Chereads / Aeternum Oblivionis / Chapter 1 - 1.Darah dan Debu

Aeternum Oblivionis

Onzy_Pro99
  • 14
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 253
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1.Darah dan Debu

Di tengah pekatnya kabut yang menyelimuti Desa Mournfall, kehidupan berjalan dalam kehinaan. Para penduduk hidup layaknya budak, tunduk di bawah kuasa kultivator tingkat rendah yang mereka sembah bak dewa. Mereka mempersembahkan anak-anak perempuan, menelan penghinaan, dan bekerja mati-matian demi sesuap *spirit rice*.

Di tepi jurang yang curam, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun dengan tubuh kurus dan mata setajam pedang berkarat duduk di atas batu. Tangan kanannya yang berlumuran darah mencengkeram pisau berkarat, menguliti bangkai *Shadowfang Wolf*. Luka yang menganga di lengannya perlahan menutup, meskipun ia tidak menyadarinya.

Kael mendengus kesal sambil menatap tiga keping *spirit stone* yang ia dapatkan dari hasil buruannya. "Lagi-lagi cuma dapat tiga keping," geramnya seraya melemparkan taring serigala ke dalam karung kain usang. Hadiah yang ia terima dari para kultivator desa selalu tak sebanding dengan usahanya. Namun setiap kali ia ingin melawan, rasa sakit menyiksa kepalanya, seolah ada suara purba yang berbisik di dalam benaknya.

*"Bunuh mereka. Hancurkan segalanya."*

Kael menggertakkan giginya, berusaha mengabaikan bisikan itu. Sejak lahir, hidupnya dipenuhi penolakan. Ibunya mati saat melahirkannya, menjerit bahwa bayinya bukan manusia. Ayahnya gantung diri ketika Kael masih berusia lima tahun. Namun, Kael tidak peduli. Bagi dirinya, hidup hanyalah pertarungan yang harus dimenangkan, apapun caranya.

Saat ia berjalan pulang melewati pasar budak, suara cambuk dan jeritan seseorang memecah keheningan. Di depan sebuah kios reyot, Lin Mei, putri kepala desa yang terkenal kejam, berdiri dengan wajah penuh amarah. Cambuk api di tangannya menyala terang. Di kakinya, seorang budak tua berlutut dengan wajah babak belur.

"Kau terlambat membayar upeti, bangkai!" Lin Mei menendang perut budak itu hingga darah memuncrat. "Kalau besok tidak bisa memberikan sepuluh *spirit stone*, kau akan kujadikan umpan latihan pedangku!"

Kael berusaha berlalu tanpa menarik perhatian, tetapi Lin Mei telah menatapnya dengan sorot mata penuh kebencian.

"Heh, sampah!" teriaknya. "Kau pikir bisa pergi tanpa memberi hormat?"

Tanpa peringatan, cambuk api di tangan Lin Mei menyambar ke arah Kael. Namun, gerakan refleks yang tak masuk akal membuat Kael menghindar. Tangannya tiba-tiba mencengkeram cambuk tersebut.

*BOOM!*

Seluruh pasar bergetar. Lin Mei terlempar sepuluh meter ke belakang, tubuhnya menghantam tembok hingga terdengar bunyi tulang yang remuk. Api cambuk padam seketika.

"Apa—?! Apa yang kau lakukan, monster?!" teriaknya dengan suara terputus-putus.

Kael berdiri kaku, matanya nanar. Bayangan seorang wanita berambut perak yang berteriak sambil tertusuk pedang mendadak melintas di pikirannya. Kepalanya berdenyut hebat.

"Jangan panggil aku monster," desisnya, suaranya bergema seperti ribuan bisikan. "Aku lebih dari itu."

Tanpa sadar, jarinya mengarah ke Lin Mei. Udara di sekitarnya bergetar hebat.

"Tidak! Jangan—!"

Terlambat. Tubuh Lin Mei meledak menjadi kabut darah yang memenuhi udara. Pasar dilanda kepanikan. Orang-orang berteriak histeris, sementara Kael terengah dengan mata kosong. Di tangannya, segumpal energi hitam berputar — liar dan penuh kehancuran.

"Apa yang baru saja kulakukan?" bisiknya lirih, napasnya tercekat oleh ketakutan dan ketidakpercayaan pada dirinya sendiri.

Malam itu, Kael duduk di gubuk reyotnya. Tangan dan tubuhnya masih gemetar. Di luar, penduduk desa mencari "iblis" yang telah membunuh Lin Mei. Namun entah mengapa, tak ada yang berani mendekati gubuknya.

Saat bulan purnama mencapai puncaknya, pintu gubuknya terbuka. Seorang perempuan berjubah hitam dengan mata biru kristal masuk tanpa suara. Pedang berlumuran darah tergantung di tangannya.

"Sudah lama, Kael," ujarnya dingin, suaranya penuh getaran emosi yang terpendam. "Kau masih sama — selalu membawa kehancuran di mana pun kau pergi."

Kael menyipitkan mata. "Aku tidak mengenalmu."

Perempuan itu tersenyum getir. "Tentu saja tidak. Kau bahkan tak mengenali dirimu sendiri."

Tanpa peringatan, dia melompat dan mengayunkan pedangnya ke arah dada Kael.

*KLANG!*

Mata Kael berubah menjadi hitam pekat. Pedang itu patah berkeping-keping, sementara perempuan tersebut terlempar ke dinding dengan darah mengalir dari bibirnya.

"Jangan sentuh aku," ujar Kael dingin. Suaranya bukan lagi suara manusia. "Atau kau akan berakhir seperti mereka."

Perempuan itu tersenyum getir meski darah masih menetes dari mulutnya. "Lihat? Kau tetap sama."

Sebelum Kael sempat bertanya lebih lanjut, perempuan itu menghilang dalam semburan bayangan hitam, meninggalkan Kael sendirian dalam keheningan yang mencekam.

Angin malam berhembus, membawa aroma darah yang belum mengering. Kael menatap tangannya yang masih dipenuhi sisa energi hitam yang melahap cahaya bulan.

"Aku... siapa sebenarnya aku?" bisiknya pada kegelapan.

Langit di atas Desa Mournfall tetap kelam, seolah menyimpan rahasia yang lebih mengerikan dari sekadar pertumpahan darah yang baru saja terjadi.