Chereads / "aku" / Chapter 4 - EGOIS 2.1

Chapter 4 - EGOIS 2.1

Pagaralam, 2020. Tahun pertama kakiku menginjak Sekolah Menengah Atas. Aku datang dengan semangat membara, tanpa memikirkan beban tanggung jawab yang akan datang. Ah, betapa bodohnya aku. Egois, ceroboh, hanya memikirkan kesenanganku sendiri. Orang tua bilang, 'Remaja memang begitu.' Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin bebas, bebas dari segala aturan dan kekangan. Aku ingin menjadi diriku sendiri, tanpa memikirkan masa depan yang suram.

Aku, si egois yang buta, merampas semua sorotan tanpa mempedulikan perasaan rekan-rekanku. sama seperti saat aku dan rekanku mempresentasikan sebuah makalah, di depan kelas, aku menjelma menjadi sosok yang haus pujian, merebut setiap kesempatan untuk bersinar. Aku tidak melihat tatapan mereka yang merendahkan, aku hanya ingin terlihat hebat. Namun, setelah semua selesai, suara itu menghantamku, 'Kau egois!' Aku terdiam, lidahku kelu. Aku tahu, aku salah. Aku hanyalah seorang manusia yang penuh dengan kekurangan dan kesombongan.

Tapi apa itu egois?

Masa remaja adalah lautan badai yang mengombang-ambingkan jiwa muda. Aku hanyalah sebuah daun kering yang terbawa arus, tanpa arah tujuan. Aku melakukan kesalahan demi kesalahan, tanpa memikirkan konsekuensinya. Aku tenggelam dalam kesenangan sesaat, melupakan tanggung jawab dan kewajibanku. Aku seperti seorang anak kecil yang bermain api, tanpa menyadari bahaya yang mengintai. Namun, di balik kebodohan itu, ada secercah kesadaran yang mulai tumbuh. Aku menyadari bahwa kesenangan semu itu takkan bertahan lama, dan bahwa aku harus menanggung akibat dari perbuatan burukku.

Kata-kata mereka menusuk hatiku seperti ribuan jarum. Aku terlalu muda, terlalu naif, begitulah mereka berkata. Mereka mendikte hidupku, mengurungku dalam sangkar aturan yang mereka buat. Kesalahan sekecil apapun menjadi alasan bagi mereka untuk menggurui. Aku lelah dengan ceramah-ceramah mereka yang panjang lebar, seperti novel tebal yang tak pernah usai. Aku ingin berteriak, ingin memberontak, tapi apa daya, aku hanyalah seekor burung yang terkurung dalam sangkar emas.

Aku merindukan angin malam yang menerpa kulitku saat berlatih pencak silat. Namun, impianku itu segera sirna ketika dihadapkan pada pandangan sempit orang-orang di sekitarku. 'Perempuan tidak boleh berlatih bela diri,' begitu kata mereka. 'Siapa yang akan menjaga rumah?' Pertanyaan yang begitu naif, seolah-olah dunia akan runtuh jika seorang perempuan mengayunkan tangan. Aku terperangkap dalam sangkar emas yang mereka bangun, sebuah penjara yang nyaman namun membelenggu jiwaku.

Ah, hari itu, ketika untuk pertama kalinya kakiku menjejak dunia luar, kupikir aku telah bebas. Kupikir aku telah dewasa, bahwa aku mampu melakukan segalanya, bahwa aku tak lagi membutuhkan nasihat siapa pun. Emosiku yang baru saja terbentuk membuatku berontak, hanya untuk sekadar membantah semua nasihat yang ada. Aku mencicipi segala hal yang dilarang, mengira mereka egois karena hanya ingin menggunakan akal mereka untuk mengatur hidupku. Namun, tak lama kemudian, aku menyadari betapa aku juga sama egoisnya, memaksakan kehendak yang sebenarnya tak kusukai. Aku hanya menginginkan apa yang dimiliki orang lain, bukan yang aku butuhkan. Egois pada diri sendiri.

Dan seiring bertambahnya usia, aku semakin menyadari betapa egoisnya aku, seperti yang pernah mereka katakan. Aku tersenyum hanya untuk menyenangkan orang lain, bukan untuk diriku sendiri. Aku tertawa dan membuat lelucon untuk orang lain, bukan semata-mata untuk diriku. Saat aku ingin meraih sesuatu, itu hanya untuk sebuah pujian, bukan karena hal itu adalah hobiku. Begitulah aku tumbuh dewasa, menjadi egois terhadap diri sendiri, tidak memikirkan apa yang sebenarnya aku inginkan.

Sama halnya ketika aku berusaha menggapai nilai yang berbentuk angka, yang kita sebut IPK. Aku hanya berpikir IPK-ku harus bagus tanpa memikirkan mengapa harus bagus. Aku hanya melihat kedua orang tuaku senang saat membicarakan angka itu kepada tetangga, lalu melihat mereka bangga saat bercerita pada keluarga besar. Padahal, aku tidak begitu puas saat melihat angka-angka yang mengambang di kertas itu. Itu hanya angka. Aku akan lebih puas saat aku menyelesaikan sebuah karya seni baru, aku akan lebih senang lagi jika aku bisa bercerita dengan bebas tanpa memikirkan konsekuensinya, aku akan lebih senang hidup dengan bebas tanpa memikirkan angka-angka yang tak pernah aku mengerti itu. Sampai akhirnya semua itu sirna, aku lupa dengan semua keinginanku itu, aku hanya fokus untuk menyenangkan kedua orang tua. Mungkin memang itu yang akan membuatku puas suatu saat nanti, saat aku bisa benar-benar menyadarinya.

Jika ditanya mengapa kedua orang tuaku bangga dan sangat ingin aku memiliki nilai yang besar, aku akan menjawab masa lalu. Di mana semua yang manusia miliki dan inginkan adalah masa lalu. Masa laluku dan orang tuaku juga saudara dan keluarga lainnya, sebelumnya aku sudah bilang di dalam keluarga yang cemerlang semua cita-citaku sirna secara perlahan. Aku memiliki keluarga yang amat cemerlang, tidak ada satu pun dari mereka yang tidak pernah mendapatkan ranking 5 besar saat sekolah, begitu juga dengan adikku. Hanya aku yang selalu berada di peringkat akhir, dan yang disalahkan adalah ayahku karena memang dia berasal dari keluarga biasa saja dan soal otak ayah kalah jauh dari mamah. Jadi kesimpulannya aku adalah keturunan dari ayah karena menurut kepercayaan aku adalah anak pertama dan perempuan juga sangat mirip dengan ayah dari rupa juga sifat tidak lupa di bawa juga otaknya.

Ya, aku akui. Aku adalah salinan ayahku, dan aku bangga akan hal itu. Masalah kepintaran, bukankah semua orang memiliki keahlian masing-masing? Aku sangat senang di bidang seni dan kebudayaan, termasuk pencak silat, namun semuanya tidak mendukung. Mereka bilang itu tidak begitu berguna untuk kehidupan yang mendatang, untuk kehidupan ini kita hanya perlu matematika sebagai indikator pengukur kepintaran seseorang, juga angka-angka di dalam rapor yang dilihat di halaman akhir tanpa melihat nilai mana yang dapat menjadi keahlian kita padahal nilai seni ku cukup besar namun mereka tidak peduli dan hanya bisa mencemooh ku. Karena keegoisan mereka, yang mereka inginkan hanya anak pintar, akhirnya bahkan ku hanya bisa ikut terkubur di dalamnya.