Chereads / Kode : Apokalypse / Chapter 3 - Chapter 2 : Dewa Kematian

Chapter 3 - Chapter 2 : Dewa Kematian

Malam itu, jalanan Tokyo yang basah karena hujan seolah membisikkan rahasia. Suara roda mobil hitam yang melaju menembus kegelapan terasa seperti jarum jam yang berdetak ke arah sebuah tujuan yang tidak diketahui. Di dalam kendaraan itu, aku duduk diam, memandangi lampu-lampu kota yang melesat cepat melewati kaca jendela.

Union. Kata itu terus terngiang di benakku seperti sebuah ancaman yang tak pernah hilang.

Union—organisasi kriminal terbesar yang pernah ada di dunia ini. Aku tahu mereka lebih dari sekadar kelompok pembuat onar. Mereka adalah ancaman global yang mendominasi setiap benua dengan tangan besi mereka. Di balik layar, mereka menggerakkan para Arcane seperti pion dalam sebuah permainan catur, dan setiap langkah mereka selalu berujung pada kehancuran.

Tapi lebih dari sekadar anggota mereka yang tak terhitung jumlahnya, yang benar-benar membuat Union begitu ditakuti adalah para Zahl—sepuluh petinggi mereka yang memiliki kekuatan yang hampir tak terbendung. Satu orang Zahl saja bisa menghancurkan sebuah kota dalam waktu singkat, dan tak seorang pun yang tahu pasti tujuan mereka. Apa yang sebenarnya mereka inginkan? Kekuasaan? Kekacauan? Atau sesuatu yang lebih gelap lagi?

Namun, kebanyakan dari mereka jarang terlihat langsung turun tangan. Sebagian besar kekacauan yang terjadi hanyalah hasil ulah para anggota biasa, Arcane yang bertindak sesuka hati mereka, seperti binatang buas yang dilepas di tengah masyarakat. Tapi kali ini, situasinya berbeda.

"Vier, ya?" gumamku tanpa sadar. Nama itu keluar begitu saja, seolah-olah lidahku memiliki ingatannya sendiri.

Di sampingku, seorang pria dengan jas hitam melirikku sekilas. Dia salah satu agen Pandora yang ditugaskan untuk mengantarku malam ini. "Ada apa?" tanyanya singkat, nadanya datar namun tetap penuh kehati-hatian.

Aku menggeleng, mencoba menepis pikiranku. "Tidak ada apa-apa," jawabku.

Aku bisa merasakan tatapan curiganya untuk beberapa saat sebelum dia kembali memusatkan perhatiannya ke jalan. Mobil terus melaju tanpa arah yang jelas. Aku bahkan tidak tahu ke mana tujuan kami, hanya tahu bahwa misi ini melibatkan seseorang yang sangat berbahaya.

Ketika akhirnya mobil berhenti, aku melihat sekeliling. Sebuah gudang tua berdiri di depan kami, gelap dan tampak seperti tempat yang sudah lama ditinggalkan. Pintu-pintunya besar, terbuat dari baja yang mulai berkarat, dan lingkungan sekitarnya sepi, hanya terdengar suara hembusan angin.

"Jadi, di sini tempat misi ini berlangsung?" tanyaku, melirik agen di sampingku.

Dia menggeleng. "Bukan. Kita hanya singgah sebentar untuk membicarakan rencana."

Aku memandangnya lebih lama kali ini, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Dari nada bicaranya, aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda. "Hmm… dari caramu bicara, sepertinya ini bukan misi untukku sendiri," ujarku akhirnya.

Sebelum agen itu sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar dari belakang kami, diikuti oleh suara seorang wanita yang penuh percaya diri.

"Benar sekali, senior."

Aku berbalik dan melihat seseorang muncul dari bayangan. Seorang gadis muda dengan rambut hitam panjang yang terikat rapi dan mata cokelat tajam. Dia mengenakan jas hitam seperti agen Pandora lainnya, tetapi senjata di punggungnya—sebuah sniper besar—membuatnya tampak lebih menonjol dibandingkan agen biasa.

"Kanzaki," panggilku, mengenali siapa dia.

"Sudah lama tidak bertemu, Kageyama-san," balasnya sambil melangkah mendekat.

Aku menyipitkan mata, mencoba mencerna situasi ini. "Misi gabungan?"

Dia mengangguk. "Iya. Sepertinya karena suatu alasan, ini akan menjadi operasi gabungan antara tim Jepang dan Amerika. Cukup aneh, bukan?"

Aku mengangkat bahu. "Memangnya kenapa? Bukankah itu artinya mereka merasa ini cukup penting?"

"Benar," jawabnya. "Mereka bahkan mengirim agen mereka ke sini untuk membantu. Tapi detailnya nanti saja. Ayo kita masuk."

Sebelum aku sempat menanggapi, agen yang tadi mengantarku memberi salam dan pamit pergi. Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, sementara dia masuk ke mobilnya dan pergi begitu saja meninggalkan kami di depan gudang kosong ini.

Aku melirik Kanzaki lagi. Dia masih berdiri dengan senapan di punggungnya, menatapku dengan senyum tipis. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi aku sudah terbiasa bekerja dengan seseorang seperti dia.

"Yah, ayo masuk," kataku akhirnya.

Kanzaki mengangguk, dan kami berdua melangkah ke dalam gudang yang gelap itu. Langkah kami menggema di sepanjang lorong sempit, hanya diterangi oleh beberapa lampu yang nyaris mati. Sesaat, aku merasakan sesuatu yang aneh di udara—bukan ancaman, tapi ketegangan. Sesuatu yang memberitahuku bahwa misi ini bukanlah sesuatu yang biasa.

---

Begitu memasuki gudang, aku langsung melihat dua sosok yang berdiri di tengah ruangan. Salah satunya adalah pria berusia sekitar dua puluhan, mengenakan jas hitam rapi. Rambut cokelatnya terlihat sedikit berantakan, namun wajahnya menunjukkan ketenangan yang dingin, seperti sedang menunggu sesuatu—atau seseorang.

Di sampingnya, seorang gadis kecil berdiri dengan tubuh kecilnya yang rapuh. Rambut pirang pucatnya seperti sutra, dan mata birunya menatap kosong ke arah kami. Dia mengenakan gaun hitam sederhana, dan di tangannya, dia memeluk sebuah boneka lusuh seolah benda itu adalah seluruh dunia baginya.

"Tidak kusangka aku akan bertemu denganmu lagi, zombie," kata pria itu tiba-tiba, suaranya berat namun tenang.

Aku mendecakkan lidah. "Seharusnya itu kata-kataku, reaper."

Pria itu menyeringai kecil, langkahnya perlahan mendekat. "Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Lima? Sepuluh tahun?"

Aku mendesah dan melipat tangan di depan dada. "Tujuh tahun. Kalau aku boleh jujur, kau terlihat sudah besar sekarang, anak muda."

Dia tertawa kecil, ekspresinya santai, meski aku tahu di balik itu ada sesuatu yang selalu dia sembunyikan. "Sebaliknya, kau sama sekali tidak berubah. Sungguh menjijikkan."

Aku mengerutkan alis, tapi tidak menjawab. Hubunganku dengan pria ini jauh dari kata baik. Ada terlalu banyak kenangan buruk yang muncul setiap kali aku melihat wajahnya.

"Siapa mereka?" Suara Kanzaki memecah ketegangan di antara kami. Dia berdiri di sampingku, pandangannya penasaran namun tetap waspada.

Aku menghela napas sebelum menjawab. "Pria ini adalah manusia terkuat di Pandora, pengguna artefak yang bisa mengalahkan Arcane level S dengan mudah. Dia dikenal sebagai Dewa Kematian." Aku melirik pria itu sebelum melanjutkan, "Nathan Corner."

Mata Kanzaki membelalak. "Nathan Corner?!"

Tentu saja dia terkejut. Nama itu sudah seperti legenda di Pandora, cerita yang hanya didengar dari laporan atau desas-desus. Tapi berbeda denganku, dia mendengar cerita itu sebagai kekaguman, sementara aku… mendengar nama itu hanya membuat amarahku perlahan mendidih.

Kanzaki melirik gadis kecil di belakang Nathan. "Kalau dia, siapa?"

Sebelum aku sempat menjawab, Nathan membuka mulutnya. Nada suaranya berubah, jauh lebih ramah dibandingkan saat dia berbicara denganku. "Ah, maafkan aku. Aku belum memperkenalkannya. Ini adalah Luna Kingsley." Dia menoleh ke arah gadis itu dengan lembut. "Dia seorang Arcane dengan kemampuan telekinesis. Codenamenya adalah Puppet Master, meskipun penampilannya begini dia adalah arcane dengan grade A"

Aku memandangi gadis itu lebih lama. Boneka lusuh yang ia peluk erat membuat julukannya cukup masuk akal. Tapi ada sesuatu tentang dia yang membuatku merasa… tidak nyaman. Matanya yang kosong dan postur tubuhnya yang kaku, seperti boneka sungguhan.

Kanzaki, seperti biasa, mencoba bersikap ramah. Dia melangkah mendekat dan memperkenalkan diri, "Senang bertemu denganmu, Luna. Aku Kanzaki Saya. Kalau ada yang kau butuhkan, jangan ragu untuk memintaku."

Tapi Luna hanya menatapnya sekilas sebelum melangkah mundur dan bersembunyi di belakang Nathan.

Nathan tersenyum tipis, lalu berkata, "Jangan dipikirkan. Dia memang pemalu."

Aku mendesah pelan, merasa situasi ini mulai terasa lebih berat dari yang kubayangkan. "Jadi, apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi.

Nathan menatapku, senyumnya menghilang. "Tentu saja untuk menjalankan misi."

Aku merasakan firasat buruk. "Jangan-jangan… agen yang dikirim untuk misi gabungan ini adalah…"

Nathan mengangguk. "Benar. Aku dan Luna adalah agen dari tim Amerika."

Aku mendecakkan lidah. "Tch. Dari sekian banyak orang, kenapa harus kau?"

Dia menyeringai kecil, lalu menjawab dengan nada sarkastik, "Itu kata-kataku. Aku juga tidak ingin bekerja sama dengan mantan kriminal seperti dirimu."

Aku mengepalkan tangan, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Kanzaki melirik kami dengan ragu, jelas ingin tahu lebih banyak tapi tidak cukup berani untuk memotong pembicaraan.

"Masih suka membual, ya, reaper?" ejekku.

"Dan kau masih tetap keras kepala, zombie," balas Nathan dengan nada tenang.

Ketegangan di antara kami mulai memuncak, udara di dalam gudang terasa semakin berat. Tapi sebelum situasi benar-benar memanas, sebuah suara tajam menggema di ruangan itu.

"Cukup."

Aku menoleh ke arah sumber suara, begitu juga Nathan dan Kanzaki. Seorang pria melangkah masuk dari kegelapan, posturnya tegap dengan aura otoritas yang langsung membuat ruangan itu terasa berbeda.

Aku mengenal pria itu—semua orang di Pandora mengenalnya. Dia adalah Hoshikawa Renji, pemimpin cabang Pandora di Jepang. Dengan jas hitam dan lencana Pandora yang berkilauan di dada kirinya, dia adalah seseorang yang keberadaannya selalu menarik perhatian.

Kanzaki langsung memberi hormat, menunduk dengan hormat yang hampir kaku. "Pemimpin Hoshikawa!"

Aku, tentu saja, tetap berdiri biasa saja. Aku tidak punya alasan untuk tunduk pada siapa pun.

Hoshikawa menatap kami satu per satu, pandangannya dingin namun tegas. "Jika kalian tidak bisa menjaga kerjasama, aku akan memaksa kalian untuk menerima akibatnya. Mengerti?"

Nathan dan aku saling melirik sebelum akhirnya menarik napas panjang. Kami tahu betul apa yang bisa dilakukan Hoshikawa jika dia benar-benar marah.

"Baik," jawab Nathan akhirnya, suaranya lebih tenang.

Aku hanya mengangguk, memilih untuk tidak memperkeruh suasana. Tapi pikiranku masih dipenuhi pertanyaan. Jika Hoshikawa sendiri turun tangan dalam misi ini, dan bahkan membawa Nathan serta pengguna artefak sekuat Luna, maka apa yang sebenarnya terjadi?

"Artefak macam apa yang dicuri kali ini…?" gumamku pelan.

Tapi jawaban atas pertanyaan itu masih belum jelas. Yang kutahu, situasi ini jauh lebih besar daripada yang kupikirkan.

---

Pemimpin cabang Pandora Jepang, Hoshikawa Renji, melangkah maju dengan ekspresi dingin namun penuh wibawa. Matanya menatap kami satu per satu, memastikan kami benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan ia sampaikan.

"Aku akan menjelaskan situasi." Suaranya tajam dan tegas. "Beberapa hari yang lalu, sebuah artefak berhasil dicuri dari salah satu institusi penelitian kita."

Aku menyipitkan mata, merasa firasat buruk semakin mendalam. "Siapa yang mencurinya?"

"Vier."

Hanya dengan satu nama, suasana ruangan itu berubah. Kanzaki tampak terkejut, sementara aku mengerutkan alis.

"Vier…" gumamku pelan. "Petinggi Union dengan kemampuan manipulasi ruang."

Hoshikawa mengangguk. "Benar. Dia berhasil menyusup ke institusi penelitian tingkat tinggi dan melarikan artefak itu tanpa meninggalkan jejak berarti."

Aku melipat tangan, mencoba mencerna informasi itu. "Artefak seperti apa yang dicuri sampai kita harus membuat misi gabungan dengan tim Amerika?"

Hoshikawa menatapku tajam. "Kau tidak punya hak untuk tahu."

Aku mendecakkan lidah, tidak terkejut dengan jawaban itu. Tapi sebelum aku sempat menanggapi, dia melanjutkan, "Satu hal yang perlu kalian ingat: jangan pernah mencoba untuk melihat artefak itu dalam misi ini. Kalian hanya perlu tahu bahwa artefak itu sangat penting."

Nada suaranya tegas, tidak memberi ruang untuk perdebatan. Meski tidak puas, aku hanya mengangguk singkat.

Kanzaki, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, bertanya, "Kalau begitu, bukankah kita harus bergerak secepatnya? Semakin lama kita menunggu, semakin sulit untuk melacaknya."

Nathan menyela dengan nada tenang, "Itu sepertinya tidak akan mudah."

Kanzaki mengernyit, bingung. "Apa maksudmu?"

Nathan menyandarkan punggungnya ke dinding, menyilangkan tangan. "Aku sudah mendapat sedikit detail tentang misi ini. Kalau kita bergerak sekarang, kita hanya akan menarik perhatian yang tidak diinginkan."

Kanzaki semakin bingung. "Menarik perhatian? Maksudmu apa?"

Aku memotong sebelum Nathan bisa menjawab. "Jadi, mereka ada di tempat yang cukup… ramai?"

Hoshikawa mengangguk. "Benar. Menurut hasil penyelidikan kami, artefak itu sekarang berada di pusat kota, lebih tepatnya di sebuah hotel bintang lima di Tokyo."

"Hotel?" Kanzaki mengulang dengan nada bingung.

"Ya," jawab Hoshikawa. "Jika kita bergerak sekarang, itu akan menarik terlalu banyak perhatian, terutama karena lokasi itu dikelilingi oleh kamera, pengunjung, dan media."

Kanzaki tampak ragu. "Kalau begitu… apa yang harus kita lakukan?"

Hoshikawa melanjutkan dengan tenang, "Berdasarkan informasi yang kami dapat, artefak itu akan dipindahkan ke suatu tempat menggunakan kapal besok malam. Kita akan menggunakan kesempatan itu untuk merebutnya dan sekaligus menangkap Vier."

Aku mengerutkan kening, merasa rencana ini terlalu terburu-buru. "Bukannya itu akan lebih menarik perhatian?"

Nathan menyeringai tipis. "Tentu saja. Tapi itu kalau itu sebuah kapal biasa."

Pikiranku langsung melompat ke satu kesimpulan. "Jangan-jangan…"

Hoshikawa mengangguk, suaranya tenang namun penuh arti. "Benar. Kapal yang dimaksud adalah Erebus, sebuah kapal yang digunakan untuk pelelangan artefak secara ilegal. Ini akan menjadi alibi sempurna untuk misi kali ini."

"Pelelangan artefak?" Kanzaki bertanya, tampak belum sepenuhnya mengerti.

Aku mengangguk, mengambil alih penjelasan. "Artefak adalah benda spesial yang dianggap sebagai harta negara. Tapi seperti yang kau tahu, ada banyak orang kaya di luar sana yang menginginkannya untuk koleksi pribadi… atau tujuan lain yang lebih gelap."

Kanzaki mengangguk pelan, akhirnya mengerti. "Jadi, pelelangan ini adalah tempat mereka memperdagangkannya secara ilegal."

"Benar." Hoshikawa menatap kami serius. "Misi ini akan dilakukan besok malam. Kalian akan menyamar sebagai tamu dalam pelelangan itu. Target kalian ada dua: pertama, merebut artefak yang dicuri. Kedua, menangkap petinggi Union yang hadir di pelelangan tersebut, Arcane dengan grade S+, Nakamura Kaito."

Seketika, ruangan terasa jauh lebih dingin. Nama itu membuat tengkukku meremang, meskipun aku berusaha tetap tenang. Kanzaki menatap Hoshikawa dengan ekspresi bingung sekaligus khawatir.

"Nakamura Kaito…" gumamku pelan. Nama itu membawa beban besar—bukan hanya sebagai ancaman, tetapi juga kenangan yang tidak ingin kuingat lagi.

"Ada masalah, Seiji?" tanya Nathan, suaranya mengejek seperti biasa.

Aku hanya meliriknya sekilas. "Tidak ada."

Tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu misi ini tidak akan semudah kelihatannya. Ada terlalu banyak variabel yang berbahaya, dan semuanya akan dipertaruhkan besok malam di atas kapal Erebus.