Kegelapan malam menyelimuti rumah kayu kami yang terisolasi. Suara omelan ibu memecah keheningan, menusuk telingaku seperti duri. Adikku, Theresa, dengan langkah keras dan tegas menuruni tangga, wajahnya memerah menahan amarah. Ibu semakin menjadi-jadi, kata-kata kasar meluncur begitu saja dari bibirnya. Ayah, acuh tak acuh, hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Dan aku? Aku hanya bisa berdiri di tengah kekacauan ini, merasa begitu kecil dan tak berdaya.
Amarah membuncah di dalam dada, menggerogoti sanubariku. Aku ingin berteriak, ingin menghancurkan semuanya. Tangan ini gemetar, tubuhku bergetar hebat. Dan akhirnya, aku melakukannya. Sebuah gelas pecah berserakan di lantai, teh panas membasahi kakiku. Aku menangis, bukan karena luka fisik, tapi karena luka batin yang semakin dalam.
********************************
Tidur, pelarian yang justru membawa ku pada neraka. Dalam kegelapan malam, ingatan-ingatan buruk bangkit dari kuburnya. Mimpi, hantu yang menghantui malamku. Aku berlari dari kenyataan, namun kenyataan itu mengejarku dalam bentuk mimpi buruk. Air mata membasahi bantal, tubuhku gemetar ketakutan. Aku terbangun dengan perasaan kosong dan hampa.
Aku terjebak dalam labirin mimpi, Dalam mimpi itu, aku kembali ke masa kecil. mengejar bayangan masa lalu yang samar aku mencoba menggenggam kenangan yang licin, namun semakin kuat aku berusaha, semakin jauh ia terasa. Dalam mimpi, aku kembali ke kampung halaman, ke rumah masa kecil. Aku melihat diriku yang lebih muda, bermain riang dengan sepupuku yang sebaya. Namun, di balik tawa itu, ada kegelisahan yang mendalam. Aku tahu, ini hanyalah ilusi, sebuah mimpi yang indah namun menyakitkan. Kenapa aku harus kembali ke masa lalu? Kenapa aku tidak bisa melupakan? Aku merasa seperti seorang anak yang tersesat, mencari jalan pulang dalam kegelapan.
Aku terdiam linglung dalam mimpi, hingga seseorang jatuh di hadapanku. Itu sepupuku?! Dan aku hanya dapat melihat diriku yang lebih muda, terjebak dalam pusaran kebencian dan ketidakadilan. Aku dituduh tanpa bukti, dihukum tanpa kesempatan untuk membela diri. Aku berlari sekencang mungkin, namun ke mana pun aku pergi, bayangan kebencian itu terus mengejarku. Aku merasa begitu kecil dan tak berdaya, seperti serangga yang diinjak-injak. Aku terisolasi, sendirian dalam labirin mimpi yang mengerikan. Kenapa aku harus menderita seperti ini?
Aku mendekati rumah, hatiku berdebar kencang. Aku mengintip dari jendela, berharap menemukan sedikit kenyamanan dalam tatapan ibuku. Namun, yang kulihat hanyalah kesibukan yang tak berujung. Aku ingin berlari menemuinya, memeluknya erat, dan mencurahkan semua kesedihan ini. Namun, kata-kata yang tertahan di tenggorokanku terasa begitu hampa. Aku tahu, ibuku tidak akan mengerti. Aku hanyalah seorang anak kecil yang tenggelam dalam lautan kesedihan, mencari pelabuhan yang tak kunjung datang.
Aku mendekap ibu, kata-kata terucap lirih, "mah, kenapa aku di sini? Seharusnya aku sudah dewasa, sudah jauh dari sini. Aku takut, mah, sangat takut." Namun, tangisanku seperti buih yang pecah di lautan kesunyian. Senyumnya yang dipaksakan bagai pisau yang menusuk hatiku. Aku menyadari, dalam mimpinya, aku hanyalah bayangan yang tak berarti. Aku terbangun dengan perasaan hampa, membawa serta beban kesepian yang tak terkira.
Ketakutan? Atau mungkin hanya bayangan sebuah kenangan yang membusuk? Masa lalu, katanya, takkan kembali. Lalu mengapa aku masih terjebak dalam lingkarannya? Mengapa mimpi buruk itu terus menghantuiku? Aku merindukan masa lalu, namun sekaligus takut padanya. Aku seperti seorang tenggelam yang terus meraih ke permukaan, namun selalu kembali ke dasar. Kenapa aku tidak bisa melepaskan diri dari belenggu masa lalu?
***************************
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, kita sering kali ditanya tentang impian atau cita-cita. Saat pertanyaan itu meluncur, semangatku membara, dan aku menjawab dengan tegas, "Dokter." Di sampingku, anak-anak lain dengan lantang mengungkapkan impian mereka, seolah-olah tak ingin kalah dalam perlombaan yang tak pernah mereka pahami. Wajah mereka memancarkan semangat, meski tak satu pun dari mereka benar-benar mengerti makna masa depan. Dalam kepolosan itu, mereka disemangati dengan janji-janji belajar giat dan berusaha keras, tanpa pernah diberi tahu bagaimana cara mencapainya, dan tanpa menyadari bahwa mereka mungkin sedang "membunuh" bakat yang telah terpendam dalam diri mereka.
Seolah-olah kita semua terjebak dalam sebuah permainan, di mana impian dan harapan berkelindan, namun tanpa petunjuk yang jelas. Kita berlari mengejar bayangan masa depan, sementara hakikat diri kita sendiri sering kali terabaikan.
Selanjutnya, anak-anak polos itu melangkah ke tingkat yang lebih tinggi, menjadi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Sementara itu, aku, si cacat otak dari keluarga yang dipenuhi dengan kecemerlangan, menyaksikan impianku memudar, seolah-olah ditelan oleh kegelapan. Sejak kapan semua ini terjadi? Di mana semangat yang dulunya membara itu bersembunyi? Apa yang membuatku hilang dalam kerumunan harapan yang semu? Apakah itu rasa takut? Takut akan apa? Takut akan masa depan yang tak terduga? Atau mungkin masa lalu yang kelam, saat di mana aku menjadi sasaran rundungan? Yang mana yang lebih menakutkan? Masa lalu yang penuh luka, atau masa depan yang tak berujung? Dalam kebingungan ini, aku terjebak, terombang-ambing antara bayang-bayang yang menghantui dan harapan yang semakin samar.
Harapan akan uluran tangan hanyalah ilusi semata, sebuah lelucon pahit yang dipermainkan nasib. Tatapan-tatapan kosong itu menusukku bagai belati, membuatku meringkuk dalam kehampaan. Di ruangan sunyi ini, bersama seorang yang tak lebih dari bayangan, impianku perlahan memudar, terenggut oleh kegelapan yang semakin dalam. Aku terisolasi dalam dunia sendiri, terjebak dalam labirin pikiran yang tak berkesudahan.
Apa yang kucintai dari hidup ini? Kegelapan menyelimutiku, dan aku tak mampu lagi melihat secercah cahaya. Aku takut pada masa lalu, takut pada masa depan, dan takut pada diriku sendiri. Aku hanyalah seorang pengecut yang bersembunyi di balik topeng keberanian. Kenapa aku harus menerima ini?