Suasana di ruang arsip terasa mencekam. Nala, Mahen, dan Cakra melangkah masuk setelah memastikan pintu tidak terkunci. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya dari sebuah lampu meja yang berada di pojokan. Udara di dalam terasa berat, seolah menyimpan sisa-sisa rahasia kelam yang menunggu untuk ditemukan. Bayangan rak-rak arsip yang penuh berkas dan folder tampak menyeramkan dalam cahaya redup itu.
"Kita cari informasi apapun itu yang bisa kita bawa," bisik Mahen pelan. Tatapannya tajam menyisir ruangan, penuh kewaspadaan.
Nala mengangguk kecil meskipun hatinya diliputi perasaan tidak enak. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi gemetar di ujung jarinya tidak dapat ia sembunyikan. Bersama-sama mereka mulai berpencar. Cakra bergerak ke sisi kiri ruangan, mengamati rak arsip yang penuh debu. Mahen memilih sisi kanan, sementara Nala berjalan perlahan ke arah tengah ruangan.
Tangannya menyusuri tumpukan dokumen yang tergeletak di atas meja panjang. Beberapa kertas terlihat penuh coretan yang tidak jelas, sementara beberapa folder terlihat begitu usang seolah telah puluhan tahun tidak disentuh.
Setelah beberapa menit mencari dalam keheningan yang hanya diiringi suara desis nafas mereka, Cakra tiba-tiba berhenti. Ia menatap sebuah folder besar dengan label merah yang mencolok, tertulis dengan huruf kapital "BLACK ROSES PROJECT - CONFIDENTIAL." Ia memanggil Nala dan Mahen dengan suara setengah berbisik.
"Gue nemu sesuatu," katanya sembari mengangkat folder itu perlahan.
Nala dan Mahen segera mendekat. Nala mengambil folder itu dari tangan Cakra, perlahan ia membuka folder itu. Pandangannya langsung jatuh pada laporan dan foto-foto yang mengerikan. Ada gambar-gambar tubuh tak bernyawa, lokasi yang dirahasiakan, serta diagram yang tampak seperti hasil eksperimen manusia.
Laporan pertama yang mereka baca membuat Nala merasakan gelombang rasa mual. Tulisan di dokumen itu dingin dan tanpa emosi, mengungkap bagaimana Black Roses telah membunuh ratusan orang dalam eksperimen mereka yang brutal.
"Lihat ini," bisik Nala dan menunjuk salah satu laporan. "Tragedi warga desa yang hilang di pulau Melati... mereka ditemukan mati di hutan dekat pohon besar itu. Tapi di sini tertulis kalau itu semua direncanakan."
Cakra menatap dokumen itu dengan ekspresi ngeri. "Jadi... itu bukan kecelakaan atau pembunuhan berantai? Itu semua ulah mereka?" tanyanya hampir tidak percaya.
Nala melanjutkan membaca, suaranya gemetar. "Mereka menculik anak-anak dan pemuda untuk eksperimen mereka. Orang-orang ini dipaksa menjadi subjek dan banyak yang nggak bertahan."
Mahen yang membaca bagian lain dari laporan itu, menghentikan nafasnya sesaat sebelum berbicara.
"Ini lebih buruk dari yang gue kira, mereka nggak cuma membunuh. Mereka sengaja memilih korban dari orang-orang yang dianggap... tidak penting." Ia menatap Nala dan Cakra dengan wajah muram.
"Supaya mereka bisa ngelakuin ini tanpa ragu-ragu."
Nala merasakan berat di dadanya semakin besar. Perasaan tidak nyaman yang ia rasakan sejak awal kini berubah menjadi ketakutan. Ia terus menyusuri dokumen demi dokumen, berusaha mencari lebih banyak petunjuk. Tetapi di tengah pencarian itu, ia tiba-tiba berhenti.
Tangannya menyentuh selembar dokumen yang terlihat berbeda dari yang lain. Kertas itu lebih bersih, seolah disimpan dengan lebih hati-hati. Nala mengambilnya dengan perlahan. Namun saat ia mulai membaca tubuhnya tiba-tiba membeku.
"Nala, kenapa?" tanya Mahen dengan suara rendah, tetapi jelas terdengar khawatir.
Nala tidak menjawab. Matanya terpaku pada barisan kata-kata di dokumen itu. Perlahan tangannya yang memegang dokumen mulai gemetar. Wajahnya berubah pucat dan air mata mulai menggenang di matanya.
Mahen mendekat, mencoba membaca apa yang dilihat Nala. Ia membaca perlahan-lahan, hingga sampai pada bagian yang membuatnya terdiam.
"Keluarga subjek eksperimen (kode: 127), Natala Agni Pratama, dinyatakan tewas saat mencoba melarikan diri. Subjek (kode: 127) berhasil dipertahankan untuk penanganan lebih lanjut."
"Ini nggak mungkin..." bisik Mahen, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia baca.
Cakra ikut mendekat dan membaca dokumen itu dengan ekspresi bingung. "Nala... orang tua lo... mereka..."
Nala menggeleng pelan, air matanya mulai menetes. Suaranya keluar dengan berat, seperti ada sesuatu yang menahan setiap kata. "Gue selalu berpikir... mereka masih hidup... Gue pikir mereka cuma sibuk kerja aja dan nggak pulang... Tapi mereka-"
Nala tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, air matanya mengalir deras dan ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Mahen mencoba menenangkan Nala, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Tidak ada yang bisa menghapus kenyataan pahit yang baru saja mereka temukan.
"Black Roses... mereka yang ngelakuin ini," ucap Nala akhirnya, suaranya terdengar seperti bisikan yang penuh amarah. "Mereka bunuh orang tua gue, mereka bikin hidup gue hancur, mereka bikin gue sendirian."
Cakra mencoba menenangkan Nala dengan meletakkan tangan di bahunya. "Kita akan berhentiin mereka, Kak"
Nala mengangguk kecil, meskipun air matanya masih terus mengalir. Ia menghapus air matanya dengan kasar lalu menatap dokumen itu sekali lagi. Tatapannya kini berubah, tidak lagi dipenuhi rasa takut melainkan tekad yang kuat.
"Kita nggak bisa berhenti di sini," katanya dengan suara tegas.
"Kita harus pastikan nggak ada lagi orang yang ngalamin ini. Gue nggak peduli gimana caranya, mereka harus dihancurkan."
---
Nala memandang dokumen di tangannya dengan wajah penuh keterkejutan. Kalimat-kalimat yang tertulis di sana terasa seperti tusukan pisau di dadanya. Ia membaca bagian yang lebih rinci, setiap kata membawa ingatannya semakin dekat pada masa lalu yang telah ia lupakan.
"Tanggal 12 Mei, pasangan ilmuan Yuda Agni Permata dan Wisteria Anin Putri terdeteksi mencoba melarikan diri. Keduanya membawa serta subjek anak (kode: 127). Tim keamanan langsung dikirim untuk mengejar."
Nala berhenti sejenak, jari-jarinya gemetar saat ia menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan membaca.
"Untuk menghentikan upaya pelarian yang sudah diketahui maka mobil yang dikendarai telah di manipulasi sistemnya."
Nala menelan ludah, kenangan samar mulai muncul di benaknya. Tetapi ia memaksakan diri untuk terus membaca.
"Akibat manipulasi tersebut, saat kendaraan berada di perbukitan curam kendaraan kehilangan kendali dan bertabrakan dengan truk besar yang telah diposisikan di jalur berlawanan. Dampak kecelakaan menyebabkan kematian instan pada kedua ilmuan. Subjek (kode: 127) ditemukan dalam kondisi kritis, tetapi berhasil langsung dievakuasi oleh tim kami sebelum pihak berwenang tiba di lokasi."
Matanya membesar saat ia membaca kalimat terakhir itu. Ingatannya yang selama ini buram mulai terbentuk kembali.
Ia bisa membayangkan detik-detik itu. Dalam pikirannya, ia melihat bayangan ayahnya yang menggenggam erat setir mobil, wajahnya tegang mencoba mengendalikan kendaraan yang mulai berbelok tak terkendali di jalan berliku.
"Kita harus kabur malam ini," suara ayahnya menggema penuh ketegangan.
"Kalau mereka tahu, kita semua akan mati."
Di sisi lain, ia bisa mendengar suara ibunya yang panik namun lembut mencoba menenangkannya di kursi belakang. Ibunya menggenggam tangannya erat-erat, memberikan rasa aman walau samar.
"Kami nggak akan membiarkan mereka terus menyiksa kamu, sayang. Kita akan pergi ke tempat yang aman."
Namun, semuanya berubah dalam hitungan detik. Nala bisa melihat kembali cahaya lampu kendaraan besar yang tiba-tiba muncul di depan mereka, terlalu dekat dan terlalu cepat. Mobil mereka berbelok liar, suara ban yang berdecit dan teriakan panik mengisi udara. Lalu, tabrakan keras itu datang.
Jeritan ibunya adalah hal terakhir yang ia dengar sebelum suara dentuman memekakkan telinga mengambil alih segalanya. Mobil terguling, kaca pecah berserakan, dan semuanya berubah menjadi gelap.
Nala menggigit bibirnya saat membaca bagian berikutnya dari dokumen itu.
"Setelah dievakuasi, subjek (kode: 127) menjalani perawatan intensif di fasilitas kami dan dilakukan proses manipulasi ingatan untuk menutupi insiden tersebut. Kematian ilmuan Yuda Agni Permata dan Wisteria Anin Putri sampai saat ini tidak diketahui karena korban mengalami luka yang sangat parah membuat tubuhnya hancur dan wajahnya tidak dapat diidentifikasi. Kejadian ini hanya dilaporkan sebagai kecelakaan biasa kepada pihak luar."
Air mata mengalir di wajah Nala. "Mereka... sengaja membunuh orang tua gue," gumamnya pelan, suaranya bergetar.
"Mereka bikin kecelakaan itu, semua ini udah direncanakan."
Kenangan kabur yang selama ini ia anggap mimpi buruk ternyata adalah kenyataan yang ditutupi dengan rapi oleh Black Roses. Ia ingat bagaimana ia terbangun di sebuah ruangan steril, tubuhnya terasa sakit di setiap inci, dan tidak ada tanda-tanda kedua orang tuanya. Ia hanya diberitahu bahwa mereka hanya bekerja. Namun, kenyataannya jauh lebih kejam.
Nala menatap dokumen itu dengan penuh amarah. Kedua tangannya mengepal erat di atas kertas, seolah mencoba meredam gejolak emosi yang kini membakar dadanya. Mereka telah menghancurkan hidupnya, merebut keluarganya, dan meninggalkannya dengan kebohongan yang menyakitkan selama bertahun-tahun.
"Gue akan balas dendam."
Mahen dan Cakra, yang mengamati Nala dari dekat, tidak berani berkata apa pun. Mereka tahu, kata-kata tidak akan cukup untuk meredakan luka yang baru saja terbuka lebar di hati Nala.
---
Nala menarik nafas panjang, mencoba menahan tangis. Dengan gemetar tangannya tetap membuka lembaran-lembaran lain dokumen yang ada di sana.
Belum selesai semua keterkejutan ini, mereka menemukan sebuah laporan lain yang mengungkap fakta lain.
"Pemerintah pernah mensponsori eksperimen ini," ucap Cakra setelah membaca laporan yang ada di tangan Nala.
Mahen melontarkan pandangan tajam ke arah dokumen itu, wajahnya memerah karena amarah. "Jadi, pemerintah sebenarnya tahu soal ini sejak awal," bisiknya penuh kekesalan.
"Mereka bukan cuma tahu, tapi mereka bagian dari semua ini."
Nala masih terdiam, tatapannya kosong menatap dokumen di tangannya. Kenyataan pahit tentang orang tuanya yang terbunuh oleh Black Roses belum sepenuhnya ia cerna, dan kini muncul fakta lain yang semakin menghancurkan hatinya. "Mereka berhenti karena korban semakin banyak berjatuhan dan takut reputasi mereka hancur," gumam Nala, suaranya pelan namun sarat emosi.
"Tapi mereka nggak benar-benar peduli sama korban yang udah jatuh, mereka cuma tutup mata."
Cakra melanjutkan membaca, matanya bergerak cepat menelusuri laporan-laporan di dokumen yang ia temukan.
"Setelah pemerintah menghentikan pendanaan, Black Roses mulai beroperasi secara independen. Mereka dapat sumber dana dari organisasi lain."
"Lihat ini!" Cakra menunjukkan sesuatu pada Mahen dan Nala. "Ada daftar donatur rahasia, dan beberapa nama ini kelihatan seperti perusahaan besar yang kita tahu."
"Berarti mereka nggak kerja sendirian," ujar Mahen, suaranya pelan namun tajam.
Sebelum ada yang sempat menanggapi, suara langkah kaki terdengar dari lorong di luar. Ketiganya langsung terdiam, saling menatap dengan wajah panik. Langkah itu mendekat terdengar jelas di tengah keheningan ruang arsip yang menekan.
Mereka bergerak cepat mencari tempat persembunyian. Nala berjongkok di balik salah satu rak arsip, tubuhnya mengecil seolah mencoba menghilang di antara bayangan. Mahen dan Cakra bersembunyi di sisi lain, masing-masing merapat pada rak-rak yang tinggi dan mencoba mengatur nafas mereka yang memburu.
Langkah kaki berhenti tepat di depan pintu dan suasana berubah semakin mencekam. Nafas Nala tertahan saat ia mendengar suara pelan, seperti seseorang yang memutar gagang pintu.
Klik
Pintu terbuka perlahan, menciptakan suara berderit yang memecah keheningan. Cahaya dari lorong masuk ke dalam ruangan, memperlihatkan bayangan sosok seseorang yang berdiri di ambang pintu. Nala menahan nafas, tubuhnya gemetar. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang begitu kencang hingga terasa di telinganya.
Sosok itu berdiri diam selama beberapa detik, seolah-olah sedang mengamati ruangan. Nala mencoba melongok sedikit dari celah rak, tetapi bayangan gelap sosok itu membuatnya sulit untuk melihat wajahnya. Sosok itu kemudian melangkah masuk perlahan, sepatu hitamnya mengeluarkan suara pelan saat menyentuh lantai.
Di tempat persembunyiannya Mahen menggenggam erat sebuah dokumen yang ia bawa, seolah itu bisa menjadi senjata terakhir mereka jika situasi menjadi buruk. Cakra di sisi lain mengepalkan tangan, bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Langkah itu semakin mendekat. Nala menutup mulutnya dengan kedua tangan, menahan diri agar tidak mengeluarkan suara.
Sosok itu berhenti, tampaknya mengamati rak-rak besar di ruang arsip itu. Detik-detik terasa seperti jam dan keheningan membuat semua suara kecil seperti nafas tertahan dan detak jantung terasa memekakkan.
-To be Continued-
Hai guys, gimana kabarnya???
Aku mau kasih info nih, kalau "Mimpi di Hari Rabu" sudah tersedia versi PDF nya 🥳
Dan untuk yang mau baca sampai ending bisa baca lewat PDF nya ya,
Untuk detail PDF nya seperti ini ya :
1. Judul Mimpi di Hari Rabu (sorry guys, aku masih gak bisa upload foto, jadi cover versi pdf nggak bisa aku up) 😔
2. Sudah di baca ulang dan di perbaiki
3. Terdiri dari 30 bab dari episode pertama sampai episode terakhir.
4. 314 halaman dan 46.000 kata lebih
5. Harga hanya 15.000
6. Khusus untuk 3 pembeli pertama yang pembayarannya bukan menggunakan pulsa & karyakarsa akan dapat diskon 25%
7. Pembayaran bisa melalui
- Dana
- Shopeepay
- Gopay
- Pulsa (Telkomsel dan Smartfren)
- Karyakarsa
8. Pembelian melalui Karyakarsa harganya 17.500 ya
9. Bagi yang berminat bisa order melalui
- DM Instagram : @_inhayyy
- WhatsApp : 088239069796
- Karyakarsa di link ini https://karyakarsa.com/Dbsdlsgk/pdf-mimpi-di-hari-rabu-na-jaemin
Ketok aja pintu IG dan WA ku ya, nanti aku kasih format pembelian, dan jangan langsung transfer ya, hubungi aku dulu oke? ✨
Buat yang lewat Karyakarsa bisa melakukan pembelian seperti biasa pada aplikasi
10. Pengiriman file bisa pilih melalui Gmail atau WhatsApp ya
Karena aku gak bisa upload foto, aku ketik aja preview isi pdf di sini
Dr. Johnny berjalan dengan tenang menuju meja kecil di pojok ruangan, tepat di bawah lampu meja yang menyala. Ia meletakkan dokumen dan laptopnya lalu duduk. Setelah beberapa saat membenahi posisi kursinya ia mulai mengetik di laptop dengan ekspresi yang serius.
"Risikonya terlalu besar," gumamnya pelan, tetapi cukup jelas untuk terdengar oleh Nala, Mahen, dan Cakra yang masih bersembunyi.
"Kalau kita masih belum bisa mengontrol pintu antar dimensi ini bisa jadi bencana."
---
"Gue nggak bilang apa-apa ke dia, kan? Lo dengar sendiri kalau tadi gue ngelapor, kalian semua udah ditangkap sekarang. Gue nggak bakal ngelakuin itu lagi ke kalian."
---
"Jingga, ini bukan soal membuktikan keberanian," ucap Nala dengan nada lebih lembut. "Ini soal risiko yang harus kita ambil, kita nggak mau kehilangan lo."
"Gue juga nggak mau kehilangan kalian, Kak." Jingga menyela, suaranya terdengar bergetar.
Oke gitu aja guys, dengan ini Mimpi di Hari Rabu versi webnovel sudah berakhir di sini. Terimakasih yang sudah membaca, sampai ketemu di karyaku selanjutnya. Bye bye semuaa 😊🤗👋🏻✨