3 Agustus 2110, New Orleans, Amerika Serikat
Suara ledakan mengguncang tanah, menggetarkan reruntuhan bangunan yang sudah porak-poranda. Asap hitam membumbung ke langit, bercampur dengan cahaya merah dari kobaran api yang melahap puing-puing kota yang dulu megah.
Di tengah kekacauan itu, dua pemuda berdiri di antara puing-puing, menghadap sekelompok tentara bersenjata lengkap. Satu orang berpakaian militer hitam dengan mata biru tajam, menggendong seorang gadis kecil berambut pirang yang pingsan. Yang lainnya, seorang pemuda berambut hitam berantakan mengenakan kimono hitam sederhana, menggenggam katana dengan erat.
Mereka terkepung.
Senapan tentara Amerika tertuju langsung ke mereka, sementara dari kejauhan, suara deru helikopter semakin mendekat. Kaito, pemuda dengan kimono hitam, melirik ke samping dengan ekspresi geram.
"Ini jebakan," gumamnya, suaranya dipenuhi kemarahan yang tertahan.
Pemuda berseragam hitam tidak menjawab. Dia hanya mengatur posisi gadis kecil dalam gendongannya, memastikan dia tidak terjatuh.
Kemudian—mereka menyerang.
Kaito bergerak lebih dulu. Dengan kecepatan luar biasa, dia menebas ke depan, udara di sekitarnya bergetar. Ruang di antara dirinya dan para tentara terlipat seketika, membuat jarak yang harusnya jauh menjadi nol. Tubuhnya berpindah dalam sekejap, dan sebelum musuh bisa bereaksi, pedangnya sudah membelah mereka.
Darah menyembur ke udara.
Jeritan pendek terdengar, sebelum tiga tentara tumbang secara bersamaan.
Sementara itu, pemuda berseragam hitam tidak tinggal diam. Dengan satu tangan tetap menggendong gadis kecil, tangan lainnya mengangkat pistolnya.
Tembak!
Satu peluru menembus helm seorang tentara. Tanpa ragu, dia menembak lagi, peluru menancap di kepala musuh lainnya. Bidikannya tajam dan cepat, tidak ada peluru yang terbuang sia-sia.
Namun, jumlah mereka terlalu banyak.
Tentara-tentara itu mulai menyebar, memanfaatkan reruntuhan sebagai perlindungan. Mereka membalas tembakan, membuat pemuda berseragam hitam harus terus bergerak untuk menghindar.
Kaito tetap menjadi garda depan. Dengan gerakan cepat dan presisi, dia terus menerobos pertahanan musuh, mengiris siapa pun yang menghalanginya. Tetapi meskipun kecepatan dan kemampuannya luar biasa, jumlah tentara terus bertambah.
Dari atas, suara baling-baling helikopter semakin dekat. Cahaya sorot menerangi medan perang, menyoroti dua pemuda itu seperti mangsa yang siap dieksekusi.
Lalu—
BOOM!
Sebuah ledakan mengguncang tanah.
Tank lapis baja yang baru tiba menembakkan proyektil ke arah mereka, menghancurkan sebuah bangunan di dekatnya. Kaito dan pemuda berseragam hitam melompat ke belakang untuk menghindari serpihan beton yang beterbangan.
"Kita harus mundur," kata pemuda berseragam hitam dengan nada datar, meskipun situasinya semakin buruk.
"Sial!" Kaito mendecakkan lidahnya. "Mereka datang lebih banyak dari yang kita perkirakan. Apa rencananya sekarang?"
"Tahan posisi."
Kaito menatapnya tajam. "Tahan posisi? Kau gila? Kita akan mati kalau terus di sini!"
"Tenang."
Nada suara pria pemuda tetap stabil, seolah tidak peduli dengan kematian yang mengintai.
Kaito ingin membalas, tetapi sebelum dia bisa berbicara, suara ledakan lain mengguncang area itu. Tentara di sekitar mereka mulai bergerak lebih agresif, mencoba mengepung mereka sepenuhnya.
Pemuda berseragam hitam menghela napas. "Aku akan menahan mereka. Kau bawa gadis itu dan pergi."
Mata Kaito melebar. "Apa?"
"Itu perintah."
"Persetan dengan perintahmu!" Kaito hampir berteriak. "Aku tidak akan meninggalkanmu di sini!"
"Aku bisa menangani ini," pemuda itu tetap tenang. "Kau tahu itu, bukan?"
Kaito menggertakkan giginya. Dia tahu. Dia tahu pemuda ini bukan manusia biasa. Tapi tetap saja—
"Jangan membuat ini semakin sulit."
Kaito menatapnya dalam diam.
"Bawalah Anastasia dan pergi," ulang pemuda itu.
Kaito mengepalkan tinjunya. Napasnya berat. Tapi pada akhirnya, dia tidak punya pilihan.
"Tch. Jangan mati."
Pemuda berseragam hitam hanya tersenyum kecil, senyum yang samar, nyaris tidak terlihat.
Lalu, dia melangkah maju.
Saat Kaito berbalik dan mulai berlari membawa gadis itu, pria berseragam hitam menghadapi puluhan tentara seorang diri.
Tembakan dilepaskan!
Namun, tidak satu pun peluru mengenai tubuhnya.
Dia bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal, menghindari setiap peluru seolah bisa membaca pergerakan musuh sebelum mereka menarik pelatuk. Tembakan yang meleset mengenai dinding dan tanah, menciptakan percikan api yang berhamburan di udara.
Dia menembak balik.
Satu peluru—satu nyawa.
Gerakannya tanpa celah. Seperti mesin pembunuh yang tidak bisa dihentikan.
Tentara-tentara itu mulai panik. Mereka memanggil bala bantuan, tetapi semuanya sama saja. Tak peduli seberapa banyak mereka mengirimkan pasukan, pemuda berseragam hitam itu terus maju tanpa terluka sedikit pun.
Lalu—
"—Kau membuat kekacauan di sini."
Sebuah suara baru muncul.
Kaito, yang masih berlari, sempat menoleh ke belakang. Dan saat dia melihat siapa yang baru saja muncul, tubuhnya menegang.
Seorang pemuda berambut cokelat dengan mata merah berdiri di tengah reruntuhan, membawa sebuah pedang di tangannya.
Pemuda berseragam hitam menghentikan langkahnya.
Mereka saling menatap.
Kaito ingin berbalik, ingin kembali dan bertarung. Tapi pemuda berseragam hitam itu menatapnya sekilas dan menggelengkan kepala.
Terus lari.
Kaito mengepalkan giginya, tetapi dia mematuhi perintah itu.
Dia terus berlari.
Tanpa menoleh ke belakang.
Tanpa tahu apa yang akan terjadi pada pemuda itu.
Hanya berharap, orang itu bisa bertahan.
Tapi saat dia kembali, semuanya telah terlambat.
---
8 April 2115, Teluk Tokyo
Kapal Erebus
Di dalam sebuah ruangan yang remang-remang, seorang pria duduk di kursi dengan tubuh sedikit terkulai, napasnya teratur seolah ia tenggelam dalam tidur yang dalam. Cahaya redup dari lampu gantung berpendar lembut di wajahnya, menyoroti rambut hitamnya yang sedikit berantakan dan beberapa helai yang jatuh di dahinya. Meski tertidur, ada sesuatu dalam posturnya yang tetap terlihat tegas, seolah ia siap bangkit kapan saja jika ada ancaman.
Kimono hitam sederhana yang dikenakannya sedikit terbuka di bagian atas, memperlihatkan tulang selangkanya yang tajam dan bagian dadanya yang kekar. Sebuah katana tergeletak di sampingnya, bersandar di meja kayu yang penuh dengan kertas-kertas dan perangkat komunikasi.
Suara ketukan pelan menggema di ruangan itu.
Tak ada jawaban.
Ketukan itu berubah menjadi sedikit lebih keras.
Masih tak ada respons.
Akhirnya, seseorang dengan tubuh besar dan mengenakan jas hitam mendorong pintu perlahan, lalu melangkah masuk dengan hati-hati. Wajahnya tegas, ekspresinya penuh rasa hormat namun tetap profesional. Melihat Vier masih tertidur, pria itu berdehem pelan, mencoba membangunkannya tanpa langsung menyentuhnya.
Tidak ada reaksi.
Dengan sedikit ragu, pria itu akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Tuan Vier, rapat akan segera dimulai."
Vier mengerjap pelan. Matanya yang tajam namun malas terbuka sedikit sebelum akhirnya ia menarik napas panjang. Ia menatap langit-langit beberapa detik sebelum menurunkan pandangannya ke pria di hadapannya.
"Hm... cuma mimpi ya..." gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada orang lain.
Pria bertubuh besar itu menatapnya dengan ekspresi penasaran, jelas tertarik dengan apa yang Vier katakan. Tapi sebelum ia sempat bertanya, Vier sudah lebih dulu mengabaikan topik itu dan bertanya, "Kenapa kau membangunkanku?"
"Rapat akan segera dimulai, Tuan," jawab pria itu dengan nada hormat.
Vier mengangguk kecil. "Begitu ya..." ucapnya sembari bangkit dari kursinya. Ia meregangkan tubuh sebentar sebelum mengambil katana di meja dan menyelipkannya ke ikat pinggang obi miliknya.
Namun sebelum pria itu pergi, Vier menatapnya sejenak. "Pastikan kau menjaga benda itu dengan benar," ucapnya dengan suara lebih rendah, nadanya lebih serius. "Jangan sampai tercampur dengan barang untuk pelelangan."
Pria itu menundukkan kepala. "Baik, Tuan."
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Vier melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan kegelapan di belakangnya.
---
Vier memasuki sebuah ruangan luas yang hanya diterangi oleh cahaya hologram di tengah meja bundar. Ia menyalakan alat komunikasi, dan seketika hologram beberapa sosok muncul, mengelilingi meja yang sama meskipun mereka berada di tempat berbeda.
Di pusat hologram, seorang pria dengan ekspresi dingin dan wibawa yang tak terbantahkan berbicara pertama kali.
"Hanya lima yang bisa hadir, ya?"
Di sebelahnya, seorang gadis dengan rambut cokelat tersenyum kecil. "Iya, saat ini beberapa anggota tidak bisa hadir," jawabnya santai.
Eins mengangguk kecil. "Begitu ya. Kalau begitu, langsung saja. Bagaimana perkembangan rencana itu?"
Seorang pria tersenyum kecil sebelum menjawab, "Tidak bisa dibilang lancar."
Eins menatapnya tajam. "Ada masalah?"
Pria itu mengangkat bahu. "Pencarian terhadap Apocalypse Codex tidak menunjukkan perkembangan sama sekali. Kita telah mencari di berbagai negara, tapi tidak menemukan petunjuk sedikit pun."
Eins terdiam sejenak. "Begitu ya... tidak ada perkembangan sama sekali?"
Sebelum pria itu sempat menjawab, seorang gadis di sisi lain meja menyela. "Itu tidak benar, Eins."
Senyumnya kecil, tapi nada bicaranya penuh dengan kepercayaan diri yang tajam. "Sepertinya Tuan Nomor Dua tidak terlalu bisa diandalkan, ya?"
Pria yang tadi berbicara langsung menoleh dengan ekspresi tidak senang. "Apa maksudmu?"
Gadis itu tersenyum mengejek. "Seperti yang kukatakan, kau tidak berguna."
Perselisihan mulai terjadi di antara mereka, atmosfer ruangan berubah menjadi lebih panas. Namun sebelum keadaan semakin memanas, Eins mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan.
"Jadi, kau menemukan sesuatu?" tanyanya kepada gadis itu.
Gadis itu mengangguk. "Ya. Aku menemukan seseorang yang mungkin bisa menjadi petunjuk."
Eins mengangkat alisnya. "Siapa dia?"
"Namanya Kim Seo-Jin."
Pria yang tadi diejek mendengus. "Dan kau pikir anak kemarin sore itu bisa memberi kita petunjuk?"
Gadis itu tidak terpengaruh oleh ejekan itu. "Dia memang pemuda biasa... tapi tidak dengan keluarganya."
Eins menyipitkan mata. "Jelaskan."
Gadis itu tersenyum kecil sebelum menjawab, "Kakeknya adalah salah satu orang yang menemukan Apocalypse Codex, dan ayahnya adalah Perdana Menteri Korea setelah perang. Dengan kata lain, salah satu pendiri PBB yang baru."
Mendengar itu, Eins terlihat mulai tertarik. "Cari keberadaan pemuda itu. Kita tidak boleh mengabaikan kemungkinan sekecil apa pun."
"Dimengerti."
Setelah memastikan informasi itu dicatat, Eins mengalihkan pandangannya ke Vier yang selama ini hanya duduk dengan ekspresi tenang.
"Bagaimana dengan misimu, Vier?" tanyanya.
Vier menatap Eins dengan mata malas sebelum menjawab, "Semuanya lancar. Artefak itu sudah ada di tanganku."
Eins tersenyum tipis. "Kerja bagus. Tapi berhati-hatilah. Sepertinya anjing pemburu sudah mulai mencium bau kita."
Vier hanya menyeringai kecil. "Tenang saja."
----
Setelah beberapa waktu, rapat itu akhirnya berakhir. Eins, dengan nada tenangnya, mengakhiri pertemuan setelah memastikan semua anggota telah memberikan laporan mereka. Satu per satu hologram mulai menghilang, menyisakan ruangan yang kembali gelap dan sepi.
Vier hendak pergi ketika tiba-tiba suara gadis itu memanggilnya.
"Kaito."
Langkahnya terhenti. Vier menoleh ke arah sumber suara, meskipun ia tahu gadis itu tidak ada di sana secara fisik. Hologramnya masih menyala, sedikit bergetar karena koneksi yang tidak stabil.
"Ada apa?" tanyanya, suaranya malas namun tetap waspada.
Gadis itu berbicara dengan nada datar namun tajam.
"Dewa Kematian dan Penyihir sudah bergerak."
Vier terdiam sesaat. Matanya menyipit, ekspresinya berubah sekilas sebelum ia kembali memasang wajah tanpa emosi.
"Apa maksudmu?"
"Aku mendapat laporan dari Gabriel," jawab gadis itu, "mereka telah meninggalkan Amerika beberapa hari lalu. Tujuan mereka adalah Jepang."
Vier hanya diam, menatap ke arah meja bundar tempat hologram gadis itu masih menyala. Dalam benaknya, nama itu terus menggema—Dewa Kematian.
Setiap kali mendengarnya, ia merasa darahnya mendidih. Ia mengepalkan tangannya tanpa sadar.
"Begitu ya…" gumamnya akhirnya.
Sebelum koneksi terputus, gadis itu menambahkan, "Berhati-hatilah, Kaito."
Vier tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke depan sebelum akhirnya mematikan perangkatnya sendiri dan meninggalkan ruangan.
---
Vier berjalan melewati lorong kapal dengan ekspresi tak terbaca. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai logam yang dingin. Namun pikirannya masih dipenuhi oleh informasi tadi.
Saat ia melangkah lebih jauh, suara riuh mulai terdengar dari kejauhan. Vier melirik ke arah asal suara itu.
"Kau tahu ada apa?" tanyanya pada seorang bawahan yang berdiri di dekat sana.
Bawahan itu segera menundukkan kepala sebelum menjawab, "Pelelangan sudah dimulai, Tuan."
Vier tersenyum tipis. "Pelelangan, ya?" gumamnya. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi melihatnya.
---
Ruang Lelang, Kapal Erebus
Ruang lelang itu penuh dengan orang-orang berjas mewah, bangsawan, miliarder, dan kolektor dari berbagai penjuru dunia. Mereka duduk di kursi-kursi empuk yang tersusun rapi menghadap panggung utama.
Di depan mereka, seorang pria berjas putih dengan senyum ramah berdiri di atas panggung, menjadi host acara ini. Di belakangnya, berbagai artefak aneh dan kuno dipajang dalam kotak kaca.
"Para tamu yang terhormat," suara host menggema, "kita telah melihat beberapa koleksi yang luar biasa malam ini. Namun, sekarang, izinkan saya memperkenalkan item berikutnya—artefak yang sangat unik dan misterius."
Asisten host menggulung kain beludru merah, memperlihatkan sebuah boneka tua yang terlihat lusuh namun memiliki aura menyeramkan.
"Ini adalah Boneka Penari dari Timur," lanjutnya. "Diyakini sebagai artefak yang berasal dari abad ke-18. Boneka ini dikatakan memiliki kekuatan mistis, dan dalam sejarahnya, setiap pemiliknya menghilang tanpa jejak."
Kerumunan mulai berbisik. Beberapa tertarik, beberapa ragu. Namun, saat harga mulai diajukan, atmosfer berubah.
"Harga awal, 200.000 kredit."
"250.000!"
"300.000!"
Lelang terus berlanjut hingga angka mencapai hampir satu juta kredit. Namun, tepat sebelum pemenang diumumkan—
KRIIIK—
Suara retakan aneh terdengar dari panggung. Semua mata tertuju pada boneka yang tiba-tiba bergerak.
Boneka itu… mulai membesar.
Seakan tubuhnya meregang dan merekah, dari sebuah mainan kecil menjadi sosok humanoid mengerikan dengan wajah tanpa ekspresi. Cahaya merah menyala dari matanya, dan dalam hitungan detik—
BOOM!
Boneka itu mengamuk. Gelombang energi menghantam panggung, membuat host dan asistennya terpental ke belakang. Kerumunan panik, berlarian ke segala arah, sementara boneka raksasa itu mulai menghancurkan ruangan.
Dari balkon atas, Vier menyaksikan pemandangan itu dengan ekspresi datar. Namun, setelah beberapa detik, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.
"Menarik."
Tanpa ragu, ia melompati pagar balkon dan turun ke lantai utama. Langkahnya santai, tidak tergesa-gesa meskipun ruangan di sekitarnya sedang dalam kekacauan.
Di tengah hiruk-pikuk, matanya tertuju pada seorang gadis muda berambut pirang yang duduk di salah satu bangku. Ia tampak tenang, seolah sudah memperkirakan kejadian ini sejak awal.
Vier berjalan mendekatinya sambil mencabut katananya. Dengan ujung pedangnya mengarah ke gadis itu, ia bertanya dengan nada santai, "Ini perbuatanmu, ya?"
Sebelum gadis itu bisa menjawab—
DOR!
Sebuah peluru melesat ke arahnya.
Vier menghilang dalam sekejap.
Si penembak, seorang wanita berambut hitam dengan seragam tempur, tampak kebingungan. Ia baru saja melihat Vier ada di sana, tapi dalam sekejap pria itu lenyap tanpa jejak.
Kemudian—
BRUK!
Vier muncul di belakangnya dan menendangnya keras hingga wanita itu terhempas ke lantai.
Namun, sebelum ia bisa menebaskan pedangnya, sebuah tangan tiba-tiba muncul dan menahan bilah katana dengan telapak tangan kosong.
Vier sedikit terkejut. Matanya bertemu dengan seorang pria berambut hitam yang menatapnya dengan dingin.
Mereka bertatapan selama beberapa detik sebelum Vier mundur satu langkah dan terkekeh.
"Tidak kusangka kalian bergerak secepat ini…" katanya sambil mengangkat bahunya. "Anjing-anjing Pandora."