Langit di atas Desa Mournfall retak seperti kaca tertusuk palu. Retakan itu berkilauan dengan cahaya ungu yang memancarkan hawa dingin menusuk tulang. Dari celah yang menganga di angkasa, tiga sosok berjubah hitam bertopeng tengkorak turun, menginjak udara seolah menapaki tangga tak kasatmata. Setiap langkah mereka meninggalkan jejak api ungu yang bergetar di udara.
Warga desa berlarian ketakutan, bersembunyi di balik reruntuhan rumah mereka yang hancur diterpa serangan mendadak ini. Suara tangisan dan jeritan memenuhi udara yang kini terasa berat. Di tengah kekacauan itu, Kael berdiri kaku di depan gubuk reyotnya, wajahnya suram dan penuh bayangan masa lalu yang menghantui.
Bayangan seorang wanita berambut perak muncul dalam pikirannya. Suaranya yang lembut namun tegas berbisik di telinga Kael.
"Lari. Mereka bukan musuh yang bisa kauhadapi dengan kekuatan separuh sadarmu."
Namun, Kael tidak bergerak. Tatapannya tetap terpaku pada tiga sosok yang kini melayang rendah di udara. Salah satu dari mereka mengangkat tangan, lima jarinya mengeluarkan cahaya spiral yang berputar cepat. Udara bergetar seolah merasakan ancaman besar yang akan datang.
BRRAAAK!
Ledakan dahsyat mengguncang bumi. Seluruh desa terangkat ke udara, rumah-rumah hancur menjadi partikel debu yang beterbangan. Hanya gubuk Kael yang tetap utuh, dilindungi oleh energi hitam samar yang berdenyut dari tubuhnya.
Salah satu Pemburu berbicara, suaranya terdengar seperti ribuan tawa yang menyatu menjadi satu.
"Kau pikir bisa bersembunyi, Arsitek yang Terkutuk?"Suara itu mengandung ejekan yang tajam. "Di alam kami, kau disebut kanker kosmos. Tapi di sini, kau hanya bangkai yang berjalan."
Kael mengepalkan tinjunya, mencoba menahan kemarahan yang mendidih di dadanya. Namun, sebelum ia sempat bergerak, rantai cahaya melilit kakinya, mengunci tubuhnya di tempat. Pemburu kedua mengeluarkan pedang dari tulang rusuknya sendiri—senjata yang tampak memancarkan aura kelam. Cahaya ungu dari pedang itu bergetar ganas, seolah lapar akan darah.
"Mari kita potong perlahan,"bisik Pemburu itu dengan suara dingin. Pedangnya menyambar, mengarah lurus ke jantung Kael.
KLANG!
Tangan Kael bergerak dengan sendirinya, menangkis pedang itu dengan pisau berkarat yang entah dari mana muncul di tangannya. Kontak antara senjata itu memicu ledakan dahsyat yang membuat udara di sekitar mereka bergetar hebat. Pisau berkarat itu berubah menjadi pecahan hitam pekat yang berputar cepat, menciptakan lubang gelap yang menyedot segala cahaya di sekitarnya.
Pemburu ketiga terkejut.
"Tidak mungkin!"teriaknya dengan mata terbelalak. "Benda dari alam terlarang tak mungkin ada di sini!"*
Kael tidak mengerti apa yang mereka maksud. Tapi darahnya mendidih, dan rasa haus akan kehancuran menguasai pikirannya. Suara purba yang dingin bergema di kepalanya.
"Bunuh. Hancurkan. Mereka cuma semut di hadapanmu."
Tanpa sadar, Kael menggenggam pecahan hitam itu lebih erat. Alam sekitar mulai bergetar dan terdistorsi. Warna-warna alami memudar, digantikan oleh kegelapan yang menggeliat seperti makhluk hidup.
Tiba-tiba, semburan kelopak hitam memisahkan Kael dan para Pemburu. Seorang wanita berambut panjang dengan wajah pucat muncul dari balik bayangan. Tatapan matanya tajam dan penuh amarah.
"Bodoh!"*bentaknya, suaranya bergema seperti dentang logam. "Kau ingin memicu kehancuran alam ini?"
Kael menatapnya dengan mata yang berkabut oleh amarah."Siapa kau?"tanyanya dengan suara serak.
Wanita itu menyentuh tangannya dengan paksa. Sentuhan itu memicu kilasan ingatan yang mendadak memenuhi kepala Kael: dirinya memeluk seorang wanita di tengah medan perang. Pedangnya sendiri menembus jantung wanita itu. Suara teriakan yang menyayat hati menggema di pikirannya.
"Kenapa, Kael?! Kenapa kau membunuhku?"
Sakit kepala yang menggila membuat Kael terhuyung. Energi hitam meledak dari tubuhnya, menciptakan badai yang mengguncang langit dan bumi. Para Pemburu terlempar ke void yang gelap, tubuh mereka terurai menjadi serpihan cahaya ungu. Wanita itu terpental, darah mengucur dari telinganya.
Namun, Kael tetap berdiri di pusat badai hitam itu. Di tangannya, pecahan hitam telah berubah menjadi pedang yang memancarkan aura kehancuran yang tak terbayangkan. Alam di sekitarnya bergetar hebat, seolah tidak sanggup menahan kekuatan yang baru saja dilepaskan.
Kael menatap pedang itu dengan tatapan kosong. Suaranya yang dingin berbisik di udara yang sunyi.
"Aku ingat... sedikit."
Namun tubuhnya yang terkuras energi tak mampu bertahan. Kael jatuh pingsan, dan badai perlahan mereda. Wanita berambut panjang itu terhuyung mendekatinya, wajahnya pucat pasi. Dengan sisa tenaganya, dia menyeret Kael pergi dari tempat itu sebelum kekuatan lain datang untuk menyelidiki kekacauan yang telah terjadi.
Di tempat mereka berdiri, simbol aneh terukir di tanah, memancarkan cahaya redup yang perlahan memudar. Desa Mournfall yang sebelumnya damai kini hancur menjadi reruntuhan tanpa kehidupan.
Namun kejadian itu baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang akan mengguncang seluruh alam.