Setelah pengalaman pertama yang menegangkan, Nala, Mahen, dan Cakra duduk bersila di lantai ruang kurungan mereka, membentuk lingkaran kecil. Di tengah mereka tergeletak selembar kertas lusuh yang mereka temukan di salah satu sudut ruangan. Kertas itu kini penuh dengan coretan dari pena yang sempat Nala curi dari ruang eksperimen. Peta kasar laboratorium yang lebih jelas dari sebelumnya perlahan mulai terbentuk. Garis-garis sederhana mewakili lorong-lorong panjang, sementara beberapa area masih kosong atau hanya diberi tanda tanya besar, menandakan bagian-bagian yang belum mereka jelajahi.
Suasana di antara mereka sunyi, hanya suara nafas pelan dan goresan pena yang terdengar saat menambahkan detail kecil pada peta.
"Ini ruang kontrol yang gue temuin semalam," ujar Mahen sembari menunjuk kotak kecil di salah satu sisi peta. Garis lengkung di sekitar kotak itu menunjukkan jalur yang sudah ia lewati.
"Lorong menuju ke sini cukup terang, tapi ada kamera di persimpangan ini." Ia menggambar lingkaran kecil di titik tertentu. "Ini kamera yang paling dekat dengan ruang kontrol."
"Dan ini ruang arsip," sambung Cakra, menunjuk area lain di peta. Letaknya tidak jauh dari ruang kontrol, tapi lebih jauh dari pintu keluar utama.
"Lokasinya lebih dekat ke ruang kontrol daripada ke pintu keluar. Kalau kita berhasil masuk ke ruang kontrol, kita bisa langsung menuju ke sini."
Nala menatap peta itu dengan serius, kedua alisnya berkerut. Ia menggigit bibirnya pelan, tanda bahwa ia sedang berpikir keras. "Oke, kalau gitu kita tahu prioritas pertama kita adalah ruang kontrol," ucapnya.
"Kalau kita bisa matiin atau nge-hack sistem kamera di sana, rute kita ke ruang arsip dan pintu keluar akan lebih aman."
Mahen menatapnya dengan skeptis. "Lo yakin bisa nge-hack sistem mereka? Maksud gue, ini laboratorium rahasia. Mereka nggak mungkin pake sistem keamanan yang gampang ditembus."
"Gue sama Cakra anak teknik informatika," jawab Nala dengan nada percaya diri, meskipun ada sedikit keraguan di matanya.
"Gue emang nggak pernah nge-hack sistem kayak gini sebelumnya. Tapi kita nggak punya pilihan lain, kan? Selama gue punya akses ke komputer mereka, gue akan coba. Gue udah belajar tentang sistem pengamanan dasar, dan kayaknya ini nggak jauh beda, semoga aja."
Mahen masih terlihat ragu, tapi ia tahu Nala tidak pernah bicara tanpa dasar. Ia akhirnya mengangguk.
"Oke, gue percaya lo. Tapi kalau ternyata sistemnya lebih rumit dari yang lo pikir, jangan terlalu lama di sana. Kalau mereka sadar sistem mereka diakses, kita bisa langsung ketahuan."
Mahen menarik nafas panjang. "Jadi rencananya gini, kan?" Ucapnya sembari mengetukkan pensilnya ke peta. "Malam ini, kita bertiga ke ruang kontrol, Nala sama Cakra fokus nge-hack sistem kamera, sementara gue ngawasin pintu. Kalau kita berhasil matiin kamera di rute kita, kita langsung ke ruang arsip."
Cakra mengerutkan dahi. "Tapi gimana dengan Kak Juna, Bang Jendra, dan Jingga? Bukannya rencana awal kita adalah nyelamatin mereka dulu?"
Nala terdiam sejenak, mereka awalnya memang sepakat bahwa prioritas pertama adalah menyelamatkan ketiga teman mereka yang masih dikurung di ruangan terpisah. Tapi setelah misi pertama mereka, Nala menyadari bahwa membawa mereka semua keluar tanpa perencanaan matang akan sangat berisiko.
"Kita nggak bisa ambil risiko membawa mereka sekarang," ujar Nala akhirnya, suaranya tegas meskipun ada sedikit rasa bersalah di baliknya.
"Kita nggak tahu seberapa ketat pengawasan di sekitar mereka. Kalau kita bawa mereka dan kita gagal di ruang arsip atau ketahuan sebelum keluar, kita malah bikin mereka dalam bahaya yang lebih besar. Mereka pasti aman di tempat mereka sekarang."
"Tapi kalau kita lama-lama di sini, gimana kalau mereka pindahin Kak Juna, Bang Jendra, atau Jingga ke tempat lain?" tanya Cakra, nadanya penuh kekhawatiran.
"Gue tau lo khawatir, Cak. Tapi gue juga mikirin keselamatan mereka. Kalau kita bisa pastiin rute kita aman dulu lewat ruang kontrol dan ruang arsip, kita bakal punya peluang lebih besar buat nyelamatin mereka sekaligus keluar dari sini."
Mahen menepuk bahu Cakra, mencoba menenangkan temannya. "Gue ngerti kekhawatiran lo, gue juga nggak nyaman ninggalin mereka terlalu lama. Tapi Nala bener, kalau kita gagal di tengah jalan karena buru-buru bisa aja kita nggak cuma ngerugiin mereka tapi juga diri kita sendiri. Kita harus main sabar."
Cakra akhirnya mengangguk, meskipun jelas terlihat bahwa ia masih merasa tidak nyaman dengan keputusan ini. "Oke," katanya pelan. "Kalau ini memang cara terbaik gue ikut, tapi gue nggak mau mereka nunggu terlalu lama."
"Kita nggak akan lama," janji Nala sambil menatap Cakra dengan serius.
"Begitu kita dapet akses ke sistem mereka dan file di ruang arsip, kita langsung balik buat teman-teman kita."
Lalu Nala menatap kembali peta di depan mereka dan menggambar beberapa garis tambahan untuk menunjukkan jalur yang akan mereka ambil.
"Malam ini kita akan ngelakuin semuanya sekali jalan. Ingat, ini waktunya kita bertaruh nasib kita di sini. Kalau kita terlalu lama menjalankan rencana kita, orang-orang Black Roses pasti akan curiga. Pertama, kita fokus ke ruang kontrol. Kalau berhasil, kita lanjut ke ruang arsip. Setelah itu, nyelametin Juna, Jendra, Jingga, dan terakhir keluar dari sini. Kalau ada yang nggak sesuai rencana, kita harus siap buat improvisasi."
Mahen dan Cakra menyetujui rencana itu walau ragu. Kemudian Nala melipat peta yang ada di depannya dan menyelipkannya ke dalam saku. "Sekarang kita istirahat dulu sebentar, kita butuh energi buat malam ini."
Mahen dan Cakra mengangguk, meskipun mereka tahu tidur malam ini tidak akan mudah. Pikiran mereka penuh dengan skenario-skenario terburuk yang mungkin terjadi.
---
Malam itu, mereka bertiga kembali menyusuri lorong-lorong laboratorium, kali ini dengan rencana yang lebih matang. Nala membawa kunci yang ia curi sebelumnya dari salah satu ilmuan, menyembunyikannya rapat-rapat di sakunya. Ketegangan terasa di setiap langkah mereka, dengan telinga waspada pada setiap bunyi langkah kaki atau suara orang yang berpatroli.
Mahen berjalan paling depan, memimpin jalan dengan hati-hati. Di belakangnya, Nala dan Cakra saling memberi isyarat untuk menjaga formasi. Lorong-lorong itu terasa lebih panjang dari biasanya, suasana hening membuat mereka semakin sadar akan risiko yang dihadapi.
Setelah beberapa menit berjalan dalam keheningan, mereka akhirnya sampai di depan pintu ruang kontrol. Mahen mengambil posisi di sebelah kiri pintu, sementara Cakra berjaga di sisi kanan, memeriksa setiap sudut lorong untuk memastikan keadaan aman. Nala berdiri di depan pintu, mengeluarkan kunci dari sakunya dengan tangan yang sedikit gemetar.
Klik
Pintu terbuka. Nala menahan napas, lalu mengintip ke dalam. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari deretan layar monitor yang menampilkan berbagai sudut pandang kamera pengawas di seluruh laboratorium.
"Bersih?" tanya Mahen berbisik, Nala hanya mengangguk menjawab pertanyaan itu.
Mereka melangkah masuk dengan hati-hati. Cakra mengikuti di belakangnya dan menutup pintu perlahan, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.
Nala segera menuju kursi utama di tengah ruangan dan mulai mengetik di keyboard. "Gue akan coba masuk ke sistem mereka," ucapnya dengan nada serius.
Mahen tetap berjaga di pintu, telinganya siaga terhadap suara sekecil apa pun. Sementara itu, Cakra berdiri di belakang Nala dan memperhatikan layar. Ia menepuk bahu Nala pelan. "Biar gue coba dulu. Gue ngerti sedikit soal kayak gini."
Nala mengangkat alis. "Lo yakin?"
Cakra tersenyum tipis. "Percaya sama gue. Gue pernah belajar dasar-dasarnya."
Dengan ragu, Nala menyerahkan kursinya. Cakra segera duduk dan langsung mengetik dengan kecepatan yang membuat Nala melongo. Mahen sesekali melirik ke belakang, melihat Nala yang kini berdiri di sisi Cakra sambil memperhatikan apa yang ia lakukan.
Cakra mendesah pelan. "Firewall-nya lumayan ketat, mereka kayaknya pakai beberapa lapisan enkripsi tambahan."
Nala memperhatikan apa yang coba dilakukan Cakra. "Kalau lo bisa nembus titik ini—" ia menunjuk pada salah satu ikon di layar, "—kita bisa dapet akses lebih luas."
Cakra mengangguk dan mengikuti instruksinya. Setelah beberapa menit mengetik, ia berseru pelan, "Masuk!"
Nala langsung mengambil alih kursi dan mulai mengutak-atik sistem.
"Gue akan cari peta lengkap laboratorium ini," ucapnya sembari mengetik dengan cepat.
Tak lama kemudian layar monitor menampilkan peta rinci dari seluruh fasilitas. Setiap lorong, ruangan, bahkan letak kamera pengawas terlihat jelas. Nala terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu.
"Ini dia," ujarnya sambil menunjuk ke layar. "Rute kita ke ruang arsip."
Nala mulai merekam peta itu dalam pikirannya, menghafal setiap detail penting.
"Gue akan matiin kamera di jalur kita. Tapi cuma yang di rute ini aja. Gue nggak bisa matiin semuanya terlalu lama, nanti mereka curiga."
Cakra mengangguk dan kembali membantu Nala. Sementara Nala mematikan kamera, Cakra memastikan tidak ada alarm yang terpicu.
"Gue bisa ngatur ulang timer kamera-kamera lain biar nggak kelihatan kayak ada yang salah," ucap Cakra.
"Bagus." Nala melirik sekilas ke arah Mahen yang masih berjaga di pintu. "Mahen, semuanya aman di luar?"
Mahen mengangguk, meskipun matanya tetap mengawasi lorong melalui celah kecil di pintu. "Masih aman, tapi kita nggak bisa lama-lama di sini."
Setelah beberapa menit bekerja, Nala akhirnya bersandar ke kursi dengan napas lega. "Selesai, kamera di rute kita udah mati dan timer kamera lainnya udah disetel ulang sama Cakra. Sekarang kita aman buat jalan ke ruang arsip."
Nala berdiri dari kursinya dan mengangguk ke arah Mahen. "Kita harus gerak sekarang, sebelum ada yang sadar."
Mahen membuka pintu perlahan, mengintip ke luar untuk memastikan lorong masih kosong. Setelah memberi isyarat, ketiganya keluar dari ruang kontrol dengan hati-hati, langkah mereka lebih cepat kali ini.
Mereka menyusuri lorong-lorong gelap dengan panduan rute yang telah Cakra dan Nala lihat. Meski kamera-kamera di rute mereka sudah mati, ketegangan masih terasa di setiap langkah.
Saat mereka mendekati pintu ruang arsip, suara langkah kaki terdengar samar di kejauhan, membuat mereka berhenti sejenak. Cakra menatap Mahen dengan ekspresi panik, sementara Nala memberikan isyarat agar mereka tetap tenang.
"Cepat, kita nggak punya banyak waktu," bisik Nala sembari melanjutkan langkahnya dengan lebih hati-hati.
Dalam keheningan yang semakin mencekam, mereka akhirnya sampai di depan pintu ruang arsip.
-To be Continued-