Bagian I – Fajar Keterasingan
Matahari belum sepenuhnya menyingsing ketika Siora terbangun dari tidurnya. Ia duduk di atas ranjang kayu sederhana di kamar mungil yang tersembunyi di salah satu sudut kota tua. Kamar itu, meskipun sederhana, penuh dengan kenangan akan dunia yang telah hilang—dunia asal yang hancur oleh konflik kosmik yang jauh melampaui pemahaman manusia.
Wajah Siora memancarkan campuran antara kelelahan, kesedihan, dan tekad yang menggelora. Rambutnya yang perak pucat dengan kilau kebiruan terurai lembut di pundaknya, seolah-olah menggambarkan langit malam yang suram. Matanya, berwarna biru tua, tampak kosong namun di dalamnya tersembunyi badai emosi yang tak pernah benar-benar reda. Hari ini, seperti setiap hari, adalah pertarungan antara keraguan dan tekad untuk menemukan jati dirinya, dan—jika takdir mengizinkan—untuk mengungkap rahasia Koin Kegelapan yang telah menghantui hidupnya.
Siora menarik napas dalam-dalam sebelum mengenakan gaun biru tua panjang dengan aksen perak yang menjadi ciri khasnya. Ia mengenakan gelang tipis dari kristal hitam di pergelangan tangannya, sebuah aksesori yang selalu mengingatkannya pada kekuatan misterius yang membawanya ke dunia fana ini. Meskipun ia belum sepenuhnya mengerti arti keberadaan koin yang telah ia temukan, ada keyakinan yang menggerakkan dirinya—sebuah panggilan dari dalam kegelapan yang menuntunnya menuju kebenaran.
Saat ia melangkah keluar dari rumah kecilnya, udara pagi yang sejuk langsung menyambutnya, membawa aroma lembut tanah basah dan dedaunan yang mulai bergoyang oleh angin. Di jalanan yang masih lengang, Siora merasa setiap langkahnya seolah dipandu oleh takdir. Di kejauhan, bangunan-bangunan tua dan reruntuhan kota tampak seperti saksi bisu atas peradaban yang pernah ada. Di sanalah, di antara bayang-bayang masa lalu, tersembunyi petunjuk yang bisa mengungkap asal usul kekosongan yang menyertainya.
Bagian II – Jejak dan Pertemuan Takdir
Di sepanjang jalan setapak yang berliku, Siora berjalan dengan perlahan namun penuh keyakinan. Setiap langkah terasa berat dengan beban pertanyaan yang menghantuinya: Apa arti Koin Kegelapan? Mengapa ia merasa begitu terhubung dengan bisikan dari The Void, makhluk abadi yang telah ia dengar lewat cerita-cerita samar dan mimpi-mimpi yang tak terjelaskan?
Di tengah perjalanannya, ia bertemu dengan Livia, seorang gadis sebayanya yang memiliki rambut cokelat keemasan dan mata yang bersinar penuh semangat meski terselubung duka. Livia adalah teman dekat Siora, sosok yang selalu ada untuk memberikan dukungan, bahkan di tengah kegelisahan yang tak kunjung reda.
"Livia!" panggil Siora dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun penuh kehangatan.
Livia tersenyum tipis dan menyambutnya, "Siora, aku sudah menunggumu di sini. Kau tampak berbeda pagi ini… ada sesuatu dalam tatapanmu."
Siora menggenggam tangan Livia sejenak, merasakan kehadiran sahabatnya seperti pelukan hangat di tengah dinginnya dunia. "Aku… aku merasa ada panggilan, Livia. Sesuatu yang membuatku ingin melangkah lebih jauh dari apa yang selama ini kukenal. Ada rahasia, bisikan dari kegelapan yang seolah memanggil namaku," ungkapnya dengan suara serak, matanya berkaca karena campuran emosi.
Livia mengerutkan kening, "Kau berbicara tentang The Void lagi, bukan? Aku tahu kau mendengar cerita-cerita itu sejak kecil, tapi apakah kau yakin itu bukan hanya mimpi buruk?"
Siora menatap lurus ke mata Livia, "Aku tak bisa mengabaikannya, Livia. Setiap kali aku melihat Koin Kegelapan, setiap kali aku mendengar bisikan yang berkata 'Seseorang telah memanggilku', hatiku berdegup kencang. Rasanya seperti dunia ini mencoba memberi petunjuk—bahwa ada sesuatu yang lebih besar menunggu di luar sana."
Livia menggenggam tangan Siora lebih erat. "Aku mengerti, temanku. Aku juga merasakan getaran itu, meskipun aku mencoba melupakannya. Tapi kita harus berhati-hati. Banyak yang bilang bahwa menyelami rahasia kekosongan bisa membawa kehancuran, bukan hanya pencerahan."
Mereka berdua berjalan bersama di jalan setapak yang dilapisi oleh dedaunan kering, dengan suasana pagi yang perlahan berubah dari kelam menuju secercah harapan. Di sepanjang jalan, Siora sesekali berhenti untuk melihat lukisan dinding tua atau ukiran-ukiran yang mungkin menyimpan petunjuk masa lalu. Setiap detail itu baginya adalah sepotong teka-teki yang harus disusun untuk memahami nasibnya.
Bagian III – Dialog Hati dan Pertanyaan yang Tak Terjawab
Dalam perjalanan mereka, Siora dan Livia mendekati sebuah taman kecil yang dulunya mungkin merupakan pusat kehidupan di kota itu. Di sana, di bawah pohon besar yang daunnya mulai berubah warna, mereka duduk sejenak untuk berbincang.
"Siora, apa yang benar-benar kau cari?" tanya Livia, matanya memandang dalam ke arah sahabatnya dengan keingintahuan yang tulus.
Siora terdiam sesaat, kemudian menjawab, "Aku mencari jawaban, Livia. Aku ingin tahu siapa aku sebenarnya. Setiap bisikan dari The Void, setiap getaran dari Koin Kegelapan, seolah menyuruhku untuk menemukan sesuatu yang hilang—mungkin bagian dari diriku yang terlupakan sejak dunia asalku hancur."
Livia menghela napas, "Aku juga merasa ada kekosongan dalam diriku, tapi entah kenapa aku takut untuk menggali terlalu dalam. Takut apa yang akan kutemukan di balik kegelapan itu."
Siora menatap Livia dengan lembut, "Takut itu wajar, tapi tanpa keberanian untuk menghadapi kegelapan, kita takkan pernah menemukan cahaya. Aku tahu jalan ini berat, dan mungkin penuh dengan bahaya. Namun, aku percaya bahwa ada arti yang lebih dalam di balik semua ini. Aku percaya bahwa setiap penderitaan, setiap pertanyaan, akan membawaku kepada kebenaran yang selama ini kutakuti."
Livia menggenggam tangan Siora, "Aku akan bersamamu, apapun yang terjadi. Mungkin, dengan bersama-sama, kita dapat menghadapi kegelapan itu dan menemukan secercah harapan."
Kata-kata Livia memberikan semangat baru bagi Siora. Dalam keheningan taman yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu, kedua sahabat itu berjanji untuk terus mencari, untuk menolak menyerah pada keputusasaan meskipun dunia sekeliling mereka tampak semakin hancur.
Bagian IV – Langkah Menuju Takdir
Setelah berbincang di taman, Siora dan Livia melanjutkan perjalanan mereka menuju pusat kota yang kini tampak sunyi. Setiap bangunan, setiap jalan, menyimpan cerita tentang zaman yang telah berlalu. Siora tidak bisa berhenti memikirkan pesan yang terus terngiang dalam benaknya: "Seseorang telah memanggilku." Pesan itu seperti mantra yang terus mengulang, mengarahkan langkahnya menuju suatu kebenaran yang mungkin dapat mengubah nasibnya dan dunia di sekitarnya.
Di satu sudut kota, mereka melihat sekelompok orang berkumpul di depan sebuah bangunan tua yang kini tampak seperti bekas pertemuan rahasia. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan wajah lelah namun penuh semangat, berbicara dengan suara keras, "Kita harus mencari tahu arti dari Koin Kegelapan ini! Setiap kali koin itu dipanggil, The Void muncul—dan aku yakin ada sesuatu yang harus kita lakukan untuk mencegah kehancuran!"
Mendengar suara itu, Siora dan Livia saling berpandangan. Siora merasakan getaran di dalam dadanya, seolah-olah suara itu memanggil jiwanya untuk bangkit. "Mungkin inilah waktunya untuk bertindak," gumamnya pelan, "untuk mencari tahu kebenaran di balik penyembahan ini, meskipun itu berarti harus menghadapi bayang-bayang yang menakutkan."
Livia mengangguk, "Aku tahu betapa beratnya hal ini, Siora. Tapi aku percaya bahwa bersama-sama kita bisa menemukan jalan keluar, menemukan arti di balik semua bisikan kegelapan ini."
Mereka mendekati kerumunan itu dan mendengarkan dengan seksama. Percakapan di antara orang-orang tersebut menggambarkan kecemasan yang sama—ketakutan akan kekuatan yang bangkit dan harapan agar masih ada cahaya yang bisa menantang kegelapan. Di antara kata-kata yang saling bertukar, terdengar juga kekhawatiran tentang intervensi para dewa yang, seperti yang dikabarkan dari pertemuan di Ordo Celestia, mulai turun tangan untuk melawan kekuatan yang dipanggil oleh penyembahan buta.
Bagian V – Janji untuk Melangkah ke Depan
Sore hari pun semakin menjelang, dan langit mulai menunjukkan rona keemasan yang kontras dengan kegelapan malam sebelumnya. Siora dan Livia akhirnya mencapai sebuah persimpangan jalan yang seolah menjadi titik temu antara dunia lama dan dunia baru. Di sini, Siora berhenti dan menatap jauh ke depan, di mana bayangan-bayangan masa lalu dan harapan akan masa depan berbaur.
"Aku merasa, Livia, bahwa setiap langkah yang kita ambil sekarang adalah bagian dari takdir yang lebih besar," ujar Siora dengan suara pelan namun mantap. "Aku tidak tahu apa yang akan kita temui di depan, tapi aku yakin bahwa semua penderitaan dan kebimbangan ini memiliki tujuan. Aku harus menemukan siapa aku sebenarnya—siapa aku yang terlahir dari kehancuran dunia asalku, dan apa arti dari bisikan yang terus memanggilku."
Livia mendekat dan menggenggam tangan Siora dengan erat, "Aku akan selalu bersamamu. Kita akan mencari jawaban bersama, meski harus menempuh jalan yang penuh dengan rintangan dan kegelapan. Kita akan menemukan secercah cahaya di tengah kekosongan, dan itu akan menjadi awal dari perubahan yang kita dambakan."
Percakapan itu mengalir bersama dengan angin, seakan alam pun merespons dengan bisikan lembut yang mengiringi langkah-langkah mereka. Di kejauhan, suara samar dari para pendeta dan pengikut The Obsidian Circle masih terdengar, mengabarkan bahwa di kuil tua, mereka sedang mempersiapkan diri menghadapi ancaman yang mungkin datang dari penyembahan yang tak terkontrol. Di langit, di antara awan yang mulai dipenuhi cahaya, pesan dari para dewa—Elyon dan Aracelia—terus bergema, menegaskan bahwa keseimbangan alam tidak akan dibiarkan runtuh begitu saja.
Siora menatap ke depan, matanya menyala penuh tekad. "Aku akan melangkah ke dunia yang penuh dengan misteri ini, mencari setiap jejak yang mungkin membawa kita pada kebenaran. Aku tak ingin hidup dalam kebimbangan lagi. Aku ingin tahu apa arti dari bisikan itu, dan aku ingin memahami nasibku."
Livia tersenyum kecil, meski masih terlihat kekhawatiran di wajahnya. "Mari kita mulai perjalanan ini, Siora. Bersama-sama, kita akan menyusuri jalan yang penuh liku, dan semoga setiap pertanyaan yang membara di hati kita akan menemukan jawabannya di balik kegelapan."
Dengan tekad yang menguat, kedua sahabat itu pun melangkah meninggalkan persimpangan jalan, memasuki lorong-lorong kota yang sunyi, dan menyusuri jalan setapak yang mungkin menyimpan kunci dari masa depan. Setiap langkah mereka disertai oleh bisikan halus angin dan gema masa lalu—suara-suara yang seolah memperingatkan dan sekaligus menguatkan hati mereka.