Ksatria Behold tak berhenti memacu kudanya seperti orang kesetanan jalanan yang kanan kirinya berupa area persawahan yang luas.
Dia sama sekali tak menghiraukan kuda hitam tunggangannya itu sudah kelelahan. Tapi kuda hitam itu seakan tahu bahwa Tuannya sedang terburu dan memaksa terus mempercepat langkah.
Di kejauhan sana, langit tampak berwarna oranye karena mega mendung memantulkan kobaran api yang sangat besar. Asap hitam nan tebal menguar dari banyak arah. Semuanya terpusat dari Desa Molome. Kesanalah tujuan Ksatria Behold da pasukannya.
Kedua alis Ksatria Behold yang telah memutih menukik tajam. Dia tahu bahwa saat itu dirinya telah terlambat untuk menyelamatkan desa. Informasi yang diterimanya terlalu lambat. Terlebih jarak Kota Kerajaan Gedonia—tempatnya berasasal dan Desa Molome memang cukup jauh. Normalnya perlu dua hari penuh untuk mencapai desa. Tapi dengan bantuan sihir angin dari penyihir di pasukannya, Ksatria Behold bisa memangkas waktu yang cukup banyak. Namun, sekali lagi, semuanya sudah terlambat.
"Apakah kita masih sempat, Tuan Behold?" tanya Jehan, prajurit kepercayaannya sekaligus wakilnya. Dia bertanya setengah berteriak dari jarak dua meter. Kudanya tak mampu mengimbangi pergerakan Ksatria Behold. Tubuhnya yang kecil bergerak naik turun dengan kasar di atas pelana kuda. Rambutnya pendek, dipotong seperti mangkok terbalik. Wajahnya nampak sama cemasnya.
"Sudah terlambat Jehan. Gharb si Pemantik, salah satu jenderal raja iblis itu pasti sudah membantai desa itu saat beritanya sampai di kita."
Jehan mengernyitkan dahinya. Bingung. "Lalu, kenapa kita buru-buru seperti ini? Lihatlah pasukan kita banyak yang kelelahan. Apalagi para penyihir kita. Mereka hampir mencapai batasnya. Jika nantinya ada musuh, mungkin para penyihir itu sudah tak berguna lagi."
"Kau berisik sekali, Jehan," tukas Ksatria Behold. Matanya menatap tajam ke depan. Area persawahan yang luas mulai nampak jarang. Api yang menggerogoti rumah semakin jelas. Panas kobaran api mulai mempengaruhi kulit mereka.
Kuda ksatria itu akhirnya mulai melambat. Sihir angin mulai dilepaskan. Penyihir-penyihir yang diangkut di gerobak kuda tampak terengah-engah. Wajah mereka yang pucat sedikit lega.
Sebaliknya, Ksatria Behold memasang inderanya tajam-tajam. Begitupun Jehan. Dia mengisyaratkan prajurit lainnya untuk merapatkan diri ke belakang Ksatria Behold. Ada sekitar dua puluhan ksatria yang masing-masing menunggangi kuda. Juga dua gerobak kuda yang membawa delapan penyihir kerajaan.
Semua prajurit itu memakai zirah yang sama. Zirah perak yang terlihat usang dengan bekas goresan di beberapa tempat. Menunjukkan mereka telah terlibat dalam banyak peperangan. Di bawah mendung ini, warnanya nampak kelabu kehitaman. Yang menandakan mereka prajurit kerajaan Gedonia adalah lambang kerajaan di jubah mereka yang berwarna merah dengan gambar naga hitam melingkar di bagian tengah. Khusus Ksatria Behold, zirahnya terlihat lebih mewah dengan sapuan warna kuning keemasan di pinggir-pinggirnya.
Mereka berjalan perlahan dengan penuh waspada. Memperhatikan kondisi Desa Molome yang terbakar habis di sepanjang jalana. Bagian pinggiran desa sudah rata dengan tanah. Meninggalkan sedikit reruntuhan yang gosong. Di bagian agak tengah, api masih menyala sedikit. Diiringi asap hitam di banyak tempat. Asap itu naik ke langit. Bergabung dengan mendung yang semakin menghitam. Sedangkan yang terparah berada di pusat desa. Api masih berkobar hebat di tengah sana. Sepertinya Pasukan Gharb si Pemantik mengepung desa ini dan mulai membakar dari luar. Memojokkan orang-orang hingga bagian tengah.
Hujan mulai turun. Kuda-kuda mereka mulai meringkik tidak senang saat air mengguyur tubuh mereka. Ksatria Behold tak peduli. Dia terus memaksa kudanya untuk bergerak menuju pusat desa. Matanya tak berhenti memandang setiap sudut desa.
Setiap kali melihat mayat di jalanan atau di reruntuhan, dadanya terasa panas, seakan darahnya sedang dipanaskan oleh lava dari gunung api. Tapi, mayat telah bergelimpangan di mana-mana. Membuat dadanya terus-terusan panas dan darahnya serasa mendidih. Dia berharap bertemu dengan Prajurit-nya Gharb atau Gharb sekalian agar bisa menyalurkan amarahnya itu. Meskipun dia tahu, kekuatannya tak akan sebanding dengan Gharb sendiri. Setidaknya untuk sekarang. Karena para penyihir di pasukannya sudah kehabisan mana, energi sihir mereka.
Ksatria Behold pikir, di tengah desa nanti dia akan bertemu dengan Gharb atau prajuritnya. Tapi ternyata tidak. Desa itu benar-benar senyap. Kecuali suara gemeratuk kayu yang terbakar dan desisan bara yang terkena tetesan hujan.
"Kita terlambat, Tuan Behold," kata Jehan dengan sedih. Di tengah desa mayat semakin banyak. Mayat-mayat itu di tumpuk tinggi seperti mainan kartu. Seoalah-olah bagi para iblis itu, nyawa manusia tidak ada harganya. Dalam hati, Jehan berdoa agar para warga desa bisa tenang di surga sana.
Tapi wajah Ksatria Behold menampilkan sebaliknya. Matanya sedikit terbelalak melihat sesuatu di depan sana. Dia buru-buru turun dari kudanya dan setengah berlari di bawah hujan yang mulai menderas. Jehan mengisyaratkan agar yang lain tetap waspada dan berjaga di kuda masing-masing. Dia sendiri, ikut turun dan menyusul Ksatria Behold.
"Ada apa, Tuan—" kalimat Jehan terhenti ketika melihat monster sebesar kerbau dengan tanduk hitam tergeletak tengkurap. Kulitnya berwarna merah darah. Tubuh besar itu selama ini terhalang tumpukkan mayat di tengah desa. Dari ciri fisiknya, Jehan tahu betul kalau sosok itu dari ras iblis. Kakinya terasa lemas dan kesulitan untuk melangkah lebih dekat. Ini pertama kalinya, dia melihat ras iblis secara langsung.
"Dia sudah mati, Jehan." Ksatria Behold berlutut, setengah berjongkok tak jauh dari mayat iblis itu. Dia tampak lebih tenang karena Ksatria Behold pernah aktif dalam perburuan iblis bersama ksatria kerajaan lainnya. Tapi, dia sudah pensiun sekarang. Alasan utama, kenapa dirinya yang ditugaskan untuk ke Desa Molome ini karena sebagian besar Ksatria di Gedonia sedang bertugas di tempat lain. Sedangkan yang tersisa kebanyakan Ksatria yang sakit atau sudah lanjut usia sepertinya. Tapi, hanya Ksatria Behold yang menerima tugas dadakan ini dengan semangat.
"Aku tak percaya ini, tapi itu adalah Gharb si Pemantik. Dia telah dikalahkan."
"Dikalahkan?" Jehan terkejut. Bukan hanya karena sosok iblis itu bukan ras iblis biasa, tetapi jenderal dari Sepuluh Jenderal Besar milik raja iblis. Tetapi, mendengar kata dikalahkan membuatnya tak kalah terkejut. "Oleh siapa?"
Ksatria Behold berdiri dari posisinya. Berbalik ke arah Jehan. Pria tua itu, tampak membopong seorang anak laki-laki berusia 12 tahunan. Tubuhnya tampak kurus. Wajahnya bulat kecil dan tampak lucu seperti anak-anak pada umumnya. Rambutnya pendek dan sedikit ikal. Tangan kananya yang menggantung tampak memegang pedang besar yang patah di tengahnya.
"Bisa jadi, anak kecil ini yang mengalahkannya."
Jehan menepuk dahinya. Tak percaya mendengar kalimat itu dari Ksatria Behold. "Yang benar saja. Anak sekecil ini?"
Ksatria Behold juga nampak tak percaya. Tapi, instingnya mengatakan bahwa anak ini memiliki sesuatu yang spesial. Dia tak menghiraukan Jehan lagi. Dia membopong anak kecil itu ke salah satu gerobak kuda. Meletakkan tubuhnya dalam kereta. Para penyihir yang ada di dalam, sigap membantu.
Setelahnya, Ksatria Behold membagi pasukannya menjadi dua bagian. Bagian pertama mengumpulkan mayat-mayat yang ada di desa itu. Dan yang kedua, menggali lubang besar untuk kuburan massal.
"Bagaiamana dengan mayat-mayat dari ras iblis ini?" tanya Jehan. Dia melihat banyak ras iblis di belakang mayat Gharb. Dan itu tak kalah banyak dengan jumlah mayat manusia yang ada di sana.
"Mereka akan lenyap menjadi setelah terkena matahari."
Meski sudah kelelahan, para prajurit itu tetap mengikuti perintah Ksatria Behold. Karena mereka tahu, jikapun mereka tak menurut dengan alasan lelah, pria tua itu bisa mengerjakan sendiri. Itu sama saja mencoreng gelar prajurit di dada mereka. Tapi, untungnya ada penyihir yang memiliki sisa mana, sehingga penggalian tanah bisa dilakukan dengan cepat dan mudah.
Jehan sendiri mulai mengerti kenapa Ksatria Behold ngotot untuk segera tiba di desa ini, setelah dia melihat wajah tua yang tegang tadi menghilang saat membopong anak kecil itu. Meskipun, dia tahu bahwa desa ini sudah tak terselamatkan. Ternyata, dia ingin menyelamatkan mereka yang masih bertahan. Telat beberapa jam saja, anak kecil itu pasti sudah mati. Jehan tersenyum kecil, menyadari garis kaku di wajah Ksatria Behold melonggar, mengetahui dia berhasil menyelamatkan satu nyawa dalam misinya.
Setelah semua urusan itu selesai, pasukan Ksatria Behold berteduh di sebuah reruntuhan batu di Desa Molome. Dulunya tampak seperti bengkel pandai besi. Ada beberapa tungku api dan jajaran senjata yang gosong. Bagian atas yang disedikit bolong, telah ditambal dengan terpal penutup kereta kuda. Untungnya bengkel itu besar, sehingga kuda dan gerobak mereka bisa masuk.
Anak laki-laki itu masih belum sadar. Tapi, para penyihir telah menutup luka-lukanya dengan sihir penyembuhan tingkat rendah. Dia ditidurkan dekat api unggun. Ksatria Behold dan Jehan duduk di belakangnya. Prajurit lainnya duduk mengelilingi api unggun itu. Mereka menikmati daging sapi bakar.
"Apakah benar, anak kecil ini yang mengalahkan Gharb?" tanya seorang prajurit keheranan. Apalagi dengan pedang patah miliknya itu. Jika dipikir-pikir. Itu sangat tidak mungkin.
"Bisa jadi ada pasukan ksatria hebat yang mengalahkan Gharb sebelum kita datang, lalu mereka pergi setelah mengalahkannya," celetuk yang lain.
Ksatria Behold diam saja. Menikmati potongan daging yang cukup besar.
"Ya, bisa jadi demikian." Yang lain tampak setuju dengan pernyataan itu. Bahkan Ksatria Behold juga setuju dengan itu. Mengalahkan satu jenderal iblis tak mungkin hanya dilakukan seorang ksatria saja. Dirinya yang termasuk ksatria veteran saja, rasanya mustahil berduel dengan Gharb. Tapi, entah kenapa setitik firasat dalam hatinya mengatakan bahwa anak kecil inilah yang mengalahkan Gharb. Dan, dia lebih mempercayai firasat kecilnya itu.
Pandangan Behold berganti ke pedang anak kecil itu yang telah disarungkan kembali ke tempatnya. Pedang itu jenis pedang besar yang umumnya perlu dua tangan untuk menggunakannya. Meski ujung pedang itu patah, harusnya pedang itu masih terlalu berat untuk di angkat anak seumurannya. Tapi, Behold merasakan getaran aneh yang tak pernah dia rasakan dari pedang pada umumnya. Bahkan pedang sihir yang pernah dilihatnya tak memancarkan getaran aneh seperti itu. Tadi, sewaktu hendak membopongnya, dia sempat memegang pedang patah itu. Tapi, dia buru-buru menariknya karena tangannya terasa tersengat. Jehan tadi juga menyentuhmya, dia yang memasukkan pedang itu ke sarung pedangnya. Jehan tak merasakan apa-apa. Ksatria Behold semakin yakin bahwa anak dan pedang ini sangat istimewa.
"Aku mengerti semua ini tidak masuk akal. Bahkan serangan Gharb si Pemantik yang mendadak juga tidak masuk akal. Tapi, aku merasa bahwa anak ini punya sesuatu yang spesial." Ksatria Behold memberikan penjelasan yang menggantung setelah daging di tangannya habis. Lalu, dia berdiri. Berniat mencuci tangan menggunakan air hujan yang masih menderas.
Jehan menyusulnya. "Jadi, kita tidak membawanya ke panti asuhan?"
"Tentu, ke panti asuhan, Jehan. Aku tak mau merawat anak kecil. Itu merepotkan. Kalau kau mau mengurusnya, kau boleh mengadopsinya."
Jehan buru-buru menggeleng. Dia tak punya waktu berurusan dengan anak kecil.
Ksatria Behold tertawa melihatnya. "Aku akan membawanya ke Panti Asuhan Karfis."
"Panti Asuhan milik bangsawan itu? Bukankah itu terlalu mewah? Maksudku—"
Ksatria Behold memegang pundak Jehan. "Dengar, Jehan. Aku tahu semuanya masih abu-abu. Tapi jika anak itu benar-benar telah mengalahkan Gharb, dia bisa menjadi aset yang besar untuk kerajaan. Aku ingin dia di besarkan di tempat yang lebih layak saja. Lagipula, aku juga sekalian bisa mengawasinya."
"Tapi, bagaiamana jika Anda salah? Bukan anak itu yang membunuh Gharb. Seperti kata para prajurit tadi, bisa jadi ada pasukan ksatria yang membunuhnya, lalu pergi begitu saja."
Ksatria Behold menghela napas berat. Dia paham kekhawatiran Jehan. Dia bermaksud baik.
"Anak itu berasal dari desa kecil, Tuan Behold. Sedangkan panti asuhan itu berisi anak-anak bangsawan yang terlantar. Pengurus di sana, kebanyakan juga mantan bangsawan. Kau tak bisa memasukkan anak itu seenaknya."
"Urusan itu, aku akan mendiskusikanya dengan raja. Sudahlah Jehan, aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi saat ini, aku sudah capek. Aku mau istirahat."
Jehan masih kesal. Ksatria Behold terlalu keras kepala dengan keputusannya sendiri. Matanya mengikuti pergerakan pria tua itu yang mencari tempat beristirahat. Lalu, ekor matanya menangkap sosok anak kecil yang tengah tertidur pulas itu. Di berpikir, apanya yang spesial dari anak sekurus itu?