Chereads / Alkisah si Pahlawan Palsu / Chapter 3 - Sambutan Untuk Zack si Pahlawan

Chapter 3 - Sambutan Untuk Zack si Pahlawan

Sebuah karpet merah digelar dari pintu Panti Asuhan Karfis hingga gerbang luar. Di sana, sebuah kereta kuda telah berhenti dengan rapi. Zack dan Ksatrian Behold keluar dari balik pintunya. Menenteng tas besar, barang-barang milik Zack. Dia bagian pintu depan terdapat tulisan besar menggunakan cat warna emas di papan kayu putih.

Selamat Datang Pahlawan Zack

Senyum Zack mengembang lebar. Masih tidak percaya bahwa kedatangannya akan disambut semegah ini.

Di kanan kiri karpet merah itu, terdapat anak-anak dan pengurus panti meneriakkan namanya seraya melempar bunga berwarna-warni.

"Jaga sikapmu, Zack." Ksatria Behold memperingatkan. Menggamit lengan anak kecil itu. Lalu, menuntunnya menuju bangunan utama panti asuhan. Zack mengikutinya. Meskipun pandangannya masih teralihkan dengan ingar bingar penyambutan untuknya itu. Dia melambaikan tangannya pada anak-anak yang menyapanya.

Ksatria Behold juga terkejut bahwa penyambutannya akan seriuh itu. Dia sama sekali tak suka hal seperti itu. Dia menarik Zack untuk melangkah lebih cepat. Karena anak kecil itu menghentikan langkahnya setiap namanya di panggil.

Sesampainya di dalam, seorang pelayan langsung sigap membawakan barang-barang Zack. Seorang perempuan tua dangan rambut ikal tersenyum mendekati keduanya. "Selamat datang, Behold!"

"Apa-apaan semua itu, Martha," sergah Ksatria Behold.

Martha, perempuan itu tertawa. "Ini untuk Pahlawan kecil ini. Itu semua bukan hal kecil. Bagaiamana pendapatmu, Nak?" Martha sidikit menundukkan tubuhnya. Tersenyum ke arah Zack.

"Saya sangat senang."

Mendengar itu, Martha tertawa kecil.

Setelahnya, Martha menyuruh Zack untuk berkenalan dengan penghuni lain di aula. Seorang pelayan menunjukkan arahnya. Sementara, Ksatria Behold melanjutkan berbincang dengan Martha.

Baru saja masuk ke aula pesta, seorang anak perempuan yang usianya tak jauh darinya langsung merangkul tangannya.

"Selamat datang, Pahlawan Zack. Kami sangat senang kau akan tinggal di sini. Perkenalkan saya Stefani," serunya dengan senyum lebar. Dia cantik. Giginya rapi. Rambutnya berwarna keemasan dan dikuncir dua. Dia memakai gaun berwarna kuning yang cukup mencolok.

Zack merasa tak perlu mengenalkan dirinya di tempat itu.

"Kemarilah, Pahlawan Zack. Kami menyiapkan banyak kudapan yang lezat untukmu. Aku yakin kau belum pernah memakannya di Desa Molome sana."

Otak Zack belum menerima sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Jadi, dia membiarkn perempuan itu menarik tubuhnya ke meja panjang berisi banyak makanan.

Stefani mengambilkan spotong roti yang cukup besar. Lalu, menyuapkannya ke Zack dalam sekali suapan. Tentu, mulutnya langsung penuh. Tapi, dia tidak menyesal karena roti itu benar-benar lezat. Stefani tertawa diikuti anak-anak perempuan lainnya.

Anak perempuan lain, mulai memperkenalkan dirinya satu per satu. Mereka semua cantik dan punya ciri khas masing-masing. Tapi, Zack bukan orang yang terlalu pintar. Dia tidak bisa mengingat semuanya. Yang jelas, setelahnya mereka menyuapi Zack dengan banyak makanan sambil tertawa-tawa. Dia benar-benar dilayani dengan baik.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki besar yang usianya tiga tahun lebih tua dari Zack menepukkan kedua tangannya cukup keras. Membuat tawa Stefani dan teman-temannya berhenti.

"Cukup Stefani. Pahlawan Zack itu laki-laki. Seharusnya dia bergabung dengan kami."

Stefani mencibir. "Pahlawan Zack lebih suka di sini bersamaku. Jangan mengganggu kami, Riven. Bermainlah dengan teman-temanmu sana."

Zack bingung tiba-tiba diperebutkan. Tapi jujur saja, perutnya sekarang sudah penuh. Dia berharap bisa segera pergi dari meja penuh makanan ini.

Dan untungnya, teman-teman Riven datang membantu. Mereka langsung menarik Zack dari cengkeraman Stefani. Perempuan itu tak bisa melawan. Dia hanya pasrah dengan wajah cemberut. Zack sedikit bersyukur akhirnya bisa lega terlepas dari siksaan makanan itu.

Zack di bawa ke sisi pojok, tempat anak laki-laki lain berkumpul. Usia mereka bervariasi. Umumnya belasan tahun.

"Maaf telat memperkenalkan diri, Pahlawan Zack. Saya Riven, saya ketua asrama laki-laki. Jika butuh sesuatu. Kau boleh memanggilku kapan saja."

"Terima kasih, sudah menerima saya dengan baik," balas Zack sesopan mungkin. Meski dia tak yakin.

Yang lain juga mulai memperkenalkan diri. Tapi, lagi-lagi Zack tidak bisa mengingat semuanya. Dia cukup kenal Riven. Dan dua orang yang membantunya keluar dadi Stefani, Hans dan Karl.

"Apakah benar, kau yang mengalahkan Gharb si Pemantik?" tanya seseorang setelah perkenalan singkat itu selesai.

Jujur Zack muak dengan pertanyaan itu. Tapi mata mereka berbinar ingin mendengar cerita sebenarnya. "Y-ya. Tentu aku yang melakukannya." Zack menjawab dengan sedikit tergagap. Karena memang dia tak yakin dengan semua itu.

"Bagaiamana kau mengalahkannya?"

"Jurus apa yang kau gunakan?"

"Apakah kau tidak takut?"

Pertanyaan lain segera memberondongnya. Zack mulai menyesal bergabung dengan perkumpulan anak laki-laki ini.

Zack mencoba mengarang sebisanya. Saat itu, dia tak bisa mengatakan bahwa, saat menantang Gharb, dirinya gemetaran

"A-aku melawannya dengan pedang pemberian kakekku. Kurasa aku menggunakan teknik berpedang biasanya. Seperti ini."

Zack memperaktekan kecil gerakan yang dia tahu. Seharusnya itu lucu, tapi mereka semua malah tertegun melihatnya. Zack jadi merasa tak enak. Tapi, semuanya sudah terlanjur. Dia malah asyik menceritakan jurus-jurus berpedang lain yang semua itu sebenarnya karangannya saja. Dia tak mau merusak suasana ini.

"Hebat sekali, Zac–eh maksudku Pahlawan Zack." Seorang anak laki-laki langsung menutup mulutnya ketika hendak memanggil Zack dengan namanya langsung.

"Panggil saja, Zack. Aku tidak keberatan." Itu karena Zack merasa aneh setiap dipanggil demikan. Dia senang memang, tapi juga merasa geli.

"Benarkah boleh? Jadi, aku bisa jadi temanmu?"

Zack mengangguk. Memangnya kenapa tidak? Begitu pikir Zack.

"Eh, apakah itu pedang yang kau gunakan saat melawan Gharb?" Sudah lama Karl ingin menanyakan pedang besar yang bertengger di punggung Zack. Sepertinya yang lain juga sama penasarannya.

Zack melepas pedangnya yang masib tersarung rapi dari punggungnya. Merasa ragu untuk memperlihatkan isinya. Apalagi pedang itu, cuma pedang patah. Tapi, Hans berpikir bahwa Zack memperbolehkannya memegang pedang itu. Makanya, dia langsung mengambilnya dari Zack.

"Jangan–"

Terlambat, Hans telah melepas sarung pedangnya. Sehingga terlihat batang pedang yang patah dan juga tampak berkarat. Wajah-wajah antusias dari teman-teman baru Zack langsung berubah bingung. Zack merasa malu. Dia tak tahu harus menjelaskan seperti apa.

"Anu, itu..."

"Kau bertarung sampai pedangmu patah?" tanya Riven. Itu memberi ide di kepala Zack.

"Y-yeah begitu. Gharb benar-benar kuat. Tapi aku tetap bisa mengalahkannya dengan pedang patah itu."

Seketika anak-anak yang bingung langsung bersorak heboh. Mereka semakin kagum dengan Zack.

Zack tertawa palsu. Juga, merasa lega karena kebohongannya tidak terbongkar.

"Tenang saja, Zack. Pamanku punya kenalan seorang pandai besi yang hebat. Nanti, kusuruh buatkan pedang yang bagus untukmu," ucap Hans dengan semangat.

"Benarkah? Maksudku bolehkah?" Zack mendadak ikut senang.

"Ya, itu mudah sekali. Tunggu saja."

"Baiklah, terima kasih, Hans."

Hans mengangguk. Lalu, kembali meneliti pedang Zack yang kini diletkkan di meja kecil dan dikerumuni anak-anak laki lainnya. Masing-masing dari mereka membayangkan pertarungan yang dahsyat seperti apa yang membuat pedang Zack hingga hampir hancur seperti ini?

Zack ikut merapat. Sesekali masih menjawab pertanyaan mereka yang aneh-aneh. Seperti makanan apa yang Zack konsumsi agar bisa sekuat ini? Belajar dengan siapa? Dan lain-lain. Zack menjawab sekenanya.

Menjadi Pahlawan sepertinya merepotkan, batin Zack.

Lalu, matanya menangkap sosok perempuan dengan rambut berwarna cokelat sebahu. Dia duduk menyendiri di sebuah kursi sambil menikmati es serut. Itu cukup mencolok karena anak-anak lainnya membentuk kelompok-kelompok kecil sambil menikmati makanan atau sekadar berbicang dan bergurau. Tapi dia berbeda. Tatapannya juga tampak orang yang tak semangat hidup. Mata mati sebutannya.

Zack penasaran, tapi teman-teman Riven menariknya lebih dekat. Menanyakan pertanyaan aneh lagi. Sosok perempuan itu terhalangi dengan anak laki-laki dengan mata penuh keingin tahuan. Zack merasa jengah. Menjadi seorang pahlawan ternyata semerepotkan ini.