Chereads / Eveline 1887 / Chapter 5 - Bab 4_ Bayangan di Balik Rumah

Chapter 5 - Bab 4_ Bayangan di Balik Rumah

Malam itu suasananya tenang. Eveline duduk di jendela kamarnya sambil membaca buku yang ia pinjam dari Hellen.

Sesekali, angin malam berembus pelan, membuat tirai jendelanya bergerak ringan. Eveline menyesap udara malam dalam-dalam, menikmati ketenangan yang jarang ia rasakan sejak kepindahannya ke Semarang.

Namun, di tengah kesunyian itu, sesuatu menarik perhatiannya. Dari sudut matanya, ia melihat sesosok bayangan bergerak di kebun belakang. Eveline menyipitkan mata, mencoba memastikan apakah itu hanya bayangan pohon yang tertiup angin atau sesuatu yang lain.

Rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia menutup bukunya, meletakkannya di pangkuan, lalu berdiri dan berjalan mendekati jendela. Dari sana, ia bisa melihat dengan lebih jelas—seorang pemuda berdiri di antara semak-semak, seolah sedang mengamati sesuatu.

Jantung Eveline berdegup lebih cepat. Siapa dia? Apa yang dia lakukan di sana malam-malam begini?

Eveline membuka lebar jendela kamarnya lalu melompat ke luar. Sosok itu bukanya lari tapi malah mematung di tempat itu. Seolah ia tak takut ketahuan pemilik rumah dan telah terbiasa melakukan itu berkali- kali.

Eveline melangkah mendekat dengan hati-hati, rerumputan yang basah oleh embun malam menyentuh kakinya. Cahaya bulan samar-samar memperjelas sosok di depannya—seorang pemuda dengan wajah setengah tertutup bayangan.

"Kau siapa?" suara Eveline terdengar tegas, meskipun ada sedikit getaran dalam nada bicaranya.

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya dengan mata tajam yang sulit ditebak. Seakan sedang menilai apakah Eveline layak mengetahui keberadaannya atau tidak.

"Kau selalu mengawasiku?" lanjut Eveline, mencoba mengisi keheningan.

Akhirnya, pemuda itu menghela napas dan berkata pelan, "Bukan mengawasimu."

Eveline mengernyit. "Lalu apa? Kau mau mencuri ya ?"

Pemuda itu menoleh sekilas ke arah rumah, lalu kembali menatap Eveline dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Aku hanya memastikan sesuatu."

"Memastikan apa?" Eveline semakin penasaran.

Pemuda itu tak menjawab, malah berbalik dan berjalan menjauh.

"Tunggu!" Eveline hampir saja mengejarnya, tapi pemuda itu berhenti, seolah memang ingin dihentikan.

Ia menoleh, lalu dengan suara nyaris berbisik, ia menyebutkan namanya untuk pertama kali.

"Panji."

Eveline menatapnya, mencoba mencerna nama yang baru saja ia dengar. "Panji?" ulangnya pelan, seolah ingin memastikan dirinya tidak salah dengar.

Pemuda itu tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Keheningan kembali mengisi jarak di antara mereka, hingga akhirnya Eveline memutuskan untuk berbicara lebih dulu.

"Kalau kau memang sering ke sini, kenapa baru sekarang aku menyadarinya?" tanyanya, melipat tangan di dada.

Panji menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangkat bahu. "Mungkin karena kau terlalu sibuk dengan duniamu sendiri," jawabnya ringan, membuat Eveline mengerutkan kening.

"Jadi, apa kau akan berdiri di sana sepanjang malam?" Panji melirik ke arah jalan setapak kecil di belakang rumah. "Atau... mau jalan-jalan sebentar?"

Eveline tampak ragu, tetapi ia tidak memberinya kesempatan untuk menolak. "Aku bosan di rumah. Jika kau memang tidak mengawasiku, buktikan dengan menemani aku berjalan sebentar," tantangnya dengan senyum kecil.

Panji menghela napas, lalu akhirnya melangkah mendekat. "Baiklah, tapi jangan menyesal kalau kau tersesat di malam begini," katanya dengan nada yang sulit ditebak—entah serius atau hanya bercanda.

Eveline tertawa kecil. "Aku rasa aku bisa mempercayaimu untuk mengantarku pulang dengan selamat."

Dan begitu saja, malam itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah Eveline duga sebelumnya. Mereka berjalan perlahan di jalanan sepi yang hanya diterangi cahaya bulan, berbicara tentang hal-hal sederhana—tentang angin laut yang membawa aroma asin, tentang langit malam yang terlihat lebih indah dibandingkan di Belanda, dan tentang bagaimana Semarang punya cara sendiri untuk membuat seseorang merasa hidup.

Malam semakin larut, tetapi Eveline tidak merasa mengantuk sedikit pun. Ia menikmati udara malam yang sejuk, langkah-langkah mereka terdengar ringan di atas jalanan berbatu kecil.

"Kau berasal dari mana?" Eveline akhirnya bertanya, mencoba mengenal Panji lebih jauh.

Panji menoleh sekilas, kemudian menatap ke depan lagi. "Aku lahir di sini, di Semarang."

"Lalu kenapa kau sering berada di belakang rumahku?" Eveline mengangkat alis, ingin tahu alasan sebenarnya.

Panji terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku hanya ingin memastikan sesuatu."

Eveline menunggu, berharap ia akan melanjutkan, tetapi Panji tetap diam. "Kau benar-benar tidak mau menjelaskan lebih jauh, ya?" Eveline tersenyum miring.

Panji menghela napas pendek. "Mungkin suatu saat nanti aku akan memberitahumu."

Eveline menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, tetapi ia tidak mendesak. "Baiklah, aku akan menunggu saat itu."

Mereka berjalan lebih jauh, sampai akhirnya Eveline melihat sebuah jembatan kecil di tepi sungai. Ia berhenti dan menatap ke bawah, melihat pantulan bulan di air yang tenang. "Indah sekali," gumamnya.

Panji ikut melihat ke arah yang sama. "Aku sering ke sini. Tempat ini jauh dari kebisingan. Jika kau butuh tempat untuk berpikir, ini bisa menjadi pilihan yang bagus."

Eveline tersenyum. "Kalau begitu, mungkin aku akan sering datang."

Panji menoleh padanya, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia mengurungkan niatnya. "Sudah cukup jauh. Kita sebaiknya kembali sebelum ada yang mencarimu," katanya akhirnya.

Eveline menatapnya dengan ragu, seolah enggan mengakhiri percakapan mereka. Tapi ia tahu Panji benar—jika ia terlambat kembali, pasti akan menimbulkan masalah.

"Baiklah, ayo pulang."

Mereka kembali menyusuri jalan yang sama. Namun, malam itu tidak berakhir begitu saja. Karena setelah pertemuan ini, Eveline tahu bahwa ia akan bertemu Panji lagi, lebih sering dari yang ia kira.