Chereads / Aeternum Oblivionis / Chapter 5 - 5.Buah Tengkorak dan Dendam yang Tersembunyi

Chapter 5 - 5.Buah Tengkorak dan Dendam yang Tersembunyi

Kael menatap dengan tatapan kosong pada altar hitam di tengah reruntuhan, di mana buah-buah tengkorak dewa berdenyut seperti jantung yang hidup. Setiap denyutnya mengeluarkan bisikan-bisikan samar dalam bahasa yang seakan mampu melukai jiwa, membuat gendang telinganya berdetak kencang dalam penderitaan. Di depan altar itu, Davian—bocah penggembala yang terinfeksi—tersenyum sinis. Jari-jarinya yang telah berubah menjadi akar hitam menunjuk tajam ke arah Selene yang terbaring di atas batu altar. Suara halusnya seperti bisikan serangga bergemerisik memenuhi udara:

"Kau harus memilih, Tuan. Berikan darahmu untuk menyembuhkannya... atau biarkan kekuatan yang lama mengambil alih jiwanya."

Di pergelangan tangan Selene, tattoo mahkota yang retak memancarkan cahaya lembut emas. Dari balik sinar itu, bayangan samar wanita bertanduk emas berbisik, seolah datang dari dunia lain, "Dia milik kami sekarang, Pengkhianat. Lepaskan dia."

Kael menggertakkan gigi, rasa sakit bercampur amarah menggelora di dalam dadanya. "Apa yang terjadi jika kuberi darah?" tanyanya, suaranya serak karena kelelahan dan kebingungan.

Davian tertawa kecil, tawa yang menggema seolah berasal dari lorong waktu yang dalam. "Kau akan membuka sesuatu yang tak pernah kau bayangkan, sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ada."

Dalam keheningan yang mencekam, Kael mengangkat pisau yang terbuat dari energi hitam, mendekatkannya ke telapak tangannya. Dengan tekad yang pahit, ia menyayat kulitnya, membiarkan darah keemasan—bukan darah merah biasa—mengalir deras ke atas buah tengkorak di altar.

Saat darah mengalir, altar itu bergetar hebat. Buah-buah tengkorak mulai mekar, berubah menjadi bunga berduri yang menyatu dengan tubuh Selene. Seluruh ruangan dipenuhi getaran yang mengguncang jiwa. Di saat itulah, Selene tersentak bangun. Matanya yang kini berbeda warnanya—sebelah kiri biru, sebelah kanan hitam pekat—menatap Kael dengan campuran kebingungan dan kepedihan. "Apa yang kau lakukan?!" teriaknya, suaranya menggema di antara reruntuhan yang basah oleh kekuatan yang tak terkendali.

Kael merasakan sakit kepala yang menggila, seolah ribuan suara kecil menjerit di dalam kepalanya. Di antara kebingungan dan amarah, ia hanya mampu menahan diri, berjuang melawan bisikan yang terus mengusik pikirannya. Dalam kekacauan itu, bayangan masa lalu dan masa depan saling bertabrakan, membuatnya merasa seolah-olah segala sesuatu telah berubah dalam sekejap mata.

Tak lama kemudian, langit di luar gua berubah drastis. Kegelapan yang selama ini menyelimuti Hutan Kegelapan mulai tergantikan oleh kehadiran cairan emas yang mengalir dari retakan di langit, menyapu segala sesuatu dalam jalur yang tak terelakkan. Cairan itu, seolah merupakan cerminan dari hukuman yang diturunkan dari alam yang lebih tinggi, mengalir dengan kekuatan yang mematikan. Setiap tetesnya seakan membawa beban nasib yang menanti, melahap dan menyapu segala yang ada di hadapannya.

Selene, dengan cepat menarik Kael ke dalam pelukannya. "Kita harus pergi! Kita harus masuk ke kapal yang hancur itu, ke dalam Voidcrawler! Di sana, kita masih punya kesempatan untuk menyelamatkan diri!" serunya panik, menarik Kael dari pelukan altar yang masih bergetar oleh sisa-sisa kekuatan yang baru saja dilepaskan.

Kael terdiam sejenak, matanya menyapu Hutan Kegelapan yang seakan menjerit dengan derita. "Mereka... mereka melindungiku," gumamnya dengan suara lirih, seolah ada kekuatan di balik semua kehancuran ini yang telah menjadi bagian dari dirinya.

"Parasit! Kau pikir mereka tulus? Mereka hanya ingin tumbuh di atas kekuatanmu, menyerap setiap hela nafas yang kau keluarkan!" Selene membalas dengan keras, menampar pipi Kael dengan keputusasaan yang tak terbendung. Dalam sekejap, takdir membawa mereka ke reruntuhan kapal perang yang pernah menjadi simbol kekuatan musuh, kini hanya menyisakan puing-puing yang berserakan.

Di tengah puing-puing Voidcrawler, Kael dan Selene berjuang keras melawan sisa-sisa prajurit yang kini telah berubah menjadi zombie biomekanis. Tubuh-tubuh mereka retak dan berubah, antara logam dan daging, menjadi bayangan dari apa yang pernah ada. Kael menggunakan setiap sisa kekuatan dari energi hitam yang mengalir dalam dirinya untuk merasuki sistem kapal, mengalihkan senjata-senjata musuh agar berbalik melawan penciptanya sendiri. Namun, setiap kali ia menggunakan kekuatan itu, ia merasakan segel-segel dalam dirinya retak lebih dalam, seperti retakan di cermin yang menunjukkan kerapuhan jiwanya.

Di sisi lain, Selene, dengan segala kepiawaiannya, mengombinasikan energi biru yang tersisa dari Dinasti ke-7 dengan infeksi hitam yang kini menjadi bagian dari dirinya. Dia menciptakan semacam "virus kekacauan" yang berhasil memperlambat laju cairan emas yang mengalir di luar, memberikan sedikit ruang untuk bertahan hidup di tengah kekacauan yang semakin merajalela. Suaranya lembut namun penuh tekad, "Aku telah mempelajari caramu, Kael. Dari setiap luka dan setiap kejatuhan yang kau alami, aku tahu betul bahwa kita masih punya kesempatan untuk melawan."

Dalam kekacauan pertempuran itu, ketika segala sesuatu tampak berada di ambang kehancuran, Kael tanpa sengaja menyentuh sebuah inti yang menyala-nyala di dalam reruntuhan kapal, sebuah Core Drive yang masih berdenyut dengan energi purba. Kilasan memori pun menghantamnya seketika: ingatan samar tentang dirinya yang duduk di ruang kontrol kapal di tempat yang lain, di suatu alam yang jauh, di mana wanita berambut perak pernah memeluknya dari belakang dan bertanya, "Kau yakin ini akan menyelesaikan semua ini?" Dan di layar kecil yang bergetar, ia menekan sebuah tombol yang membuat alam sekelilingnya meledak dalam kepulan cahaya yang mengerikan.

Kael tersentak, tertegun oleh kenyataan pahit bahwa ia pernah melakukan hal serupa sebelumnya. "Aku... pernah melakukan ini," bisiknya dalam kepedihan, menyadari betapa dalam jejak kekacauan telah tertanam dalam dirinya. Namun tidak ada waktu untuk penyesalan; pertempuran masih berkecamuk, dan setiap detik yang berlalu bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati.

Di antara reruntuhan dan debu yang masih beterbangan, bayangan tanpa wajah muncul secara tiba-tiba. Di sebuah singgasana yang tersembunyi di balik ilusi dan debu, sosok itu mengamati dengan cermat setiap gerakan di medan pertempuran. Suara lembut dan dingin keluar dari balik bayangan itu, seolah berkata, "Waktunya telah tiba." Di papan permainan yang rumit, setiap langkah dan setiap keputusan seolah telah diatur dengan sempurna oleh kekuatan yang lebih besar.

Sementara itu, di dalam kapal hancur itu, Kael dan Selene terus bertempur, menyatukan kekuatan mereka untuk menahan laju kehancuran yang mengamuk di sekeliling mereka. Kael, yang kini semakin terpojok oleh bisikan-bisikan yang terus mengusik pikirannya, menggenggam pedang hitam dengan tangan yang bergetar. Di saat itulah, sebuah getaran halus menyusup ke dalam dirinya—sebuah peringatan bahwa waktu tidak lagi berpihak kepada mereka.

Selene, yang berada di sampingnya, menatap Kael dengan mata yang penuh harapan dan kepedihan. "Kau masih yakin ingin terus melawan?" tanyanya lirih, seolah mencoba mencari jawaban dalam kekacauan yang semakin mendalam. Kael mengangkat tangannya, di mana bayangan segel-segel dalam dirinya kini berpendar samar. "Tidak, saatnya kita bangkit dan menyerang," jawabnya dengan suara yang penuh tekad, meski terdengar rapuh di tengah kegilaan yang mengelilingi mereka.

Di luar, langit berubah menjadi medan pertempuran yang baru. Cahaya emas yang mengalir dari langit menebar kehancuran, melahap sisa-sisa Alam 1 yang tersisa dan menciptakan pemandangan yang indah sekaligus mengerikan. Batu-batu permata raksasa terhampar di cakrawala, masing-masing menyimpan rahasia tentang dewa-dewa yang pernah ditundukkan dan kekuatan yang kini terperangkap dalam penjara waktu.

Kael menatap ke atas dengan tatapan yang penuh amarah dan duka, seolah setiap kilauan bintang adalah saksi bisu dari setiap pengkhianatan dan setiap dosa yang pernah ia lakukan. "Aku ingin tahu... dewa mana yang pernah kukalahkan di sini," gumamnya, seakan tantangan itu adalah satu-satunya jawaban atas semua penderitaan yang telah menimpa mereka.

Dalam keheningan itu, di tengah reruntuhan dan kekacauan yang masih membara, nasib Kael dan Selene telah tertulis dengan tinta gelap yang tak terhapuskan. Di antara bayangan dan cahaya yang saling bertabrakan, mereka tahu bahwa jalan di depan penuh dengan pengorbanan, penderitaan, dan pertarungan yang tak berkesudahan. Namun, di balik segala kegelapan, masih ada secercah harapan—sebuah janji bahwa meskipun kekuatan telah mengubah mereka, jiwa-jiwa yang terluka masih mampu bangkit dan melawan.

Dengan langkah berat, Kael menggenggam erat pedang hitamnya, merasakan kekuatan yang telah menjadi bagian dari dirinya, sekaligus kutukan yang harus ditanggung. Selene, meski tubuhnya lemah dan luka-luka masih membara, berdiri tegak di sisinya. Mereka berdua, dalam keheningan pertempuran yang penuh dengan bisikan-bisikan pahit, bersumpah untuk tidak menyerah pada kekuatan yang ingin menguasai mereka.

Di balik cakrawala yang kini dipenuhi oleh bayangan ancaman dan harapan yang samar, suara masa lalu dan janji-janji yang terlupakan menyatu dalam satu irama yang memanggil mereka untuk terus berjuang. Setiap langkah, setiap tetes darah, dan setiap desahan napas adalah saksi bisu dari perjuangan yang belum selesai. Dalam dunia yang telah berubah oleh kekuatan yang tak terukur, Kael dan Selene melangkah ke depan, siap menghadapi apa pun yang menanti, meskipun bayangan pengkhianatan dan penderitaan selalu mengintai di setiap sudut.

Di langit yang mulai meredup, di antara reruntuhan kekuasaan dan kehancuran, terbersit secercah tanya dalam hati Kael. "Apakah ini akhir dari semua ini, atau justru awal dari sebuah kehancuran yang lebih besar?" Namun, jawaban itu tertunda, tersembunyi di balik bayang-bayang dewa-dewa yang pernah ada dan kekuatan yang kini mengalir deras di dalam dirinya.

Dengan tekad yang semakin membaja, Kael melangkah maju, menatap ke depan dengan mata yang menyala oleh api balas dendam dan pengorbanan. Di sampingnya, Selene yang terluka namun tak pernah kehilangan semangat, mengenggam erat harapan bahwa meskipun dunia telah hancur, cinta dan tekad akan mampu menyalakan kembali cahaya yang pernah padam.

Dalam keheningan malam yang penuh rahasia, suara langkah mereka bergabung dengan deru badai yang tak kunjung reda. Begitulah nasib ditulis, dalam tinta gelap penderitaan dan janji untuk bangkit melawan semua yang menindas. Di balik setiap kepingan kehancuran, tersimpan benih-benih harapan yang, suatu hari nanti, akan mekar kembali—meskipun harus melalui lautan duka dan pengorbanan yang tak terhingga.