Pesta itu berlangsung hingga sore. Setelah semuanya beres, Riven mengantar Zack ke kamarnya. Zack sangat senang. Karena dia sudah benar-benar capek dan ingin segera merebahkan dirinya.
Di Panti Asuhan Karfis, gedung asrama laki-laki dan perempuan ditempatkan di area yang terpisah. Dari aula tengah, Riven menuntun Zack menuju bangunan di sebelah utara. Sebuah bangunan besar yang menurut Zack tak kalah megahnya dengan bangunan utama.
Mereka sampai di sebuah kamar yang luas. Zack pikir itu, setara luas rumahnya sendiri. Ada ranjang yang sangat lebar di bagian tengah. Satu set sofa lengkap dengan mejanya. Lemari pakaian dua pintu yang tak kalah besar. Dia merasa pakaiannya hanya bisa mengisi seperdalapannya. Terakhir, ada pintu kecil di sisi lain kamar. Itu kamar mandi pribadi.
"Aku satu kamar dengan siapa?" tanya Zack dengan polosnya. Dalam bayangannya, sebuah panti asuhan pastilah mendapat kamar bersama. Setidaknya satu kamar untuk sepuluh orang.
"Ini tempatmu sendiri, Zack. Kamar ini seutuhnya milikmu," jelas Riven hampir tertawa dengan pertanyAn Zack. Tapi dia menahannya.
Zack sedikit tak percaya. Ini terlalu mewah untuknya. Padahal dia berpikir, ruangan sebesar ini akan diisi setidaknya lima anak atau lebih.
Riven menepuk pundak Zack dengan akrab. "Baiklah, Pahlawan Zack. Aku tahu, kau sudah sangat lelah. Seperti kataku tadi, kalau ada apa-apa hubungi saja aku. Kamarku ada di lantai paling bawah. Ada namaku di pintunya. Kau tak akan salah."
"Ya, terima kasih Riven. Kau benar-benar baik."
"Ini bukan seberapa, Zack. Kau seorang pahlawan. Kau pantas mendapat yang terbaik. Tanpamu, Gharb si Pemantik masib berkeliaran di luar sana. Hanya menunggu waktu, hingga dia sampai ke panti asuhan ini."
Zack tertawa kecut. Dia malu. Bukan hanya karena dipuji secara berlebihan. Tapi, juga karena dirinya telah berbohong. Pahlawan apanya? Dirinya hanya berdiri gemetaran di hadapan Gharb. Tapi, egonya meyakinkan dirinya untuk semakin menutup rapat kebenarnannya.
"Kalau begitu, selamat istirahat, Zack. Sampai bertemu makan malam nanti."
Zack sekali lagi mengucapkan terima kasih. Kemudian, Riven membalikkan badannya. Berjalan pergi ke kamarnya sendiri.
Zack meletakkan pedang yang selalu digendongnya di pojok ruangan. Di samping lemari besar yang terbuat dari kayu. Inginnya, dia segera merebahkan tubuhnya. Tetapi, barang-barangnya masih belum dia tata. Bisa saja Zack menyuruh pelayan yang ada di sana untuk membantunya atau menatanya nanti saja. Namun, dia sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Rasanya aneh apabila di bantu oleh orang lain untuk melakukan hal-hal sepele. Dia juga merasa tak nyaman jika tak segera menatanya. Semakin dia menundanya, rasanya akan semakin malas. Dia tak mau itu terjadi.
Barang bawaan Zack cuma sedikit. Hanya beberapa baju yang diberikan Ksatria Behold selama di mansion. Sebenarnya bukan Ksatria Behold yang membelikannya secara langsung. Tetapi, para pelayannya . Namun, tetap saja, uang yang digunakan milik orang tua itu.
Lalu, ada sebuah kalung murahan dari sulur tanaman yang diberikan orang tuanya. Satu-satunya yang dia punya. Dia memandang kalung itu cukup lama. Dia ingat, itu kado ulang tahunnya yang ke sembilan. Kalung itu dibeli dari seorang pelancong oleh ibunya. Katanya kalung itu sebuah jimat keberuntungan.
Selama ini, Zack tak menganggapnya begitu. Tapi, setelah serangan jenderal iblis itu. Juga gelar Pahlawan yang selalu dia impikan. Rumah yang nyaman. Makanan berkecupan. Dan orang-orang baik yang mengelilinginya. Sepertinya benar, kalung itu membawa sebuah keberuntungan.
Tapi apa benar begitu? Apakah desanya yang hancur. Kematian mengenaskan orang tuanya. Semua itu bisa dianggap keberuntungan? Dadanya tiba-tiba sesak. Jika memang semuanya boleh ditukar. Zack lebih memilih ibunya dibandingkan semua kemewahan ini.
Dada Zack tiba-tiba terasa sesak. Dia meringkuk di atas ranjangnya. Mulai terisak kecil. Pikiran-pikiran seperti ini selalu membuatnya sedih. Mereka selalu datang ketika sekitar Zack mulai sepi. Zack tertidur dengan menggenggam erat kalung itu.
Biar bagaimanapun, Zack adalah bocah umur dua belas tahun. Dia masih membutuhkan kasih seorang ibu dan dukungan dari seorang ayah. Kehilangan keduanya secara mendadak dan teragis adalah sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.