Chereads / Eveline 1887 / Chapter 3 - Bab 2_Kedatangan Hendrik De Graaf

Chapter 3 - Bab 2_Kedatangan Hendrik De Graaf

Sore itu, udara terasa berbeda. Ada yang tidak biasa di rumah besar milik keluarga de Graaf. Suara pelayan dan hiruk-pikuk yang biasa terdengar sejak dini hari tampak lebih terburu-buru dari biasanya. Eveline yang sedang menikmati waktu senggangnya di kebun belakang merasa ada perubahan besar. Tidak lama setelah itu, suara langkah kaki dari pelayan yang bergegas menuju ruang utama terdengar semakin jelas.

Tiba-tiba, suara Hendrik de Graaf—ayah Eveline—terdengar mengisi ruang rumah yang luas. Eveline terkejut. Sudah lama sekali sejak ia mendengar suaranya di rumah. Hendrik yang lebih sering berada di luar kota atau mengurusi urusan bisnis, akhirnya pulang.Ditambah lagi ada Nyonya Belanda dan juga putrinya ikut dengan Hendrik dan ia memanggilnya...PAPA

Walaupun ia sudah tahu dari ibunya jika Hendrik tidak hanya memiliki satu istri, apalagi ibunya hanya seorang bangsawan lokal yang dijadikan istri ke -2 .Tentu saja Hendrik pernah menikah dengan orang Belanda pula dan kemungkinan mereka akan bertemu cepat atau lambat.

Hendrik masuk ke rumah itu, mengenakan jas hitam yang tampak elegan dan penuh wibawa. Wajahnya yang sering tampak dingin itu tiba-tiba terlihat lebih lelah, seolah membawa beban berat. Eveline yang sedang duduk di dekat jendela terdiam sejenak, mencoba mencerna perasaan campur aduk yang muncul. Sebagian besar hidupnya tanpa kehadiran ayah, dan kehadirannya sekarang membuat suasana menjadi lebih intens.

Suasana sore yang damai itu segera digantikan dengan suara riuh pelayan yang mempersiapkan segala sesuatunya untuk makan malam. Eveline merasa sedikit cemas—perjamuan yang akan diadakan malam ini tampaknya tidak bisa dihindari.

"Ibu mana?" tanya Hendrik dengan suara tegas, mata menyapu sekitar ruangan.

Pelayan yang mendengar pertanyaan itu segera menjawab, "Ny. Sarinah sedang mempersiapkan makan malam , Tuan."

Di ruang tengah, Hendrik de Graaf sudah duduk di sofa bersama seorang wanita separuh baya yang terlihat anggun mengenakan gaun khas Belanda dengan sedikit polesan makeup di wajahnya. Wanita itu tampak tenang dan penuh wibawa. Di sampingnya, putrinya yang berambut pirang, berdiri dengan sikap agak canggung.

Wajahnya yang cerah biasa berubah menjadi lebih formal ketika matanya bertemu dengan Eveline.

"Eveline," kata Hendrik dengan senyum tipis, "ini adalah istri pertamaku, Margaretha. Dan ini Irenne, dia seusiamu. Mereka akan berada di sini bersama kita untuk sementara waktu."

Eveline menyapa mereka dengan sedikit ragu. Margaretha menatapnya dengan senyum yang anggun, namun ada sedikit ketegangan di matanya. Irenne, yang tadinya canggung, akhirnya menundukkan kepala sebagai bentuk salam, walaupun tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaknyamanan di wajahnya.

Ny. Sarinah, yang melihat pertemuan itu, segera mendekat dengan sikap yang lebih hangat. "Selamat datang, Margaretha," katanya dengan senyum sopan. "Senang sekali bisa bertemu denganmu."

Margaretha memberikan senyum yang lebih lembut, meskipun ekspresinya tetap terjaga. "Terima kasih, Ny. Sarinah. Senang bisa berada di sini."

Hansen yang dari tadi duduk di ujung ruangan, mengangguk dan berkata dengan suara ringan, "Selamat datang, Irenne. Semoga kita bisa menjadi teman baik selama kalian tinggal di sini."

Irenne tersenyum tipis, meskipun masih terlihat canggung. "Terima kasih."

Ny. Sarinah segera melanjutkan, "Kami sudah menyiapkan makan malam. Ayo, mari kita makan bersama."

Dengan ajakan itu, semua bergerak menuju ruang makan. Suasana menjadi sedikit lebih santai, meskipun masih ada ketegangan tersirat, terutama di antara Eveline dan Irenne. Ketika mereka duduk di meja makan, Ny. Sarinah mulai membuka percakapan.

"Apakah perjalanan kalian dari Yogyakarta menyenangkan?" tanya Ny. Sarinah dengan sopan.

Margaretha mengangguk pelan. "Perjalanan cukup panjang, tapi kami baik-baik saja. Senang bisa sampai di sini."

Irenne menambahkan, "Pemandangannya indah sekali, meskipun cuacanya sedikit panas."

Hansen yang merasa sedikit lebih nyaman, menyelipkan komentar ringan, "Semarang memang sering kali penuh kejutan, ya. Cuaca bisa berubah secepat kilat."

Percakapan berlangsung lebih ringan, meskipun Eveline masih merasakan ketegangan antara dirinya dan Irenne. Namun, percakapan tentang cuaca dan perjalanan cukup membuat suasana menjadi lebih tenang. Hansen sesekali melontarkan candaan tentang keadaan kota dan kebun, dan Irenne perlahan mulai merasa lebih nyaman berbicara tentang hal-hal sederhana.

Ny.Sarinah kemudian bertanya, "Irenne, apakah kamu tertarik dengan puisi? Eveline sering membaca puisi bersama ibu, dan aku tahu itu adalah salah satu hal yang mereka nikmati."

Irenne tersenyum sedikit. "Sebenarnya, aku lebih suka mendalami seni lukis, tapi puisi juga menarik. Mungkin Eveline bisa mengajarkan aku beberapa puisi yang ibu suka."

Eveline tersenyum kecil, meskipun ada perasaan canggung yang masih mengalir. "Tentu, aku senang berbagi tentang itu."

Percakapan mereka berlanjut dengan lebih banyak pembicaraan ringan tentang seni, kebun, dan hal-hal sederhana lainnya. Meskipun ada ketegangan di balik percakapan mereka, Ny. Sarinah dan Hansen berusaha menjaga suasana tetap akrab, sementara Hendrik dan Margaretha lebih fokus pada percakapan yang lebih serius tentang urusan keluarga.

"Kalian pasti lelah sekali setelah perjalanan yang cukup panjang, aku sudah memerintahkan pelayan untuk menyiapkan kamar kalian."

"Oh...tentu saja, aku sudah mengantuk sekali, terimakasih ya..." Margareta tersenyum senang.

"Anda kan tamu kami, jadi sudah sebaiknya seperti ini."Ny. Sarinah menoleh ke arah pintu dan memanggil dengan suara lembut, "Marni, tolong bantu membawa barang-barang mereka ke kamar."

Langkah kaki terdengar mendekat, dan seorang wanita berpenampilan sederhana masuk ke dalam ruangan. Marni melangkah dengan tenang, wajahnya tetap datar seperti biasanya. Namun, saat ia mengangkat kepalanya dan pandangannya bertemu dengan Hendrik de Graaf, waktu seolah berhenti sejenak.

Hendrik yang tadinya duduk dengan santai tiba-tiba menegang. Matanya membesar sedikit, tetapi tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Marni juga tak berkata apa-apa. Tidak ada salam, tidak ada reaksi berlebihan—hanya tatapan mata yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Eveline yang duduk tak jauh dari sana bisa merasakan ketegangan yang merayap di udara. Ia melirik ayahnya sekilas, melihat bagaimana ekspresi dingin itu sedikit goyah dalam sepersekian detik. Di sisi lain, Margaretha tampak tetap tenang, meskipun matanya sesekali melirik suaminya dengan rasa ingin tahu.

Irenne, yang belum memahami situasi, hanya diam dan memperhatikan. Hansen, yang sejak tadi bersikap santai, menatap adegan ini dengan ketertarikan yang lebih besar, seolah membaca sesuatu yang lebih dalam di antara keduanya.

Keheningan itu terasa panjang meskipun hanya berlangsung beberapa detik. Hingga akhirnya, Marni menundukkan kepala sedikit dan berkata dengan suara yang datar namun jelas, "Saya akan segera membawa barang-barang Anda ke kamar."

Tanpa menunggu tanggapan, ia segera berbalik dan mengambil koper Margaretha serta Irenne, dibantu oleh beberapa pelayan lain. Hendrik masih belum mengalihkan pandangannya darinya, tetapi ia tidak mengatakan sepatah kata pun.

Margaretha akhirnya memecah keheningan dengan batuk kecil sebelum berkata, "Aku rasa kita semua sudah cukup lelah. Akan lebih baik jika kita beristirahat lebih awal malam ini."

Ny. Sarinah tersenyum tipis dan mengangguk. "Tentu, silakan beristirahat. Marni, tolong antarkan mereka ke kamar."

Marni hanya mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya tanpa menoleh lagi.

Saat Hendrik akhirnya berbalik dan berjalan mengikuti istrinya ke kamar, Hansen bersandar di kursinya dan berbisik pelan kepada Eveline, "Ada sesuatu di antara mereka, bukan?"

Eveline hanya mengangguk samar, pikirannya masih tertuju pada tatapan ayahnya yang tidak biasa.