Kematian itu indah, kau tahu? Seindah angin dingin yang menyapu kulit pada pagi terakhir musim gugur. Lembut. Tenang. Melenakan. Setidaknya, itulah yang selalu kubayangkan.
Namun, bagi seseorang seperti aku, kematian hanyalah ilusi. Sebuah bayangan di kejauhan yang tak pernah benar-benar bisa kusentuh. Aku sudah mencoba segalanya. Pisau yang tajam, racun yang mematikan, bahkan peluru di kepala. Dan setiap kali aku terjatuh, aku bangkit kembali. Tubuhku memperbaiki dirinya sendiri, menolak untuk berhenti, seolah-olah hidupku adalah sebuah sandiwara yang dipaksa berulang tanpa akhir.
Aku benci ini.
Terkadang aku bertanya-tanya, apakah ini hukuman? Aku tidak ingat kapan aku terakhir kali merasa seperti manusia. Dunia di sekitarku berubah begitu cepat, tapi aku tetap sama. Wajah ini, tubuh ini, semuanya tidak pernah berubah. Abadi. Tak tersentuh waktu. Apa gunanya hidup selama ini jika semua yang kucintai akhirnya lenyap?
Dulu, aku pikir aku diberkahi. Pada saat pertama kali aku menyadari kekuatanku, aku merasa tak terkalahkan. Semua luka sembuh dengan cepat, rasa sakit menghilang seperti mimpi buruk yang terlupakan. Tapi perlahan-lahan aku sadar, ini bukan berkah. Ini kutukan. Setiap orang yang kucintai, semuanya meninggalkanku. Aku tetap di sini, sementara mereka menjadi debu yang tertiup angin.
Aku masih ingat wajahnya. Wajah yang seharusnya kulupakan, tapi tidak pernah benar-benar hilang dari pikiranku. Dia adalah seseorang yang membuatku merasa hidup—satu-satunya alasan untuk bertahan. Tapi seperti semua hal indah dalam hidupku, dia juga diambil dariku.
Dia mati dalam perang.
Perang sialan itu. Perang yang menghancurkan segalanya.
Mereka menyebutnya Perang Dunia Ketiga, tapi bagiku, itu adalah akhir segalanya. Aku masih bisa mendengar suara bom yang menghancurkan kota-kota, tangisan orang-orang yang kehilangan segalanya, dan teriakan para Arcane yang digunakan sebagai senjata. Aku melihat tubuhnya—tergeletak di antara reruntuhan, matanya yang dulu bersinar penuh harapan kini kosong.
Dan aku? Aku masih di sini. Masih berdiri.
Aku mencoba untuk ikut mati bersamanya hari itu. Aku ingat memegang pistol ke kepalaku, menarik pelatuknya. Tapi seperti biasa, peluru itu tidak ada artinya. Darah mengalir, tapi hanya sementara. Dalam beberapa detik, luka itu tertutup, dan aku kembali seperti semula.
Saat itulah aku sadar, aku tidak akan pernah bisa melarikan diri dari kutukan ini.
Tidak ada jalan keluar. Tidak ada akhir.
Aku memejamkan mata, mencoba membayangkan bagaimana rasanya mati. Mungkin itu seperti tidur yang tenang, tanpa mimpi. Mungkin itu seperti kembali ke pelukan seseorang yang telah lama hilang.
Tapi bagi seseorang seperti aku, kematian hanyalah impian yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Setiap hari aku berharap akan ada sesuatu yang berbeda. Aku berharap seseorang atau sesuatu akan mengakhiri penderitaanku.
Suatu hari nanti, aku akan menemukan caranya. Suatu hari nanti, aku akan mati.