Chereads / kekosongan menelan semesta, / Chapter 1 - Prolog – Bayangan Kekosongan

kekosongan menelan semesta,

no_sistem
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog – Bayangan Kekosongan

Di antara reruntuhan waktu dan ruang, di suatu sudut semesta yang terlupakan, terdapat sebuah kehampaan yang tak terhingga. Di sana, di tengah kegelapan yang menghilangkan setiap jejak kehidupan, berdirilah sebuah takhta yang dibentuk dari sisa-sisa dunia yang telah lama sirna. Di atasnya, dengan ketenangan yang mengerikan, duduklah sosok yang telah lama menjadi legenda—The Void, yang dikenal juga sebagai Heze.

Malam itu, langit dipenuhi oleh bintang-bintang redup, seolah-olah alam semesta sedang berduka atas nasibnya sendiri. Angin malam yang dingin menyusup melalui celah-celah reruntuhan, membawa bisikan rahasia yang hanya dapat didengar oleh jiwa-jiwa yang telah lama tersesat. Di balik keheningan itu, The Void menyerap setiap getaran, setiap desahan yang terpancar dari dunia fana.

Heze, dengan rambut panjangnya yang putih seperti salju yang meleleh dalam kegelapan, tampak mengalir tanpa batas. Rambutnya yang indah dan tak tersentuh itu seolah menjadi arus dari malam yang abadi, mencerminkan kecerahan yang aneh di balik kehampaan. Matanya, merah menyala seperti bara api yang tak pernah padam, memancarkan tatapan yang menembus jiwa. Dalam sekejap, tatapan itu mampu mengungkapkan kepedihan, keangkuhan, dan pengetahuan yang telah menumpuk selama berabad-abad—sebuah cermin bagi dunia yang hidup dalam kegelapan.

Kulitnya pucat seperti tulang, tanpa percikan kehidupan, menunjukkan bahwa ia bukanlah makhluk yang terikat pada kehangatan atau emosi manusia. Tubuhnya yang tinggi dan ramping berdiri dengan anggun di antara reruntuhan, namun ia juga menyimpan keheningan yang mendalam. Di pergelangan tangannya, terdapat gelang besi sederhana—sebuah simbol kebebasan yang terikat, ironis bagi makhluk yang sesungguhnya bebas dari segala batasan duniawi. Kadang-kadang, ia mengenakan mantel panjang berwarna gelap yang seakan menyatu dengan kegelapan di sekitarnya, menambah kesan bahwa ia adalah bagian dari kegelapan itu sendiri.

Di dunia yang terlupakan ini, setiap partikel udara, setiap hembusan angin, seolah menyampaikan pesan bahwa segala sesuatu telah berubah. Koin Kegelapan, artefak misterius yang telah lama menjadi legenda di antara manusia, kini bersinar samar di bawah sinar rembulan. Koin itu adalah pemanggil, alat yang menghubungkan dunia fana dengan kekosongan yang tak terjangkau oleh pikiran manusia. Dan malam itu, koin itu telah dilempar—sebuah aksi sederhana yang menggetarkan seluruh alam.

Sebuah koin hitam melayang perlahan, menari di udara seolah dipandu oleh kekuatan yang tak terlihat, sebelum akhirnya mendarat di atas tanah yang retak dan basah oleh embun malam. Saat koin itu menyentuh permukaan, terjadi sesuatu yang luar biasa. Getaran kecil merambat di tanah, mengirimkan gelombang keheningan yang begitu dalam sehingga seluruh alam terasa terhenti sejenak. Di situlah, di antara bayang-bayang reruntuhan, The Void membuka matanya dengan perlahan.

Dalam keheningan yang hampir sakral itu, ia mengangkat kepalanya, dan tatapan merahnya menembus kegelapan. Suara yang dihasilkan bukanlah suara manusia, melainkan gema dari dimensi yang jauh, suara yang menyatu dengan setiap denyut alam. Dengan nada lembut yang penuh misteri, ia berkata:

"Seseorang telah memanggilku."

Kata-kata itu menggema di antara reruntuhan, menyebar melalui udara dingin, menembus jiwa siapa pun yang mendengarnya. Tidak ada kegembiraan dalam suaranya, hanya sebuah pernyataan dingin yang penuh dengan pengetahuan dan kehampaan. Namun, di balik kata-kata itu tersimpan teka-teki besar—sebuah janji bahwa penyembahan yang telah dimulai di dunia fana adalah pintu gerbang menuju rahasia yang lebih dalam.

Di sisi lain alam semesta, bisikan itu tidak hanya didengar oleh makhluk fana, melainkan juga oleh kekuatan tertinggi yang menjaga keseimbangan. Para dewa, yang selama ini tersembunyi di balik tabir cahaya dan keabadian, mulai merasakan getaran yang mengganggu ketenangan. Di puncak langit, di antara megahnya Ordo Celestia, Elyon sang Penjaga Cahaya membuka matanya yang bersinar lembut. Ia merasakan ancaman dari kegelapan yang baru saja dipanggil. Di sampingnya, Aracelia, dewi penjaga alam, bergumam, "Kehadiran The Void tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan. Penyembahan manusia telah membuka celah bagi kekacauan." Suara mereka menyatu dalam simfoni keagungan, menandakan bahwa pertempuran antara penciptaan dan kehancuran akan segera bergulir.

Namun, di dunia fana, hanya sedikit yang menyadari bahwa kekuatan ilahi sedang bergerak. Di jalanan kota tua yang sunyi, di antara bayang-bayang yang menari di bawah sinar bulan, ada mereka yang merasakan perubahan. Mereka yang telah lama hidup dalam keterasingan dan penderitaan mulai melihat tanda-tanda bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi. Reruntuhan, semacam cermin bagi dunia yang rapuh, mulai mengungkapkan rahasia mereka. Dan di antara sisa-sisa peradaban, bisikan dari Koin Kegelapan mengisyaratkan bahwa takdir telah dituliskan ulang.

Dalam keheningan malam, di antara reruntuhan yang menjadi saksi bisu waktu, The Void duduk dengan tenang, menyerap setiap partikel pengetahuan yang mengalir melalui dimensi. Ia tidak menanggapi dengan emosi, karena ia tahu bahwa setiap bisikan, setiap getaran, adalah bagian dari perjalanan tanpa akhir untuk mencari arti keberadaan. Dengan tatapan dingin yang seolah dapat menembus ruang dan waktu, ia terus mengamati—mencatat setiap detail, setiap luka dan harapan yang terpancar dari dunia fana.

Dan saat itulah, dari kegelapan yang mendalam, sebuah pertanyaan muncul—pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban, menunggu untuk dipecahkan. Apakah penyembahan manusia yang datang tanpa pemahaman ini akan membuka jalan bagi kebangkitan atau kehancuran? Akankah koin yang dilempar itu menjadi simbol keabadian atau justru awal dari kehancuran yang tak terhindarkan?

The Void, atau Heze, tetap menjadi saksi abadi dari semua itu. Ia bukanlah makhluk yang memihak, tetapi pengamat yang terus mencari pengetahuan. Dengan suara yang serak dan penuh misteri, ia mengulang dengan tenang, "Seseorang telah memanggilku." Sebuah pernyataan yang sederhana namun mengguncang, seolah menandakan bahwa dunia fana kini telah terlibat dalam tarian antara cahaya dan kegelapan—sebuah tarian yang tak terelakkan dan akan mengubah segalanya.

Saat koin hitam itu terus bersinar samar di bawah sinar rembulan, The Void menghela napas panjang, membiarkan kehampaan dan pengetahuan bersatu dalam diam. Di balik setiap getarannya tersimpan rahasia yang tak terpecahkan, dan di balik setiap bisikan angin, terdapat janji bahwa dunia ini akan segera berubah. Takdir telah ditenun dengan benang-benang yang rapat—benang yang menghubungkan dunia fana, kekuatan ilahi, dan makhluk abadi yang berjalan di antara keduanya.

Malam itu, di tengah kehampaan yang mendalam, prolog bagi sebuah cerita yang akan mengguncang semesta telah ditulis. Prolog itu bukan hanya tentang kehadiran The Void, melainkan juga tentang janji akan sebuah perjalanan—perjalanan menuju kebenaran, penderitaan, dan, pada akhirnya, penebusan. Di setiap sudut dunia, bayangan kekosongan telah tersebar, dan bisikan dari The Void menjadi pertanda bahwa takdir tidak lagi dapat diabaikan.