4 April 2115, Neo-Tokyo
Malam itu, langit Neo-Tokyo dihiasi lampu neon yang bersinar terang, memantulkan warna-warna biru dan ungu ke jalan-jalan yang basah setelah hujan singkat. Kota yang megah dan penuh teknologi ini menyembunyikan sisi gelapnya di balik bayangan gedung-gedung tinggi.
Di tengah keramaian yang mulai mereda, tim Pandora bergerak dengan cepat dan hati-hati, menyusuri gang-gang sempit yang penuh dengan sampah elektronik. Target mereka malam ini adalah seorang Arcane kelas A, pria berbahaya yang memiliki kemampuan korosi—hanya dengan menyentuh sesuatu, dia mampu menghancurkannya hingga menjadi debu.
"Target terlihat di arah timur laut!" Suara seorang agen terdengar dari alat komunikasi.
Lima agen Pandora segera bergerak ke posisi, membentuk perimeter untuk memblokir jalan keluar. Di antara mereka, ada agen Arcane dan manusia biasa, bersenjata lengkap dengan teknologi canggih yang dirancang untuk menghadapi ancaman seperti ini.
Pria itu berlari di depan mereka, tubuh kurusnya terlihat gelisah, tetapi langkahnya mantap. Wajahnya menunjukkan kegilaan yang tak bisa disembunyikan, senyumnya melengkung seolah menikmati pengejaran ini. Setiap kali tangannya menyentuh sesuatu—tembok, kendaraan, atau pagar baja—benda itu langsung terkorosi dan runtuh menjadi puing-puing hitam.
"Blokir semua jalur pelarian. Jangan biarkan dia kabur!" Perintah pemimpin tim menggema di alat komunikasi.
Dua agen yang berada di depan pria itu menembakkan peluru plasma dari senjata mereka. Satu ledakan menghantam tanah di dekat kakinya, menciptakan percikan cahaya yang memaksa pria itu berhenti sejenak.
Namun, dia hanya tertawa pelan. "Kalian pikir senjata seperti itu bisa menyentuhku?" katanya sambil melanjutkan langkahnya, tangan kanannya menyentuh dinding bata di sebelahnya. Dalam sekejap, dinding itu hancur, membuat debu dan reruntuhan beterbangan, memaksa para agen mundur beberapa langkah.
Salah satu agen mencoba mendekatinya dari belakang. Dengan gerakan cepat, dia melompat ke arah pria itu, berusaha membekuknya. Tapi begitu tubuhnya menyentuh kulit target, semuanya berubah menjadi mimpi buruk.
"AARRGH!" Teriakan pria itu memecah keheningan malam. Kulit di lengannya mulai mengelupas, berubah menjadi abu yang beterbangan tertiup angin. Agen itu melepaskan cengkeramannya, jatuh ke tanah sambil menggeliat kesakitan. Korosi itu terus menyebar ke seluruh tubuhnya, menghancurkan daging dan tulang sampai akhirnya dia terdiam, tak bergerak lagi.
Pria Arcane itu hanya tersenyum puas, matanya bersinar penuh kemenangan. "Kalian semua terlalu lemah untuk menangkapku. Serahkan saja nyawa kalian!"
Suasana menjadi tegang. Para agen yang tersisa mulai menyusun ulang formasi mereka, mencoba menjaga jarak sambil menunggu perintah lebih lanjut. Di atas gedung yang tidak jauh dari sana, seorang sniper sudah bersiap.
"Kanzaki Saya melaporkan. Target dalam bidikan," suara tenang perempuan terdengar di frekuensi komunikasi.
"Eksekusi," jawab pemimpin tim.
Tanpa menunggu lebih lama, sebuah tembakan melesat dari moncong senapan. Peluru itu terbang dengan kecepatan luar biasa, melintasi udara dan menghantam bahu pria itu dengan sempurna. Dia terhuyung mundur, darah segar mulai mengalir dari luka tersebut.
"Serang sekarang!" teriak salah satu agen, bergerak maju untuk menangkapnya.
Namun, mereka terlalu gegabah. Pria itu menahan rasa sakitnya, dan dengan senyuman licik, dia mengangkat tangannya yang masih bebas. "Kalian benar-benar tidak belajar, ya?"
Dalam sekejap, peluru yang tertanam di bahunya mulai berubah warna. Logam itu terkorosi, pecah menjadi serpihan kecil yang jatuh ke tanah.
Pria itu berdiri kembali, penuh percaya diri. "Senjata kalian tidak ada gunanya."
Para agen terdiam, langkah mereka terhenti. Situasi ini berubah menjadi kebuntuan, dan waktu terus berjalan.
"Tim, tetap di posisi. Jangan bergerak lebih dekat," suara dari alat komunikasi tiba-tiba terdengar, tajam dan tegas. Itu adalah suara yang berbeda dari sebelumnya, jelas berasal dari seseorang yang memiliki otoritas tinggi.
Pemimpin tim mengangguk, lalu menyampaikan perintah itu ke semua agen. "Jaga perimeter. Jangan serang tanpa perintah lebih lanjut."
Sementara pria Arcane itu tertawa kecil, berpikir bahwa dia telah memenangkan pertarungan ini, sesuatu melesat ke arahnya dari kegelapan. Sebuah botol kaca, dilemparkan dengan kecepatan luar biasa.
Namun, sebelum botol itu bisa menyentuh tubuhnya, korosi aktifnya langsung menghancurkan benda itu menjadi debu. Pria itu terkejut, matanya bergerak cepat, mencari sumber serangan itu.
Dari balik bayangan sebuah lorong sempit, terdengar suara langkah kaki yang tenang. Seorang pria muncul dari kegelapan, mengenakan jaket hitam sederhana. Rambutnya lurus dan hitam, matanya biru seperti es yang memancarkan aura dingin dan tanpa emosi.
Pria Arcane itu menyipitkan matanya, waspada. "Siapa kau?"
---
Aku tidak pernah menikmati pekerjaan ini. Mungkin karena setiap kali aku maju, aku tahu apa yang akan terjadi. Tapi di dunia seperti ini, seseorang harus melakukan hal yang tidak disukai demi bertahan hidup. Dan malam ini, giliran pria itu yang menjadi targetku.
"Aku?" tanyaku, melangkah perlahan dari kegelapan. Cahaya neon dari kejauhan menyinari sebagian wajahku. "Anjing pemburu Pandora." Aku berhenti, menatap matanya yang mulai waspada. "Codename: Undead."
Pria itu menyeringai sinis. "Undead, ya? Nama yang menarik. Apa kau berpikir dirimu abadi?"
Aku tidak menjawab. Sebagai gantinya, aku mengeluarkan pisau kecil dari saku jaketku. Logam dingin itu memantulkan kilauan samar dari lampu jalan. Dengan satu gerakan cepat, aku berlari ke arahnya dan menyerang dengan pisau itu.
Seperti yang sudah kuduga, pisau itu hancur bahkan sebelum menyentuhnya, aku langsung mundur. Korosi otomatisnya bekerja dengan sempurna. Tapi itu bukan tujuan utamaku.
"Ah, aku mengerti sekarang," gumamku, lebih kepada diriku sendiri. "Tipe kemampuan yang bisa aktif tanpa sentuhan, jadi kau menyembunyikan kartu as mu untuk saat-saat genting seperti ini, Menarik"
Dia mengangkat alis, terlihat sedikit terkejut. "Kau cukup tenang untuk seseorang yang akan mati sebentar lagi."
Aku hanya tersenyum tipis. "Cobalah."
Tanpa menunggu, dia maju, mengulurkan tangannya ke arahku. Sentuhannya adalah kematian, dan dia tahu itu. Tapi aku tidak mundur. Ketika jarak di antara kami hampir hilang, aku menggerakkan tubuhku ke samping, menghindari serangannya dengan mudah.
Pukulanku meluncur ke arah wajahnya, tapi dia mengangkat lengannya untuk menangkis. Meski begitu, aku tidak berhenti. Pukulan berikutnya menghantam dadanya, membuatnya terhuyung mundur.
"Berani sekali," katanya, menyeka darah yang mulai mengalir dari sudut bibirnya. "Tapi sia-sia."
Dia menyerang lagi, kali ini lebih cepat. Tangannya hampir menyentuh bahuku, dan aku membiarkan itu terjadi. Seperti yang kuduga, kulitku langsung hancur, terkorosi dalam sekejap. Rasanya perih, seperti dagingku terbakar, tapi aku tidak menunjukkan reaksi apa pun.
Sebaliknya, aku tersenyum, memperlihatkan luka yang sudah mulai pulih dalam hitungan detik. "Kau harus mencoba lebih keras dari itu."
Wajahnya berubah. Kali ini, dia tidak lagi terlihat percaya diri. "Apa... apa kau ini?"
"Aku?" Aku melangkah maju, tinjuku menghantam perutnya. "Seseorang yang tidak bisa mati."
Dia terhuyung, tapi aku tidak memberinya waktu untuk pulih. Pukulan demi pukulan menghantam tubuhnya. Setiap kali dia mencoba menyerang, aku membiarkannya. Tubuhku hancur berulang kali—kulit, daging, bahkan tulangku terkorosi. Tapi itu semua kembali, seperti teka-teki yang tersusun ulang tanpa cacat.
Dalam pertempuran ini, aku memiliki keuntungan mutlak. Aku tidak perlu berhati-hati.
Dia mundur, napasnya terengah-engah. "Mustahil... Kau monster!"
"Mungkin," jawabku datar, meraih lehernya dengan satu tangan. Dia meronta, tapi cengkeramanku tidak goyah. Aku memiringkan kepalaku, menatap matanya yang dipenuhi ketakutan. "Tapi monster seperti aku ada di sini untuk menangkap monster seperti kau."
Dia mencoba mengangkat tangannya, tapi aku sudah lebih dulu mengencangkan cengkeramanku. Udara di paru-parunya mulai hilang. Gerakannya melemah, sampai akhirnya dia tak sadarkan diri.
Aku melepaskannya, membiarkan tubuhnya jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk yang berat. Para agen Pandora langsung bergerak, mendekatiku dengan senjata siap siaga.
"Target diamankan," lapor salah satu agen ke alat komunikasinya.
Aku berdiri di sana, memperhatikan mereka mengikat pria itu dengan rantai khusus yang mampu menetralkan kekuatan Arcane. Luka-lukaku yang tersisa perlahan menutup, meninggalkan kulitku tanpa bekas.
"Kau terlambat," kataku kepada pemimpin tim yang mendekat.
Dia mengangguk, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa hormat dan sedikit ketakutan. "Kami tidak memiliki kemampuan seperti Anda, Undead. Terima kasih atas bantuan Anda."
Aku hanya mengangkat bahu. "Pekerjaanku selesai. Pastikan dia tidak kabur lagi."
Tanpa menunggu jawaban, aku berbalik, berjalan kembali ke kegelapan. Pekerjaan ini, seperti biasanya, hanyalah bagian kecil dari kehidupan panjangku yang tak pernah berakhir.
---
Aku tahu dunia ini kacau. Tapi di antara reruntuhan dan kebisingan kota yang tak pernah benar-benar tidur, aku mencoba menjalani sesuatu yang menyerupai kehidupan normal. Bagiku, normal adalah ilusi yang bisa kubangun sendiri, meski hanya sejenak.
Tiga hari setelah penangkapan Arcane korosi, rutinitasku kembali seperti biasa. Aku melangkah keluar dari apartemen kecilku di distrik Meguro, mengenakan jaket hitam favoritku, tangan dimasukkan ke dalam saku. Udara pagi Tokyo terasa dingin, meski matahari sudah mulai memanjat langit.
"Ayo, Seiji! Jangan lupa bawa kopi pesanan pelanggan!" suara Yui, rekan kerjaku di kafe tempatku bekerja paruh waktu, menyambutku saat aku masuk.
Aku bekerja sebagai barista di kafe kecil bernama Midori Blend, tidak jauh dari apartemenku. Kafe ini cukup tenang, lebih sering dipenuhi mahasiswa yang tenggelam dalam tugas atau pekerja kantoran yang melarikan diri dari stres pekerjaan. Tempat ini jauh dari kegilaan dunia Arcane—itulah sebabnya aku menyukainya.
"Tenang saja, aku ingat." Aku mengambil nampan berisi dua cangkir latte dan sebuah croissant, mengantarnya ke meja pelanggan. "Selamat pagi. Latte panas dan croissant Anda."
Wanita muda yang duduk di meja itu tersenyum. "Terima kasih."
Aku membalas senyumnya, meski rasanya sedikit canggung. Kehidupan normal seperti ini terkadang terasa asing bagiku. Sebagian diriku selalu waspada, menunggu saat dunia nyata ini runtuh oleh ancaman baru.
"Seiji, bantu aku sebentar!" panggil Yui dari balik mesin espresso. Aku segera mendekat.
Yui adalah salah satu dari sedikit orang di luar Pandora yang tahu aku berbeda. Dia tidak tahu semuanya, tentu saja, tapi cukup untuk tidak bertanya terlalu banyak. Mungkin itulah yang membuat kami berteman baik.
Kami menghabiskan pagi dengan melayani pelanggan yang datang dan pergi. Kadang aku memikirkan ironi ini: seorang Arcane dengan nama kode Undead, yang seharusnya menakutkan, justru menyajikan kopi dan memanaskan croissant.
Saat jam makan siang, aku bertemu dengan temanku, Daichi. Dia seorang mekanik yang bekerja di bengkel motor di distrik lain. Kami biasa makan siang bersama di taman kecil dekat sungai.
"Jadi," katanya, menggigit sandwich-nya, "kau masih bekerja di Midori Blend? Kapan kau akan mencari pekerjaan sungguhan?"
Aku mengangkat bahu. "Pekerjaan di sana cukup menyenangkan. Lagipula, aku tidak butuh uang banyak."
Daichi tertawa. "Kau memang aneh, Seiji. Tapi kurasa itu bagian dari pesonamu."
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Daichi tidak tahu apa-apa tentang diriku yang sebenarnya, dan aku ingin tetap seperti itu.
Hari-hari berlalu seperti ini—tenang, monoton, dan penuh rutinitas yang sengaja kubangun untuk melupakan apa yang sebenarnya kulakukan di dunia ini. Tapi tentu saja, kedamaian itu tidak pernah bertahan lama.
Malam itu, saat aku sedang duduk di balkon apartemenku dengan secangkir teh, ponsel khusus Pandora-ku berbunyi.
"Seiji di sini," jawabku, meski sudah tahu siapa di seberang.
"Undead," suara pria dari departemen operasi Pandora terdengar. "Ada misi baru untukmu. Detailnya akan diberikan langsung oleh tim lapangan. Bersiaplah dalam satu jam."
Aku menghela napas, menyesap tehku untuk terakhir kali. "Dimengerti."
Setelah panggilan itu berakhir, aku masuk ke apartemen, mengganti pakaianku dengan seragam khusus Pandora—jaket hitam dengan lambang organisasi di lengan kanan.
Satu jam kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung apartemenku. Seorang agen, pria muda dengan wajah serius, menungguku di dalam.
"Langsung ke intinya," kataku sambil masuk ke mobil.
Pria itu menyerahkan tablet dengan informasi misi. "Target kali ini adalah sebuah artefak yang dicuri oleh Union. Pencurinya adalah Vier, salah satu petinggi mereka. Kita membutuhkan Anda untuk merebutnya kembali."
Aku membaca sekilas informasi itu. Nama Vier sudah tidak asing lagi bagiku. Dia salah satu Arcane yang paling dicari oleh Pandora, dikenal karena kemampuannya menyembunyikan identitas dan rencananya yang selalu licik.
"Artefak apa yang dicuri?" tanyaku.
Pria itu menggeleng. "Detail tentang artefaknya dirahasiakan. Tapi Anda tidak perlu tahu untuk menyelesaikan misi ini."
Aku mendengus pelan. Pandora selalu seperti ini—hanya memberi informasi yang mereka anggap perlu. Tapi aku tidak peduli. Tugas adalah tugas.
"Baiklah," kataku akhirnya, meletakkan tablet itu di kursi. "Ayo kita mulai."
Mobil itu melaju ke arah malam, meninggalkan rutinitas normalku di belakang. Aku tahu, kehidupan seperti ini adalah yang terbaik yang bisa kudapatkan. Tapi meski begitu, aku tidak bisa menahan perasaan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di depan.