Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Air Mata Iblis : Untold Story Of Kanaya

🇮🇩KAKCO
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
113
Views
Synopsis
Aku kalah tiga kali, aku kalah dalam soal bercinta. Rasanya tak ingin lagi, berlari mengejar cinta. Perih terasa menggores dada, menusuk menembus dada. Dunia seakan-akan bagai di dalam neraka. Panasnya meleburkan membakar semua angan. Perih terasa merobek dada, Menikam mencabik dada Hancurkanku, Hentikan detak jantungku! Haruskah selalu ku rasa, kalah dalam soal percintaan. Yang tak pernah lepas dari alur kehidupanku. Tak akan henti ku bertanya, apa mungkin ini semua salahku? Sampai mati ku bertanya, Mungkin semua memang takdirku! Haruskah aku membuat perjanjian dengan iblis untuk membalas sakit hati ku dan mengubahnya nasib ku?
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 FRUSTASI

Aku adalah Kanaya, seorang wanita pada tahun 2035 ini aku berusia 21 Tahun, aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku, Pandu, baru berusia 10 tahun, seorang bocah laki-laki yang selalu ceria dan penuh perhatian padaku. Aku lulus sebagai mahasiswa terbaik dari salah satu perguruan tinggi ternama di Jakarta, tetapi di dunia ini, kecerdasan akademik saja tidaklah cukup.

Menurut para mantanku, aku adalah wanita yang cerdas, ceria, cantik dan sexy seperti gitar spanyol. Namun, di balik pujian itu tersembunyi kenyataan pahit. Aku telah menjadi piala bergilir bagi mereka. Seperti bunga yang diperas sarinya, mereka menikmati tubuhku, lalu membuangku begitu saja setelah bosan.

Aku hanya memiliki tiga mantan pacar. Namun, ketiganya cukup untuk membuatku percaya bahwa aku selalu sial dalam urusan cinta. Aku dikhianati, dipermainkan, dan pada akhirnya, ketika aku mengandung, mantan terakhirku menyiksaku hingga mengalami pendarahan dan keguguran.

Aku terbaring di rumah sakit selama beberapa hari. Bodohnya aku, ketika orang tuaku bertanya tentang kondisiku, aku hanya berkata bahwa aku kelelahan. Aku masih memegang harapan bahwa mantan terakhirku akan menikahiku setelah aku tak lagi mengandung. Namun, seminggu setelah keluar dari rumah sakit, aku melihatnya bergandengan tangan dengan wanita lain.

Ketika aku menanyakan siapa wanita itu, dengan enteng dia menjawab bahwa itu adalah kekasihnya. Baginya, aku tidak lebih dari sekadar barang bekas, sesuatu yang hanya layak dinikmati dan dibuang setelah usang.

"Bangsat!" Itu satu-satunya kata yang mampu keluar dari bibirku sebelum tamparan keras mendarat di wajahku. Darah mengalir dari sudut bibirku, tetapi rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan luka di hatiku.

Dalam keputusasaan, aku melangkah menuju Pelabuhan Ratu. Lautan yang luas seolah menjadi pelarian terakhirku. Aku ingin menghilang, tenggelam di kedalaman samudra, di mana tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi rasa malu saat memandang wajah kedua orang tuaku. Namun, ketakutan menyelip di hatiku. Pandu...aku tidak bisa membayangkan meninggalkannya sendirian dan membiarkan kedua orang tua ku memikirkan biaya pendidikan Pandu ketika Pandu duduk di bangku kuliah seperti ku.

Orang tuaku akan pensiun dalam dua tahun lagi. Mereka bilang tidak perlu khawatir soal pendidikan Pandu, tetapi aku tahu mereka tidak muda lagi. Aku ingin memastikan Pandu bisa menyelesaikan sekolahnya hingga menjadi sarjana, dan aku ingin melihat kedua orang tuaku bahagia. Namun, peristiwa sore ini membuatku merasa begitu hina. Keinginan untuk membunuh William membuncah di dadaku, ingin aku membuatnya merasakan kehancuran yang dia timpakan padaku.

Tanpa kusadari, aku sudah berdiri di ujung dermaga. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan hampir tidak ada orang di sekitarku. Dalam benakku, terlintas satu pikiran gila.

"Bagaimana jika aku membuat perjanjian dengan iblis?"

"Bagaimana jika aku menyerahkan jiwaku, asalkan aku bisa membalaskan dendamku kepada tiga pria itu dan menjamin kebahagiaan keluargaku"

Aku rela melakukan apa pun demi dua hal itu. Jika aku harus membusuk di neraka sebagai harga yang harus dibayar, aku tidak peduli. Aku tidak memiliki sesuatu yang berharga lagi selain nyawaku.

Langit malam terasa semakin pekat. Lautan bergelombang tenang, tetapi di kedalamannya, sosok lain sedang memperhatikanku.

Jauh di bawah permukaan air, seorang ratu dari dunia gaib menatap ke arahku dari kereta kencana emasnya.

"Apa yang hendak dilakukan anak manusia itu di Pelabuhan Ratu?" suaranya lembut, namun penuh kewibawaan.

Di sampingnya, seorang panglima perang dari bangsa jin, Patih Lodaya, menjawab dengan penuh hormat, "Mohon maaf, Ratu ku, sepertinya wanita itu berniat mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri ke lautan."

Mata ratu kencana wungu menyipit ketika menatap kearah ku, "Apa yang membuatnya begitu putus asa hingga ingin mati di wilayah kekuasaanku?"

Ratu Kencana Wungu adalah penguasa seluruh lautan Indonesia, biasanya dia tidak pernah peduli pada urusan manusia. Namun, ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuatnya tertarik. Kanaya mengingatkannya pada seseorang dari masa lalunya yaitu manusia yang bernama Gunawan anak keturunan Gobang sang Pendekar yang menjadi legenda dari suku Betawi, yang hidup sebelum Legenda Si Pitung terkenal.

Gunawan, yang mendapatkan gelar Raja Gempar Bumi, ketika Gunawan menduduki tahta gaib di istana Kerajaan Laut Hitam, dan saat itulah Ratu Kencana Wungu mendapatkan sebuah peningkatan kekuatan dari manusia yang sangat dia hormati yaitu Gunawan. Dahulu, Ratu Kencana Wungu adalah satu dari lima khodam pendamping Gunawan yang sangat setia kepada Gunawan dan ikut bertarung dan bertempur bersama Gunawan ketika dia masih hidup di dunia. Sampai saat terjadi peperangan besar-besaran antara Jin Khodam Pendamping Gunawan melawan iblis yang bernama Yakjud dan Makjud.

Peperangan Besar melawan dua iblis yang menguasai hampir seperempat dunia itu dapat dimenangkan oleh pihak Gunawan alias Raja Gempar Bumi. Akan tetapi bayaran atas kemenangan itu sangat mahal (baca Novel Keturunan Gobang, di Fizzo karya penulis, sekalian promo boleh kan)

Dalam peperangan tersebut Gunawan gugur di medan perang setelah berhasil membunuh kedua iblis kembar yang ingin menebarkan ajaran sesat.

Ratu Kencana Wungu kini menjadi penguasa lautan dan tak ada satu manusia pun yang bisa memerintahnya selain keturunan Gunawan sendiri.

Ratu Kencana Wungu menatapku dalam diam, mendengarkan isak tangisku yang lirih bercampur bisikan putus asa.

"Tuhan... jika Kau memang ada, Ku mohon berikan aku keadilan." gumamku, menatap langit yang bisu. "Aku hanya ingin melihat Pandu lulus serta menyandang gelar sarjana dan kedua orang tuaku bahagia.Tapi mengapa engkau kirim tiga lelaki bajingan itu kedalam hidupku?"

Tanganku mengepal ketika mengingat kisah kelam ku, "Mereka menjadikanku boneka untuk memuaskan nafsu binatang mereka. Memakai tubuhku saat hasrat mereka membuncah, lalu membuangku setelah puas. Aku hanya ingin menukar hidupku dengan kebahagiaan keluargaku. Tuhan, apakah permintaanku terlalu banyak?"

Aku menarik napas dalam, lalu berteriak di tengah malam yang sunyi, "Jika memang Kau tidak mendengar, aku rela menukar jiwaku dengan iblis sekalipun! Aku rela membusuk di neraka jika itu satu-satunya cara!"

Hening. Lautan seolah menahan napas. Hanya desir ombak yang ku dengar di malam yang sunyi dan tenang ini.

Ratu Kencana Wungu tersenyum tipis. "Anak manusia ini begitu putus asa....dia mengingatkanku pada Gunawan yang sempat putus asa dan menyalahkan tuhan ketika Nenek Nami terbunuh."

Dengan isyarat tangannya, Ratu Kencana Wungu memerintahkan sesuatu yang mengejutkan.

Gelombang lautan bergemuruh. Ombak besar setinggi tujuh meter terbentuk, menggulung dan bergerak ke arahku.

Aku memilih diam di tempatku berdiri, aku menyadari apa yang terjadi. Namun, alih-alih berlari, aku justru menutup mataku.

"Tuhan, jika ini memang jawaban dari mu, maka biarkan aku tenggelam dan menghilang untuk selamanya.".

Ratu Kencana Wungu terbelalak ketika melihat reaksi ku. "Apa-apaan anak manusia itu?!"

Mungkin pada saat itu Ratu Kencana Wungu mengharapkan aku membatalkan niat ku untuk bunuh diri ketika melihat ombak besar tersebut dan melarikan diri. akan tetapi aku justru menyambut ombak besar tersebut dan pasrah menerima kematian ku.

Dalam beberapa tarikan nafas berikutnya tubuh ku sudah tergulung ombak dan terseret ke lautan dalam. Aku tidak berusaha berenang dan menyelamatkan diri dari gulungan ombak yang terus menyeret ku semakin dalam.

Karena yang ku tahu aku memang menginginkan kematian seperti ini, menghilang dan tenggelam didasar samudra. Akan tetapi sebelum kesadaran ku menghilang sepenuhnya aku melihat sebuah cahaya ungu melesat cepat kearah ku.