Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

antara takdir atau doa yang tertunda

fblues_eyes
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
144
Views
Synopsis
Sam, pemuda sederhana dari desa, bertemu dengan Ratu, gadis lembut dari keluarga terpandang, di perpustakaan kampus. Suatu sore, saat motor Ratu mogok, Sam dengan enggan menawarkan bantuan dan membawanya ke bengkel. Setelah itu, Ratu ingin mengucapkan terima kasih dengan membawa minuman untuk Sam, yang membuat keduanya semakin akrab. Mereka mulai sering bertemu, berbicara, dan tanpa sadar, mulai merasakan ketertarikan satu sama lain. Namun, keduanya memendam perasaan itu karena keyakinan agama dan Sam terhalang oleh komitmennya pada pasangannya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Jejak yang Tidak Disadari

Adegan: Pertemuan Pertama di Rumah Robert

Langit sore kota terasa asing bagi Sam. Tidak ada suara jangkrik seperti di desanya, hanya deru kendaraan dan suara obrolan samar di sepanjang trotoar. Hari itu, pertama kalinya dia mengunjungi rumah Robert, sahabatnya sejak SMA, yang berasal dari keluarga kaya.

Sam tidak menyangka rumah Robert sebesar ini. Ruang tamunya luas dengan sofa empuk berwarna krem, jauh dari kesederhanaan rumahnya di desa. Saat Sam melangkah masuk, matanya menangkap seorang gadis yang duduk santai di sofa, asyik memainkan ponselnya.

Saat menyadari kehadiran Sam, gadis itu mendongak sekilas. Tanpa basa-basi, ia berkata,

"Oh, ini yang namanya Sam?"

Nada suaranya datar, lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.

Robert tertawa kecil dan menepuk bahu Sam. "Iya, ini sahabatku dari sekolah. Sam, kenalin, ini Ulpa, adikku."

Sam mengangguk kecil. Dari ekspresi Ulpa, jelas ia bukan tipe orang yang terlalu peduli dengan perkenalan formal.

"Kamu tinggal di desa, ya?" tanya Ulpa tiba-tiba.

Sam menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang langsung menyorot latar belakangnya. Namun, sebelum dia bisa menjawab, Ulpa sudah menambahkan,

"Pantas aja. Kelihatan dari cara kamu jalan, masih agak kaku. Kayak orang baru pertama kali lihat rumah besar."

Robert menghela napas. "Ulpa, ngomong yang sopan dikit kek."

Tapi Ulpa hanya mengangkat bahu, seolah tidak peduli.

Sam sendiri tidak merasa tersinggung. Dia sudah cukup paham tipe orang seperti Ulpa—blak-blakan, bicara tanpa filter, dan tidak memikirkan apakah orang lain merasa nyaman atau tidak.

Dan justru karena itu, Sam tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

---

Adegan: Ulpa yang Selalu Melibatkan Sam

Setelah pertemuan pertama itu, setiap kali Sam datang ke rumah Robert, Ulpa selalu ada—bukan karena ingin berbicara dengannya, tapi karena memang itu rumahnya.

Namun, anehnya, Ulpa punya kebiasaan aneh: dia selalu melibatkan Sam dalam percakapan, bahkan ketika Sam sendiri tidak berniat ikut serta.

Hari itu, mereka duduk di teras rumah Robert. Sam hanya ingin menikmati teh yang disediakan ibu Robert, tapi tiba-tiba, suara Ulpa menyela,

"Sam, menurutmu lebih enak sekolah di kota atau di desa?"

Sam menoleh, agak bingung kenapa tiba-tiba ditanya seperti itu.

"Hah? Hmm… di desa lebih tenang," jawabnya akhirnya.

"Tenang? Bosan, maksudnya? Pasti nggak banyak hiburan, kan?" Ulpa menimpali cepat.

Sam mengangkat bahu. Dia sebenarnya tidak ingin membahas ini, tapi Ulpa terus berbicara.

"Tapi kalau aku di desa, mungkin aku bakal gila. Soalnya aku nggak suka diem. Kamu sendiri betah di kota?"

Sekali lagi, Sam terpaksa memikirkan jawabannya. Dia tidak benar-benar membenci kota, tapi juga belum sepenuhnya terbiasa.

"Lumayan," jawabnya singkat.

"Jawabanmu nggak jelas," Ulpa mencibir.

Robert yang duduk di dekat mereka hanya tertawa. "Sam itu emang kayak gitu, selalu ragu-ragu."

Sam diam. Dia tahu Robert tidak berniat mengejek, tapi entah kenapa, di depan Ulpa, hal itu terasa lebih menonjol.

Seiring waktu, tanpa sadar, Sam selalu menjadi bagian dari percakapan Ulpa, entah dia mau atau tidak.

Dan anehnya, dia tidak pernah benar-benar menolak.

: Antara Dua Dunia

Adegan: Sam Mulai Terbiasa dengan Kehadiran Ulpa

Hari-hari berlalu, dan Sam mulai menyadari sesuatu—Ulpa selalu ada di sekitar Robert, dan secara otomatis, itu berarti dia juga ada di sekelilingnya.

Awalnya, Sam menganggapnya hanya sebagai adik Robert yang cerewet. Tapi semakin sering dia datang ke rumah Robert, semakin sering pula Ulpa berbicara dengannya, entah membahas hal sepele atau sekadar menyela pembicaraannya dengan Robert.

Suatu sore, saat Sam duduk di halaman rumah Robert, menikmati suasana kota yang mulai terasa biasa baginya, Ulpa tiba-tiba duduk di sampingnya.

"Sam, menurutmu aku mirip Kak Robert nggak?" tanyanya tiba-tiba.

Sam menoleh. Dari segi wajah, mungkin ada sedikit kemiripan, tapi secara kepribadian? Tidak sama sekali.

"Kenapa nanya begitu?" Sam mengangkat alis.

Ulpa mengangkat bahu. "Banyak yang bilang aku lebih mirip Ayah, sedangkan Kak Robert lebih ke Ibu. Kakak itu terlalu baik, terlalu sabar. Aku nggak gitu."

Sam tertawa kecil. "Setidaknya kamu sadar."

Ulpa mendengus. "Kamu juga sadar, kan? Makanya sering kelihatan malas nanggepin aku."

Sam terdiam. Dia tidak menyangka Ulpa memperhatikan hal itu.

"Kamu suka sebel sama aku?" tanya Ulpa lagi, suaranya terdengar lebih santai dari sebelumnya.

Sam menghela napas. "Nggak juga. Cuma kadang... kamu terlalu blak-blakan."

Ulpa terkekeh. "Terus kenapa kamu masih mau dengerin omonganku?"

Sam tidak bisa menjawab. Dia juga tidak tahu.

Mungkin karena Ulpa selalu berbicara tanpa memedulikan reaksi orang lain, dia merasa tidak perlu menyiapkan jawaban yang rumit.

Atau mungkin, dia memang mulai terbiasa dengan kehadirannya.

---

Ulpa yang Terus Memaksa Jawaban dari Sam

Sam bukan tipe orang yang suka membahas perasaan atau hal-hal mendalam, tapi Ulpa selalu berhasil membuatnya berbicara lebih dari yang dia inginkan.

Malam itu, setelah makan malam di rumah Robert, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Robert sibuk dengan ponselnya, sementara Sam hanya menikmati secangkir teh.

Tiba-tiba, Ulpa menatap Sam.

"Sam, kamu udah pernah pacaran?" tanyanya tanpa ragu.

Sam nyaris tersedak tehnya. Robert tertawa, tapi tidak menghentikan adiknya.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" Sam balas bertanya.

Ulpa mengangkat bahu. "Penasaran aja. Dari cara kamu ngobrol, kayaknya belum pernah."

Sam terdiam. Dia tidak tahu apakah harus tersinggung atau tidak.

"Terus gimana? Udah pernah atau belum?" Ulpa menuntut jawaban.

Sam menghela napas. "Belum," jawabnya akhirnya.

Ulpa tersenyum penuh kemenangan. "Tebakanku bener, kan?"

Robert hanya menggelengkan kepala, sementara Sam merasa seperti baru saja kalah dalam permainan yang tidak pernah dia setujui untuk dimainkan.

Tapi yang lebih aneh, Sam tidak merasa keberatan.

---

: Saat Kau Ada di Sampingku

Terbiasa dengan Ulpa

Seiring berjalannya waktu, Sam mulai menyadari satu hal: Ulpa selalu ada.

Bukan dalam arti romantis, tapi dalam arti paling harfiah. Saat dia datang ke rumah Robert, Ulpa ada. Saat mereka makan malam, Ulpa ada. Bahkan saat dia ingin berbicara serius dengan Robert, Ulpa sering menyela dengan komentar tajam atau pertanyaan yang memojokkannya.

Dan yang lebih mengherankan, Sam tidak lagi merasa aneh dengan itu.

Hari itu, Sam dan Robert sedang duduk di kafe dekat sekolah. Mereka membahas tugas sekolah, sementara Ulpa sibuk menggulir layar ponselnya di seberang meja.

"Kak Robert, Kak Sam, menurut kalian aku lebih cantik pakai rok atau celana?"

Sam mengangkat wajah, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba muncul di tengah diskusi tentang ujian.

Robert mendengus. "Kenapa nanya kayak gitu?"

"Iseng," jawab Ulpa santai. Lalu dia menoleh ke Sam. "Kamu belum jawab."

Sam mendesah. Dia tahu Ulpa tidak akan berhenti sebelum mendapat jawaban.

"Kayaknya… sama aja."

Ulpa mendelik. "Itu jawaban orang yang nggak mau mikir. Coba kasih alasan."

Sam menggaruk tengkuknya. "Ya… dua-duanya cocok aja. Nggak ada yang lebih bagus atau lebih jelek."

Ulpa menyipitkan mata seolah menilai kejujuran jawabannya, lalu akhirnya mengangguk puas. "Baiklah, kali ini aku terima."

Robert hanya menggeleng. "Kamu tuh emang hobi banget ganggu Sam, ya?"

Ulpa tersenyum miring. "Sam yang terlalu pasrah sih. Dia selalu ngikutin aja."

Sam tidak bisa membantah. Ulpa benar.

---

Ulpa yang Menuntut Tanpa Sadar

Beberapa bulan berlalu, dan Sam menyadari satu hal lain: Ulpa selalu meminta sesuatu darinya.

Bukan dalam bentuk materi, tapi dalam bentuk perhatian, pendapat, atau bahkan sekadar kesediaan untuk mendengarkan.

Seperti siang itu, ketika Ulpa tiba-tiba muncul di kantin sekolah tempat Sam sedang makan dengan Robert.

"Sam, aku butuh saran."

Sam menelan makanannya dengan susah payah. "Apa lagi?"

"Aku lagi ribut sama temenku. Menurutmu, kalau seseorang tiba-tiba marah tanpa alasan, itu salah dia atau salahku?"

Sam mengerjap. "Tergantung situasinya."

Ulpa menghela napas. "Kamu tuh selalu pakai jawaban aman. Coba jawab lebih spesifik!"

Sam menggeleng. "Aku nggak bisa jawab kalau nggak tahu ceritanya."

Ulpa melipat tangan di dada. "Oke, gini. Aku bilang ke dia kalau dia kelihatan aneh pakai baju baru. Terus dia tiba-tiba marah. Menurutmu, salah aku?"

Sam berkedip. "Ya jelas salahmu."

Ulpa mendesah. "Tapi aku cuma jujur."

"Jujur nggak berarti harus nyakitin orang," sahut Sam tanpa berpikir.

Ulpa terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Hmm… masuk akal juga. Oke, aku bakal mikirin itu."

Sam menatapnya, agak terkejut karena Ulpa benar-benar mempertimbangkan kata-katanya.

Dan di saat itu, Sam menyadari sesuatu.

Tanpa sadar, dia mulai terbiasa berada di sekitar Ulpa. Terbiasa mendengar suaranya. Terbiasa menjawab pertanyaannya.

Ulpa menuntut perhatiannya tanpa benar-benar memintanya secara langsung.

Dan Sam… hanya mengikuti arus.

---