Chapter 4 - Part 02

Renzu menatap peta itu dengan seksama. "Apa yang ada di sana?"

Darios menghela napas. "Dulu tempat ini hanyalah reruntuhan kota lama. Namun setelah meteorit Felora jatuh, beberapa area berubah menjadi dungeon berbahaya. Kami menduga ada sesuatu yang bangkit di sana."

Mira menambahkan, "Kami akan pergi dalam tim kecil. Aku, kau, Rufus, dan Lyra akan bergabung dengan seorang petualang senior."

"Siapa petualang senior itu?" Renzu bertanya curiga.

Darios menyipitkan matanya. "Dia seseorang yang berpengalaman dalam meneliti reruntuhan dan dungeon kuno. Kau akan mengenalnya nanti."

Beberapa jam kemudian, tim ekspedisi bersiap untuk berangkat. Renzu memasang sabuk perlengkapannya sambil memeriksa pedang pendek yang baru ia dapatkan sebagai perlengkapan tambahan.

Saat dia melihat sekeliling, dia mendapati seorang pria berbaju hitam berdiri di sisi kapal yang akan membawa mereka ke daratan. Pria itu tinggi, dengan mata tajam yang seolah bisa melihat menembus jiwa seseorang.

"Namaku Orfen," kata pria itu tanpa basa-basi. "Aku akan memimpin ekspedisi ini."

Renzu menatapnya curiga. Ada sesuatu dalam tatapan pria ini yang terasa tidak wajar.

Mira berbisik di sebelahnya, "Aku juga tidak terlalu percaya padanya, tapi dia memang ahli dalam dungeon."

Rufus mengangkat bahu. "Kalau dia bisa membawa kita keluar hidup-hidup, aku tidak keberatan."

Orfen menatap mereka satu per satu sebelum berbicara. "Kita berangkat sekarang. Pastikan kalian siap menghadapi apa pun yang menunggu kita di dalam reruntuhan."

Dan dengan itu, mereka pun berlayar menuju petualangan berikutnya tanpa menyadari bahwa di antara mereka, ada seseorang yang memiliki rencana lain yang belum mereka ketahui.

Malam menjelang saat kelompok ekspedisi tiba di tepian hutan belantara tempat reruntuhan kuno berada. Langit dihiasi bintang-bintang yang bersinar samar, namun ada sesuatu yang terasa ganjil di udara suasana yang terlalu sunyi, seakan-akan hutan itu menahan napasnya sendiri.

Renzu mengamati sekelilingnya. Dedaunan berdesir pelan dihembus angin, namun tidak ada suara burung malam atau gemerisik binatang liar yang biasanya terdengar di tempat seperti ini. Sesuatu di dalam dirinya memberi peringatan.

"Aku tidak suka tempat ini," ujar Mira, menyentuh gagang tombaknya. "Hutan ini terlalu... diam."

"Itu karena kita sedang diawasi," gumam Orfen, si petualang senior misterius yang memimpin ekspedisi ini. Matanya menyipit ke arah kegelapan di antara pepohonan.

Rufus tertawa kecil. "Oh ayolah, Orfen. Kau selalu bicara seperti itu. Aku yakin ini hanya imajinasimu."

"Tidak, Rufus." Orfen berbisik rendah, nyaris tak terdengar. "Aku yakin ada sesuatu yang menunggu di sini. Kita hanya belum melihatnya."

Hening sejenak. Renzu bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Sistem Astral di dalam pikirannya tiba-tiba mengeluarkan peringatan.

 

[Peringatan: Entitas Tidak Diketahui Terdeteksi]

[Tingkat Bahaya: ???]

[Mode Siaga Aktif]

 

Renzu menegang. "Hentikan langkah kalian!" serunya tiba-tiba, membuat yang lain menoleh ke arahnya dengan bingung.

"Apa maksudmu?" tanya Lyra, si pemanah dari kelompok mereka.

"Sistemku memberi peringatan. Sesuatu ada di sekitar kita, dan aku tidak yakin kita bisa melihatnya."

Mira menggenggam erat tombaknya, matanya mulai bergerak mengamati sekeliling. "Kalau memang begitu, kita tidak boleh lengah."

Namun sebelum mereka sempat mengambil tindakan lebih lanjut, sebuah bayangan bergerak cepat di antara pepohonan.

Dalam sekejap, siluet gelap itu melompat dari pohon ke pohon dengan kecepatan yang tidak wajar. Renzu hanya bisa menangkapnya sekilas sebelum sosok itu menghilang kembali ke dalam bayangan.

"Cepat, buat formasi defensif!" perintah Orfen, suaranya tetap tenang meskipun situasi mulai menegang.

Mira berdiri di garis depan, sementara Rufus mulai merapal mantra angin sebagai persiapan. Lyra menyiapkan busurnya, matanya mencoba mencari gerakan sekecil apa pun.

"Siapa di sana?!" Renzu berteriak, mencoba memancing makhluk itu keluar.

Tak ada jawaban. Hanya angin malam yang berhembus, membawa aroma basah dari tanah hutan. Namun tiba-tiba, suara berbisik terdengar, lirih dan menggetarkan tulang.

"Pewaris Gelang Bintang... kau akhirnya datang."

Renzu membelalak. "Siapa kau?!"

Tak ada jawaban langsung, tapi dari kegelapan, seseorang melangkah keluar.

Dia mengenakan jubah hitam dengan corak perak yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tetapi matanya berkilat tajam, penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan bukan permusuhan, tetapi bukan juga kebaikan.

"Aku telah menunggumu, Kazehaya Renzu."

Renzu menatap sosok itu dengan kewaspadaan tinggi. "Bagaimana kau tahu namaku?"

Sosok itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, udara di sekitar mereka bergetar. Energi astral menyelimuti tubuhnya seperti kabut bercahaya.

Mira menegang. "Dia... memiliki energi yang sama denganmu, Renzu!"

Orfen maju selangkah, tangannya tetap berada di gagang pedangnya. "Siapa kau sebenarnya? Apa hubunganmu dengan Gelang Bintang?"

Pria berjubah itu menghela napas, lalu menurunkan tudungnya, mengungkapkan wajahnya. Dia tampak muda, sekitar usia Renzu, dengan rambut hitam panjang yang sedikit berantakan dan mata yang memancarkan cahaya biru kehijauan.

"Namaku Kael. Dan aku... adalah orang yang juga terpilih oleh Gelang Bintang."

Renzu terkejut. "Apa?! Kau juga punya Sistem Astral?!"

Kael mengangguk. "Ya. Tapi aku berada di jalur yang berbeda darimu, Renzu. Aku datang untuk memberikan peringatan."

"Peringatan tentang apa?" tanya Rufus dengan ekspresi ragu.

Kael menatap mereka semua dengan tatapan tajam. "Kau telah menarik perhatian pihak-pihak yang lebih besar, Renzu. Guild Gelap Black Crescent... Kekaisaran Sunturion... bahkan makhluk-makhluk yang berada di luar batas dunia ini."

Mira menyipitkan mata. "Jangan bicara berputar-putar. Apa yang kau tahu?"

Kael menatap Renzu lurus-lurus. "Mereka akan memburumu. Bukan hanya karena Gelang Bintang, tetapi karena sesuatu yang lebih besar dari yang kau bayangkan."

Suasana menjadi semakin berat. Semua orang menatap Renzu, yang masih mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar.

"Aku tidak mengerti," katanya akhirnya. "Mengapa aku? Aku tidak pernah meminta kekuatan ini."

Kael menggeleng. "Tidak ada yang memilih takdir mereka, Renzu. Tetapi kau harus menentukan jalan yang akan kau ambil."

Orfen yang sejak tadi diam tiba-tiba berbicara. "Jadi, kau datang hanya untuk memperingatkannya? Apa yang kau inginkan darinya?"

Kael menatapnya dengan tajam. "Aku ingin dia bersiap. Aku ingin dia memahami bahwa perjalanannya baru saja dimulai, dan bahwa dia tidak bisa mempercayai siapa pun begitu saja."

Mira menggertakkan giginya. "Apa maksudmu?"

Kael menghela napas. "Di antara orang-orang di sekeliling kalian... mungkin ada yang sudah mengkhianati kalian."

Semua orang terdiam.

Rufus mengangkat alis. "Kau bicara omong kosong."

Kael mengangkat bahunya. "Percayalah atau tidak, terserah kalian. Tapi saat waktu itu tiba, aku harap kau sudah siap, Renzu."

Dan dalam sekejap, tubuh Kael memudar menjadi bayangan dan menghilang ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan mereka dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Renzu menatap ke tempat Kael menghilang. Pikirannya berputar, penuh dengan informasi yang belum bisa ia cerna.

Mira menyentuh bahunya. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"

Renzu menghela napas dalam. "Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti... aku tidak bisa lagi berjalan sendirian."

Orfen menatapnya dengan tajam. "Kalau begitu, kau harus bersiap. Karena apapun yang menunggumu... akan jauh lebih sulit dari yang kau bayangkan."

Dan dengan itu, ekspedisi mereka ke reruntuhan kuno pun akhirnya dimulai dengan bayangan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka semua.