Chereads / Cahaya di balik Rantai / Chapter 6 - Kedatangan Ksatria Emas

Chapter 6 - Kedatangan Ksatria Emas

Gedoran di pintu semakin keras. Suara logam beradu dengan kayu, seolah seseorang mencoba merobohkannya dengan kekuatan brutal.

Kaelith segera mencabut belatinya, ekornya mengibas tegang saat ia melirik ke arah Elias.

"Bagaimana cara mereka menemukan kita!. Ini terlalu cepat dari dugaanku."

Elias terlihat tenang, tetapi ia langsung bergerak. Dengan satu gerakan tangan, ia membuka sebuah segmen rahasia di dinding, ada jalan tersembunyi di sana.

"Ayo Kaelith."

Tanpa ragu, Kaelith mengikuti Elias memasuki lorong itu, tetapi sebelum ia sempat melangkah lebih jauh–pintu utama akhirnya jebol.

DUARR!

Asap dan serpihan kayu berterbangan.

Di balik kabut muncul seseorang yang mengenakan zirah putih dan berwarna biru. Simbol salib bercahaya terukir di dada. Senjatanya memancarkan cahaya samar—senjata suci yang didesain untuk menghapus kegelapan.

Rambutnya pirang keperakan, matanya putih tajam, serta zirah yang berkilauan.

Silvaros Ignatius.

Ksatria Emas Gereja. Algojo Cahaya Ilahi.

Matanya menyapu ruangan dan langsung bertemu pandang dengan Elias.

"Elias Von Ainsworth." Suaranya dalam dan tegas, penuh otoritas.

Silvaros melangkah maju, setiap gerakannya penuh kepercayaan diri.

"Kaelith Bloodfallen. Pembunuh bayaran yang akhir-akhir ini menjadi topik hangat." Silvaros kemudian menatap Elias lebih tajam. "Dan kau. Manusia yang terlalu banyak tahu."

Elias mengangguk kecil ke arah Kaelith.

"Waktunya pergi."

Kaelith tidak menunggu perintah dua kali. Dengan gesit, ia melompat ke lorong rahasia, diikuti oleh Elias.

Namun, sebelum mereka sempat sepenuhnya masuk.

"Serang mereka."

Silvaros mengangkat tangannya, dan tiga lingkaran sihir suci berwarna kuning ada di lantai, sebuah mahluk muncul.

Death Angel.

Sebuah mahluk yang terlihat seperti malaikat. Memiliki sayap berwarna putih, membawa pedang panjang yang berkarat namun tajam. Seluruh tubuhnya berwarna hitam dengan halo nya yang berwarna merah darah.

Para Death Angel itu langsung menyerang, melesat ke arah Elias dan Kaelith.

"Pergi!" Elias berteriak, menarik Kaelith masuk lebih dalam ke lorong sebelum para Pemburu Cahaya sempat mengejar mereka.

Asap hitam tebal menyelimuti ruangan, para malaikat itu kehilangan penglihatannya sebentar.

Silvaros hanya berdiri di tempatnya. Menyipitkan mata ke arah lorong yang kini gelap gulita.

Ia tersenyum tipis.

Sementara itu, di dalam lorong gelap, Elias dan Kaelith berlari secepat mungkin, menelusuri jalur yang besar menuju jalan keluar.

Kaelith menggertakan giginya. "Sekarang bagaimana?, aku yakin dia pasti tidak akan berhenti!"

Elias tetap fokus.

Lorong sempit itu berliku-liku seperti sarang ular, nyaris tanpa cahaya. Hanya suara langkah mereka yang bergema di antara dinding batu.

Kaelith berlari di belakang Elias, telinganya terus waspada. "Katakan padaku kita tidak berlari tanpa arah kan?"

Elias tersenyum kecil. "Aku sudah mengenal tempat ini sejak lama. Jalur yang memungkinkan bagi para penjahat dan pedagang budak untuk melakukan transaksi dan berbagai kegiatan ilegal lainnya."

Kaelith mengangkat alisnya, tetapi sebelum sempat bertanya lebih lanjut, suara dari belakang mereka semakin dekat.

Para Death Angel.

Mereka bergerak cepat dengan sayapnya. Memantulkan cahaya samar dari halo mereka.

Silvaros terlihat berpegangan pada salah satu Death Angel.

Tiba-tiba, dinding di sekitar mereka bergeser, batu-batu raksasa meluncur dan menutup jalan keluar mereka.

Elias dan Kaelith berhenti.

Silvaros sudah berada di belakang mereka, turun dari salah satu Death Angel.

Elias melangkah maju sedikit, suaranya tenang.

"Sepertinya pertarungan tetap tidak bisa dihindarkan."

Silvaros mengangkat pedangnya, tetapi Elias mengangkat tangannya. "Sebentar. Aku ingin bertanya sesuatu."

Silvaros tetap waspada. "Bicara"

Elias menatapnya dengan perhitungan.

"Gereja mengirimmu setelah Issac gagal menangkap kami. Aku ingin tahu apakah Uskup benar-benar serius dengan hal ini?"

Silvaros tidak menjawab langsung, tetapi cara matanya menyipit cukup memberi tahu Elias sesuatu.

"Aku mengerti." Elais mengangguk pelan. "Sepertinya kalian sangat serius dengan hal ini."

Kaelith melirik Elias. "Kau terdengar seperti ini lebih besar dari yang kukira."

Elias tidak menanggapi, tetapi tatapan matanya semakin tajam.

Silvaros mengendus. "Kau membuang waktuku."

Elias tersenyum samar. "Mungkin. Tapi waktunya cukup untuk aku melakukan ini."

Di langit-langit, simbol sihir mulai bersinar.

Ledakan terjadi.

Debu dan reruntuhan menghujani tempat itu, memisahkan Elias dan Kaelith dari para Death Angel dan Silvaros.

Elias menarik ekor Kaelith, menariknya ke belakang reruntuhan dan berniat berjalan ke jalur lain.

Suara Silvaros masih terdengar dari balik batu-batu besar. "Kau tidak akan bisa kabur selamanya, Elias Von Ainsworth."

Kaelith menatap Elias dengan wajahnya sedikit memerah.

Elias melirik ke arah Kaelith dengan ekspresi bingung. "Ada apa?"

Kaelith memukul Elias tapi pukulannya di tahan oleh tangan Elias.

Elias hanya menghela napas. "Ayo pergi kita tidak boleh membuang banyak waktu lagi."

Elias dan Kaelith bergerak cepat melewati lorong-lorong bawah tanah yang berliku. Debu dan serpihan batu masih beterbangan akibat ledakan sebelumnya.

Kaelith menyentuh telinganya yang sedikit bergetar, "Ledakan yang bagus, tapi berapa lama waktu yang kita punya?"

Elias tetap tenang. "Cukup untuk mencapai titik keluar dan menghilangkan jejak kita."

Kaelith meliriknya. "Dan ke mana kita akan pergi setelah ini?"

Elias menjawab dengan senyum tipis, 'Kota Ravenhollow. Mungkin kita perlu waktu 2 minggu untuk sampai di sana jika berkuda."

Kaelith menyipitkan mata. "Kota yang dikuasai organisasi gelap itu?"

Elias mengangguk. "Aku punya urusan yang belum selesai di sana. Dan kita butuh sekutu yang lebih kuat."

Kaelith tersenyum. "Kau memang pria yang menarik ya."

Namun sebelum Elias bisa menjawab, sesuatu menarik perhatian mereka.

Di ujung lorong yang lembab, sebuah simbol aneh bersinar samar.

Kaelith menunduk, ekspresinya berubah serius.

"Elias... Ini bukan rencanamu, kan?"

Elias mengernyit. "Tidak."

Simbol itu bukan sekedar tanda sihir biasa.

Itu adalah penanda pengawasan–sesuatu yang hanya digunakan oleh anggota Gereja untuk menandai target mereka.

Elias menggerakkan jarinya, menciptakan percikan sihir untuk menghapus tanda itu.

Namun terlambat.

Suara langkah kaki mendekat.

Dari ujung lorong, bayangan mulai bergerak.

Kaelith langsung menarik belatinya. "Kita ada tamu lagi."

Elias tetap tenang, tetapi matanya menyipit.

"Mereka tidak menunggu lama."

Dari kegelapan, dua sosok muncul.

Silvaros, entah bagaimana dia bisa muncul dari arah berlawanan dengan zirahnya yang tertutupi debu.

Namun, yang menarik perhatian Elias adalah sosok kedua.

Seorang pria bertubuh tinggi, dengan jubah hitam dan simbol Gereja yang membara di lengannya.

Tatapannya tajam, dan aura yang ia pancarkan terasa berbeda.

Kaelith merasakan instingnya menegang. "Siapa dia?"

Elias menghela napas. "Sepertinya ini akan sedikit sulit Kaelith..."

Kaelith meliriknya dengan waspada. "Seberapa sulit?"

Elias mengencangkan sarung tangannya, lalu berbisik.

"Dia Inkuisitor."

Kaelith membelalakkan mata. "Sial."

Inkuisitor.

Para Inkuisitor, pelaksana Gereja yang di kirim untuk menyingkirkan ancaman yang tidak bisa diatasi oleh pasukan biasa.

Silvaros berbicara dengan nada datar. "Inilah akhirnya, Ainsworth."

Pria berjubah hitam itu melangkah maju, suaranya rendah dan dingin. "Atas nama Tuhan dan Cahaya Ilahi, kau akan dihakimi."

Kaelith menyiapkan belatinya.

Dari dalam kegelapan lorong, aura mengerikan menyebar.

Pria berjubah hitam itu, sang Inkuisitor, melangkah maju dengan tenang. Simbol Gereja di lengannya tampak bercahaya samar, seolah merespon kekuatan yang mengalir di tubuhnya.

Kaelith bisa merasakan udara menjadi lebih berat. "Aku tidak suka perasaan ini."

Elias tetap diam, tapi matanya tidak pernah lepas dari Inkuisitor itu.

Silvaros berbicara lebih dulu, "Kalian telah melangkahi batas yang tidak seharusnya."

"Kau berbicara seolah Gereja sendiri tidak pernah melewati batas," balas Kaelith, Suaranya datar namun tajam.

Silvaros menyipitkan mata, tetapi tidak menjawab.

Sementara itu, Inkuisitor hanya mengangkat satu tangan.

Dan dalam sekejap.

Lantai lorong bawah tanah mulai terbakar.

Kaelith melompat mundur. "Api suci?! Ini tidak bagus, Elias!"

Elias tidak panik, tetapi sorot matanya semakin tajam. "Kita tidak bisa bertarung di sini. Tempat ini akan runtuh."

Tapi Inkuisitor itu tidak memberi mereka waktu.

Dengan satu gerakan, pilar api muncul, langsung menyerang ke arah Kaelith dan Elias.

Kaelith berhasil menghindar, tetapi Elias tetap diam.

Saat api hampir menyentuhnya.

Bayangan hitam muncul dari tubuhnya, menelan api itu.

Mata Inkuisitor itu menyipit. "Begitu rupanya."

Kaelith menatap Elias dengan bingung. "Apa yang barusan kau lakukan Elias?"

Elias tersenyum tipis. "Apa kau lupa aku seorang pengguna sihir juga, Kaelith."

Kaelith menggerutu. "Justru kau membuatku khawatir Elias!"

Elias tertawa kecil. "Kau mengkhawatirkanku?, rasanya seperti sedang bermimpi."

Tapi mereka tidak punya waktu untuk diskusi. Silvaros sudah menghunuskan pedangnya, dan Inkuisitor itu mulai membentuk simbol suci di udara.

Elias tahu, jika mereka bertarung di sini hanya akan memberikan keuntungan bagi musuh.

Jadi hanya ada satu pilihan.

"Kaelith," Elias berbisik. "Saat aku memberi tanda kita mundur."

Kaelith meliriknya. "Dan bagaimana kau berencana melakukan itu?"

Elias menjawab. "Dengan sedikit kekacauan."

Dan pada detik berikutnya.

Bayangan di sekitar mereka mulai bergerak.