Nala, Mahen, dan Cakra mulai merencanakan rencana mereka dengan hati-hati. Mahen mengingat tata letak fasilitas tempat mereka dikurung, sementara Cakra memberikan beberapa ide untuk melancarkan rencana mereka. Nala, di sisi lain mulai menyusun rencana besar untuk menghancurkan Black Roses dari dalam.
"Pertama kita harus ketemu sama Juna, Jendra, dan Jingga. Kita harus selamatkan mereka dulu, bagaimanapun mereka nggak ada sangkut pautnya sama Black Roses." Ucap Mahen yang disetujui oleh Nala dan Cakra.
"Kita juga harus temuin Abang Harsa." Ucap Cakra.
"Jangan!" Nala langsung menyela.
"Kenapa?"
"Harsa, dia pengkhianat. Dia yang udah menyerahkan kita ke Black Roses. Semua yang dia lakukan, semua bantuan yang dia berikan, cuma buat memastikan kita masuk dalam perangkap mereka."
"Apa? Nggak mungkin!" bantah Cakra. "Bang Harsa selalu bantu kita. Dia ngelindungin kita!"
"Ngelindungin?" Nala mendengus sinis. "Dia bekerja sama mereka sejak awal, Cakra. Dia bukan korban kaya kita, tapi dia adalah pelaku. Dan sekarang, kita ada di sini karena dia."
Cakra merasa tubuhnya bergetar. Ingatan akan Harsa, yang selalu tampak selalu membantunya sejak awal membuat kenyataan ini sulit diterima. "Kenapa... kenapa dia melakukan ini?"
"Gue juga nggak tau, Cak."
---
Hari kian larut, namun Nala, Mahen, dan Cakra masih terkunci di ruang kurungan Black Roses, mencoba menyusun rencana untuk melarikan diri. Sebelum itu, mereka tahu harus melalui eksperimen lain yang dijalankan oleh ilmuwan Black Roses. Nala, yang mulai mengingat lebih banyak tentang eksperimen masa kecilnya, tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menggali informasi tentang sahabat-sahabatnya yang terpisah, yaitu Juna, Jendra, dan Jingga.
Pagi berikutnya, Nala dibawa ke ruang eksperimen oleh dua ilmuan Black Roses. Mahen dan Cakra hanya bisa menatap punggungnya menghilang di balik pintu baja tebal itu, menunggu giliran mereka juga. Sementara Dr. Johnny sudah menunggu di dalam, dengan senyum puas yang selalu memicu rasa benci dalam hati Nala.
Nala melihat sekeliling, ruangan yang sama dengan ruangan dirinya terbangun kemarin. Dindingnya putih steril, dengan banyak perangkat yang tidak Nala ketahui apa namanya, serta meja logam dingin di tengah. Terlihat juga ada beberapa ilmuan lain selain Dr. Johnny yang sibuk menyiapkan perangkat eksperimen.
"Natala," Dr. Johnny menyapanya dengan nada sinis. "Hari ini kami akan mencoba memperkuat koneksi antara pikiranmu dan sistem antar dimensi yang sedang kami kembangkan."
Nala tak menjawab, melainkan menatap Dr. Johnny dengan tajam, mencoba menutupi rasa takutnya dengan wajah dingin. Ia tahu bahwa melawan sekarang hanya akan memperburuk keadaan.
"Siapkan perangkat transfer memori. Kita butuh jawaban dari subjek utama ini," ucap salah satu ilmuwan, menatap Nala seperti objek penelitian bukannya manusia.
Nala ditarik untuk duduk di sebuah kursi. Tangannya di pasang borgol yang menyatu dengan kursi, sementara kepalanya ditempeli perangkat-perangkat aneh yang ada kabelnya.
Ketika perangkat diaktifkan, gelombang aneh menyeruak ke dalam pikiran Nala. Suara-suara mulai bergema-bisikan yang memanggilnya "Natala." Tetapi Nala tetap tenang, berusaha mengarahkan pikirannya ke hal yang lebih penting.
Nala merasakan arus listrik halus menjalari pikirannya. Dunia di sekitarnya berubah, ruangan putih itu memudar menjadi kabut, dan ia merasa seperti melayang di antara dimensi.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Dr. Johnny, tetapi Nala memilih diam tak menjawab.
"Jangan melawan, Natala!" peringat Dr. Johnny.
Nala berusaha untuk tetap tenang. "Aneh... tapi aku baik-baik saja."
Dr. Johnny mengangguk. "Bagus, fokus pada ingatanmu. Beritahu kami apa yang kamu lihat."
Ini adalah kesempatan Nala untuk menyelidiki keberadaan sahabat-sahabatnya tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia mulai mengarahkan pikirannya pada Juna, Jingga, dan Jendra.
"Teman-temanku." Gumam Nala, berpura-pura kebingungan. "Aku melihat teman-temanku."
"Siapa?" Tanya Dr. Johnny singkat.
"Juna, Jendra, dan Jingga." Jawab Nala.
"Oke, lalu apa lagi yang kau lihat?"
"Aku tidak tau, terlihat samar. Tapi seperti teman-temanku berada dalam bahaya." Nala menjeda kalimatnya sebentar. "Apakah teman-temanku dalam bahaya?"
Dr. Johnny menoleh sebentar, terlihat ekspresinya datar. "Mereka baik-baik saja dalam sel tahanan kami. Kau tak perlu khawatir, mereka tak akan dibunuh karena masih berguna, meskipun tidak sebaik dirimu."
Jawaban itu cukup bagi Nala. Setidaknya ia tahu sahabatnya masih hidup.
---
Nala dikembalikan ke ruang kurungan setelah seluruh proses eksperimen telah selesai. Terlihat di ruangan itu belum ada siapapun, bisa Nala tebak Mahen dan Cakra belum selesai. Nala pun menunggu di dalam dengan tenang.
Tak lama datang lah Mahen disusul dengan Cakra. Nala segera mendekati mereka dan menceritakan apa yang ia dapatkan.
"Juna, Jendra, dan Jingga masih hidup, mereka ada di ruang tahanan. Tapi, gue nggak tahu di mana lokasi pastinya." Ucap Nala dengan nada tegas. "Kita harus mencari tahu terlebih dahulu sebelum melanjutkan rencana."
Nala menatap Mahen dan Cakra bergantian, memastikan mereka mendengar dengan saksama apa yang baru saja ia katakan. Mahen tampak berpikir keras, sementara Cakra menghela nafas panjang, menyandarkan tubuhnya ke dinding ruang kurungan yang dingin.
"Ruang tahanan itu, ya..." gumam Mahen sambil melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada yang mendengarkan. "Setiap kali gue dibawa ke ruang eksperimen, gue pasti melewati beberapa ruangan dengan papan nama. Salah satunya ada yang bertuliskan 'Detention Hall.' Mungkin itu ruang tahanan yang lo maksud."
"Lo yakin itu ruang tahanan mereka?" tanya Cakra skeptis, meski matanya menunjukkan sedikit harapan.
"Belum tentu, tapi itu satu-satunya petunjuk yang kita punya sekarang," jawab Mahen tegas. "Masalahnya, gue nggak bisa memastikan lokasinya karena lorong-lorong di sini semuanya mirip. Gue cuma ingat posisinya ada di lorong barat."
"Lorong barat..." Nala bergumam sambil mengingat rute yang pernah ia lewati. "Tapi lorong itu lumayan jauh dari ruang eksperimen gue."
"Gue juga," sahut Cakra. "Gue selalu dibawa ke ujung lorong timur."
"Jarak antar ruang eksperimen kita kayanya emang dibuat jauh banget. Mungkin disengaja supaya alat-alat mereka nggak saling ganggu, secara mereka pakai gelombang dan frekuensi," jelas Mahen.
"Kalau benar ruang tahanan itu di lorong barat, kita harus cari cara buat lewat sana tanpa ketahuan."
Mahen mengangguk. "Setelah gue perhatiin penjaga di sini nggak banyak, mungkin sekitar dua atau tiga orang di setiap zona. Mereka kayaknya sengaja ngejaga jumlah mereka seminimal mungkin biar rahasia laboratorium ini nggak bocor ke luar."
"Kalo cuma dua atau tiga orang, harusnya bisa kita akalin," ujar Nala dengan nada penuh strategi.
"Tapi pertama-tama, kita harus pastiin dulu kalau ruang tahanan itu beneran tempat mereka ditahan. Kita nggak bisa nebak-nebak."
Mahen berpikir sejenak. "Mungkin gue bisa pura-pura tanya ke ilmuan yang bawa gue waktu mereka jemput gue ke ruang eksperimen lagi. Nggak langsung nanya soal ruang tahanan, tapi coba cari petunjuk dari percakapan mereka."
Nala menatap Mahen. "Tapi lo harus hati-hati, bang. Kalo mereka curiga kita semua bakal kena masalah."
Cakra mengangguk setuju. "Dan kalau Bang Mahen berhasil nemuin lokasi pastinya kita harus segera nyusun rencana lanjutan. Nggak ada gunanya kalau kita kabur ninggalin Kak Juna, Bang Jendra, dan Jingga di sini."
Mereka bertiga terdiam sejenak, menyusun strategi dalam kepala masing-masing. Ruang itu terasa sunyi, hanya terdengar suara mesin-mesin laboratorium yang samar dari kejauhan.
"Oke, gue akan coba cari tahu lebih banyak soal ruang tahanan itu," ujar Mahen akhirnya. "Tapi kalau mereka curiga dan gue nggak balik ke sini tepat waktu, lo berdua harus siap ngelanjutin rencana tanpa gue."
"Bang Mahen, kita nggak akan ninggalin siapa pun. Kita semua akan bebas dari sini bareng-bareng," ucap Nala tegas.
Mahen tersenyum tipis, meski matanya tetap memancarkan kekhawatiran. "Semoga lo bener, Nala. Semoga kita semua masih punya waktu buat keluar dari mimpi buruk ini."
---
Keesokan harinya setelah Nala dan Cakra di bawa untuk eksperimen selanjutnya, tinggallah Mahen sendiri. Mahen berjalan mondar-mandir di ruang kurungan, mencoba mengingat setiap detail lorong yang ia lewati sebelumnya. Pikiran tentang Detention Hall tidak bisa ia abaikan, ia harus memastikan keberadaan Juna, Jendra, dan Jingga. Ketika suara langkah terdengar mendekat, Mahen langsung mengambil sikap santai.
"Giliran gue keluar lagi?" tanya Mahen tanpa emosi.
Orang-orang berjas putih itu hanya mengangguk sembari membuka pintu dan menghampiri Mahen, terlihat salah satu dari mereka mengeluarkan borgol agar Mahen tidak melarikan diri.
Mahen melangkah keluar dengan tenang, menyesuaikan langkahnya dengan orang-orang di sampingnya. Ketika mereka melewati lorong panjang, Mahen memperhatikan detail kecil seperti tanda di dinding dan papan nama pintu, sesekali bertanya untuk mencairkan suasana dan mencari informasi. Pikirannya tertuju pada tulisan Detention Hall yang pernah ia lewati sebelumnya.
Saat sampai di persimpangan menuju ruang eksperimen, ia melirik pintu bertuliskan Detention Hall. Dengan suara rendah, ia mencoba memancing reaksi para ilmuan.
"Gue selalu heran sama ruangan itu, apa sih isinya?"
Salah satu ilmuan menoleh tajam, memberi tatapan waspada. "Fokus ke tujuanmu dan jangan banyak bertanya!"
Mahen tidak membalas, hanya mengangkat bahu seolah tidak peduli. Mahen menekankan pada dirinya untuk tidak terlalu banyak bertanya, ia tak ingin memunculkan kecurigaan. Namun di dalam kepalanya Mahen dapat meyakini ilmuan itu semakin waspada saat ruangan itu dibahas.
---
Mahen duduk di kursi eksperimen, kedua tangannya diletakkan di atas sandaran. Biasanya, setelah eksperimen selesai borgol akan dipasang sebelum para ilmuwan meninggalkannya sendirian di ruangan ini. Namun kali ini, salah satu ilmuwan tampak tergesa-gesa menerima panggilan di perangkat komunikasinya.
"Pantau situasi di ruang kontrol, saya akan segera kembali," ucap ilmuwan itu kepada asisten lainnya sebelum keluar dari ruangan. Ia meninggalkan Mahen tanpa borgol.
Otak Mahen bekerja dengan cepat, ia tahu ini satu-satunya kesempatan yang ia punya. Ketika suara pintu tertutup dan ruangan menjadi sunyi, Mahen segera memeriksa sekeliling. Tidak ada kamera di dalam ruang eksperimen ini dan itu adalah sesuatu yang aneh, tapi menguntungkan. Mahen tahu ini adalah kesempatan langka.
Ia berdiri perlahan, memastikan tidak ada suara yang ia timbulkan. Dengan hati-hati ia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci dan melongok keluar. Lorong tampak kosong, hanya ada suara langkah samar dari kejauhan. Mahen melangkah keluar dengan cepat namun tenang, menyusuri lorong-lorong yang pernah ia lewati.
Ketika mendekati ujung lorong, ia melihat papan nama bertuliskan Detention Hall. Dengan langkah pelan Mahen mendekati pintu besar itu dan berjongkok, mencari celah untuk mengintip.
Melalui celah kecil di pintu dapat mahen luhat tiga sosok yang tak asing. Juna, Jendra, dan Jingga. Mereka duduk terikat di kursi logam, kepala mereka tertunduk. Mahen merasakan nafasnya tertahan. Meski kondisi mereka tampak lelah, mereka masih hidup.
Ia memperhatikan sekeliling ruangan itu. Tidak ada penjaga di dalam, tapi ada beberapa layar monitor di dinding yang tampaknya mengawasi ruangan lain. Sebuah kamera kecil tergantung di sudut atas, mengarah langsung ke para tahanan.
Mahen tidak bisa berlama-lama. Dengan segera ia memutar otaknya, mencoba mengingat rute yang ia lewati dan mencatat di otaknya lokasi kamera yang ia temukan. Dengan gerakan tenang, ia meninggalkan tempat itu dan menyusuri jalan kembali ke ruang eksperimen. Ia tahu waktunya tidak banyak sebelum ada yang menyadari ketidakhadirannya.
Sesampainya di ruang eksperimen Mahen kembali duduk di kursinya, berusaha mengatur nafas. Tak lama kemudian ilmuwan yang tadi keluar kembali masuk ke dalam ruangan.
"Maaf membuatmu menunggu," ucap ilmuwan itu sembari memeriksa alat di meja.
Mahen hanya mengangguk kecil, menyembunyikan kegelisahan dalam dirinya. Kini ia tahu mereka harus bergerak cepat. Juna, Jendra, dan Jingga masih hidup, dan ia harus menemukan cara untuk menyelamatkan mereka.
-To be Continued-