Bagian I – Bayang-Bayang di Kuil Tua
Malam masih menyelimuti dengan keheningan yang kian mendalam. Di sebuah kuil tua yang tersembunyi di balik reruntuhan kota yang telah lama ditinggalkan, para pengikut The Obsidian Circle berkumpul dalam ruangan yang remang-remang. Cahaya lilin yang berkelap-kelip menari di atas dinding batu usang, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seolah memiliki nyawa sendiri. Udara yang berat dipenuhi aroma dupa dan debu, mengingatkan setiap jiwa akan sejarah kelam yang telah mengakar di tempat itu.
Di tengah ruangan, di depan sebuah altar kecil yang dipenuhi simbol-simbol kekosongan, berdiri Ravenna, pemimpin upacara. Wajahnya tampak serius, matanya yang tajam memindai setiap anggota yang hadir. Di sebelahnya duduk Arkan, seorang acolyte muda dengan rambut hitam yang agak berantakan, yang masih tampak belum sepenuhnya mengerti arti dari setiap kata yang diucapkan oleh gurunya.
"Saudaraku," ujar Ravenna dengan suara serak namun penuh wibawa, "malam ini kita merasakan getaran yang berbeda. Udara ini… seolah menyimpan rahasia yang belum pernah kita dengar sebelumnya."
Arkan menunduk dan menjawab pelan, "Guru, aku merasakan detak jantung dunia ini seakan berirama dengan langkah-langkah yang tak terlihat. Apakah ini karena Koin Kegelapan telah dipanggil lagi?"
Ravenna mengangguk pelan. "Benar, anakku. Koin itu, yang selama ini kita anggap sebagai simbol penghubung antara dunia fana dan kehampaan, telah dilempar. Dan bisikan dari dalam kegelapan—yang kita kenal sebagai suara The Void—telah menyapa dengan kata-kata yang jauh lebih berat daripada sebelumnya."
Di sudut ruangan, Valen, seorang pendeta muda yang selalu tampak penuh keraguan, menyuarakan kekhawatirannya, "Apakah ini pertanda bahwa penyembahan kita selama ini telah membuka pintu bagi kekuatan yang tidak bisa kita kendalikan? Aku merasa… ada ancaman yang mengintai di balik setiap getar yang kurasakan."
Ravenna mendesah, "Kita hidup di dunia yang rapuh, Valen. Penyembahan yang kita lakukan bukanlah sekadar penghormatan. Ia adalah cermin dari keinginan kita untuk mengerti, untuk menemukan kebenaran dalam kekosongan. Namun, kebenaran itu datang dengan risiko yang besar. The Void, sang makhluk abadi yang lahir dari Dimensi Kegelapan, terus mengumpulkan pengetahuan. Dan jika kita tidak berhati-hati, pengetahuan itu bisa berubah menjadi kehancuran."
Mata Arkan berkaca-kaca, bukan karena kesedihan semata, melainkan karena ketakutan dan keingintahuan yang tak terpuaskan. Di benaknya bergemuruh pertanyaan: Apakah mereka telah salah memahami makna penyembahan ini? Apakah di balik setiap permohonan yang mereka panjatkan tersembunyi rahasia yang dapat menelan diri mereka sendiri?
Bagian II – Suara dari Kedalaman
Di luar kuil, angin malam berhembus dengan kencang, membawa serta riak-riak yang menggoyahkan ketenangan. Di antara reruntuhan dan jalanan sepi, sebuah koin hitam melayang perlahan. Koin Kegelapan itu, dipenuhi aura misterius, tampak menari-nari mengikuti irama angin. Setiap gerakannya seakan mengirimkan pesan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang benar-benar terhubung dengan kekosongan.
Saat koin itu akhirnya mendarat di atas tanah retak yang basah oleh embun, getaran halus menyebar ke seluruh penjuru. Tanah seolah berbisik, mengirimkan gelombang keheningan yang begitu dalam hingga dunia seakan terhenti sejenak. Di antara bayang-bayang malam, suara yang dingin dan tanpa emosi mulai terdengar. Suara yang berasal dari The Void.
Di puncak dunia yang seolah terlupakan itu, Heze—atau yang lebih dikenal sebagai The Void—membuka matanya. Mata merahnya menyala tanpa ampun, menatap dengan tatapan yang mampu menembus jiwa. Dengan lembut namun penuh otoritas, ia berkata dalam bisikan yang melayang di antara dimensi:
"Seseorang telah memanggilku."
Suara itu, meski singkat, menggema hingga ke relung relung jiwa setiap makhluk yang mendengarnya. Di kuil, di antara para pengikut, dan bahkan di antara reruntuhan kota, kata-kata itu membawa makna yang dalam. Mereka tahu, bahwa panggilan itu adalah awal dari sesuatu yang besar—sesuatu yang akan mengubah jalan takdir mereka.
Bagian III – Dialog dan Keputusan
Kembali di dalam kuil, setelah mendengar berita dari luar, suasana semakin tegang. Arkan, yang masih bergidik karena bisikan itu, memandang ke arah Ravenna dengan mata penuh pertanyaan.
"Guru, apakah ini berarti bahwa The Void—Heze—akan segera turun ke dunia kita? Aku merasa ada sesuatu yang mengancam, seperti bayangan yang mendekat dengan cepat," tanya Arkan, suaranya bergetar antara rasa takut dan keingintahuan yang mendalam.
Ravenna mengangguk pelan sambil memandang ke luar jendela kecil yang menghadap ke kegelapan malam. "Kita telah mendengar bisikan itu. The Void tidak pernah benar-benar terikat pada penyembahan kita. Ia hanyalah pengamat, pencari pengetahuan yang abadi. Namun, setiap kali koin itu dipanggil, ia muncul—bukan karena belas kasihan, tetapi karena ia harus menguji, mencatat, dan mencari kebenaran yang lebih dalam."
Valen menyela, "Tetapi, Guru, jika ia terus muncul tanpa kendali, apakah tidak mungkin ia akan membawa kehancuran? Bagaimana jika penyembahan kita malah memicu amarah kekosongan yang tak terbayangkan?"
Ravenna menarik napas panjang, menatap kedua wajah muda di depannya dengan pandangan yang penuh kebijaksanaan. "Kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Yang kita tahu hanyalah bahwa dunia kita kini berada di ambang pergeseran besar. Penyembahan kita, meskipun tampak sebagai jalan untuk mencari keabadian, telah membuka celah bagi kekuatan yang jauh lebih besar. Kita harus bersiap, tidak hanya untuk menyambut kebenaran, tetapi juga untuk menghadapi konsekuensinya."
Suara di luar kuil kembali bergema. Angin malam membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan dari alam semesta sendiri. Di kejauhan, di antara reruntuhan, seseorang—seorang yang tidak dikenal—berbisik, "Kita harus mencari jawaban. Koin Kegelapan ini bukanlah sekadar artefak; ia adalah tanda bahwa takdir sedang dipertaruhkan."
Di antara kerumunan itu, ada juga seorang wanita muda yang tampak berbeda. Rambutnya panjang dan kelabu, matanya menyimpan kesedihan mendalam, namun di balik itu ada tekad yang tak tergoyahkan. Wanita itu, yang nanti akan dikenal sebagai Siora, merasakan getaran batin yang menghubungkannya dengan koin itu. Meskipun ia belum sepenuhnya memahami arti panggilan itu, dalam hatinya ia tahu bahwa perjalanan mencari jawaban telah dimulai.
Bagian IV – Langkah Pertama Menuju Takdir
Sementara para pengikut di kuil terbenam dalam diskusi dan doa, Siora melangkah perlahan di jalan setapak yang dipenuhi bayang-bayang. Hatinya berdegup kencang, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena keinginan yang membara untuk menemukan arti dari segala kekosongan yang selama ini menyertainya. Setiap langkahnya seakan disertai oleh bisikan halus, mengingatkannya bahwa takdir telah menunggunya.
Dalam perjalanannya, ia melewati gang-gang sempit di mana suara angin mengibaskan dedaunan kering. Ia mendengar percakapan antara dua orang asing di sudut jalan:
"Apakah kau mendengar? Koin itu telah dipanggil lagi. The Void pasti sudah mendekat."
"Jangan terlalu khawatir. Semua ini hanyalah pertanda. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru."
Dialog itu menggema dalam benaknya, menambah keinginan untuk mengerti dan menguak rahasia yang telah lama tersembunyi. Siora merasa seolah-olah setiap kata yang terucap di sekelilingnya adalah bagian dari teka-teki besar yang harus ia pecahkan. Ia tak ingin lagi hidup dalam kebimbangan; ia harus mengetahui apa arti sebenarnya dari bisikan kegelapan yang terus menghantui mimpinya.
Kembali di kuil, setelah diskusi panjang yang penuh ketidakpastian dan pertanyaan, Ravenna mengumpulkan para pengikutnya untuk mengambil keputusan penting. "Saudaraku," katanya dengan suara yang menenangkan namun tegas, "malam ini kita telah mendengar bisikan yang mengguncang. Kita tahu bahwa penyembahan kita telah membuka jalan bagi The Void. Tapi ingatlah, setiap bisikan itu adalah pelajaran. Kita tidak boleh menyerah pada ketakutan. Kita harus mencari kebenaran, meski itu berarti harus menatap langsung ke dalam kegelapan."
Arkan, yang kini matanya telah dipenuhi tekad meski masih diselimuti keraguan, berkata, "Aku bersumpah untuk mencari tahu arti dari setiap bisikan itu, untuk menemukan apa yang tersembunyi di balik kehampaan. Aku tidak akan lari dari kebenaran meski harus menghadapi bahaya yang tak terduga."
Valen menambahkan, "Kita harus siap. Dunia di luar sana, yang kita anggap fana, ternyata menyimpan kekuatan yang bisa mengubah segalanya. Dan jika para dewa telah merespons panggilan itu, maka kita pun harus mencari cara untuk bertahan."
Ravenna mengangguk, matanya bersinar dengan campuran harapan dan ketakutan. "Benar. Setiap langkah yang kita ambil adalah bagian dari perjalanan menuju kebenaran. Dan kebenaran itu, walaupun menyakitkan, adalah jalan untuk menghindari kehancuran yang lebih besar."
Sementara itu, di luar tembok kuil, angin malam membawa bisikan yang semakin keras. The Void—Heze—telah mulai mengamati pergerakan manusia, seolah mencatat setiap detil dalam buku takdir yang tidak pernah selesai. Suara lembut namun mengancam itu terdengar sekali lagi, "Seseorang telah memanggilku."
Di antara keheningan malam, babak baru telah dimulai. Di satu sisi, para pengikut The Obsidian Circle berusaha menyatukan keyakinan mereka dalam pencarian pengetahuan yang tampaknya abadi. Di sisi lain, di jalanan yang sunyi, Siora, dengan hati yang penuh pertanyaan, memulai perjalanannya untuk menguak misteri yang telah lama menggelayuti hidupnya.
Di balik setiap langkah, di setiap bisikan angin, tersimpan janji bahwa dunia ini akan segera berubah. Dan ketika koin hitam itu bersinar di bawah sinar rembulan, serta suara The Void menggema di antara reruntuhan, satu hal pun tidak dapat disangkal: takdir telah dituliskan. Penyembahan, harapan, dan ketakutan bersatu membentuk benang takdir yang akan menghubungkan dunia fana dengan kekuatan abadi yang telah menunggu selama ribuan tahun.