Chereads / Eveline 1887 / Chapter 4 - Bab3_ Pagi yang Tenang

Chapter 4 - Bab3_ Pagi yang Tenang

Eveline duduk di depan jendela besar, matahari pagi menyinari permukaan air kolam di taman belakang rumah. Suasana sempat terasa damai, seakan segala ketegangan yang terjadi semalam hanyalah mimpi buruk yang perlahan menghilang bersama kabut pagi. Namun, di dalam hati Eveline, ada rasa tak nyaman yang terus mengganjal. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, dan ia bisa merasakannya, meski tidak dapat menyebutkan dengan pasti apa itu.

Ia memandangi keluarga besar yang sibuk dengan urusan masing-masing. Irenne sedang berbicara dengan pelayan di sudut ruangan, tampak lebih ceria dari sebelumnya. Eveline terkadang merasa sedikit canggung dengan sepupunya itu. Mereka memang terlahir dari keluarga yang sama, namun darah Belanda pada Irenne tak bisa dipungkiri lebih kental, lebih terasa dalam setiap sikap dan perkataannya. Bahkan, cara Irenne berjalan di ruangan ini seperti menunjukkan bahwa ia tak pernah merasa kekurangan, tak seperti Eveline yang selalu merasa terombang-ambing antara dua dunia.

Tak lama, Hansen masuk ke ruang makan, wajahnya seperti biasanya: tenang, penuh dengan ketenangan yang seolah tak terpengaruh apa pun. Namun Eveline tahu, di balik ekspresi itu, ada kekhawatiran yang sedang dia sembunyikan. Tanpa mengatakan apa-apa, Hansen duduk di samping Eveline, menatap ke luar jendela. Mereka berdua mengamati kedamaian yang begitu kontras dengan keributan yang terjadi malam sebelumnya.

"Kak," Eveline memulai, suaranya pelan. "Apakah menurutmu semuanya akan baik-baik saja?"

Hansen mengalihkan pandangannya, wajahnya sejenak menunjukkan keraguan, tapi ia mengangguk. "Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi, tapi... kita harus tetap kuat."

Eveline menggigit bibir, mencoba mencerna kata-kata itu. Ia tahu apa yang Hansen maksud, namun pertanyaannya lebih dari sekadar tentang masa depan keluarga mereka. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tersembunyi, dan ia merasa semakin dekat untuk menemukannya.

"Hari ini kau tidak menemui Hellen lagi?" tanya Eveline tiba-tiba, suaranya terdengar sedikit cemas, meski ia berusaha menutupinya dengan senyum tipis.

Hansen tersenyum lebar, wajahnya yang biasanya serius kini terlihat lebih ceria. "Kau mau menemuinya? Kalau begitu ayo, kita bisa mengajak Irenne juga."

Eveline terkekeh pelan, menatap Hansen dengan sedikit rasa ingin tahu. "Irenne? Hmm, dia pasti senang diajak." Namun, ada sedikit rasa ragu dalam hati Eveline. Irenne, dengan segala keceriaannya, terkadang membuatnya merasa agak terasing. Meski mereka sepupu, Eveline merasa dunia mereka berbeda.

"Iya, Irenne pasti senang!" Hansen melanjutkan dengan antusias. "Aku dengar dia ingin mencari hadiah untuk ibu, mungkin dia bisa ikut bergabung. Lagipula, kau juga butuh teman untuk pergi ke pasar, bukan?"

Eveline mengangguk, walau hatinya sedikit ragu. Tidak ada salahnya jika pergi bersama mereka. Tapi entah kenapa, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Ia memandang ke luar jendela, matanya seolah mencari jawaban di balik kesunyian pagi itu.

"Baiklah," kata Eveline akhirnya. "Ayo, kita pergi. Aku ingin melihat apa yang bisa ditemukan di pasar."

Ketiganya bergegas bersiap-siap. Hansen dengan semangatnya sudah siap untuk berjalan, sementara Eveline dan Irenne mulai mengenakan sepatu mereka dengan langkah tenang. Sementara itu, bayangan tentang Baron Lant dan segala perubahan besar yang disebutkan Irenne masih mengambang di pikiran Eveline, membuatnya bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik ketenangan yang tampaknya menyelimuti Semarang.

"Kalian baru mau pergi ya...padahal aku baru saja mau meminjamkanmu buku ini Eveline." kata Hellen dari kejauhan dengan nada kecewa, sedikit menggoda.

"Hellen. Baru saja aku mau menemuimu nona tapi malah kau yang kemari." jawab Hansen dengan sedikit genit.

"Kenapa mau menemuiku ?"Hellen mengerutkan dahi, penasaran.

" Kami mau mengajakmu pergi ke pasar. Kau kan sudah lama di sini, jadi tau seluk- beluk tempat ini."

"Tentu saja aku ahlinya." kata Hellen sambil tersenyum sinis. "Oh...dan siapa nona itu? Dia cantik sekali." kali ini Hellen benar - benar kagum padanya.

"Ini Irenne. Dia adalah supupuku, bisa di bilang dia juga adik kandungku sebelum Eveline." Hansen mencoba menjelaskan dengan hati - hati.

Dukk..

"Kau tidak sopan !!" Eveline memukul kepala Hansen dengan buku tebal yang dibawa Hellen.Hellen tertawa melihatnya. Sementara Hansen memegangi kepalanya, terkejut.

Irenne tersenyum dan melangkah maju.

"Hellen, bukan? Aku Irenne, sepupu Eveline," ucapnya dengan sikap ramah, mencoba meredakan ketegangan yang terasa.

"Senang bertemu denganmu, nona. Aku Hellen." ia menunjukan hormat dengan sangat anggun.

Irenne tertawa pelan, mengangguk. "Tidak perlu berlebihan seperti itu Hellen." Irenne membalasnya dengan gerakan yang sama.

Hellen mengamati Irenne dengan cermat, lalu tersenyum dengan tatapan penuh perhatian. "Kalau begitu, kau perlu banyak teman di sini. Semarang tidak selalu mudah untuk orang baru, apalagi dengan segalanya yang berjalan begitu cepat." Hellen melirik Hansen yang tampak sedikit canggung di samping mereka.

Irenne merasa sedikit lega, merasa diterima oleh Hellen yang lebih tua dan lebih berpengalaman. "Aku berharap begitu. Tidak ada yang lebih baik daripada menemukan teman baru di tempat yang asing, bukan?"

Hellen tertawa mendengar kata-kata Irenne, dan seketika suasana yang sempat tegang menjadi lebih ringan. "Betul, kau tahu banyak juga ya. Mungkin kita bisa berbicara lebih banyak setelah ini," jawab Hellen dengan senyum lebar, yang membuat Irenne merasa lebih nyaman.

Mereka tiba di pasar dengan suasana yang ramai dan penuh warna. Eveline menikmati keramaian itu sambil memperhtikan barang yang di jual .

"Tunggu sebentar," kata Hellen sambil menarik tangan Eveline. "Aku melihat Rowan dan Carmen di sana."

Eveline menoleh dan melihat dua sosok yang berdiri di dekat sebuah gerai kain. Rowan, seorang pemuda berbadan tinggi dengan rambut cokelat yang tampaknya selalu rapi, sedang berbicara dengan pemuda dengan mata biru yang tajam dan senyum yang selalu membuat Eveline merasa sedikit canggung.

"Hei, kalian!" teriak Hallen dengan ceria, melambaikan tangan. Rowan dan Carmen berpaling dan menyambut kedatangan mereka dengan senyum.

"Ah, Hellen!" sapa Rowan dengan suara hangat, "Bagaimana kabarmu? Senang bisa melihatmu di sini."

"Aku baik-baik saja. Senang kita bertemu lagi," jawabnya, mencoba terdengar lebih santai.

Carmen mengangguk dengan senyum lebar. "Kau tampak lebih cantik dari terakhir kali kita bertemu, Hellen." ujarnya dengan nada genit yang membuat Hansen sedikit tidak nyaman.

"Ngomong - ngomong, siapa mereka? Teman barumu ya." Rowan tiba- tiba bertanya.

Hellen terkekeh. "Ah, aku sampai lupa memperkenalkan mereka pada kalian. Ini Eveline, Hansen dan sepupunya, Irenne. Kalian tak kenal mereka? Mereka adalah putra Tuan De Graaf."

"Oh, ya ampun, ternyata kalian. Senang bertemu. Kami ini teman Hellen semasa sekolah."

Eveline menatap Rowan dan Carmen dengan sedikit waspada, tapi tetap memberikan senyum kecil. Hansen, di sisi lain, tampak lebih santai dan sedikit tersenyum tipis, sementara Irenne hanya mengamati keduanya dengan tatapan penuh perhatian.

"Kami juga senang bertemu dengan kalian," jawab Hansen ramah, meskipun matanya sedikit menyipit ke arah Carmen, yang sejak tadi terus tersenyum lebar pada Hellen.

Rowan menatap Eveline dengan pandangan tertarik. "Jadi, kau Eveline? Aku sudah mendengar beberapa hal tentangmu," katanya santai.

Eveline mengangkat alis, sedikit bingung. "Mendengar dari siapa?" tanyanya hati-hati.

"Ah, dari beberapa orang yang berbicara tentang keluarga De Graaf," jawab Rowan dengan nada ringan, lalu menambahkan dengan senyum kecil, "Kau cukup menarik perhatian."

Eveline tidak yakin apakah itu pujian atau sekadar pernyataan biasa, tetapi sebelum ia sempat merespons, Carmen menimpali, "Jangan khawatir, Eveline. Orang-orang di sini memang suka membicarakan hal-hal baru. Kau dan Irenne pasti akan segera terbiasa."

Irenne yang sejak tadi diam akhirnya tersenyum kecil. "Kalau begitu, kami harus siap dengan segala macam gosip," katanya, mencoba mencairkan suasana.

Hellen tertawa kecil. "Ah, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting, mereka teman yang bisa diandalkan."

Rowan mengangguk setuju. "Benar. Jika kalian butuh bantuan atau sekadar ingin mengenal lebih jauh kehidupan di sini, kami selalu ada."

Carmen menambahkan dengan nada menggoda, "Dan jika butuh teman jalan-jalan, aku juga bersedia menemani. Terutama jika Hellen ikut."

Hellen mendengus sambil melirik Carmen. "Kau ini masih sama saja," katanya sambil melipat tangan, tapi matanya sedikit berbinar geli.

Hansen, yang sedari tadi hanya mendengar, akhirnya berdeham kecil. "Kalau begitu, mungkin lain kali kita bisa bertemu lagi. Tapi sekarang, kami masih ingin berkeliling pasar."

"Baiklah, kalau begitu," kata Rowan dengan anggukan ramah. "Hati-hati di jalan."

Eveline dan Irenne mengangguk, lalu mengikuti Hansen dan Hellen yang mulai berjalan menjauh. Namun, sebelum benar-benar pergi, Eveline sempat menoleh ke belakang dan mendapati Rowan masih menatapnya, sebelum akhirnya tersenyum tipis dan kembali berbicara dengan Carmen.

Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Eveline bertanya-tanya…

Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk mengabaikannya.