serpihan es yang bergesekan.
"Bodoh!"
"Keseimbangan itu lemah, usang!"
"Kita akan menciptakan tatanan baru!"
"Tatanan yang lebih kuat, dengan kekuatan Naga di tangan kita!"
Palu ritualnya masih terangkat.
Siap menghantam.
---
Elric mengabaikan kemarahannya.
Ia menatap Karsa.
Gemetar.
Tak berani bergerak.
Matanya terpaku pada batu di tangannya.
Seakan-akan itu satu-satunya yang menahannya tetap hidup.
"Karsa, kau tahu apa yang terjadi jika batu ini jatuh ke tangan yang salah."
"Kau tahu konsekuensinya."
Karsa mengangguk kecil.
Air mata mengalir di pipinya.
Terpecah.
Antara kesetiaan dan ketakutan.
---
Elric melanjutkan.
"Bayu, kau terbutakan oleh ambisi."
"Kau tidak melihat bahaya yang sebenarnya."
"Kau hanya melihat kekuatan."
"Tapi kekuatan tanpa kendali akan menghancurkanmu juga."
Ia memberikan isyarat halus.
Ke arah bayangan-bayangan yang mengelilingi mereka.
Semakin dekat.
Semakin mengancam.
"Mereka adalah bukti dari ketidakseimbangan."
"Mereka adalah korban dari ambisi yang sama yang menggerakkanmu."
---
Bayu terdiam.
Sesaat saja.
Gerakannya melambat.
Energi gelap di sekelilingnya bergetar.
Sedikit memudar.
Tapi matanya masih menyala.
Kemarahannya belum padam.
"Kau berbohong!"
"Kita akan menguasai kekuatan ini!"
"Kita akan menjadi dewa!"
---
"Tidak."
"Kau akan menjadi korban."
Suara Elric lebih keras.
Penuh keyakinan.
"Lepaskan batu itu, Karsa."
"Itu satu-satunya caramu untuk menyelamatkan dirimu."
"Dan mungkin, menyelamatkan kita semua."
---
Gudang semakin mencekam.
Udara dingin berdesir tajam.
Bisikan bayangan semakin dekat.
Karsa menggenggam batu lebih erat.
Tangannya gemetar.
Matanya dipenuhi ketakutan.
Dan di dalam kegelapan, sesuatu menunggu.
Bayangan Naga.
Tak kasat mata.
Namun terasa.
Menanti keputusan yang akan menentukan segalanya.
Karsa terhuyung.
Tubuhnya gemetar hebat.
Matanya berpindah-pindah.
Dari batu zamrud di tangannya.
Ke Bayu.
Lalu ke Elric.
---
"Kau berani melawan perintahku, Karsa?!"
Raungan Bayu menggema.
Dinding-dinding gudang tua bergetar.
Palu ritualnya berdenyut.
Memancarkan aura gelap yang semakin pekat.
Amarahnya meluap.
Matanya menyala-nyala.
---
Lalu sesuatu terjadi.
Tak terduga.
Karsa melempar batu zamrud itu.
Gerakan cepat.
Mengejutkan.
Batu itu melesat di udara.
Melewati Elric.
Jatuh ke tanah.
Di antara mereka.
---
Bayu tersentak.
Terkejut.
Sejenak, energi gelapnya mereda.
Seperti terputus dari sumbernya.
Palu ritual di tangannya bergetar, tapi tidak sekuat sebelumnya.
Dan Elric melihat celah itu.
---
Ia bergerak.
Cepat.
Menendang kaki Bayu.
Bayu terhuyung.
Jatuh terduduk.
Palu ritualnya terlepas.
Menggelinding ke sudut ruangan.
Elric menarik napas, menyadari sesuatu.
"Kau memanfaatkan kelemahannya," gumamnya pelan.
Kehilangan batu itu telah melemahkan Bayu.
---
Tapi bahaya belum usai.
Bayangan-bayangan menggeram.
Semakin dekat.
Semakin agresif.
Udara bergetar oleh bisikan yang mengancam.
Sihir hitam menebal.
Elric bisa merasakannya di kulitnya, seperti kabut dingin yang menempel erat.
---
"Ini belum selesai."
Suara Bayu rendah.
Terisi kemarahan tertahan.
Meski lemah, matanya masih bersinar penuh kebencian.
Ia berusaha bangkit.
---
"Berhenti, Bayu!"
Karsa berteriak.
Suaranya bergetar.
Tapi penuh tekad.
"Aku sudah cukup."
"Aku tidak mau lagi terlibat dalam ini."
Tangan Karsa mengepal.
Sisa keberanian terakhirnya.
---
Elric mengamati.
Batu zamrud ada di tanah.
Cahayanya redup, tapi masih berdenyut.
Bayu masih ancaman.
Karsa di ambang kehancuran.
Dan bayangan-bayangan semakin mendekat.
Geraman mereka memenuhi udara.
Sihir hitam terasa pekat.
Darah.
Ketakutan.
Ancaman kematian.
Semua menunggu keputusan Elric.
Udara pengap semakin berat.
Debu beterbangan, menari di sela-sela cahaya bulan yang menerobos celah di atap.
Gudang tua itu terasa semakin sesak.
---
Elric mengamati Bayu.
Pria itu masih berusaha bangkit.
Tubuhnya bergetar.
Sakit.
Marah.
Di sampingnya, Karsa berdiri.
Tangannya masih gemetar.
Tapi matanya berubah.
Ada sesuatu di sana.
Tekad.
Keputusan.
---
Bayangan-bayangan gelap bergerak lebih dekat.
Geraman mereka semakin keras.
Bukan sekadar suara.
Tapi bisikan kematian.
Udara bergetar dengan energi hitam yang menyelusup ke dalam tulang.
---
Elric menarik napas dalam.
Pandangannya jatuh ke lantai.
Batu zamrud masih di sana.
Cahayanya redup.
Auranya melemah.
Tapi masih ada.
Masih hidup.
---
Ia tahu satu hal.
Ia tak bisa menghadapi Bayu dan bayangan-bayangan itu sendirian.
Bukan dalam kondisi ini.
Ia butuh strategi.
Pandangannya beralih ke Karsa.
"Kau tahu apa yang sebenarnya terjadi?"
Suaranya tenang.
Tapi tajam.
Menilai.
Menguji.
---
Karsa menelan ludah.
Matanya tetap tertuju pada Bayu.
"Arjuna Corpora… mereka ingin kekuatan batu itu…"
Suaranya gemetar.
Tapi ada sesuatu di dalamnya.
Keyakinan.
"Aku… aku tidak tahu seberapa besar kekuatan mereka."
---
Elric mengangguk pelan.
Dugaan itu benar.
Arjuna Corpora.
Bukan sekadar perusahaan.
Sesuatu yang lebih besar.
Lebih gelap.
Lebih mengerikan.
---
"Kita butuh rencana."
Matanya tak lepas dari Bayu.
Dari bayangan-bayangan yang terus mendekat.
"Kita harus keluar dari sini. Dan kita harus mengalahkan mereka."
---
Bayu mendesis.
Ia berdiri dengan susah payah.
Matanya menyala penuh kebencian.
"Kalian tidak akan lolos!"
Raungannya memenuhi ruangan.
Palu ritualnya masih tergeletak beberapa meter darinya.
Ia meliriknya.
Tahu bahwa ia harus segera mengambilnya.
---
Bayangan-bayangan mengepung mereka.
Mendekat.
Mengunci setiap celah.
Udara semakin berat.
Aroma sihir hitam.
Darah.
Kematian.
Elric merasakan jantungnya berdebar kencang.
---
Ini bukan hanya tentang dirinya.
Ini tentang Karsa.
Tentang keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib.
Dan detik-detik berikutnya akan menentukan segalanya.
Karsa tampak pucat.
Keringat dingin membasahi dahinya.
Matanya liar, napasnya pendek dan tersengal.
Bayangan-bayangan itu semakin dekat.
Aura jahat mereka menusuk kulit.
Seakan menghisap udara dari paru-paru.
---
Elric melirik pistol di tangannya.
Satu-satunya senjata yang tersisa.
Tapi amunisinya terbatas.
Menghadapi Bayu dan pasukan bayangannya secara langsung?
Bunuh diri.
---
"Karsa," bisik Elric.
Suaranya nyaris tak terdengar di tengah geraman makhluk-makhluk itu.
"Ada jalan keluar lain?"
Karsa menggeleng lemah.
"Hanya satu pintu… dan itu dijaga Bayu…"
---
Elric mengamati sekeliling.
Gudang tua.
Lapuk.
Dipenuhi tumpukan kayu yang hampir roboh.
Mesin-mesin usang berkarat di sudut-sudut gelap.
Tapi di balik tumpukan kayu itu…
Lorong sempit.
Nyaris tersembunyi.
---
Sebuah pilihan.
Sebuah risiko.
Tapi mungkin satu-satunya harapan.
---
"Di sana," ujar Elric, menunjuk ke lorong.
"Bukan pilihan terbaik, tapi lebih baik daripada mati di sini."
---
Bayu tertawa.
Serak.
Dingin.
"Kau pikir bisa lari? Tidak akan sesederhana itu!"
Ia mengangkat tangannya.
Bayangan-bayangan itu bergerak lebih cepat.
Mengepung mereka.
---
Tak ada waktu.
Elric mendorong Karsa ke arah lorong.
"Jalan! Sekarang!"
Karsa tersandung, tapi ia bergerak.
Elric menyusul, pistol di tangan.
---
Lorong itu gelap.
Sempit.
Hanya cukup untuk satu orang.
---
Langkah-langkah mereka terburu-buru.
Kayu lapuk dan puing-puing berserakan di bawah kaki.
Di belakang…
Geraman.
Bayangan yang merayap.
---
Napas Karsa terengah-engah.
Ketakutan bercampur usaha untuk tetap bergerak.
Bayu berteriak di belakang.
Tapi mereka tidak berhenti.
Tidak bisa berhenti.
---
Mereka terus berlari.
Ke dalam kegelapan.
Ke arah yang tak mereka ketahui.
Satu pertanyaan menggantung di udara.
Apakah mereka akan berhasil?
Atau lorong ini akan menjadi kuburan mereka?