Chereads / The Chronicles : Lament of The Forsaken (Ver. Bahasa Indonesia) / Chapter 2 - Chapter 1: Kerusuhan dan Tragedi

Chapter 2 - Chapter 1: Kerusuhan dan Tragedi

Malam semakin larut, dan langit yang gelap seakan menelan segala sesuatu di bawahnya. Angin yang dingin menyusup melalui setiap celah, seolah alam sendiri ikut merasakan kedukaan yang mencekam hati mereka. Langkah kaki yang berat meninggalkan jejak di tanah yang basah, sementara bayangan kota yang telah hancur perlahan menghilang di kejauhan. Tanpa kata, mereka terus berjalan, melangkah menuju ketidakpastian yang menanti di hadapan mereka.

Hening, hanya terdengar desiran angin yang membelai kulit mereka dengan dinginnya. Di bawah langit yang pekat, mereka berjalan dalam diam—sebuah perjalanan tanpa peta, tanpa arah yang jelas. Mereka tidak tahu ke mana jalan ini akan membawa mereka, hanya tahu satu hal yang pasti: mereka tidak akan kembali. Masa lalu mereka telah musnah, dan harapan satu-satunya kini ada di jalan yang penuh kabut ini.

Di tengah kegelapan malam, langkah mereka terasa lebih berat. Jalan yang mereka tempuh bukan sekadar perjalanan fisik—ini adalah perjalanan batin yang mendalam, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Seiring waktu berlalu, mereka tidak hanya bergerak menjauhi tempat yang telah mereka tinggalkan, tetapi juga menuju pemahaman tentang diri mereka yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.

**

Gerude berjalan berdampingan dengan Ian, jari-jarinya yang menggenggam erat tangan adiknya terasa kencang, seakan mencoba menyatukan kekuatan mereka yang semakin terancam terkikis. Di antara mereka, tak ada kata-kata yang perlu diucapkan—keheningan itu telah menjadi teman sejati dalam perjalanan baru mereka. Hanya langkah yang menjadi bahasa, menandakan keteguhan yang terpatri dalam hati kaka adik yang bernasib malang ini.

"Gerude..." Ian akhirnya membuka suara, suaranya pelan, hampir tertelan oleh malam yang mencekam. "Kita benar-benar akan meninggalkan semuanya? Apa kita bisa melanjutkan hidup?"

Gerude menoleh, matanya menatap Ian dengan keseriusan yang sulit dipahami. Wajahnya yang biasanya cerah kini dipenuhi kelelahan, namun ada ketegasan yang tak terbantahkan dalam dirinya. "Kita tidak punya pilihan, Ian. Orang tua kita sudah tiada, Gorgoyle dan Siccyl juga ikut menghilang, dan kita tidak bisa kembali. Dunia yang kita kenal sudah hancur. Apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah bertahan hidup. Kita akan menemukan jalan kita, Aku janji padamu."

Ian menundukkan kepala, meresapi kata-kata Gerude. Hatinya terasa terperosok dalam jurang kehampaan yang dalam. Semua yang dulu dia kenal—kedamaian di rumah, kehangatan orang tuanya—telah hilang dalam sekejap. Kini hanya ada kegelapan, dan suara hatinya yang bergejolak penuh pertanyaan. Namun, meski keraguan itu mencengkeram, ada sesuatu dalam diri Ian yang mulai bangkit—sesuatu yang mengatakan bahwa mereka harus terus berjalan. Mereka tidak bisa berhenti. Mereka tidak bisa membiarkan dunia ini menang begitu saja.

**

Malam semakin gelap, dan udara yang tajam menusuk ke dalam tulang mereka. Langkah-langkah mereka yang berat menggaung di antara pepohonan, memecah kesunyian hutan yang begitu tebal. Di atas mereka, langit penuh bintang, namun ketidakpastian yang mereka bawa lebih besar daripada cahaya yang ada. Elara tetap memimpin, bergerak cepat dan penuh tekad. Namun, ia sesekali melirik ke belakang, seolah memastikan Ian dan Gerude masih mengikuti, mereka merasakan jarak yang semakin lebar antara diri mereka dan dunia yang telah mereka tinggalkan.

Tak ada percakapan di antara mereka, hanya langkah kaki yang berbunyi di tanah hutan yang lembap, saling mengisi ruang yang luas dengan ketidakberdayaan. Keheningan yang menyesakkan itu terasa lebih berat saat mereka memasuki hutan yang menggelap, dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, menciptakan bayang-bayang yang menyelimuti setiap inci tanah. Di sini, udara terasa lebih dingin, dan angin yang bergerak di antara celah-celah pepohonan membawa bisikan dari dunia yang jauh.

Akhirnya, Elara berhenti di tengah jalan, memutar tubuhnya dan menatap mereka dengan mata yang penuh semangat. "Ini tempat yang aman untuk sementara," ujarnya, terdengar tegas, namun ada nuansa kewaspadaan di baliknya. "Kita akan beristirahat di sini, tapi jangan lengah. Hutan ini bisa menjadi tempat yang menipu."

Gerude, yang berdiri disamping Ian, mengangkat alisnya, tampak ragu. "Di sini? Di dalam hutan ini?" suaranya tergerus oleh angin malam yang dingin.

Elara mengangguk, wajahnya tidak menunjukkan ragu sedikit pun. "Ya. Tidak ada yang akan menemukan kita di sini. Tapi kalian harus tetap waspada. Bahaya seringkali tersembunyi di tempat-tempat seperti ini."

Gerude berhenti memutuskan berhenti bertanya lebih banyak. Tidak ada pertanyaan lebih lanjut, hanya kebingungan yang tak terucapkan di wajah Gerude dan Ian. Tanpa membuang waktu, mereka mulai menyiapkan tempat untuk beristirahat. Dengan tangan yang gemetar karena dingin, mereka mengumpulkan ranting dan kayu kering, membuat api unggun kecil yang memberikan cahaya temaram di tengah kegelapan yang hampir total dengan bantuan kekuatan ajaib Elara. Ian sekali lagi tertegun melihat Elara, perempuan misterius yang menyelamatkan mereka.

Api itu, meskipun kecil, membawa kehangatan—namun tak bisa menepis kekhawatiran yang menyelubungi hati mereka. Hati mereka masih tertinggal di kota yang telah hancur, di dunia yang kini terasa begitu asing. Dipeluk oleh malam, dalam selimut hutan yang tak mereka kenali.

**

Ian duduk berhadapan dengan api, pandangannya kosong, seolah terperangkap dalam kenangan pahit yang seketika menyapu kebahagiaanya tanpa sisa. Wajah ayahnya, Gram, dan ibunya, Gaia, masih membayang di matanya. Dunia yang dulu penuh dengan pelukan hangat kini hanya menyisakan abu. Kehilangan itu begitu dalam, begitu berat, seolah memakan segala yang ada dalam dirinya.

Gerude duduk di samping Ian, menatap api yang berkobar lemah. Diam sejenak, ia akhirnya membuka mulut, suaranya lirih namun tegas. "Ian, aku tahu ini berat. Aku juga merasakannya. Tapi kita harus bertahan. Tidak ada jalan lain."

Ian menoleh, matanya penuh dengan kebingungan dan kehampaan. "Tapi kita seakan berlari tanpa tujuan, Gerude. Tidak ada tempat yang aman, tidak ada yang bisa kita percayai selain diri kita sendiri. Apa yang harus kita lakukan?"

Gerude menarik napas panjang, matanya menatap jauh ke depan, menghindari tatapan Ian untuk sejenak. "Aku tahu. Rasanya seperti kita hilang tanpa arah. Tapi kita harus menemukan tujuan kita, Ian. Tidak peduli seberapa beratnya. Kita akan menemukan jalan kita. Aku percaya kita bisa menghadapinya."

Ian menunduk, meresapi kata-kata Gerude, namun hatinya terasa hampa. Kepercayaan itu, yang seharusnya menjadi cahaya penuntun, kini terasa jauh dari dirinya.

Dari tempat yang agak jauh, Elara berdiri tegak, mendengarkan percakapan mereka tanpa mengganggu. Setelah beberapa saat, ia mendekat, seolah memiliki sesuatu yang harus disampaikan. Ia berdiri di hadapan mereka, memandang Ian dan Gerude dengan mata yang tajam, penuh pemahaman. "Jangan biarkan keraguan merasuki pikiran kalian," ujarnya, suaranya rendah, namun penuh keyakinan. "Keraguan adalah musuh terbesar kalian. Tanpa percaya pada diri sendiri, kalian tidak akan pernah bisa menemukan jalan yang tuju."

Ian dan Gerude terdiam, tatapan mereka terkunci pada sosok Elara yang berdiri tangguh dihadapnnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang begitu berbeda, sesuatu yang tak bisa mereka pahami sepenuhnya. Namun, ada kebenaran dalam kata-katanya—sesuatu yang membuat mereka merenung lebih dalam.

Ian membuka suara, suara penuh kebingungan dan keraguan. "Bagaimana kita bisa percaya pada diri sendiri jika kita tidak tahu apa yang harus dilakukan?" tanyanya dengan mata penuh tanya.

Elara menatap Ian dalam-dalam, menghela napas sejenak, lalu menggeleng perlahan. "Kepercayaan itu datang bersama perjalanan, Ian. Kalian akan menemui banyak hal yang tidak kalian mengerti, dan seringkali, itu akan menjadi beban. Tapi satu hal yang pasti, kalian tidak sendirian. Kalian punya satu sama lain. Dan kalian memiliki tujuan yang lebih besar dari sekadar bertahan hidup. Ingat itu."

Keheningan yang menyelimuti mereka terasa dalam. Kata-kata Elara seakan menyentuh sesuatu dalam diri mereka yang masih tersembunyi. Di antara keraguan yang menghantui mereka, secercah harapan muncul. Mungkin memang perjalanan ini tidak pasti. Tapi jika mereka saling mendukung, mereka mungkin bisa melewati segalanya.

Di bawah langit yang dipenuhi bintang, mereka duduk bersama, api yang kecil itu memberi secercah kehangatan dalam kegelapan yang mengelilingi mereka. Sambil merenung, mereka tahu bahwa dunia ini telah berubah, dan perjalanan mereka baru saja dimulai.