Seorang pria tampan berwajah Eropa dengan rambut hitam acak-acakan berjalan menyusuri koridor kampus yang ramai. Setiap langkahnya seperti magnet, menarik perhatian ke mana pun ia pergi. Suara bisik-bisik terdengar di antara kerumunan mahasiswa.
"Halo, Bram!" seru seorang mahasiswa yang berpapasan dengannya.
Apollo Bramasta, atau lebih akrab dipanggil Bram, melambaikan tangan dengan senyum tipis, cukup untuk membuat si penyeru tersenyum puas. Langkahnya yang santai membawa aura percaya diri yang sulit diabaikan. Ia adalah sosok yang dianggap sempurna oleh banyak orang—tampan, kaya, dan populer. Namun, hanya sedikit yang tahu, di balik karisma itu, ia menyimpan rahasia yang dapat mengubah cara dunia memandangnya.
Langkahnya terhenti di depan sebuah kelas. Ia mendorong pintu dan langsung disambut keramaian.
"Halo, Ta!" suara Stella, gadis berambut pirang panjang, membelah kegaduhan. Stella menghampirinya dengan senyum lebar sebelum memeluknya erat.
"Halo juga, Stell. Gimana kabarnya?" Apollo menatap Stella dengan mata yang lembut.
"Baik dong! Aku kangen banget sama kamu," jawab Stella, wajahnya berseri.
Dari sudut kelas, suara teman-temannya terdengar meledek. "Yaelah, Ta. Stella doang yang lu anggap spesial."
Apollo hanya tersenyum tipis, tak menggubris ledekan itu. Dalam hatinya, ia sadar bahwa kehidupan ini hanyalah topeng yang ia pakai untuk menyembunyikan kebenaran.
POV Apollo
Ya, seperti yang kalian lihat, gua ini Apollo Bramasta. Mahasiswa di universitas ternama yang terkenal bukan cuma karena otak gua, tapi juga muka gua yang, ya, kata orang-orang, luar biasa ganteng.
Dan, oh iya, gua kaya. Nggak heran sih, kalau orang-orang di kampus ini, entah cowok atau cewek, selalu pengen dekat sama gua. Di tempat ini, gua seperti raja. Tapi, jujur aja, kadang semua perhatian ini bikin gua lelah.
Biasanya, gua bakal ketemu Gema, teman gua yang sama-sama ganteng dan populer. Tapi sudah seminggu dia nggak kelihatan.
"Eh, si Gema mana ya?" tanya gua ke Nelson, salah satu teman dekat gua.
Nelson mengangkat bahu. "Lu lupa? Seminggu lalu pas dia ikut party, mukanya tiba-tiba bengkak parah. Sejak itu dia nggak pernah keliatan lagi."
Gua terdiam. Gema emang jadi saingan gua dalam banyak hal, tapi gua nggak pernah ngira dia bakal menghilang begitu aja.
Beberapa jam kemudian, semua kegiatan kuliah selesai. Gua dan Stella lagi di parkiran. Tangan Stella masih erat menggandeng gua. Ya, privilege orang ganteng itu nyata, bos.
"Apollo, kita nonton film di bioskop yuk? Ada film yang udah aku tunggu-tunggu banget," kata Stella sambil menatap gua dengan wajah penuh harap.
"Boleh," jawab gua santai. Siapa sih yang nolak diajak nonton sama cewek cantik kayak Stella?
Gua langsung menuju motor sport kesayangan gua, Robert. Gua bantuin Stella naik, lalu gua ikutan naik
POV Narator
"Udah?" tanya Apollo, menoleh sekilas ke Stella yang sudah memeluk pinggangnya erat-erat.
"Udah," jawab Stella pelan.
Apollo menyalakan mesin motornya. Suara gemuruh motor sport itu memecah kesunyian parkiran. Ia menancap gas, menuju mall terdekat.
Perjalanan itu berlangsung dalam diam, dengan hanya hembusan angin malam yang menemani mereka.
Setelah sekitar dua puluh menit, mereka tiba di mall. Stella turun lebih dulu, menunggu Apollo yang memarkirkan motornya.
Apollo turun dan melepaskan helmnya dari kepala Stella, lalu memasukkannya di bagasi motor sebelum mereka berjalan masuk ke mall, tangan Stella langsung menggandeng lengan Apollo.
"Kita mau nonton apa, Stel?" tanya Apollo sambil melirik papan film di layar digital depan bioskop.
"Avanger," jawab Stella dengan mata berbinar.
Apollo hanya mengangguk pelan, tapi raut wajahnya berubah sedikit gelisah.
"Kamu pernah mikir nggak sih," Stella membuka percakapan sambil memeriksa tiket mereka di ponsel, "kalau film kayak Avenger atau mutan di X-Men itu nyata?"
Langkah Apollo melambat. Seketika ada beban yang mengendap di matanya. "Percaya nggak percaya sih," jawabnya dengan nada hati-hati.
"Tapi, kalau beneran ada, dunia bakal chaos."
"Maksud kamu?" Stella menghentikan langkahnya, menatap Apollo dengan bingung.
"Kalau ada orang dengan kekuatan kayak gitu, mereka pasti ngerasa lebih superior. Cepat atau lambat, manusia biasa kayak kita cuma bakal jadi figuran atau budak mereka," jelas Apollo sembari tersenyum gelisah.
Stella mengangguk setuju. "Bener juga ya, mereka pasti gak kayak di film."
Apollo tidak menjawab. Ia hanya tersenyum samar, lalu melangkah menuju loket tiket.
Setelah memesan tiket dan membeli popcorn, mereka masuk ke dalam studio.
Stella memilih tempat duduk yang berada di baris tengah, cukup strategis untuk menikmati layar besar tanpa terlalu dekat.
"Makasih udah bayarin ya, Pol," ujar Stella sembari tersenyum kecil.
Apollo meliriknya tajam. Stella yang awalnya santai langsung terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan Apollo yang terasa berbeda.
"Maaf, Ta. Aku nggak sengaja. Kamu pasti nggak suka aku manggil itu," Stella buru-buru meralat.
Apollo menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Iya, nggak apa-apa." ucapnya sembari tersenyum. Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa menit sampai film dimulai.
Ketika film hampir setengah jalan, suasana di sekitar mereka mendadak berubah. Di sebelah Stella, seorang pria bertubuh besar dengan pakaian serba gelap dan sepatu boots berat masuk ke studio. Ia duduk perlahan di kursi sebelah Stella, tapi tidak berkata sepatah kata pun.
Pria itu menundukkan kepala, seolah menatap lantai. Stella yang awalnya asyik menikmati popcorn mulai merasa gelisah.
"Ta," bisiknya pelan. "Aku takut sama orang itu."
Apollo menoleh sekilas. Wajah pria itu terlihat tak biasa, terlalu dingin, seperti boneka tak berjiwa. Bahkan tubuhnya seperti menyimpan aura mengancam yang sulit dijelaskan.
"Tenang aja, aku di sini," bisik Apollo, meskipun firasat buruk mulai menjalari tubuhnya.
Selama film berlangsung, Apollo hampir tidak bisa fokus. Matanya terus melirik ke arah pria itu, mencoba memahami apa yang salah. Jantungnya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu bergerak sedikit.
Saat film selesai, Stella langsung berdiri dan menarik tangan Apollo.
"Cepet keluar. Aku nggak mau deket-deket dia," bisik Stella ketakutan.
Apollo hanya mengangguk dan mengikuti Stella. Tapi sebelum mereka benar-benar meninggalkan kursinya, mata Apollo menangkap sesuatu yang membuatnya langsung siaga.
Pria di belakang mereka mengangkat lengannya, dan Apollo menyadari kedua tangannya berubah menjadi gergaji mesin yang berputar sangat cepat.
"Stella, AWAS!" teriak Apollo sambil menarik Stella ke belakang dan mendorongnya menjauh.
Gergaji mesin itu melesat, menghantam kursi tepat di depan Stella. Pecahan busa dan kain beterbangan ke udara.
Apollo langsung berdiri di depan Stella, melindunginya.
Matanya terbelalak saat melihat lebih jelas kedua tangan pria itu yang berubah menjadi gergaji mesin.
"Pergi lu!" Apollo berteriak sambil mengangkat kedua tangannya.
Tiba-tiba kobaran api besar menyembur dari telapak tangannya, langsung mengarah ke wajah pria itu. Api itu cukup panas untuk membuat udara di sekitar mereka terasa membakar, tapi hasilnya mengejutkan.
Pria itu hanya tertawa kecil. Wajahnya mengeluarkan asap tipis, tapi ia tidak terluka sedikit pun. "Cuma segini? Ekspektasi gua tinggi loh."
Apollo terperangah. Kata-kata itu seperti membangunkan kenangan yang selama ini ia coba lupakan.
"Apa yang lu mau?" desis Apollo dengan rahang mengeras.
Pria itu melangkah maju, suara gergaji mesinnya berdengung semakin kencang. "Gua ada misi yang kayaknya lu bakal suka."
Apollo mengepalkan tangannya. Ia tahu, ini bukan saatnya untuk lari. Stella ada di belakangnya, menggigil ketakutan.
"Stella, dengarin aku," kata Apollo tegas tanpa menoleh. "Keluar dari sini sekarang juga."
Stella tampak ketakutan, entah karena Apollo atau pria itu, dan mungkin keduanya.
"Tapi—"
"LARI!" bentak Apollo.
Stella terdiam sesaat, lalu dengan langkah tergesa meninggalkan studio.
Pria itu menatap Stella yang pergi, lalu kembali menatap Apollo. "Pinter juga lu," ucapnya sembari tersenyum.
"Ayo, gua ladenin lu!" Apollo memasang kuda-kuda, api kecil mulai menyala di kedua tangannya.
Pria itu tersenyum sinis. "Itu yang gua tunggu."
Apollo menarik napas dalam. Ia tahu, ini bukan tentang menang atau kalah. Ini tentang bertahan hidup dan melindungi orang yang ia sayangi.