Chereads / Eveline 1887 / Chapter 2 - Bab 1 _Awal yang Baru

Chapter 2 - Bab 1 _Awal yang Baru

" Sssst... Jangan bersuara, aku akan segera pergi dari sini."

Siapa anak itu? Apa dia mau mencuri ? Tapi dia tidak membawa apapun. Lalu semalam kenapa dia ada di sini ? Benar - benar aneh. Aahhh..... Aku tak sempat melihat wajahnya karena gelap.

Eveline terhanyut dalam pikirannya.

" Eveline...Eveline ! "

"Hah..!! Iya! Kenapa kak? Kau mengganggu saja." ia benar - benar terkejut.

" Ayo makanlah atau sup nya akan dingin.Hei...apa yang sedang kau pikirkan. Apa kau melihat hantu? Atau...kau habis bertemu seseorang semalam..." Hansen mulai usil.

"Ck...mana mungkin ada hantu, itu tidak ada..jangan menggangguku lagi." cemberut.

"Hei...hei...kau ini pemarah sekali ya. Sudahlah aku mau keluar berkeliling. Kau... JANGAN IKUT ." sambil mendekatkan wajahnya pada Eveline.

"SIAPA JUGA YANG MAU IKUT ...DASAR HANS BR*NG**K !!!" ia memukul tangannya ke meja makan hingga sendok dan garpunya mencelat.

"Uhh...aku kesal...!!! Lho ibu mau ke mana sudah berdandan rapi sekali?" amarahnya teralihkan ketika ibunya hendak keluar rumah.

"Iya sayang...hari ini ibu harus menghadiri pertemuan bersama para Penggedhe dan bangsawan. Apa kau mau ikut?"

"Tidak, aku tidak minat. Aku mau di rumah saja."

"Apa tidak sebaiknya kau berjalan- jalan di daerah ini, siapa tahu kau akan bertemu dengan teman sebaya mu."

"Hmm... Nanti saja."

"Baiklah kalau begitu ibu pergi dulu ya..." wanita itu menuju ke kereta kuda yang telah disiapkan para pekerja.

Eveline duduk sambil membaca buku kesukaannya di ruang tamu. Saat masih di Natherlands, bisa dibilang gadis itu seorang kutu buku. Bahkan ketika ada perjamuan dengan para bangsawan, ia hanya berduaan dengan bukunya seperti sepasang kekasih yang tak terpisahkan.Ia tidak terlalu tertarik dengan dunia luar. Hanya sesekali ia nampak kagum dengan hal- hal yang menarik perhatiannya.

Wanita itu...ia melihat seorang wanita setengah baya yang tampak sibuk menyapu halaman rumah bersama pekerja yang lain.Wanita itu mengenakan kebaya sederhana dan selendang yang disampirkan di bahunya tapi terlihat anggun. Sangat tidak terlihat jika ia adalah seorang pembantu di rumahnya. Eveline beranjak ke halaman untuk mencari udara segar, sekaligus....mengamatinya. Ya, Eve penasaran dengan wanita itu.

"Kau pasti Nona Eveline," kata wanita itu ramah.

Eveline tersenyum. "Bibi Marni ya.."

"Marni saja, Nona. Saya yang akan membantu Anda dan keluarga selama tinggal di sini."

Eveline menggeleng merasa sedikit lebih aneh memanggilnya seperti itu. "Tidak. Aku akan memanggimu bibi saja kalau begitu. Ngomong- ngomong tempat ini cukup luas, ya?"

"Ya, dan punya banyak cerita juga," jawab Marni sambil tersenyum samar.

"Benarkah?" Eveline menatapnya penuh minat. "Apa ada kisah menarik tentang rumah ini?"

Marni tampak ragu sejenak, lalu menghela napas. "Mungkin nanti, kalau Nona sudah lebih lama tinggal di sini."

Jawaban itu justru membuat Eveline semakin penasaran.

Eveline mengamati Marni yang kembali menyapu halaman, gerak-geriknya tenang namun penuh ketelitian. Ia tampak seperti seseorang yang sudah lama tinggal di rumah ini, seolah-olah ia mengenal setiap sudutnya lebih baik daripada siapa pun.

"Apa kau sudah lama bekerja di sini?" tanya Eveline setelah beberapa saat.

Marni mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. "Sudah cukup lama, Nona. Sejak sebelum rumah ini direnovasi oleh Tuan Hendrik."

Eveline tertegun. "Sebelum direnovasi? Seperti apa rumah ini dulu?"

Marni menatap ke arah rumah dengan pandangan yang sulit diartikan. "Dulu... rumah ini berbeda. Ada banyak kenangan di dalamnya, beberapa menyenangkan, beberapa..." Ia menghentikan ucapannya, lalu tersenyum samar. "Tapi itu cerita lama."

Eveline merasakan sesuatu yang janggal dalam nada suara Marni. Seolah ada sesuatu yang ingin disembunyikannya. Namun sebelum Eveline bisa bertanya lebih lanjut, suara derap kuda dan gemerincing roda kereta terdengar dari kejauhan.

Marni menoleh sekilas ke arah gerbang, lalu segera menghindar ke dalam rumah. Eveline yang penasaran ikut melihat siapa yang datang.

Eveline memperhatikan ekspresi Marni yang tampak sedikit muram, seolah ada beban yang ia sembunyikan di balik senyumnya. Tapi sebelum gadis itu bisa bertanya lebih jauh, suara derap kaki kuda yang mendekat mengalihkan perhatiannya.

Ia menoleh ke arah gerbang dan melihat sebuah kereta kuda berhenti. Seorang pria turun dengan langkah angkuh. Wajahnya tegas, dan sorot matanya tajam, penuh kewibawaan.

"Baron Lant?" gumam Eveline pelan.

Marni yang berdiri di sampingnya langsung menundukkan kepala, seolah tidak ingin menarik perhatian pria itu.

"Ah, Nona Eveline!" seru Baron Lant begitu melihatnya. Ia tersenyum lebar, tapi Eveline merasa ada sesuatu yang aneh dalam caranya menatap. Seperti seorang pria yang menilai harga sebuah barang.

Eveline tersenyum sopan dan sedikit membungkukkan kepala. "Selamat sore, Tuan Baron."

"Tuan Baron," sapa Marni pelan, nyaris seperti bisikan.

Baron Lant meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada Eveline. "Bagaimana rasanya tinggal di sini? Semoga Anda tidak terlalu kaget dengan perbedaan antara negeri ini dan Belanda."

Eveline mengangguk kecil. "Memang sangat berbeda, tapi aku cukup menikmatinya."

"Tentu, tentu." Baron Lant tertawa kecil. "Ah, sayang sekali Ayah Anda belum tiba. Tapi tidak apa, saya hanya ingin memastikan bahwa keluarga Anda baik-baik saja. Jika ada keperluan, jangan sungkan menghubungi saya. Dan...ini ada surat dari Ayah anda dan beberapa bingkisan yang ia kirim. Katanya urusannya belum selesai, jadi anda harus menunggu lagi."

"Tentu, terima kasih atas perhatiannya, Tuan Baron," jawab Eveline sopan.

Baron Lant tersenyum puas, lalu berbalik menuju keretanya. Namun sebelum masuk, ia menatap Marni sekali lagi. "Dan kau, Marni... pastikan kau melaksanakan tugasmu dengan baik."

Marni menunduk lebih dalam. "Ya, Tuan Baron."

Setelah Baron Lant pergi, Eveline menoleh ke Marni, menyadari perubahan sikapnya yang tiba-tiba menjadi kaku. "Bibi mengenalnya?" tanyanya hati-hati.

Marni tersentak, lalu menggeleng. "Hanya... pernah mendengar namanya saja, Nona."

Eveline bisa merasakan ada sesuatu yang Marni sembunyikan. Ia menatap Marni sekali lagi sebelum akhirnya mengangguk dan berjalan masuk ke dalam rumah. Tapi di sudut matanya, ia masih bisa melihat Marni berdiri di tempatnya, menatap kosong ke arah tanah, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Ia memandangi langit, mencoba mengusir rasa bosan. Hansen sudah pergi entah ke mana, ibunya menghadiri perjamuan, dan ia ditinggalkan sendiri di rumah besar ini.

"Lebih baik aku berjalan-jalan saja," gumamnya.

Tanpa pikir panjang, Eveline bangkit dan melangkah keluar gerbang. Baru beberapa langkah, ia mendengar suara tawa anak-anak. Eveline menoleh ke arah sumber suara dan melihat sekelompok bocah berlarian di gang kecil di antara rumah-rumah penduduk.

Tiba-tiba, salah satu dari mereka menabraknya. Bocah itu terjatuh, lalu buru-buru bangkit dengan wajah panik.

"Maaf, Nona!" katanya cepat sebelum kembali berlari, menyusul teman-temannya.

Eveline mengernyit. Anak-anak itu terlihat ketakutan, seolah sedang menghindari sesuatu. Eveline menghela napas panjang. Udara siang itu cukup terik, tapi ia tetap melanjutkan langkahnya di jalan setapak berbatu yang membawanya ke luar pekarangan rumah. Semarang memang jauh berbeda dari Belanda—udara lebih panas, jalanan lebih ramai dengan pedagang dan pekerja yang berlalu-lalang, serta suara khas pasar yang hidup di kejauhan.

Ia berjalan menyusuri jalanan, berusaha mengenal lingkungan barunya. Namun, tak lama kemudian, ia merasa seseorang mengamatinya.

Saat menoleh, matanya bertemu dengan sepasang mata gelap milik seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya. Pakaiannya sederhana, wajahnya sedikit berdebu, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Eveline diam di tempat.Pemuda itu tidak berbicara, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Kenapa menatapku begitu?" tanya Eveline, sedikit ketus.

Pemuda itu mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. "Nona tidak tersesat, kan?"

"Aku tidak sebodoh itu."

Pemuda itu terkekeh. "Bukan soal itu. Hanya jarang melihat nona bangsawan sendirian di sini."

Eveline menyilangkan tangan di dadanya. "Aku hanya ingin berjalan-jalan. Kenapa? Tidak boleh?"

"Boleh saja," jawabnya santai. "Tapi hati-hati, beberapa anak di sekitar sini suka usil."

Seolah menegaskan perkataannya, tiba-tiba ada sesuatu yang melayang ke arah Eveline—segumpal tanah! Eveline melompat ke belakang dengan kaget, matanya membelalak marah ke arah anak-anak kecil yang tertawa tidak jauh darinya.

"Kalian!" serunya kesal.

Anak-anak itu tertawa lebih keras. Namun, sebelum Eveline sempat mengejar mereka, pemuda tadi melangkah maju.

"Jangan ganggu tamu kita," katanya, suaranya tenang tapi penuh otoritas.

Anehnya, anak-anak itu langsung terdiam dan bubar seolah sudah terbiasa menurutinya.

Eveline menoleh ke pemuda itu, sedikit terkejut. "Kau mengenal mereka?"

"Bisa dibilang begitu." Pemuda itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengulurkan tangan. "Namaku Panji."

Eveline menatap tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya menyambutnya dengan sedikit enggan. "Eveline."

Panji tersenyum samar. "Selamat datang di sini, Nona Eveline."

Entah kenapa, ada sesuatu dalam cara Panji mengatakannya yang membuat Eveline merasa ia bukan sekadar pemuda biasa.

Eveline menarik tangannya kembali, menatap Panji dengan alis sedikit berkerut. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang terasa aneh baginya, seperti ada makna tersembunyi di balik kata-katanya.

"Kau bekerja di sini?" tanya Eveline akhirnya.

Panji tersenyum kecil. "Bukan. Aku hanya sering datang ke sini."

"Untuk apa?"

Panji mengangkat bahu santai. "Mencari udara segar… atau mungkin mencari sesuatu yang hilang."

Eveline menatapnya dengan curiga. "Kau bicara seperti penyair saja."

Panji tertawa pelan. "Mungkin saja."

Eveline mendesah. Ia tidak ingin berlama-lama berdiri di sini dengan seseorang yang bicara dalam teka-teki. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berbalik dan mulai berjalan kembali ke rumahnya.

Namun, belum sampai beberapa langkah, Panji berkata, "Nona Eveline."

Eveline berhenti, menoleh.

"Jangan terlalu percaya pada semua orang di sini."

Kata-kata itu terdengar seperti peringatan.

Eveline menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi wajahnya, tapi Panji hanya tersenyum samar.

Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Panji sudah melangkah pergi, menghilang di antara pepohonan di kejauhan.

Eveline menghela napas pelan. "Orang aneh…" gumamnya.

Tapi entah kenapa, kata-kata Panji terus terngiang di kepalanya sepanjang sore itu.Eveline berjalan ke rumah beberapa saat setelah Panji menghilang.

Angin sore bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun di atasnya, tetapi pikirannya tetap tertuju pada peringatan yang baru saja ia dengar.

Jangan terlalu percaya pada semua orang di sini…

Apa maksudnya?

Eveline menggeleng pelan, mencoba mengusir kegelisahan dalam benaknya. Ia tidak ingin larut dalam pikiran yang tidak perlu. Mungkin Panji hanya menggertak, atau mungkin ia hanya suka berbicara dalam teka-teki.

Setelah menghela napas panjang, ia akhirnya kembali melangkah. Namun, sebelum sempat mencapai rumahnya, ia mendengar suara lain—lebih lembut, lebih riang—memanggilnya dari kejauhan.

"Eve!"

Eveline menoleh dan melihat seorang gadis seusianya berjalan menghampiri dengan senyum cerah. Gadis itu memiliki rambut kecokelatan yang dikepang rapi, dan sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Tak jauh di belakangnya, Hansen berjalan santai dengan kedua tangan di saku celananya.

"Eve, ini Hellen," kata Hansen begitu mereka semakin dekat. "Dia sahabatku di sini."

Eveline menatap Hellen dengan ekspresi netral, lalu melirik Hansen. "Aku tidak tahu kau punya sahabat."

Hansen mendecak. "Jangan menggodaku. Aku juga bisa punya teman, tahu?"

Hellen tertawa pelan. "Dan aku sudah lama ingin bertemu denganmu, Eveline."

"Kenapa?" tanya Eveline tanpa basa-basi.

Gadis itu tersenyum cerah. "Aku mendengar kalau ada seorang nona baru yang datang ke sini, dan kudengar kau suka membaca buku. Jadi... kupikir aku harus mengenalmu!"

Eveline menaikkan alisnya. "Dari mana kau tahu aku suka membaca?"

"Dari Hansen," jawab Hellen tanpa ragu. "Aku melihatnya di toko buku ketika dia membeli sesuatu untukmu. Dan kau tahu apa yang aneh?"

"Apa?"

"Dia selalu meminta penjual buku memilihkan judul yang menarik, seolah dia tidak tahu apa yang benar-benar kau sukai," kata Hellen sambil terkikik.

Eveline tersenyum tipis. "Hansen memang begitu. Dia selalu mencoba terlihat sok tahu, padahal tidak."

"Hei...hei apa maksudmu ?!" katanya sambil menggerutu.

Hellen tertawa. "Kurasa kita akan cocok.Hellen sambil mengangkat sebuah buku yang dibawanya. "Aku bahkan punya banyak koleksi buku di rumah. Jika kau mau, kau bisa meminjam beberapa dariku."

Mata Eveline berbinar sesaat, tapi ia segera memasang wajah biasa saja. "Kedengarannya menarik."

"Aku tahu kau akan suka," kata Hellen riang. "Aku baru selesai membaca buku ini. Ini tentang seorang pria yang terdampar di pulau asing dan harus bertahan hidup. Kau mau meminjamnya?"

Eveline menatap buku di tangan Hellen dengan ragu. Ia memang suka membaca, tapi belum tentu ia akan tertarik dengan buku ini. Namun, setelah mengingat bahwa ia tidak membawa banyak koleksi buku dari Belanda, ia akhirnya mengangguk.

"Baiklah. Aku akan membacanya."

"Bagus!" seru Hellen. "Kau tidak akan menyesal."

Hansen menyilangkan tangan di dadanya dan tersenyum miring. "Hellen ini seperti pustakawan berjalan. Kalau kau butuh buku, tinggal cari dia."

Eveline mendelik ke arahnya. "Dan Hansen selalu pinjam buku dariku tapi jarang mengembalikannya tepat waktu."

"Aku sibuk," sahut Hansen enteng.

Hellen menahan tawa kecil. "Aku bisa membayangkannya."

Angin sore bertiup lembut, menggoyangkan pepohonan di sekitar mereka.

"Ayo masuk," ajak Hansen. "Matahari hampir terbenam, dan ibu pasti tidak ingin kau keluyuran terlalu lama, Eve."

"Baiklah ...kalau begitu aku pulang ya.... Besok aku akan berkunjung ke rumahmu." ia berlari sambil melambaikan tangannya.

"Ya...aku akan menunggunya..." balas Hansen.

Eveline menatap langit yang mulai berwarna jingga. Ia merasa hari ini cukup menarik—dari pertemuan dengan Panji yang misterius hingga perkenalan dengan Hellen yang ceria. Mungkin kehidupannya di sini tidak akan seburuk yang ia bayangkan.

Namun, jauh di dalam rumah, seseorang sedang mengamati mereka. Marni berdiri di balik tirai jendela, matanya mengawasi setiap gerakan Eveline.

Waktu akan menjawab segalanya.