Chereads / Mimpi di Hari Rabu | Na Jaemin / Chapter 11 - Jejak Yang Hilang

Chapter 11 - Jejak Yang Hilang

Gelap dan dingin, hanya itu yang dapat Nala rasakan. Tidak ada suara apapun kecuali detak jantung yang menggema seperti lonceng kematian di kepala Nala. Samar-samar Nala dapat melihat sebuah kilasan, kilasan yang membuat kepalanya terasa berdenyut dan dadanya sesak.

Ia melihat dirinya sendiri yang masih sangat kecil, mungkin berusia sekitar delapan sampai sepuluh tahun. Ia berdiri di sebuah ruangan putih terang, yang dikelilingi dinding kaca besar tembus pandang. Beberapa orang berjubah putih mengamatinya dengan tatapan dingin.

Dapat Nala lihat di sana ada seorang wanita dengan wajah tanpa ekspresi memandangnya datar. Ia terlihat memandang Nala seperti meneliti dan mencatat sesuatu di buku kecil yang dibawanya. 

"Subjek 127 menunjukkan tanda-tanda kestabilan, kita bisa melanjutkan ke tahap kedua." Ucapnya dan pergi meninggalkan ruangan itu.

Tak lama ada seorang pria lain yang juga berjubah putih mendekat ke arah Nala. Ia tidak masuk ke ruangan kaca, hanya memandang Nala dari luar dengan senyuman yang terlihat miris.

"Kamu istimewa, Natala." Ujar pria itu sembari berlutut di depan tubuh kecil Nala. "Kami memilihmu karena kamu bisa membantu kami membuka dunia baru, dunia yang lebih baik."

Sebelum Nala hendak bertanya, kilasan itu berubah. Kini ia terbaring di sebuah meja besi yang dingin, tubuhnya tertahan oleh ikatan yang kuat. Alat-alat canggih yang tidak Nala tau apa itu menempel di kepala dan tubuhnya. Ia mencoba berteriak, namun suaranya tidak keluar.

Di atasnya, lampu-lampu terang menyala. Nala juga dapat mendengar suara mesin berdengung semakin keras.

"Aktivasi dimulai dalam hitungan mundur." suara seseorang terdengar menggema seperti melalui speaker.

"Lima... empat... tiga..."

Kilasan itu tiba-tiba berputar cepat seperti film yang dipercepat. Ia melihat potongan-potongan kejadian aneh, dimana ia berada di ruangan putih tak berujung. Di sana Nala berlari tanpa arah mencari titik terang jalan keluar.

Suara wanita tadi terdengar lagi, menggema di pikirannya dan memanggil namanya.

"Natala..."

"Natala..."

Kemudian, semuanya menghilang, meninggalkan kegelapan total.

---

Nala merasakan dadanya sesak saat kesadaran perlahan kembali mengisi tubuhnya. Namun, bukan rasa lega yang menyambutnya, melainkan ketakutan dan kebingungan yang luar biasa. Rasanya seperti terbangun dari mimpi buruk yang begitu nyata.

Nala mendapati dirinya terbaring di atas ranjang besi yang dingin, tubuhnya terikat erat dengan borgol yang juga terpasang pada ranjang. Matanya masih terasa berat, ia berusaha membuka kelopak matanya sedikit demi sedikit.

Dapat Nala lihat dinding-dinding putih yang terlihat begitu sempurna. Di atas kepalanya, lampu menyala terang menggantung, menciptakan bayangan panjang di dinding. Harusnya semuanya terasa asing bagi Nala, namun anehnya perasaan familiar lebih mendominasi.

Kepala Nala berdenyut saat mengingat kembali kilasan yang menghantamnya tadi. Semua kejadian yang ia lihat seperti potongan-potongan puzzle yang harus ia rangkai kembali. Wajah-wajah yang asing namun familiar, suara-suara yang menggema dalam pikiran, semuanya membanjiri pikirannya.

Suara pintu yang terbuka menginterupsi kegelisahannya. Nala menoleh lemah ke arah pintu yang terbuka lebar, dan sosok seorang pria masuk. Ia mengenakan jas laboratorium putih yang bersih tanpa noda, rambutnya sudah mulai memutih menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sudah berumur.

"Selamat datang kembali, Natala," ujar pria itu dengan suara yang datar namun penuh penekanan. "Saya Dr. Johnny. Sudah lama kita bertemu, nak."

Nala merasa hatinya terhimpit. Natala? Itu memang benar namanya. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, namun ikatan di tangannya begitu kuat. Tubuhnya masih terasa lemah, mungkin karena efek dari gas yang telah membuatnya pingsan tadi.

Dr. Johnny mendekat, memegang sebuah tablet kecil yang tampak futuristik. Ia menatap layar tablet itu, kemudian kembali menatap Nala dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Kau harus ingat bahwa dirimu adalah subjek utama dalam eksperimen Black Roses, Natala."

Nala menatap pria itu dengan bingung. Kata-kata Dr. Johnny seperti petir yang menyambar di kepalanya. Eksperimen? Black Roses? Semua hal yang seperti sebuah mimpi buruk yang tak berujung ini benar-benar berhubungan dengan sebuah eksperimen? Apakah ini yang disebutkan dalam dokumen-dokumen yang pernah ia baca? Apakah ini yang selama ini dicarinya?

Dr. Johnny mengamati reaksi Nala dengan penuh perhatian. "Kau sudah berhasil mengingat beberapa potongan ingatan, tapi itu belum cukup, nak. Ingatanmu adalah kunci untuk membuka pintu dimensi. Kau tahu itu, kan?"

Nala hanya bisa menatapnya dengan kebingungan, tubuhnya kaku. Semua yang terjadi begitu cepat, begitu tidak terduga. Mengapa ia harus terlibat dalam eksperimen seperti ini? Apa yang sebenarnya mereka inginkan darinya?

Dr. Johnny terus berbicara, menjelaskan lebih jauh. "Black Roses membutuhkan ingatanmu yang berharga untuk melanjutkan eksperimen ini. Ingatan itu bukan hanya sebuah kenangan biasa. Setiap detail, sekecil apapun, bisa memberikan informasi yang sangat penting. Dan kami tahu Natala, dirimu memiliki potensi yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan."

"Potensi?" Nala berkata lirih, suaranya hampir hilang. Ia merasa seluruh tubuhnya seolah tak bisa bergerak.

Pria itu mengangguk pelan. "Pada saat eksperimen sebelumnya, ada satu titik dimana kau menghilang. Kami tidak tahu di mana kau berada, hingga akhirnya kami menemukanmu. Ternyata kau berhasil membuka pintu dimensi dan kembali ke kehidupan yang semula, ke dunia ini. Itu lah yang kami tunggu-tunggu, nak."

Nala merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia… membuka pintu dimensi? Ini semakin terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tidak bisa ia hentikan. Apa yang telah ia lakukan? Kembali ke dunia semula? Apa maksudnya dunia inilah dunia yang sebenarnya? Lalu untuk apa pencarian Nala selama ini?

Dr. Johnny melanjutkan penjelasannya. "Itulah mengapa kami membutuhkanmu. Kau memiliki kunci yang kami butuhkan, karena hanya dirimu yang pertama kali membuka pintu dimensi itu."

"Lalu apa yang akan terjadi sekarang?" Nala bertanya, suara seraknya terdengar semakin rapuh. "Apa yang kalian inginkan dariku?"

Dr. Johnny menatapnya dengan mata penuh ketenangan yang aneh. "Sekarang kita akan melanjutkan eksperimen. Kami akan membantumu mengingat lebih banyak lagi, Natala. Otakmu harus mengingat lebih banyak karena semua ingatan dan semua yang kau rasakan itu penting. Apapun yang terjadi kau akan mengingatnya, meskipun itu menyakitkan."

Sebelum Nala bisa bereaksi, suara mesin berdengung kembali, kali ini lebih keras dan lebih menekan. Sebuah alat besar yang terhubung dengan tubuh Nala dihidupkan, dan seketika itu juga rasa sakit yang tajam menyerang seluruh tubuhnya. Ia menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar. Setiap rasa sakit seolah masuk langsung ke dalam jiwanya. Ingatan-ingatannya kembali terbangun, terpotong-potong, berputar, datang dan pergi dengan kecepatan yang luar biasa.

Di kepalanya Nala merasa ada saat-saat ketika ia merasa sedang berada di ruangan putih itu lagi, dengan alat-alat canggih yang menempel pada tubuhnya, mengikatnya ke meja dengan kuat. Suara wanita itu terdengar kembali, memanggil namanya. "Natala..." Suara itu menggetarkan tubuhnya, mengingatkan pada eksperimen yang begitu menyakitkan. Rasa sakit itu kembali menghantuinya, menekan hatinya, membuatnya hampir kehilangan kewarasan.

Tubuh Nala rasanya terpaksa merasakan semua kenangan yang terkubur dalam dirinya, ingatan-ingatan yang tidak ingin ia ingat tentang semua eksperimen yang pernah ia jalani. Semua ingatan itu disaring melalui rasa sakit yang tiada henti. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali berusaha bertahan, berusaha agar ingatannya tidak sepenuhnya membuat dirinya hancur.

Ingatan-ingatan itu datang seperti gelombang yang tak terhentikan. Semua hal yang ia alami, semua rasa sakit yang ia rasakan, semuanya datang bersamaan. Ia merasa tubuhnya terjepit dan terhimpit oleh perasaan yang tak bisa dijelaskan. Seolah-olah setiap detik yang berlalu, ia terjatuh lebih dalam ke dalam kegelapan.

"Natala... kamu harus ingat," suara wanita itu kembali terdengar, seolah datang dari jauh namun begitu dekat. "Kamu adalah kunci dari semua ini."

-To be Continued-