Chereads / The Deviant Circle / Chapter 2 - bab 2 : Kabur

Chapter 2 - bab 2 : Kabur

Apollo membalut tangannya dengan api, lalu melesat ke depan dan menghantam wajah pria itu dengan pukulan sekuat tenaga. Namun, ekspresi pria itu tetap tenang, seolah serangan itu hanya tiupan angin.

Teriakan histeris memenuhi studio.

"Monster! Monster!"

Para penonton berhamburan menuju pintu keluar, saling dorong dalam kepanikan.

Apollo refleks melirik ke sekitar, memastikan Stella sudah pergi. Tapi di saat yang sama—

BUGH!

Tendangan keras menghantam wajahnya. Apollo terlempar ke deretan kursi, merasakan rasa asin darah di lidahnya.

"Kalo lagi berantem, jangan alihin konsentrasi."

Pria itu—dengan tubuh santai dan postur percaya diri—menggeleng sambil tersenyum kecil. Perlahan, kedua tangannya yang tadinya berbentuk gergaji mesin kembali ke bentuk manusia.

"Kayaknya gua harus ngenalin diri dulu. Siapa tau nanti kita bisa akrab."

Ia melangkah maju, meletakkan satu tangan ke dada.

"Azellot. Itu nama gua."

Apollo, yang masih tersungkur, mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Rahangnya mengeras, amarah berkobar dalam matanya.

"Ngapain lu ngomong gitu?"

Api kembali menyala di telapak tangannya.

"Silakan perkenalin nama lu di neraka!"

Apollo menyemburkan gelombang api yang membara ke arah Azellot, menciptakan suhu panas yang mengguncang ruangan. Namun, nyala api itu tiba-tiba membentuk lingkaran, seperti menabrak sesuatu yang tidak terlihat.

Sebuah kubah transparan melindungi Azellot.

Ketika api itu menghilang, seseorang berdiri di samping Azellot—pria berambut putih pucat dengan mata sayu, mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut.

Di dahinya ada tato berbentuk salib.

Perlahan, ia menurunkan tangannya yang tadi terangkat, menandakan bahwa dialah yang menciptakan penghalang itu.

"Azellot, can't you finish him already?" ucap pria itu dengan nada datar, seolah pertarungan ini hanya gangguan kecil.

Azellot mendengus, memasukkan tangannya ke dalam saku. "Yeah, yeah."

Tanpa aba-aba, Azellot melompat dengan kecepatan luar biasa dan menendang Apollo dengan kekuatan brutal.

BUGH!

Apollo terlempar keluar studio, tubuhnya menghancurkan pintu hingga jatuh di tengah pusat perbelanjaan yang penuh dengan orang-orang.

Panik kembali pecah. Orang-orang mulai lari ketakutan.

Di dalam studio, pria berambut putih itu melirik Azellot. "Azellot—"

"Ya, go fuck yourself." Azellot memotong ucapannya, berjalan santai keluar studio seakan tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Pria itu hanya terdiam. Perlahan, ia membungkuk, tangan kurusnya, menggantung tepat di depan kakinya.

Lalu

Kakinya menghilang.

seperti asap yang tersedot ke dalam ruang kosong, tubuhnya perlahan memudar. Tangan kurusnya mulai berputar membentuk spiral, seolah sedang melipat dirinya sendiri ke dalam lubang dimensi tak kasat mata.

Apollo terbatuk, merasakan darah hangat mengalir dari sudut bibirnya. Tubuhnya terasa remuk, setiap tarikan napas menusuk paru-parunya seperti pisau. Rasa sakit itu membuatnya ingin menyerah, tapi bukan itu yang diajarkan ayahnya.

"Jangan pernah tunduk pada orang yang ingin mengendalikanmu."

Suara ayahnya bergema di pikirannya, mendorongnya untuk tetap bangkit.

Dari lantai dua yang retak akibat hentakannya, Azellot berdiri dengan santai, tangannya kembali ke bentuk manusia setelah sebelumnya berbentuk gergaji mesin. Ia menatap Apollo dengan sorot mata penuh superioritas.

"Sekarang, gua kasih pilihan." Azellot memasukkan tangannya ke saku dan sedikit menunduk. "Gabung sama kita, atau mati di sini."

Apollo terkekeh, meskipun dadanya masih berdenyut kesakitan. "Mau lu nyiksa gua segimanapun, gua nggak bakal gabung ke organisasi sampah lu."

Azellot berdecak sambil menggeleng. "Mungkin nanti lu bakal berubah pikiran, setelah ngerasain gimana dunia ini memperlakukan lu."

Tanpa aba-aba, tinju Azellot menghantam perut Apollo.

KRAK!

Apollo memekik tertahan saat rasa sakit menjalar dari tulang rusuknya. Entah tulang mana yang baru saja retak, tapi ia tahu kondisinya semakin buruk.

"Sekarang gua bakal ninggalin lu sebentar." Azellot berbalik, berjalan santai menuju pintu keluar mal.

Apollo menggeram, ingin bergerak, tapi tubuhnya menolak bekerja sama.

Namun, sebelum Azellot benar-benar pergi—

"AAAA!"

Sebuah jeritan menggema dari luar. Tak lama kemudian, Azellot kembali dengan membawa seseorang.

Apollo membelalakkan mata. Stella!

Perempuan itu pingsan dalam cengkeraman Azellot, tubuhnya lemas, wajahnya pucat.

"Apa gua bantu aja ya?" pikir Apollo. Tapi akal sehatnya menolak. Dengan kondisinya sekarang, ia tidak mungkin menang melawan Azellot.

Tapi saat itu juga, amarah Apollo berkobar.

"Apa lu mau ngebunuh dia?!"

Azellot hanya menyeringai. "Gua nggak sebrengsek itu."

Sebelum Apollo sempat merespons, Azellot meletakkan satu tangan di lantai. Dalam sekejap, dunia di sekitar mereka berubah.

Mereka sekarang berada di rooftop sebuah gedung tinggi, angin malam berdesir kencang di sekitar mereka.

Apollo tersentak. Teleportasi?

"Ini pasti bakal memicu kekuatan lu."

Tanpa peringatan, Azellot melempar Stella ke udara.

"BAJINGAN!"

Tanpa berpikir, Apollo mengeluarkan kekuatannya. Api membungkus tubuhnya, semakin membesar, membentuk siluet seperti seekor Phoenix. Dengan dorongan api dari telapak tangannya, ia melesat ke udara, menangkap Stella sebelum jatuh ke kematian.

Orang-orang yang berkumpul di bawah rooftop menatap dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kekaguman.

"DIA BUKAN MANUSIA!"

Teriakan itu membuat dada Apollo terasa sesak.

Mereka takut padanya.

Tapi sekarang bukan waktunya untuk peduli.

"Gua harus bawa Stella ke rumah sakit."

Dengan sisa tenaganya, Apollo terbang meninggalkan rooftop, menuju rumah sakit terdekat.

---

Di antara kerumunan, seorang wanita dengan jaket varsity bertuliskan 'Academy Deviant' memperhatikan Apollo.

"Professor, apa kita harus merekrut Deviant itu?" tanyanya, berbicara melalui headset.

Suara seorang pria menjawab di telinganya. "Ya, tapi tangani Azellot terlebih dahulu. Keberadaan Deviant tidak boleh terekspos ke publik."

Wanita itu mengangguk. "Baik."

Dalam sekejap, tubuhnya menghilang.

---

Azellot, yang masih berdiri di rooftop, hanya terkekeh melihat Apollo kabur. "Gue makin ngerti kenapa bos milih dia."

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari atasnya.

"Kau pasti mau mengambil Deviant itu untuk dijadikan senjata, kan?"

Azellot mendongak.

Seorang wanita melayang di udara dengan posisi terbalik, sayap kupu-kupu transparannya berkilauan di bawah cahaya lampu kota.

Nay.

Azellot menyeringai. "Lu nyari gara-gara?"

Nay mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Azellot.

Dalam sekejap, dunia berubah.

Mereka sekarang berada di tengah hutan belantara.

Azellot sempat tersentak, tapi sebelum bisa bereaksi—

BUGH!

Tinju Nay menghantam perutnya, melemparkannya ke belakang hingga menghancurkan beberapa pohon besar.

Belum sempat Azellot bangkit, Nay sudah ada di atasnya.

BUGH!

Tinju kedua menghantam wajahnya. Tanah di bawah mereka retak akibat benturan itu.

Azellot memuntahkan darah, beberapa giginya.

Matanya berkunang-kunang. Dan sebelum bisa berkata apa-apa, semuanya menjadi gelap.

"Prof, Azellot udah kalah," ucap Nay menatap Azellot yang sedang pingsan.

"Bagus, sekarang bawa dia ke penjara deviant," titah profesor.

Nay tersenyum kecil. "Siap prof."

"Makasih ya prof, udah ningkatin kemampuan gua," bisik Nay sebelum menghilang bersama tubuh Azellot.