Aku tidak mengerti apa yang perlu aku sampaikan di sini, tidak ada yang begitu sepesial dalam duniaku. Saat seseorang memanggil namaku, aku akan selalu menoleh. Namun, pernahkah terpikir bahwa nama itu benar-benar penting? Semua hal di dunia ini bersifat sementara dan penuh kontradiksi, seolah-olah diciptakan untuk memberikan manfaat sekaligus membawa kerugian. Terpikir akan hal itu membuatku merasa berada di bibir jurang yang dalam. Banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam benakku, dan aku tidak pernah puas saat aku bisa mendapatkan jawabannya.
Mamah sering bercerita, sejak kecil sering kali aku bertanya tentang hal apa pun, sekecil apa pun dan tanpa ada batas hingga mamah memberi jawaban "langit", Maka aku akan merenung dan tentu saja ingat apa yang sedang aku renungkan. Terakhir, aku akan membual, "Aku juga ingin ke langit." Seperti halnya saat mamah memberiku sebuah apel, sangat jarang ada apel di rumah, saat kecil apel termasuk makanan mewah dalam kehidupanku. Saat itu aku akan bertanya, "mamah, dari mana mamah mendapatkan apel ini?" mamah akan menjawab apa adanya "aku membelinya dari toko" jawabnya. Namun aku akan kembali bertanya " kapan mamah mendapatkannya?" lalu mamah akan kembali menjawab seadanya. Selanjutnya aku akan bertanya kembali "dari mana penjual itu mendapatkannya?" dan mamah akan menjawab apa yang diketahuinya. Pertanyaan dan jawaban terus di lontarkan hingga aku bertanya dari mana bibit apel berasal? Mengapa di namai apel? Pohonnya atau buahnya yang ada lebih dulu? Mamah menyerah dan menjawab, "bijinya di turunkan dari langit dan tumbuh menjadi sebuah pohon di bumi dan menghasilkan buah lalu makhluk dari langit menyebutnya apel". Makhluk? Ada kehidupan di langit?! pikirku "aku juga ingin ke langit, aku ingin tahu apa yang ada di langit" sambil tersenyum polos mata jernih ini melihat mata mamah yang tidak dapat menyembunyikan rasa kesal setelah banyak pertanyaan aku lontarkan.
Aku yakin sepenuhnya bahwa tidak ada bentuk kehidupan lain di langit selain burung yang melintas. Gagasan tentang adanya makhluk hidup di sana adalah terlalu naif. Aku tidak mengerti mengapa begitu mudah percaya pada seseorang yang jelas-jelas tidak jujur. Apakah mungkin karena dia sudah terlanjur memberikan apa yang diharapkan? atau mungkin terlanjur bergantung padanya? Atau mungkin terlanjur jatuh cinta? Atau bahkan mungkin karena dialah yang pertama di temui saat pertama kali sadar bahwa tubuh ini hidup di muka bumi? Aku rasa manusia bukan anak ayam yang akan membuntuti sesuatu yang pertama kali ia lihat saat keluar dari cangkangnya. Manusia adalah makhluk yang berpikir, bukan sekadar mengikuti insting. Kita seharusnya mampu menilai seseorang secara objektif, terlepas dari faktor emosional.
Dari pemikiran ini, muncul pertanyaan mendasar tentang sifat hubungan antar manusia. Jika kita saling terhubung dan saling bergantung, apakah tindakan kita selalu didorong oleh motivasi saling menguntungkan? Konsep kebaikan yang mengharapkan balasan sering kali dipertanyakan. Pepatah 'melakukan kebaikan akan berdampak pada diri sendiri' seolah menjadi bukti bahwa manusia cenderung egois. Namun, jika kita menghakimi seseorang sebagai jahat karena mengharapkan karma, bukankah kita juga sedang melakukan hal yang sama? Batasan antara kebaikan dan kejahatan menjadi semakin kompleks dan sulit untuk ditentukan.
Aku ingat betul bagaimana dulu aku begitu antusias untuk menjalin persahabatan. Aku berusaha mendekati siapa saja, melakukan apa saja agar bisa diterima. Namun, setiap kali aku merasa sudah menemukan teman yang cocok, hubungan itu selalu berakhir dengan kekecewaan. Aku sering merasa seperti sedang bermain tarik-menarik dalam persahabatan. Ada kalanya aku merasa diterima, namun tak lama kemudian aku kembali merasa ditolak, bahkan hingga diancam. Aku bingung, apa yang sebenarnya salah denganku? Apakah aku terlalu naif? Atau apakah orang-orang di sekitarku yang terlalu kejam? Ketika pindah sekolah, aku berharap bisa memulai lembaran baru, tapi ternyata masalah yang sama terus terulang. Aku mulai meragukan diri sendiri dan bertanya-tanya, apa yang di sebut dengan teman?
Pagar Alam, kota kecil yang kuharapkan menjadi pelabuhan baru dalam pelayaran hidupku. Aku datang dengan sejuta mimpi, berharap menemukan kehangatan persahabatan yang selama ini kucari. Namun, harapan itu sirna secepat embun pagi. Aku seperti burung yang baru saja lepas dari sangkar, terbang menuju langit yang lebih luas. Namun, langit itu ternyata tak seindah yang kubayangkan. Aku disambut oleh senyuman palsu dan kata-kata manis yang menusuk hati. Mereka memanfaatkan aku, seperti memanfaatkan sebuah alat untuk mencapai tujuan. Kekecewaan mendalam menyelimuti jiwaku. Aku merasa seperti sampah yang dibuang setelah tidak berguna lagi. Persahabatan, kata yang begitu indah, kini terasa begitu pahit.
Ibarat jatuh dari tangga karena kecerobohan semata, aku mencoba untuk tidak mengulanginya lagi. Aku mencoba untuk menjauh dari hal sekitar yang hanya akan merugikanku, contohnya adalah pertemanan. Aku pikir itu hanya akan menjadi batu sandungan saja, tidak ingin terjatuh lagi pikirku. Tapi memang pada dasarnya manusia adalah makhluk yang naif, bagaimana bisa aku membaca sebuah buku berulang kali? Aku melakukannya lagi. Apakah aku harus menyebut ini pencapaian karena aku dapat berteman lagi, yang berarti aku dapat bersosialisasi dengan benar? Apakah perlu di apresiasi karena memang pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial? Sudah terlanjur! sebagai manusia, aku sulit untuk benar-benar menghindari interaksi sosial, yang berarti aku hanya perlu memperhatikan dan mempertahankan hubungan sosial ini agar aku tidak di rugikan juga tidak merugikan manusia yang ada di sekitar. Kali ini sudah memasuki fase kuliah. Harusnya ada yang berubah, tidak boleh terus berlari dari masalah bukan?
Aku menceburkan diri ke dalam lautan persahabatan, berharap menemukan mutiara yang berkilau. Namun, yang kutemui hanyalah lumpur kelam dan ikan-ikan beracun yang menggerogoti jiwaku. Seperti orang tenggelam yang berusaha meraih jerami, aku berpegangan pada setiap senyum dan kata-kata manis yang terucap. Namun, jerami itu hanyalah fatamorgana, menghilang begitu saja saat kugapainya. Aku terjebak dalam permainan yang tak kucintai. Aku dipaksa untuk berenang mengikuti arus, meski hatiku meronta-ronta ingin kembali ke tepian. Aku bagai daun kering yang terombang-ambing di lautan luas, tanpa arah dan tujuan.
Kamar kosku menjadi kubur bagi jiwaku. Dinding-dindingnya yang kusam seakan menjadi cermin yang memantulkan kesunyianku. Aku terkurung dalam sangkar emas yang membelenggu kebebasan. Aku merindukan kehangatan, sebuah pelukan yang tulus. Namun, di dunia ini, kehangatan hanyalah ilusi. Manusia adalah makhluk egois, mereka hanya memikirkan diri sendiri. Aku terlalu berharap pada kebaikan orang lain, hingga akhirnya terluka. Aku lelah berjuang. Aku ingin menyerah saja. Namun, di sudut hatiku yang paling dalam, masih ada secercah harapan yang menyala redup. Harapan untuk bisa bangkit kembali, untuk bisa menemukan arti hidup. Tapi, apakah aku sanggup? Aku ragu.
Dalam lumpur kehidupanku ini, lalat-lalat berkerumun. Mereka datang, membawa senyum simpati yang kaku, kata-kata basa-basi yang hambar. Manakah yang tulus, manakah yang pura-pura? Aku tak lagi mampu membedakan. Mata mereka, sekilas serupa dengan mata manusia lain, namun di dalamnya, aku hanya melihat cerminan diriku yang lemah. Sungguh naif bagiku untuk berharap ada yang benar-benar peduli. Dan doa? Bukankah itu hanya permohonan egois dari makhluk hina seperti kita? Kita meminta, sementara Dia telah memberikan segalanya. Ironi, bukan? Manusia, dengan segala keangkuhannya, meminta-minta pada Yang Maha Agung.