Malam terus berlalu, membawa hawa ketegangan yang belum mereda. Elias dan Kaelith bergerak cepat.
Mereka tahu bahwa tindakan mereka tidak akan luput dari perhatian.
Namun, sebelum mereka sempat merencanakan langkah berikutnya... Bahaya telah datang lebih cepat dari yang mereka duga.
Di dalam Gudang Tua
Elias duduk di kursi reyot, tangannya menyilangkan jari. Di depannya, Kaelith bersandar pada dinding kayu, ekornya bergerak-gerak pelan, tanda bahwa ia masih waspada.
"Kau yakin ini tempat yang aman?" Kaelith bertanya, matanya menyapu gudang kosong itu.
Elias mengangguk. "Untuk sementara. Gereja pasti akan bereaksi terhadap kematian Velstein, tapi mereka tidak akan langsung menemukan kita."
Kaelith mendecak."Aku harap kau benar. Aku tidak suka di kejar-kejar."
CRAK!
Suara yang bergerak dari luar membuat keduanya menegang.
Kaelith langsung mencabut belatinya, Elias tetap duduk tenang, tetapi matanya tajam, melihat sekeliling.
Lalu...
Pintu gudang di dobrak.
BRUK!
Sebuah cahaya terang menyilaukan ruangan, diikuti dengan hempasan kekuatan yang menghancurkan kayu-kayu di sekitarnya.
Kaelith melompat ke belakang, sementara Elias tetap di tempatnya, kini berdiri dengan ekspresi serius.
Dari balik asap dan cahaya... tiga sosok muncul.
Mereka mengenakan zirah putih keperakan yang dihiasi ukiran suci. Jubah panjang mereka berkibar, masing-masing membawa senjata yang berbeda.
Di tengah mereka berdiri seorang pria bertubuh tegap dengan rambut panjang berwarna putih. Matanya berwarna emas, bersinar seperti cahaya matahari.
"Elias Von Ainsworth. Kaelith Bloodfallen."
Suara pria itu dalam dan berwibawa. Ia mengangkat satu tangannya, lalu menunjuk mereka dengan sarung tangan bersulam simbol Ordo Cahaya Ilahi.
"Atas nama Tuhan dan Cahaya Ilahi, kalian berdua di tuduh melakukan kejahatan terhadap gereja."
"Serahkan diri kalian... Atau hadapi konsekuensinya."
Tiga Inkuisitor dari Gereja, saat melihat nya Kaelith menyipitkan matanya, insting bertarungnya langsung menyala.
Ia tahu siapa mereka. Para Inkuisitor.
Pemburu kejahatan, pelaksana kehendak Gereja. Orang-orang yang tidak akan berhenti sampai mereka menyelesaikan misinya.
Dan pria yang berdiri di tengah itu...
Kaelith mengenalinya. Salah satu Inkuisitor terkuat.
"Issac Zephir, Inkuisitor Emas..." gumam Kaelith. "Ini menjadi semakin menarik."
Issac tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Aku tidak akan mengulanginya."
Elias menatap Issac dengan senyum tipis.
"Menyerahkan diri? Itu terdengar seperti pilihan yang menyenangkan."
Dua Inkuisitor lain langsung mengangkat senjata mereka. Salah satunya, seorang wanita berambut merah dengan mata hijau menyala, menghunuskan pedang panjang yang memancarkan cahaya suci.
Yang lainnya, pria bertubuh kekar dengan helm yang menutupi sebagian wajahnya, mengangkat palu raksasa yang bergetar dengan energi sihir.
Kaelith menyeringai. "Aku lebih suka bertarung. Meow~"
Issac mendesah pelan. "Sayang sekali."
Dalam sekejap, pertarungan pun dimulai
Issac menerjang dengan kecepatan yang mustahil bagi manusia biasa. Dalam satu kedipan, ia sudah berada tepat di depan Elias, tinjunya meluncur dengan kekuatan luar biasa.
Elias dengan cepat merapal mantra untuk menghindar.
"Zeitbruch: Doppel Accel!" (Pecahan Waktu: Akselerasi Ganda!)
Pergerakan Elias sangat cepat di mata Issac, sebaliknya gerakan Issac terlihat lambat di mata Elias dan dengan itu Elias menghindari pukulan Issac dengan cukup mudah.
Pukulan itu sangat kuat angin yang di hasilkan saja sudah cukup untuk meretakkan kayu di sekitarnya.
Di sisi lain, Kaelith melompat ke belakang, menghindari tebasan pedang wanita berambut merah.
Kaelith berputar di udara, lalu melemparkan dua belatinya ke arah lawannya.
Wanita itu mengangkat pedangnya dan menebas udara–gelombang energi suci menghancurkan belati itu di udara!
"Tch," gerutu Kaelith. "Ini akan lebih sulit dari yang aku kira."
Pria bertubuh kekar dengan palu besarnya mengayunkan senjatanya ke arah Elias, menghancurkan lantai kayu tempatnya berdiri.
Namun, saat debu berterbangan... Elias sudah menghilang.
Sebuah bisikan terdengar di pria itu.
"Lambat sekali."
Elias muncul di belakangnya, tangannya sudah terulur ke arah kepala pria itu.
Tetapi sebelum ia bisa menyentuhnya.
Issac menyerang dengan serangan sihir sucinya.
Elias mundur, wajahnya kini sedikit lebih serius.
Kaelith melompat ke dekat Elias, punggung mereka saling menempel.
"Aku harap kau punya rencana, karena ini buruk."
Elias menyeringai. "Tentu saja."
Kaelith meliriknya dengan curiga. "Katakan padaku kau tidak hanya mengandalkan keberuntungan kan?."
Elias tertawa kecil. "Tentu saja... Aku sudah memperhitungkan ini."
Issac kembali berdiri tegap, mata emasnya bersinar tajam.
"Menyerahlah, Elias."
Elias tersenyum.
"Sayangnya, aku bukan orang yang mudah menyerah."
Issac mengangkat tangannya, cahaya suci berkumpul du telapak tangannya.
Dan pertempuran kembali berlanjut.
Serangan Issac datang dengan kilatan cahaya suci. Kaelith dan Elias melompat ke arah berlawanan, menghindari gelombang energi yang menghancurkan lantai kayu tempat mereka berdiri.
BRRAK!
Gudang tua itu bergetar hebat. Pecahan kayu berterbangan ke segala arah.
Kaelith mendarat dengan mulus di atas salah satu balok kayu yang masih berdiri, matanya tajam menatap Inkuisitor Emas..
Sementara itu, Elias mendarat di dekat pintu keluar, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku mantelnya, seolah-olah pertempuran ini hanyalah bagian dari permainannya.
"Ini mulai merepotkan." Kaelith menghela napas.
Elias tersenyum tipis. "Tunggu sebentar lagi..."
Issac, masih berdiri dengan tenang di tengah ruangan, menatap mereka tanpa ekspresi. Dua Inkuisitor lainnya sudah mengambil posisi, bersiap menyerang lagi.
"Jangan membuang waktu," Issac berbicara tegas. "Kita harus membawa mereka hidup-hidup, cepat lakukan."
Wanita berambut merah mengangkat pedangnya. Gelombang cahaya keemasan muncul di sekitar bilahnya. Sementara itu, pria berbadan besar dengan palu raksasa mulai bergerak, setiap langkahnya menghancurkan lantai bawah.
Kaelith menegakkan telinga, Kaelith menarik belati lain di ikat pinggang nya. Berkilat dan tajam.
"Jadi, apa rencananya?"
Elias tersenyum lebar. "Sederhana... Kita hanya perlu bermain sebentar bersama mereka."
Dan kemudian ia menghilang, dalam sekejap Elias berada di belakang pria berpalu.
Dengan gerakan cepat nya,
"Zeitbruch: Dreifach Accel!"
(Pecahan Waktu: Akselerasi Tiga kali lipat!)
Elias menusukkan dua jarinya ke bagian tertentu di punggung pria itu dengan cepat.
CRACK!
Sebuah tekanan aneh merambat ke seluruh tubuh pria itu. Membuatnya terhuyung mundur.
Kaelith memanfaatkan momen itu. Dengan kecepatan luar biasa, ia melesat ke arah wanita berambut merah, belatinya meluncur seperti ular berbisa.
Wanita itu mengangkat pedangnya untuk menangkis tapi–
"Gotcha."
Kaelith berputar di udara, kakinya menghantam pedang lawannya, memaksa wanita itu mundur beberapa langkah.
Dua Inkuisitor kini berada dalam posisi bertahan.
Issac menyipitkan mata. "Menarik."
Elias muncul kembali di samping Kaelith, tangannya di masukkan ke dalam mantel.
"Sebentar lagi..."
Kaelith menaikkan satu alisnya. "Sampai kapan?"
Elias mengangkat dagunya sedikit.
BOOM!
Tiba-tiba, lantai gudang runtuh.
Asap dan debu memenuhi ruangan, membuat semua orang kehilangan pandangan sesaat.
Issac melihat sekeliling.
Namun, ketika debu sudah hilang Elias dan Kaelith sudah tidak ada.
Issac menyapu ruangan dengan matanya yang tajam.
"Mereka melarikan diri."
Berpindah kepada Elias dan Kaelith
Kabut malam menyelimuti lorong-lorong sempit di distrik kumuh. Di antara gang-gang gelap, dua sosok bergerak dengan cepat, napas mereka teratur, langkah mereka nyaris tanpa suara.
Elias dan Kaelith berhasil melarikan diri, tapi mereka tahu bahwa ini belum berakhir.
Kaelith menyeringai saat ia melompat dari satu atap ke atap lainnya. "Jadi ini rencana brilianmu? Kabur seperti pengecut?"
Elias yang berlari di sampingnya, hanya tersenyum tipis. "Bukan kabur, tapi mengatur ulang papan permainan."
Kaelith mengendus. "Hah! Kapan tepatnya kita membalikkan keadaan?"
Elias melompat ke sebuah gang sempit, mendarat dengan ringan di antara peti-peti kayu yang berantakan. Ia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.
"Segera tentunya."
Kaelith turun dengan lompatan anggun, ekornya bergerak pelan. Ia menyilangkan tangan.
"Jelaskan."
Elias bersandar pada dinding bata, matanya masih tajam seperti biasa. "Gereja Ordo Cahaya Ilahi ingin menangkap kita, itu jelas tapi mengapa aku merasa ada sesuatu yang salah."
Kaelith mengangkat alis. "Hmm mungkin karena kita telah menghabisi Velstein."
Elias menggeleng. "Tidak sesederhana itu. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini."
Ia menarik napas dalam. "Issac Zephir atau nama lainnya Issac Von Eisenberg tidak akan bergerak tanpa alasan kuat. Orang itu bukan sekedar pelaksana Gereja, tetapi seorang perencana. Jika dia di perintahkan datang untuk turun tangan oleh pihak Gereja, itu berarti ada sesuatu yang penting."
Kaelith menatapnya, matanya menyipit. "Kau punya teori?"
Elias mengeluarkan sebuah gulungan perkamen dan kantung berisi koin emas dari dalam mantelnya. Ia melemparnya ke arah Kaelith.
Kaelith menangkapnya. "Apa ini Elias?."
Elias hanya berkata. "Itu adalah bayaranmu dan yang satunya adalah gulungan perkamen yang ku dapat saat pertarungan sebelumnya."
Kaelith membuka dan membaca isi gulungan itu yang terdapat segel Gereja dengan perintah langsung dari Uskup Agung Ordo Cahaya Ilahi.
Perintah untuk memburu atau membunuh seseorang.
Dan nama yang tertera di situ adalah–
"Elias Von Ainsworth."
Sementara itu, di dalam katedral Ordo Cahaya Ilahi...
Issac berdiri di hadapan altar suci, diapit oleh dua Inkuisitor kepercayaannya.
Di depannya, seorang pria berjubah putih keemasan duduk di atas takhta batu.
Uskup Agung Gregorios.
"Kau gagal menangkap mereka," suara Gregorios terdengar lembut, tapi memiliki kekuatan yang mengancam.
Issac tetap berdiri tegak. "Mereka lebih terorganisir dari yang kita duga."
Uskup Agung menghela napas. "Elias... Dia adalah variabel yang tidak terduga. Namun, tidak masalah."
Gregorios menatap ke arah jendela kaca patri yang menggambarkan lambang suci Gereja.
"Dunia ini harus tetap berada dalam keseimbangan."
"Dan jika Elias Von Ainsworth adalah ancaman bagi keseimbangan itu..."
Sang Uskup Agung tersenyum tipis.
"Maka kita akan menghancurkannya."