Tiga hari setelah pertempuran, Desa Mournfall telah menjadi kenangan yang terkubur. Energi hitam dari Kael telah mengubahnya menjadi Hutan Kegelapan — hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi menjulang, dengan daun berkilau seperti kristal darah. Akar-akar yang berdenyut seperti organ hidup meliuk-liuk, dan udara di sekitarnya dipenuhi spora mematikan yang membentuk ilusi masa lalu bagi siapa saja yang menghirupnya. Hutan itu hidup, menyerap dan merubah setiap elemen menjadi miliknya.
Kael dan Selene bersembunyi di dalam gua bawah tanah yang terlindungi oleh lapisan barrier energi biru. Barrier itu retak-retak, menandakan betapa rapuhnya perlindungan mereka. Di luar, suara teriakan makhluk-makhluk mutasi yang terinfeksi mengisi udara: manusia setengah tumbuhan yang menyembah pedang hitam Kael sebagai titisan dewa.
"Kau tidak bisa terus lari," geram Selene, menatap Kael yang duduk bersila, pedang hitamnya tergeletak di pangkuan. "Setiap detik kau tinggal di Alam 1, kanker kekuatanmu menyebar. Lihat itu!"
Dia melemparkan soul mirror ke tanah. Refleksi di permukaannya memperlihatkan dua hal yang mencemaskan:
Alam 1: 12% wilayah terinfeksi energi hitam, bintang-bintang mulai redup.
Alam 4: Armada kapal perang sebesar bulan bergerak mendekati batas dimensi.
Alam 5: Mata raksasa berwarna emas mulai mengamati setiap gerakan Kael.
Kael menutup matanya sejenak, merasakan beban yang semakin berat. "Lalu apa saranmu? Bunuh diri? Kau sudah mencobanya di gua ini tadi malam."
Selene menggertakkan giginya, luka di lengannya belum sembuh—sentuhan Kael yang menginfeksi tubuhnya dengan energi purba. "Dulu, kau lebih bijaksana. Sekarang kau hanya sampah yang berjalan dengan senjata dewata."
Pedang hitam bergetar, seakan merasakan hinaan itu.
Malam itu, langit berubah menjadi hijau limau, mendung menutupi cakrawala. Dari dalam awan toksik, sebuah kapal berbentuk kapsul raksasa turun. Kapal itu adalah Voidcrawler, kendaraan perang Alam 4 yang terbuat dari tulang naga abadi yang telah dipadukan dengan teknologi tinggi.
Selene mengutuk dengan suara teredam. "Mereka sudah sampai. Voidcrawler hanya dikirim untuk target tingkat bencana kosmik. Kau benar-benar monster, Kael."
Kael mengintip dari balik batu, matanya tajam mengamati kapal yang mendarat dengan tenang. Di dalamnya, puluhan prajurit berseragam zirah hidup turun. Mereka bukan manusia. Mereka adalah makhluk dengan kepala seperti gurita, mata yang berputar tanpa henti, dan tangan kanan mereka adalah senjata hidup yang menjerit. Mereka berbicara dengan suara yang mirip gemerisik daun kering. "Pembawa Kanker Kosmos… menyerahlah. Kami akan mengakhiri siksaanmu."
Namun, sebelum Kael bisa bertindak, bumi bergemuruh dengan dahsyatnya.
BOOM!
Dari dalam Hutan Kegelapan, ribuan akar hitam meluncur keluar, menyergap prajurit-prajurit Alam 4 yang terkejut. Seorang bocah berpakaian compang-camping berdiri di puncak pohon tertinggi, Davian, bocah penggembala yang terinfeksi. Matanya kini adalah dua lubang hitam, tapi senyumnya tetap manis.
"Jangan sentuh Tuan Kami," bisiknya, suara bergema mengisi seluruh hutan. "Kami akan melindungi-Nya… bahkan dari langit sekalipun."
Kekacauan pun pecah:
Prajurit Alam 4 segera menggunakan Reality Anchors untuk menstabilkan dimensi yang terganggu, dan mulai menembakkan Soulfire Cannon ke Hutan Kegelapan. Ledakan energi memancar, membakar tanah dengan api yang tidak bisa dipadamkan.
Hutan Kegelapan membalas dengan akar-akar sebesar gedung yang memuntahkan asam dan ilusi mimpi buruk yang membuat para prajurit kehilangan akal sehat.
Kael dan Selene terjebak di tengah pertempuran, berusaha kabur sambil bertengkar:
"Kenapa kau tidak membunuh mereka semua?" teriak Selene, melompat menghindari serangan energi. "Dengan pedang itu, kau bisa!"
Kael menatap pedangnya dengan ekspresi hampa. "Setiap kali aku menggunakan kekuatan ini, sesuatu yang buruk terjadi. Ada suara di kepalaku..."
"Suara apa?!"
"Suara untuk membunuh segalanya. Termasuk kau."
Selene terdiam. Di matanya, kilasan kenangan kembali mengarah pada pedang Kael yang menikam jantung Lysandra.
Ketika pertempuran semakin memanas, Prajurit Alam 4 meluncurkan Apocalypse Core — bom pemusnah yang mengandung lapisan energi dari Alam 4. Bom ini mampu menghapus segala sesuatu dalam radius 1.000 mil, bahkan sejarah dan kenangan yang terukir di alam baka.
"Kau tahu apa itu?" Selene menarik napas tajam. "Itu akan menghapus segala yang ada. Nama kita, kenangan kita… bahkan jejak kita di alam ini… semuanya lenyap."
Kael menggigit bibirnya, terdengar denyut segel Alam 1 yang mulai bergetar. "Buka aku. Musnahkan mereka."
Namun, kali ini, dia melawan. "Tidak. Aku tidak mau jadi alat kekuatan ini lagi."
Selene terkejut. Untuk pertama kalinya, dia melihat keraguan di mata Kael.
"Kalau… kau benar istriku dulu," Kael menggenggam bahu Selene, "apa yang harus kulakukan?"
Selene menghela napas, tatapannya kosong. "Dulu, kau memilih kekuatan. Sekarang..."
Dia menatap Apocalypse Core yang mulai aktif. "...pilih sesuatu yang lain."
Dengan dorongan yang mendalam, Selene melemparkan Kael ke jurang perlindungan, lalu terbang ke arah bom itu. Tubuhnya bersinar dengan cahaya biru — darah Dinasti ke-7 membentuk kubah pelindung di sekitarnya.
"Jangan!" teriak Kael.
Namun, Selene sudah tersenyum pahit. "Kau bukan satu-satunya yang punya kartu mati, Kael."
Apocalypse Core meledak.
Namun, alih-alih menghancurkan semuanya, yang terjadi adalah...
Kesunyian.
Selene mengambang di tengah kubah biru, tubuhnya mulai transparan. Bom itu telah lenyap tanpa jejak.
"Aku… mengalihkannya ke Alam 5," bisiknya dengan suara lemah. "Tapi itu berarti..."
Di langit, mata emas Alam 5 mengerjap, mengeluarkan suara guntur yang menggelegar.
"Kau berani menodai Kemurnian Alam 5 dengan sampah Alam 4? Bersiaplah, Selene Arkanum. Dinastimu akan kubasmi sampai ke akar."
Sebelum Selene jatuh, Kael menangkap tubuhnya yang rapuh. Darahnya kini hitam — efek samping mengakses energi Alam 5.
"Kenapa kau lakukan itu?" Kael mengguncangnya dengan panik.
Selene tersenyum pahit. "Karena… aku bodoh. Seperti dulu."
Dia pingsan. Di tangannya, tattoo berbentuk mahkota retak — simbol Dinasti ke-7 Alam 7.