Malam berganti pagi. Hari pertama mereka di hutan berlalu dalam keheningan yang menekan. Rintik-rintik angin yang menyusuri pepohonan menyuarakan bisikan yang hanya bisa mereka duga, seolah alam itu sendiri tengah menuntut sesuatu yang tak mereka mengerti. Ian dan Gerude berjalan tanpa banyak kata, dipenuhi oleh pikirannya masing-masing. Suara langkah kaki mereka hilang dalam kebisuan hutan. Terjebak dalam bayang-bayang pepohonan yang tinggi dan rapat, mereka bergerak perlahan seakan mencoba menjauh dari kenyataan yang mengekang mereka.
Hutan ini, dengan semua keindahan yang tersembunyi di dalamnya, terasa asing dan menakutkan. Meskipun sinar matahari menyelinap di antara cabang-cabang pohon yang rimbun, menerangi jejak mereka. Ketakutan yang jauh lebih besar merayap perlahan ke dalam hati mereka. Tak hanya karena ancaman yang bisa muncul dari luar, tetapi lebih kepada kekosongan yang menggelayuti mereka—kehilangan rumah, orang yang mereka cintai, dan masa depan yang mendebarkan namun juga penuh ketidakpastian.
Di depan mereka, Elara melangkah dengan tenang, hampir tak terganggu oleh suasana yang melingkupi mereka. Setiap langkahnya mantap, penuh tujuan, dan tak terburu-buru. Ada sesuatu yang berbeda tentangnya—sebuah aura yang sulit dijelaskan, sebuah ketenangan yang terasa janggal di tengah ketegangan ini. Ian memperhatikan Elara dari belakang. Mencoba menangkap setiap detail yang bisa memberi penjelasan. Namun, meskipun ia merasa ada sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami tentang Elara, mereka tak punya banyak pilihan selain mengikuti langkahnya. Elara adalah satu-satunya yang tampak tahu jalan apa yang harus mereka tempuh.
Elara sendiri adalah sosok yang sulit dipahami. Fisiknya tampak mencolok di antara hijau pepohonan, dengan rambut hitam yang terurai panjang, berkilau seperti kegelapan yang memeluk malam. Mata birunya yang dalam tampak tenang, namun selalu menyiratkan adanya misteri yang lebih dalam, sebuah kebijaksanaan yang tak dapat diakses begitu saja. Wajahnya lebih muda dari usia yang sebenarnya, Ian yakin. Ia mengenakan jubah hitam yang memyatu dengan bayangan pepohonnan disekeliling mereka, bergerak dengan elegan, seolah tak terpisahkan dari hutan itu sendiri. Jubahnya berkibar dengan angin yang menyusup lewat, memberi kesan seolah-olah alam mengikuti gerakannya, menyesuaikan diri dengan setiap langkahnya.
Namun, meskipun sosok Elara penuh dengan misteri dan kebijaksanaan, ada hal-hal aneh yang terkadang terjadi, membuat perjalanan ini tidak hanya penuh ketegangan, tetapi juga sedikit kekonyolan. Di tengah perjalanan, Elara akan berbicara sendiri, seolah terlarut dalam pikirannya yang jauh dari apa yang sedang terjadi. Ian dan Gerude sering saling bertukar pandang, bingung dengan kebiasaan Elara, namun tak berani bertanya lebih jauh.
Suatu kali, mereka berhenti untuk beristirahat, membiarkan tubuh mereka mengumpulkan tenaga. Elara, yang selama ini tampak serius dan bijaksana, tiba-tiba berjongkok di samping sebuah batu besar yang tergeletak di tanah. Tanpa ragu, ia mulai berbicara dengan batu itu, suaranya terdengar seperti berbicara dengan seseorang yang sudah lama dikenal. "Apakah kamu yakin mereka ada di sini?" tanyanya, nada suaranya serius, seolah batu itu bisa mendengarnya.
Gerude menatap batu itu dengan tatapan bingung, matanya melirik Ian seolah meminta penjelasan. "Elara... apakah... kamu sedang berbicara pada batu?" tanyanya dengan suara pelan, masih belum percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya.
Elara melirik Gerude dengan ekspresi penuh kebingungan, seolah ia tak mengerti mengapa itu menjadi pertanyaan. "Oh, batu ini adalah penjaga hutan," jawabnya santai, seakan itu adalah hal yang paling wajar di dunia ini. "Dia tahu segalanya," tambahnya tanpa ragu.
Ian menahan tawa kecil, meskipun kecemasan masih menggelayuti pikirannya. "Batu itu penjaga hutan? Benarkah?" tanyanya, suaranya lebih lembut, seakan mencoba meresapi semua kata-kata Elara.
Elara mendengus, tampak sedikit kesal karena mereka tidak menganggap serius ucapannya. "Kalian tidak tahu, tetapi batu ini adalah makhluk yang bijak. Aku mendengarnya berbicara beberapa kali," kata Elara, memandang batu itu dengan serius, seolah menunggu jawaban yang tak pernah muncul.
Gerude dan Ian saling bertukar pandang, namun akhirnya memilih untuk diam. Mereka tak tahu harus berkata apa. Elara tampaknya sangat yakin, dan meskipun itu aneh, mungkin ada hal-hal yang lebih besar yang mereka belum mengerti tentang kekuatan Elara.
Sepanjang perjalanan, Elara terus berhenti sejenak, seolah merasakan sesuatu yang tak terlihat. Tangan kanannya terangkat, menyesuaikan diri dengan angin yang berhembus, seolah ia sedang meraba sesuatu di udara. "Hmm...ada sesuatu yang mengganggu di sekitar sini," katanya, suaranya tajam, penuh perhatian. "Tetapi kita aman untuk sekarang. Ayo terus," lanjutnya, memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan.
Namun, meskipun ia berbicara dengan penuh keyakinan, ada sesuatu dalam gerakan Elara yang membuat Ian dan Gerude ikut waspada. Elara tampaknya sedang berjuang lebih keras daripada yang terlihat, seperti sedang memusatkan seluruh perhatiannya pada sesuatu yang hanya ia yang bisa merasakannya, dan mereka—Ian dan Gerude, tak tahu apakah itu merupakan pengaruh dari kekuatan sihir Elara atau kecemasan Elara yang ikut merayap masuk ke dalam diri mereka berdua.
**
Perjalanan mereka semakin masuk ke dalam hutan, dan ketegangan di udara semakin nyata. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi menghalangi cahaya matahari, menciptakan bayangan panjang yang semakin gelap. Angin yang berhembus kencang seolah memberi tanda, memperingatkan mereka bahwa mereka bukan hanya melintasi hutan ini, tetapi juga melangkah ke wilayah yang lebih asing. Wilayah yang berada di luar pemahaman mereka.
Elara tetap berjalan dengan ketenangan yang tak tergoyahkan. Ia bergerak lincah dan gesit, seolah ia adalah bagian dari hutan itu sendiri. Meskipun tampaknya tidak terburu-buru, ada sesuatu yang menarik perhatian Ian dan Gerude dalam setiap gerakan yang dilakukannya. Ada ketenangan dalam dirinya yang hampir tak terjangkau, namun ada juga sesuatu yang tidak bisa mereka pahami sepenuhnya.
Di tengah perjalanan, Elara mulai berbicara tentang kemampuan sihir, tentang kekuatan magis yang tersembunyi, tentang dunia lain yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang memahami bahasa alam. Kata-katanya seringkali terdengar seperti teka-teki yang tidak jelas jawabannya, meninggalkan Ian dan Gerude dalam kebingungan. "Alam ini berbicara dengan bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mendengarnya," kata Elara. Matanya terpejam seakan merasakan udara yang mengalir lembut di sekitarnya. "Kalian akan belajar untuk mendengarnya, suatu saat nanti."
Gerude menatap Elara dengan rasa ingin tahu yang besar, namun tak ada jawaban lebih jauh yang datang darinya. Ketika mereka bertanya lebih dalam tentang bagaimana mereka bisa mempelajari kekuatan itu, Elara hanya menjawab dengan senyum tipis, "Sabarlah. Semua akan datang pada waktunya."
Meskipun Ian dan Gerude merasa tertarik, ketidaktahuan itu justru semakin membayangi mereka. Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari Elara. Hanya kebingungan yang mengganjal di hati mereka, tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak selain mengikuti langkah Elara yang tenang.
Seiring perjalanan mereka berlanjut, hutan yang semakin lebat menyelimuti mereka. Pohon-pohon raksasa mulai menghalangi pandangan, bayangan gelap mengisi udara yang semakin terasa padat. Angin bertiup semakin kencang, menggerakkan dedaunan dengan desiran yang terdengar mengerikan. Suasana menjadi semakin mencekam. Meskipun Elara tampak tidak terganggu, Ian dan Gerude mulai merasakan ketegangan yang tak bisa dijelaskan.
Pada suatu titik, mereka berhenti untuk beristirahat. Di tempat terbuka yang cukup luas, Elara memilih sebuah pohon besar untuk duduk. Dengan hati-hati, ia menyusun beberapa batu di sekitar dirinya dalam formasi yang rumit, seolah sedang merancang sesuatu yang penuh makna. Tanpa berkata apa-apa, ia mulai merapal mantra dengan suara rendah yang hanya bisa mereka dengar samar-samar. Kata-katanya terdengar seperti berasal dari dunia yang jauh, berbicara dalam bahasa yang tidak Ian dan Gerude pahami.
Ian dan Gerude duduk di dekatnya, merasa cemas namun juga tertarik dengan apa yang sedang terjadi. Udara terasa lebih dingin. Hutan yang sepi menambah ketegangan yang semakin memuncak. Setelah beberapa saat, Elara membuka matanya, yang seolah-olah terhubung dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar hutan di sekitarnya.
"Ini untuk melindungi kita," ujar Elara dengan tenang, seolah memberi penjelasan tanpa melibatkan perasaan bingung yang terpancar dari wajah Ian dan Gerude. "Ada kekuatan yang mengawasi kita. Kita harus berhati-hati."
Meskipun suaranya tenang, kata-kata itu meninggalkan rasa khawatie. Ian dan Gerude tidak tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh Elara, tetapi mereka tahu bahwa mereka harus percaya padanya, setidaknya untuk saat ini. Keheningan malam yang semakin mendalam menambah kesan misterius di sekeliling mereka, dan meskipun mereka terpaksa tidur dalam kegelapan, perasaan cemas itu tidak mudah menghilang.
Keanehan-keanehan yang mereka alami semakin bertambah, tetapi seiring berjalannya waktu, kepercayaan terhadap Elara mulai tumbuh. Mereka merasa bahwa Elara bukan hanya seseorang dengan pengetahuan yang luas.Mereka berdua yakin, Elara adalah seoarang penyihir. Namun bukan penyihir biasa, tetapi lebih seperti penyihir penjaga rahasia besar yang belum siap akan dunia mereka. Sebuah rahasia yang, meskipun samar, sepertinya akan mengubah segala sesuatu yang mereka ketahui tentang dunia ini—dan mungkin, tentang diri mereka sendiri.
**
Udara lembap dan penuh aroma tanah basah menusuk indera mereka, namun lebih dari itu, ada sesuatu yang tak terungkapkan dalam diam yang menyelimuti mereka, sesuatu yang mengancam namun tidak dapat mereka tentukan.
Gerude berjalan dengan hati-hati, matanya menyusuri setiap sudut hutan. Ada kecantikan di sini, tak bisa dipungkiri—pohon-pohon besar menjulang tinggi, daun-daunnya berwarna hijau keemasan yang seolah menyala oleh sinar matahari yang menembus celah-celah dedaunan. Sesekali, sinar itu jatuh ke tanah, menciptakan permainan cahaya yang memukau.
"Apakah kalian melihat itu?" Gerude berbisik, suaranya hampir tak terdengar, seolah takut mengganggu keheningan yang begitu pekat. Ia menunjuk ke arah sebuah pohon besar dengan batang yang kasar, hampir tertutup lumut. Namun, apa yang membuat pohon itu berbeda adalah cara cabang-cabangnya membentuk semacam kubah alami, menciptakan sebuah ruang yang tak terlihat, seolah menutup dunia di luar sana. Di antara cabang-cabangnya, bunga-bunga biru muda tumbuh, kelopak-kelopak mereka hampir transparan. Mewakili gambaran dunia yang terpisah dari segala sesuatu yang mereka kenal.
Ian hanya mengangguk, matanya tertuju pada bunga-bunga itu. "Seperti tidak ada yang pernah datang ke sini sebelumnya," gumamnya, suara itu hampir tenggelam dalam hembusan angin.
Di antara pohon-pohon raksasa, mereka terus berjalan, namun setiap langkah terasa lebih berat. Keheningan ini bukanlah ketenangan, melainkan sesuatu yang lebih gelap, yang terus mengintai mereka. Gerude tidak dapat menepis perasaan bahwa mereka sedang diperhatikan, dipantau oleh sesuatu yang tak terlihat. Tumbuhan di sekeliling mereka, meskipun indah, memberi kesan yang mengganggu—bunga berwarna ungu cerah yang memancarkan cahaya lembut di malam hari, atau pohon-pohon dengan kulit batang yang berkilau seperti logam, menciptakan kontras yang mengerikan dalam kesunyian yang menebal.
Setiap kali angin bertiup, suara itu mengalir seperti bisikan dari jauh, seolah mengajak mereka untuk menyingkap sebuah rahasia yang tak bisa dimengerti. Beberapa kali, suara ranting yang patah terdengar tanpa sebab, membuat hati mereka terlonjak. Keindahan yang mereka lihat, seperti seekor burung langka dengan bulu biru terang yang terbang rendah, tak mampu menenangkan kegelisahan yang semakin menebal.
Elara berjalan di depan mereka, tenang dan tak terganggu oleh keanehan-keanehan ini. Seolah alam sekitar ini sudah menjadi bagian dari dirinya, langkahnya pasti dan penuh kepercayaan. Namun, meskipun ia tampak begitu akrab dengan hutan ini, sesekali ia berhenti, menatap dengan tajam ke sekelilingnya, memperhatikan sesuatu yang hanya ia yang paham. Matanya yang biru tajam memeriksa setiap detail dengan penuh perhatian, dan sering kali ia akan berhenti di depan pohon besar, menyentuh kulit batangnya dengan tangan lembut, lalu melanjutkan perjalanan tanpa memberi penjelasan.
Tindakan itu, meski sederhana, meninggalkan rasa tidak nyaman pada Ian dan Gerude. Ada sesuatu yang lebih besar di balik setiap langkah Elara. Mereka merasakan, lebih dari sebelumnya, bahwa mereka tidak hanya berada di hutan ini—mereka juga sedang memasuki wilayah yang lebih dalam, tempat yang menyembunyikan sesuatu yang berbahaya.
Mereka tiba di suatu tempat yang mengubah segalanya, tempat yang membekukan langkah mereka sejenak. Setelah berjam-jam berjalan tanpa henti, tiba-tiba mereka menemukan diri mereka di sebuah area terbuka, seolah alam itu sendiri menunggu mereka di sana. Matahari senja yang hampir tenggelam menciptakan kilauan keemasan di atas hamparan bunga-bunga yang tidak mereka kenal. Padang bunga itu membentang luas, warna-warna yang tak pernah mereka lihat sebelumnya—ungu, merah, dan kuning, semuanya begitu hidup, seolah-olah mengaburkan batas antara kenyataan dan mimpi.
Di tengah padang bunga itu, terdapat sebuah kolam kecil yang airnya memantulkan cahaya matahari tenggelam, seolah mengandung kilauan langit malam yang belum datang. Airnya jernih, begitu jernih sehingga batu-batu permata yang terbaring di dasar kolam bisa terlihat dengan jelas, berkilau seperti harta karun yang tersembunyi. Di sekitar kolam, tanaman merambat tumbuh dengan subur, bunganya mengeluarkan aroma manis yang seakan menenangkan hati, seolah tempat ini dirancang untuk menenangkan siapa saja yang mendekatinya.
Ian berhenti sejenak, merasakan sensasi yang tidak biasa—sebuah perasaan yang mengganggu dan memabukkan. Tempat ini seakan bukan bagian dari dunia mereka, namun juga tidak sepenuhnya asing. Seperti sebuah dunia lain yang terhubung dengan dunia mereka, namun terpisah oleh lapisan waktu yang tak bisa dimengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang menyelimuti tubuhnya, tetapi juga perasaan tak nyaman yang mulai tumbuh di dalam hatinya.
Elara, yang berjalan beberapa langkah di depan, berhenti dan menoleh. Matanya yang tajam mengamati setiap detail di sekitarnya. "Ini adalah tempat yang sangat jarang ditemukan," suaranya rendah, namun cukup jelas untuk membuat udara di sekitar mereka terasa lebih padat. "Hanya mereka yang benar-benar mencari yang akan menemukannya."
Gerude, yang biasanya penuh kewaspadaan, kini tampak terperangkap dalam pesona tempat ini. "Ini luar biasa," katanya, suaranya hampir berbisik, penuh kekaguman. "Tempat ini... terasa seperti dunia yang berbeda."
Namun, meskipun keindahan itu begitu memukau, Ian merasa perasaan yang aneh mengalir melalui tubuhnya. Ada sesuatu yang tak beres, meski tempat ini terasa begitu damai. "Tapi kita harus melanjutkan, bukan?" tanyanya, matanya terfokus pada kolam yang berkilau di hadapan mereka, namun hatinya terasa waspada.
Elara mengangguk, matanya masih tertuju pada air yang berkilauan, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan yang dapat dilihat di sana. "Ya, kita harus melanjutkan. Tapi ingat, tempat ini juga penuh dengan pelajaran yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang tahu caranya."
Baru saja mereka bersiap untuk melangkah lebih jauh, sebuah suara yang tidak mereka kenal terdengar dari kejauhan. Awalnya terdengar seperti desiran angin, tetapi semakin lama semakin jelas, dan semakin dekat. Suara itu membelah keheningan yang telah lama menyelimuti mereka, dan dengan setiap detiknya, ketegangan di udara semakin berat. Di tengah ketenangan ini, ada sesuatu yang datang dari hutan, sesuatu yang tidak terlihat, tetapi sangat nyata. Suara itu seakan mengancam untuk merusak kedamaian yang baru saja mereka rasakan, mengingatkan mereka bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman di dunia ini.
**
Pagi itu perjalanan mereka dimulai dengan kabut tipis yang merayap di udara, menutupi dunia sekitar dengan lapisan lembut yang seolah ingin menyembunyikan apa yang akan datang. Keheningan hutan terasa semakin mencekam. Angin yang berhembus membawa aroma aneh—seperti tanah basah yang lama tak terjamah, dedaunan yang membusuk, dan sesuatu yang tak dapat mereka identifikasi. Hutan ini, yang sebelumnya terasa seperti tempat perlindungan, kini berubah menjadi dunia yang semakin menutup rapat. Cabang-cabang pohon semakin lebat, membentuk tabir yang begitu padat tanpa celah, menghalangi sinar matahari yang masuk. Kegelapan seakan semakin mendalam, dan setiap langkah mereka membawa mereka lebih jauh ke dalam ketidakpastian.
Elara, yang memimpin perjalanan mereka, tampak lebih waspada daripada sebelumnya. Wajahnya serius, matanya terfokus pada setiap gerakan yang ada di kejauhan. Ian dan Gerude saling bertukar pandang, merasakan ketegangan yang semakin terasa. Keheningan yang aneh melanda kelompok mereka, tidak seperti sebelumnya. Bahkan Elara—yang biasanya tegas dan penuh keyakinan—kali ini terlihat lebih diam, lebih cemas. Ketegangan itu menyelimuti mereka, memaksa mereka untuk melangkah lebih hati-hati.
Lama-kelamaan, keheningan yang menegangkan itu akhirnya pecah. Elara tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Berdiri tegak seperti patung. Ia menundukkan kepalanya sedikit, matanya terpejam, seolah mendengarkan sesuatu yang tidak bisa mereka dengar. Suasana di sekitar mereka berubah, menjadi semakin kelam. Udara terasa lebih kering, lebih dingin, dan setiap suara yang biasa terdengar di hutan kini tampak hilang. Semua terasa mati. Seolah sesuatu yang berbahaya menunggu mereka.
Gerude menatap Ian dengan ekspresi bingung, namun tak ada kata yang keluar. Mereka tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang sangat mengganggu ketenangan. Waktu seakan berjalan sangat lambat, semakin memperdalam ketegangan yang ada.
Akhirnya, Elara membuka matanya, suaranya yang rendah dan serak memecah keheningan. "Dia dekat," bisiknya, suaranya penuh peringatan. "Hati-hati."
Ian dan Gerude saling berpandangan, dan dalam sekejap, hati mereka terhimpit oleh sebuah rasa yang tak terungkapkan. "Gorgoyle..?" Ian dan Gerude bertanya, hampir bersamaan. Nama itu terngiang di kepala mereka. Mungkin dari kerinduan yang teramat dalam, jauh di lubuk hati mereka. Elara kemudian mengangguk perlahan. Mengiyakan.
Sebuah rasa tidak percaya mulai merasuki hati mereka. Mereka tahu bahwa Gorgoyle—kakak laki-laki mereka—telah hilang sejak kerusuhan itu, tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkan untuk rasa suka cita. Mereka akan kembali berkumpul dengan Gorgoyle, kakak yang mereka sayangi. Sekilah raut wajah Ian dan Gerude dipenuhi oleh harapan. Senyum sumringah merekah di wajah mereka, dengan sediki ekspresi haru menggelantung di sudut senyumnya.
Gerude lalu kembali membuka mulut, suaranya bergetar. "Di mana dia?" tanyanya, berusaha untuk tetap tenang.
Elara menghela napas panjang, lalu tanpa berkata-kata lagi, ia melangkah maju, menuntun mereka melewati jalur sempit yang mengarah ke lembah kecil. Setiap langkah terasa berat, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin tebal kabut yang turun. Udara semakin dingin, hampir seperti menyesakkan paru-paru mereka. Semakin mereka mendekat ke lembah, semakin terasa sesuatu yang menekan hati mereka, menunggu untuk meledak. Mereka melangkah dengan hati-hati, seolah setiap langkah bisa memicu sesuatu yang buruk.
Mereka tiba di lembah yang terasa semakin terisolasi. Udara di sini lebih kering, lebih berat. Di tengah lembah terdapat sebuah batu besar yang menjulang tinggi, tampak seperti penghalang antara mereka dan sesuatu yang lebih gelap di baliknya. Elara berhenti beberapa langkah di depan batu itu, matanya terfokus pada bayangan yang bergerak perlahan di balik pepohonan yang lebih tinggi. Sesuatu yang tampak tidak biasa.
Ian merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Perasaan yang menggerogoti dirinya semakin kuat—sesuatu yang mengancam, sesuatu yang tak bisa dihindari. Saat itu, ia merasakan perasaan campuran—antara keinginan untuk maju dan rasa takut yang memaksa dirinya untuk tetap berdiri di tempat. Ia menoleh pada Gerude, dan melihat ekspresi yang sama: kekhawatiran yang memancar dari matanya.
Lalu, mereka mendengar suara berat yang datang dari balik batu—langkah yang berat, seperti tubuh yang membawa beban luar biasa. Suara itu semakin dekat, dan dengan setiap detik yang berlalu, semakin jelas bahwa apa yang akan muncul bukanlah sesuatu yang mereka siap hadapi. Kabut semakin tebal, menyelimuti mereka, seolah menambah ketegangan yang sudah terasa. Di antara kabut, sebuah bayangan besar mulai muncul. Mereka bisa merasakannya, sosok itu semakin jelas.
Kemudian, sosok itu muncul sepenuhnya, dan dengan itu, dunia terasa berhenti berputar.
Gorgoyle.
Namun, ini bukanlah Gorgoyle yang mereka kenal. Ian dan Gerude terdiam, tubuh mereka kaku, sementara mata mereka terbelalak tidak percaya. Sosok yang berdiri di depan mereka bukanlah kakak laki-laki yang mereka cintai. Gorgoyle yang mereka kenal—yang dulu tampan, penuh semangat, dengan senyum hangat—sekarang hanya sebuah bayangan dari dirinya yang dulu.
Seketika, Perasaan bahagia yang tadi mereka rasakan seketika sirna. Seolah hanyut dalam arus tidak percaya dengan apa yang ada di hadapn mereka saat ini. Ada rasa khawatir bercampur kecewa yang merasuk kedalam relung Ian dan Gerude. Otak mereka dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak terhitung jumlahnya dalam sesaat.
Tubuh Gorgoyle jauh lebih besar sekarang. Tubuh yang membengkak dengan otot-otot yang menonjol, seolah-olah segala kekuatan yang ada di dalam dirinya telah terakumulasi menjadi sesuatu yang lebih liar, lebih menakutkan. Kulitnya—yang dulu cerah—sekarang berwarna abu-abu kehitaman, keras seperti batu yang dipahat oleh waktu. Wajahnya yang dulu penuh kasih kini dipenuhi dengan bekas luka yang mengubah setiap garis di wajahnya menjadi tampak bengkok dan mengerikan. Rambutnya yang dulu panjang dan hitam kini terurai acak-acakan, terbalut dengan kotoran dan luka yang menambah kesan kasar pada penampilannya.
Namun yang paling mencolok adalah matanya. Mata Gorgoyle, yang dulu penuh kelembutan, kini berkilat tajam, berwarna kuning keemasan seperti mata predator yang siap memangsa mangsanya. Kilauan itu menembus langsung ke hati Ian dan Gerude, membekukan mereka dalam ketakutan yang mendalam. Itu bukanlah mata kakak mereka—itu adalah mata makhluk lain, sesuatu yang telah merebut paksa diri Gorgoyle.
Dari punggungnya, muncul sepasang sayap hitam yang lebar, berbulu kasar dan ujungnya tajam seperti pedang. Sayap itu bergetar pelan, seakan siap untuk terbang dan membawa sosok itu pergi. Namun, ada sesuatu yang lebih mengerikan—tubuh Gorgoyle tampaknya begitu kuat dan mengancam, begitu tidak manusiawi.
Ian merasa dadanya sesak. Dia ingin berlari, tetapi kakinya terasa berat, seakan terikat oleh sesuatu yang tak bisa dilihat. Gorgoyle—saudaranya—telah berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa dikenali lagi. Rasa marah, bingung, dan takut bercampur menjadi satu. Kakaknya yang dulu penuh kehidupan kini hanya bayangan mengerikan yang berdiri di depan mereka.
Gerude menatap sosok itu dengan mulut yang ternganga, tidak bisa berkata-kata. Hatinya hancur melihat apa yang telah terjadi pada Gorgoyle. Dulu, mereka bermain bersama, mereka tertawa bersama. Tapi sekarang, sosok yang mereka lihat bukanlah Gorgoyle yang mereka kenal. Ia tampak seperti makhluk yang dipenuhi dengan kegelapan mengerikan.
Ian menggelengkan kepala, tidak bisa mempercayai apa yang ada di depannya. "Ini tidak mungkin..." bisiknya, suaranya penuh dengan penolakan.
Elara berdiri di samping mereka, menatap Gorgoyle dengan ekspresi yang kosong. "Aku tahu ini berat," katanya dengan suara serak. "Tapi yang kalian lihat sekarang bukan lagi Gorgoyle yang kalian kenal."
Gerude menatap Elara dengan mata yang penuh kebingungan dan rasa sakit. "Apa maksudmu? Ini... ini tidak mungkin! Gorgoyle—dia masih disana, bukan?" Ia mengangkat jarinya menunjuk makhluk didepannya.
Elara menundukkan kepala, suara hatinya penuh kesedihan. "Dia telah berubah. Sesuatu yang gelap telah menguasainya setelah kerusuhan itu. Gorgoyle kalian—dia sudah hilang."
Suasana di sekitar mereka semakin amburadul, seolah dunia itu sendiri sedang menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. Kabut yang semula lembut kini terasa berat, menekan dada mereka, seperti sebuah selimut yang menutup rapat semua penglihatan dan suara. Langit yang tadinya cerah kini dipenuhi awan gelap yang bergerak cepat, menggelapkan sekeliling mereka, sementara angin berhembus kencang, memutar daun-daun yang berjatuhan, menciptakan suara berdesir yang semakin keras dan mengancam.
Gorgoyle berdiri di sana. Matanya yang tajam menatap Ian dan Gerude dengan intensitas yang membuat mereka terdiam. Kepadatan di udara semakin terasa, memaksa mereka untuk tetap diam, walaupun hati mereka berdebar keras. Setiap detik berlalu seolah terjalin dalam benang-benang waktu yang tegang, menunggu apa yang akan terjadi.
Gerude yang pertama kali mengangkat suaranya, dengan nada yang hampir tidak terdengar, berusaha mengungkapkan apa yang sulit mereka terima. "Apakah... kamu Gorgoyle?" suaranya bergetar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seakan bertanya pada diri sendiri lebih dari kepada sosok yang berdiri di depan mereka.
Gorgoyle tidak langsung menjawab. Ia diam, seolah memandang mereka dengan tatapan yang begitu dalam. Lalu, perlahan, mulutnya terbuka, dan tawa dingin terdengar, menggema dalam kesunyian, meruntuhkan keheningan yang tadinya mengisi udara diantara mereka.
"Aku... bukan lagi Gorgoyle yang kalian kenal," suaranya terdengar serak, penuh dengan kebencian dan penderitaan yang tak terkatakan. "Aku adalah sesuatu yang lebih kuat. Sesuatu yang tidak bisa kalian hancurkan."
Mendengar jawaban makhluk itu, perasaan Ian yang tak bisa dijelaskan, antara ketakutan dan keinginan untuk mengerti, namun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukanlah saudaranya. "Kenapa kamu melakukan ini, Gorgoyle?" Ian bertanya, dengan suara yang terdengar samar, berbisik lirih menyampaikan kesedihan. "Kami... kami mencarimu. Kami bisa kembali. Kita bisa memperbaiki semuanya."
Gorgoyle tertawa lagi, lebih keras kali ini. Tawa itu bukan hanya menakutkan, tetapi juga menyakitkan. "Tidak ada jalan keluar, Ian," katanya, suaranya dipenuhi kebencian yang begitu dalam, seperti mengiris segala sesuatu yang pernah mereka harapkan. "Kalian akan segera mengerti. Dunia ini sudah hancur. Kalian tidak bisa kembali lagi."
Seketika, atmosfir di sekitar mereka terasa semakin tegang. Ian dan Gerude tidak bisa berbuat apa-apa, seolah terperangkap dalam keheningan yang semakin menyesakkan. Tidak ada lagi harapan yang mereka rasakan, hanya rasa kehilangan yang semakin dalam.
Elara yang semula diam, kini bergerak. Ia melangkah maju, tubuhnya tegap, dan mata birunya yang tajam memancarkan kekuatan yang belum pernah Ian dan Gerude lihat sebelumnya. Tidak ada rasa takut dalam dirinya, hanya tekad yang mengalir dengan kuat. Dengan langkah yang terhitung pasti, Elara berhenti beberapa langkah di depan Gorgoyle, seolah menguji jarak yang aman, sambil mengumpulkan energi yang semakin padat di sekelilingnya.
Tangan Elara terangkat, dengan gerakan perlahan, ia mulai merapal mantra. Suaranya lembut, namun setiap kata yang diucapkannya mengandung kekuatan yang luar biasa, mengguncang udara di sekitar mereka. Kata-kata itu begitu dalam dan penuh dengan energi, bergetar di dalam dada Ian dan Gerude. Mereka bisa merasakannya, energi yang semakin berkembang, semakin kuat, seolah menarik segala sesuatu ke dalam pusat kekuatan yang ada di antara mereka.
Ian dan Gerude hanya bisa menyaksikan. Tak mampu bergerak. Sementara Elara terus merapalkan kata-kata itu dengan perlahan, setiap suku kata yang terucap mengguncang kedamaian. Namun, hati Ian berdebar keras, merasakan ketegangan yang memuncak. Mata Gerude tak lepas dari Elara yang sedang bertarung dengan kekuatan yang tidak mereka mengerti.
Saat mantra itu semakin mendekati akhir, energi di sekitar mereka mulai bergetar, seperti gelombang yang datang dari kedalaman bumi. Setiap gerakan Elara terasa begitu tepat, penuh dengan keyakinan. Suaranya semakin tegas, kata-kata yang terucap kini penuh dengan keputusan. Ada sesuatu yang akan meledak, melepaskan kekuatan yang selama ini terpendam.
Pada saat terakhir mantra itu terucap, alam menjadi hening sejenak. Semua terasa terhenti, dan dalam kesunyian itu, Elara menurunkan tangannya dengan tegas. Energi yang diciptakannya seperti ledakan yang membelah keheningan, menciptakan gelombang kekuatan yang melanda Gorgoyle dengan cepat. Seiring dengan itu, tanah di bawah kaki mereka bergetar, dan udara terasa semakin panas. Inilah titik dimana pertempuran dimulai—dua kekuatan yang saling bertarung, dan hanya satu yang akan bertahan.
**
"Tempatku sudah lama hilang, penyihir!" suara Gorgoyle menggema, serak dan penuh kebencian. "Dan sekarang, aku akan menghabisi kalian satu per satu!"
Seiring dengan kata-kata itu, Gorgoyle melesat ke depan dengan kecepatan yang tak terduga, bayangannya menyatu dengan kegelapan di sekitarnya. Cakar-cakar besar, mengkilat, menyambar ke arah Elara. Kecepatan dan kekuatannya membuat angin bertiup kencang, daun-daun dan ranting berterbangan. Dalam sekejap, cakar-cakar itu sudah di depan mata Elara, siap mencabik tubuhnya.
Namun, Elara, dengan ketenangan luar biasa, hanya mengangkat kedua tangannya ke udara. Tanpa ragu, ia mengucapkan mantra dalam bahasa kuno. "Vernitharez! Aelorae! Luminathis!" suaranya bergetar di udara, beresonansi dengan kekuatan alam yang tak terhingga. Dalam sekejap, tanah di bawah mereka mulai bergetar hebat, dan akar-akar pohon raksasa muncul dari dalam tanah. Bergerak cepat seperti ular besar yang hidup. Akar-akar itu melilit tubuh Gorgoyle, menjebaknya dengan kekuatan alam yang luar biasa, mencegahnya bergerak.
Gorgoyle meraung keras. Suaranya mengerikan, dan tawa penuh kebencian mengisi hutan. "Kalian tidak mengerti!" teriaknya, tubuhnya bergetar dengan amarah yang memuncak. "Aku sudah menjadi makhluk yang jauh lebih kuat dari kalian!" Dengan satu gerakan yang mengerikan, sayap besar yang terkulai di punggungnya terbentang lebar, menciptakan angin kencang yang mengguncang seluruh hutan. Menghancurkan lilitan akar pohon yang tadi menutupi tubuhnya.
Gorgoyle lalu melesat ke arah Elara, sekali lagi, mengayunkan cakar-cakarnya dengan kecepatan luar biasa, Tanpa memberi kesempatan bagi Elara untuk bereaksi. Ia melesat menuju Elara dengan kekuatan yang lebih besar.
Elara tidak terkejut. Dengan gerakan yang lebih cepat daripada sebelumnya, ia mengubah posisinya, menghindari serangan itu dalam hitungan detik. Ia lalu merapalkan mantra berikutnya, memanggil kekuatan yang lebih dahsyat. "Thyronis! Yelathar! Cindrathis!" suaranya semakin melengking, kembali menggetarkan tanah di bawah mereka. Kemudian disusul dengan kilat hijau terang yang menakutkan membelah langit, menyambar langsung ke tubuh Gorgoyle dengan kecepatan luar biasa. Saat itu, ledakan energi yang sangat besar mengguncang bumi. Membuat sekeliling mereka seakan terbalik oleh kekuatan itu.
Gorgoyle terhuyung mundur, tubuhnya terbakar oleh cahaya hijau yang melingkupi dirinya, dan suara teriakan penuh kebencian keluar dari mulutnya. Namun, Gorgoyle belum menyerah. Dalam sekejap, dengan tangan yang gemetar, Gorgoyle memusatkan energi gelap dari dalam tubuhnya, membentuk bola energi hitam yang berkilat tajam. Bola energi itu meluncur ke arah Elara dengan kecepatan yang hampir tak terkejar, meninggalkan jejak kegelapan yang mencekam di udara.
Elara hanya tersenyum, meskipun ketegangan melingkupi setiap detik. Dengan gerakan cepat, ia mengangkat tangan kanannya, dan sebuah perisai energi yang berkilau seperti cahaya hijau muda muncul di depannya. Bola energi hitam itu menghantam perisai dengan dahsyat. Menciptakan ledakan yang memekakkan telinga. Menghancurkan tanah di sekitar mereka. Suara dentuman keras bergema, debu dan serpihan tanah berterbangan, namun Elara tetap berdiri tegak, tak tergoyahkan sedikit pun.
"Tahan!" serunya, suaranya menggema penuh perintah. "Bumi, dengarkan panggilan kami!" Dengan kedua tangan terangkat, Elara menekan tangannya ke tanah, dan seketika itu juga, tanah di bawah mereka mulai bergetar lebih hebat lagi. Pohon-pohon besar yang mengelilingi mereka mulai merunduk, akar-akarnya muncul dengan kekuatan yang luar biasa, melilit tubuh Gorgoyle sekali lagi.
Elara tahu, ini adalah saat yang menentukan. Dengan nafas tersengal-sengal, ia mengumpulkan seluruh energi yang ada dalam dirinya, bertekad untuk mengakhiri pertempuran ini sekali dan untuk selamanya. "Volnathar! Rythael! Grathros!" teriaknya, suaranya menggema lebih kuat dari sebelumnya, seolah membelah dunia. Seluruh hutan di sekitar mereka berguncang hebat. Pohon-pohon besar mulai melengkung, seakan menyatu dengan kekuatan Elara yang kini berada di puncaknya. Akar-akar lalu muncul membentuk dinding tebal, memenjarakan Gorgoyle di dalamnya. Di ikuti dengan angin yang dahsyat berputar di sekitar Elara. Menciptakan tornado kecil yang mengarah langsung ke Gorgoyle. Menghantam makhluk itu dengan kekuatan yang tak tertandingi.
Saat itu, dunia seakan terhenti. Setiap detik terasa begitu panjang, begitu berat. Pertempuran yang berlangsung begitu intens ini mencapai klimaksnya, dan hanya ada satu hal yang pasti: salah satu dari mereka harus jatuh.
**
Di belakangnya, kedua saudaranya—Ian dan Gerude—bersiap, meskipun mereka tahu bahwa pertarungan ini adalah milik Elara dan hanya milik Elara. Mereka hanya bisa menjadi saksi dari keajaiban yang tak bisa mereka pahami.
"Gorgoyle!" teriak Elara, suaranya menggema seperti gong yang memanggil badai. "Kembalilah ke kegelapan yang kau ciptakan sendiri! Alam ini bukan tempat untukmu!"
Namun, suara yang terdengar bukanlah suara jawaban. Sebaliknya, ada kekosongan yang menyelimuti udara. Tiba-tiba, sebuah gelombang kekuatan mencekik di sekitar mereka. Tanah mulai bergetar, dan pohon-pohon yang kokoh tampak melengkung ke tanah, seolah mereka juga merasakan kekuatan itu. Kegelapan semakin tebal, seakan menyelimuti seluruh dunia, menghapus cahaya matahari yang sebelumnya menembus celah-celah daun pohon. Elara bisa merasakan setiap tetes keringat yang mulai turun di wajahnya, setiap otot yang menegang dalam antisipasi. Ia tahu, kali ini, pertarungan ini bukan hanya sekedar adu kekuatan. Ini adalah adu ketahanan antara kegelapan dan cahaya, antara kehidupan dan kehancuran.
Hutan itu bergetar hebat. Guntur menggulung udara, namun itu bukanlah petir biasa. Itu adalah suara dentuman dari sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang bergerak dengan kekuatan yang bisa menghancurkan gunung. Sebuah bayangan gelap menyapu, membawa badai yang menyertainya, menghantam tanah dengan kekuatan yang menggetarkan tanah di bawah kaki Elara. Ia melompat mundur, menghindari debu dan serpihan batu yang beterbangan. Saat matanya menatap sekeliling, ia melihat bahwa Gorgoyle, makhluk kegelapan itu belum musnah. Ia akhirnya menunjukkan wujud kekuatan sebenarnya.
Dengan sekejap, tubuh Elara bergerak. Tangannya terangkat tinggi, memanggil alam untuk memberikan kekuatan. "Vernitharez!" serunya dalam bisikan yang terdengar begitu dalam dan berat, seakan setiap kata itu ditarik dari akar bumi itu sendiri. Seiring dengan kata-katanya, tanah di bawah mereka kembali bergoncang, beresonansi dengan energi yang dipancarkan Elara. Akar-akar besar kembali mulai muncul dari tanah, seperti tangan-tangan raksasa yang mencari mangsa. Mereka merayap, bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, mengepung tempat di sekitar Gorgoyle.
Namun, Gorgoyle tidak membiarkan dirinya terjebak begitu saja. Ia memekik, suaranya penuh dengan kemarahan yang menderu. Dengan satu gerakan dahsyat, tubuhnya berubah menjadi kabut gelap yang berputar-putar, menghindari setiap jeratan yang dilontarkan oleh akar-akar itu. Kabut hitam itu melesat ke arah Elara dengan kecepatan yang tak terhitung.
Dengan gerakan cepat, Elara menghindar. Ia merasakan kekuatan angin yang menampar tubuhnya. Tak hanya itu—seketika, langit menjadi lebih gelap, diselimuti oleh bayangan hitam yang menyelubungi alam. Gorgoyle telah memanfaatkan kekuatan gelapnya untuk menutup cahaya yang tersisa. Namun, Elara tetap berdiri tegak, matanya kini bersinar dengan cahaya yang berbeda, sebuah cahaya yang dipenuhi dengan energi alam yang tiada habisnya.
"Thyronis!" seru Elara dengan suara yang penuh kekuatan. Bumi di sekeliling mereka mulai menggeliat, dan di tengah kegelapan, sebuah kilatan terang muncul—cahaya hijau yang bersinar terang seperti matahari terbit, mengoyak kegelapan yang menyelimuti langit. Dari tanah, muncul makhluk-makhluk alam yang terhubung dengan setiap elemen—dari api, air, udara, hingga tanah. Mereka berputar, membentuk sebuah kombinasi serangan yang kuat.
Gorgoyle meraung keras. Suaranya menggelegar memenuhi seluruh hutan. Ia lalu menyambar ke arah Elara lagi. Cakar-cakarnya yang tajam berusaha mencabik Elara. Namun, Elara tidak gentar. Dengan pergerakan yang penuh keanggunan dan presisi, ia melompat menghindar. Elara menghindari cakar-cakar yang hampir saja merobek tubuhnya. Tetapi ia tahu—hanya menghindar tidak akan cukup. Dengan kegigihan yang luar biasa, Elara mengangkat kedua tangannya ke udara, mengumpulkan kekuatan dari alam sebanyak mungkin.
"Cindrathis!" teriaknya. Kembali seluruh hutan dipenuhi dengan cahaya hijau yang menyilaukan, seperti kilat yang merobek langit. Akar-akar, batu-batu besar, dan bahkan air dari sungai-sungai terdekat mulai berputar dengan kecepatan yang menakutkan, membentuk pusaran energi yang begitu besar. Dalam sekejap, pusaran itu melesat, meluncur menuju Gorgoyle dengan kekuatan yang bisa menghancurkan segala hal yang menghalanginya.
Namun, Gorgoyle tidak mundur. Sebaliknya, ia menyerap energi gelapnya, tubuhnya bersinar dengan warna hitam yang memantulkan setiap cahaya yang ada. Ia membentuk bola energi gelap di tangannya yang besar, bola yang berputar cepat, memancarkan kegelapan yang menakutkan. Dengan satu gerakan, ia melemparkan bola energi itu ke arah Elara, meninggalkan jejak api hitam yang membakar segala yang dilaluinya.
Cahaya hijau dan energi gelap bertabrakan, menciptakan ledakan yang mengguncang dunia. Gelombang kejut yang dahsyat merobek tanah, menghancurkan pohon-pohon besar yang ada di sekitar mereka. Namun, di tengah kekacauan itu, Elara berdiri tegak. Matanya tertutup rapat, namun tangan kanannya terangkat ke atas, memanggil kekuatan alam untuk melindunginya. "Perisai alam!" teriaknya, dan seketika itu juga, sebuah dinding energi hijau yang kuat sekali lagi terbentuk di hadapannya, menghalangi bola energi hitam yang datang.
Namun, Gorgoyle tidak menyerah. Ia kembali mengumpulkan energi gelapnya, dan dengan teriakan keras, ia menghancurkan perisai itu dengan satu serangan kuat. Serangan itu membuat tubuh Elara terhuyung, dan ia hampir jatuh. Namun, dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, ia menarik napas dalam-dalam.
Tanah berguncang lebih hebat lagi, dan dalam kilatan cahaya yang luar biasa, Elara melepaskan serangan terakhirnya—sebuah aliran energi alam yang begitu murni, begitu kuat, sampai-sampai itu terasa seperti seluruh dunia mengalir melalui dirinya. Ledakan energi itu mengarah tepat ke tubuh Gorgoyle, menembus kegelapan yang menyelimutinya, dan menghancurkannya menjadi debu yang berterbangan di angkasa.
Dengan satu dorongan terakhir, Gorgoyle terjatuh ke tanah, tubuhnya hangus oleh kekuatan alam yang tak terhentikan. Elara terjatuh ke lutut, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya hampir kehilangan kekuatan. Namun, di atas tubuh Gorgoyle yang kini hancur, hutan itu kembali tenang, dan alam mulai menyembuhkan dirinya.
Elara menatap sekelilingnya dengan lelah, namun dengan rasa kemenangan yang mendalam. Ia tahu, bahwa kali ini, alam telah menang.
**
Elara meyakini bahwa segala penderitaan yang telah ia jalani akan berakhir—bahwa setelah pertarungan panjang yang melelahkan. Setelah sisa-sisa energi yang hampir habis, Gorgoyle telah dikalahkan.
Sejenak, hutan yang bagaikan saksi bisu dari pertempuran ini kembali terdiam. Tanpa suara angin yang biasa berhembus melalui dedaunan, hanya ada keheningan yang mencekam. Gorgoyle yang terkapar di tanah—seperti makhluk yang telah diserahkan kepada nasibnya—tiba-tiba bergerak. Pelan, namun pasti. Tubuh besar, tampak hangus penuh luka itu bergoyang, getaran kecil merayap sepanjang tanah, seperti pertanda bagi Elara bahwa sesuatu yang lebih menakutkan sedang terlahir dari dalam tubuh Gorgoyle.
**
Tubuh Grogoyle mengeluarkan suara yang terdengar seperti derak tulang yang patah. Elara merasakan ketegangan yang seolah menahan udara mengalir ke paru-parunya. Pandangan Elara tak lepas dari tubuh raksasa yang mulai bergerak. Ada rasa ngeri yang merayap di dalam dirinya. Sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada yang bisa ia bayangkan.
"Tidak… Tidak!" bisiknya pelan, meskipun hatinya sudah dipenuhi dengan ketakutan yang menyesakkan. Keringat dingin merayap di sepanjang punggungnya. Elara tiba-tiba terasa kaku, seperti terbungkus dalam kain hitam yang tidak bisa ia singkirkan.
Dari dalam tubuh Gorgoyle. Terpancar suatu energi yang gelap, begitu pekat dan menakutkan. Seperti arus yang tak terhentikan. Energi itu perlahan merayap keluar. Menjalar di udara, menggelapkan segala sesuatu di sekitarnya. Kabut hitam yang bergerak perlahan itu membungkus tubuh Gorgoyle. Di saat yang sama, seolah-olah alam pun menahan napas, tak berani bergerak. Elara mundur beberapa langkah. Matanya terbelalak. Pandangannya penuh rasa terkejut dan cemas. Setiap serat tubuhnya ingin berteriak, namun tak ada suara yang keluar. Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia masih hidup?
"Ini… tidak mungkin…" Elara bergumam, kata-katanya hilang dalam angin. Menelan semuanya. Ketakutannya semakin menjadi-jadi, dia tahu—dalam batinnya yang paling dalam—dia tidak punya pilihan lain. Gorgoyle, yang semula tampak tak berdaya, kini kembali bangkit dengan kekuatan yang mengerikan. Tubuhnya yang semula penuh luka kini justru tumbuh lebih besar, lebih mengerikan. Bulu-bulu kasar menyeruak di kulitnya yang terluka, menutupi tubuhnya dengan lapisan yang hampir seperti pelindung alami.
Namun, perubahan paling mencolok bukanlah pada bentuk tubuhnya yang semakin mengerikan, melainkan pada wajahnya. Gorgoyle yang dulu terlihat seperti makhluk batu itu kini berubah menjadi sosok yang lebih gelap, lebih menakutkan. Wajahnya mulai bergeser menjadi perpaduan antara manusia dan serigala. Rahangnya yang memanjang, maju penuh dengan taring tajam, seolah siap menghancurkan apa saja yang berada di dekatnya. Mata merahnya kini menyala terang, dan dari kedalaman itu memancar kekuatan yang membuat hati Elara tertikam oleh belati tak kasat mata. Setiap detik terasa pelan. Seperti detik terakhir dalam hidupnya yang abadi.
"Apa… apa yang terjadi padamu?" bisik Elara lagi, hampir tak bisa mengeluarkan suara karena ketegangan yang hampir membuat tenggorokannya tersumbat. Ia menatap makhluk itu, yang kini lebih seperti iblis daripada sekadar makhluk buas. Semua yang ada di dalam dirinya, yang telah membantunya bertahan sejauh ini, tiba-tiba seperti kehilangan pijakan. Dunia terasa memeluk Elara erat dalam kegelapan yang menakutkan.
Gorgoyle, atau apa pun yang kini ada di hadapannya, tertawa. Suaranya begitu dalam, bergema, seperti seruan yang keluar dari jurang neraka. "Kau masih belum mengerti, Elara?" kata-katanya seperti racun yang meresap ke dalam jiwa, mengikis sisa-sisa harapan.
"Aku adalah kekuatan yang lebih tua dari dunia ini. Tidak ada yang dapat mengalahkanku, terutama bukan manusia sepertimu." Dengan gerakan yang luar biasa cepat, Gorgoyle mengangkat kakinya yang besar dan menghentakkannya ke tanah dengan kekuatan yang luar biasa. Ledakan yang dihasilkan begitu dahsyat, tanah sekitarnya bergetar, pohon-pohon berderak, dan serpihan-serpihan tanah berukuran tinju terbang ke udara.
Elara hanya punya waktu beberapa detik untuk bereaksi. Sebelum dia sempat bergerak lebih jauh, Gorgoyle melompat ke arahnya. Cakarnya yang besar terangkat tinggi, siap menebas tubuh Elara dengan kekuatan yang bisa menghancurkan apa saja—untuk kesekian kalinya.
Elara berteriak, melompat mundur dengan kecepatan yang hampir tak disadari tubuhnya. Tetapi serangan itu datang terlalu cepat. Dalam sekejap, cakar besar itu sudah berada di depan wajahnya, menghantam dinding energi hijau yang berusaha ia bangun.
Dinding itu, meskipun kuat, hancur berkeping-keping hanya dalam satu hentakan. Elara terpelanting. Tubuhnya terasa seperti dilontarkan oleh kekuatan badai yang tak terkendali. Dengan satu hentakan, tubuhnya terhempas jauh, menabrak batu dan akar pohon, tubuhnya jatuh dengan keras ke tanah.
Rasa sakit menyelimuti tubuhnya. Elara merasakan tubuhnya terjepit di antara puing-puing yang berserakan. Di perutnya, luka besar menganga, darah mengalir deras, menetes ke tanah. Pundaknya terasa seperti patah, dan darah yang mengalir dari luka-luka itu membuat pandangannya kabur. Setiap gerakan terasa seperti usaha yang sia-sia. Tubuhnya seakan tidak lagi mendengarkan perintahnya.
Namun, yang lebih menyiksa bukan hanya luka fisik yang dideritanya, tetapi rasa sakit yang semakin dalam, seolah energi gelap yang memancar dari Gorgoyle turut merasuk ke dalam tubuhnya, memperburuk setiap luka yang ada. Rasanya seperti ada api yang menyala, dan membakar dari dalam tubuhnya, menyebar sempurna dari luka ke seluruh tubuhnya.
Elara merasa seolah dunia akan segera gelap dan kehilangan seluruh harapan. Elara tetap berusaha untuk tidak menyerah. Dia menggigit bibirnya, menahan teriakan kesakitan yang hampir saja keluar. Tidak ada waktu untuk lemah. Tidak ada waktu untuk menangis. "Aku harus melindungi mereka," pikirnya dengan tekad yang masih tersisa. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia berusaha untuk bangkit. Tubuhnya gemetar, namun matanya penuh dengan tekad. Rasa takut, rasa sakit, dan rasa putus asa berbaur menjadi satu.
Gorgoyle, yang masih berdiri tegak dengan penuh kebencian, menatap Elara dengan senyuman mengerikan. "Kau masih bertahan, ya?" katanya, suaranya menggetarkan. "Tapi ini adalah akhir bagimu, Elara. Tidak ada yang bisa mengalahkanku sekarang." Suaranya terdengar begitu yakin, begitu mengerikan. Elara tahu, dalam hatinya yang paling dalam, dia harus bertahan lebih lama. Jika dia jatuh sekarang, semuanya akan berakhir. Namun, rasa sakit mengerikan itu mengerogoti tubuhnya. Setiap detik terasa seperti masa depan yang hampir tidak bisa dijangkau, Elara tapi mengerti—dia harus terus berjuang. Untuk Ian. Untuk Gerude. Untuk dunia yang masih memiliki sedikit harapan.
Dengan napas yang berat dan tubuh yang terasa hancur, Elara merasakan sisa-sisa kekuatannya tersisa dalam ujung jarinya, seperti api kecil yang berjuang melawan gelapnya malam yang tak terhentikan. Setiap denyut jantungnya adalah perjuangan. Setiap gerakan adalah usaha terakhir untuk bertahan.
Kekuatan gelap yang mengalir dari Gorgoyle masih menggerogoti tubuhnya, menyesakkan paru-parunya. Membuat setiap tarikan napas terasa seperti siksaan. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya. Sejenak, dia menutup mata. Mencoba merasakan kekuatan alam yang pernah begitu dekat dengannya, yang kini terasa sangat jauh, tertutup oleh kabut hitam yang menguasai segalanya. Kekuatan Alam yang terus bersama dia selama ini.
Dengan satu gerakan yang gemetar, Elara mengangkat kedua tangannya ke udara, mencoba memanggil kekuatan alam yang selama ini menjadi teman terdekatnya. Namun, energi itu terasa seperti benda mati—tidak responsif, tertindas oleh kekuatan kegelapan yang berasal dari Gorgoyle. Matanya terbuka, dan meskipun tubuhnya nyaris runtuh, hatinya tidak gentar.
Dengan suara yang lebih lemah daripada sebelumnya, dia memanggil mantra itu sekali lagi, lebih keras, lebih penuh tekad, meskipun dunia seolah menertawakannya. "Vernitharez! Aelorae! Luminathis!" suaranya menggema di udara, namun kali ini bukan hanya suara yang keluar dari mulutnya—ini adalah seruan dari hatinya yang terluka, sebuah harapan yang terbungkus dalam kata-kata sihir. Kata-kata kuno yang mengiringi perjalanan dunia jauh sebelum keberadaan itu dilahirkan.
Kekuatan alam yang dipanggil Elara sedikit mulai merespons. Namun, Elara tahu bahwa itu tidak akan cukup. Gorgoyle menjadi lebih kuat dari sebelumnya, dan apa pun yang ada di dalam dirinya tampaknya tidak mampu mengimbanginya. Dia bisa merasakan kekuatan gelap mengalir deras seperti sungai yang tak terhentikan. Semakin lama semakin menguasai tanah, udara, dan bahkan tubuhnya.
Saat dia membuka matanya, ia bisa melihat Gorgoyle—sang bayangan ajal miliknya. Makhluk itu berdiri dengan penuh kebanggaan, matanya menyala merah, penuh dengan api yang tak terpadamkan. Tangannya terangkat, dan dengan satu gerakan cepat, dia mengarahkannya ke tubuh Elara.
**
Waktu terasa melambat, dan semua yang ada di dunia ini hanya Gorgoyle dan Elara. Kekuatan yang mengerikan itu tampak begitu dekat, seperti maut yang sudah berada di depan mata. Elara merasa tubuhnya terperangkap dalam cengkraman tangan tak kasat mata. Setiap serat tubuhnya menjerit untuk bertahan, untuk melawan. Namun, ia hanya bisa melihat bagaimana Gorgoyle menghancurkan segalanya di sekitarnya dengan sebuah gerakan tangan. Bola energi hita yang terbang keluar dari telapak tangan Gorgoyle mengeluarkan suara gemuruh yang mengerikan, menyusul, seperti suara jurang yang menganga, siap menelan semua yang ada.
Bola energi itu meluncur ke arahnya, ia tidak bisa lagi menghindar. Elara merasa tubuhnya seolah tak bisa digerakkan, terperangkap dalam ketakutan yang begitu mencekam. Bola energi itu semakin mendekat. Ia bisa merasakan panasnya yang hampir membakar kulitnya, seperti sebuah api yang akan menghanguskan segalanya. Rasa putus asa lalu menghampiri Elara—Lagi. Kali ini begitu kuat, namun dalam hatinya yang paling dalam, ada sebuah harapan kecil yang enggan padam—harapan untuk bertahan, untuk melindungi orang-orang yang masih dunia yang ia cintai.
Dengan napas yang tersengal-sengal, matanya terpejam kembali. Mengumpulkan sisa kekuatannya. Serpihan tekad yang enggan dia hanyutkan dalam arus ketidakberdayaan. Elara mencoba menenangkan diri di tengah kekacauan yang mengancam.
"Thyronis! Yelathar! Cindrathis!" suaranya bergetar, kata-kata itu hampir seperti cuitan tikus yang ketakutan, tak mampu sepenuhnya keluar. Ia merasakan kekuatan yang ia panggil mulai bergetar. Namun, lagi lagi—seolah tidak cukup kuat untuk menahan serangan yang datang begitu dahsyat. Tanah di bawahnya berguncang, dan dengan setiap detik yang berlalu, ia merasa putus asa semakin menelannya lebih dalam. Gorgoyle tidak memberi ampun, dan setiap detik yang ia habiskan dengan bertarung membuat kekuatan itu semakin tak terkendali.
**
Ketika rentetan bola energi—yang entah keberapa—itu semakin mendekat. Pikirannya kalut. Saat-saat yang terasa begitu lama dan penuh dengan tekanan. Elara menyadari bahwa tidak ada lagi pilihan selain untuk mengorbankan segalanya. Dengan tubuh yang hampir roboh. Satu tangannya menopang tubuhnya, dan satunya lagi terangkat ke udara. ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatan terakhir yang ia miliki. "Solusara, Latharun, Zaelar!" teriaknya dengan suara yang semakin lemah, namun tidak kehilangan tekad yang menyala di dalam hatinya.
Saat itu juga, langit diatas mereka menggelegar. Seperti petir yang membelah tanah. Disusul suara keras seperti guntur terdengar. Retakan besar muncul dari dalam tanah. Dengan kecepatan yang mengerikan, akar pohon raksasa mulai muncul, melilitkan dirinya di sekitar bola energi gelap yang diluncurkan Gorgoyle. Setiap akar yang muncul seakan berusaha menahan kekuatan itu, berjuang sekuat tenaga untuk menahan kehancuran yang semakin dekat.
Semakin lama, Elara merasakan betapa rapuhnya pertahanannya. Akar-akar yang begitu besar dan kuat itu retak, bagaikan kayu lapuk. Seolah kehabisan kekuatan. Sementara bola energi gelap itu terus maju dengan tak terhentikan. Elara tahu, saat itu, bahwa ia telah berada di ujung batasnya. Kekuatan alam yang ia panggil tidak akan cukup nmelawan kekuatan yang ada di hadapannya. Kini, rasa pasrah memenangkan pergulatan dalam batinnya. Setiap bagian tubuhnya terasa seperti terbakar, tulang-tulangnya nyaris remuk, dan napasnya semakin tercekat. Rasa sakit itu begitu tajam, setiap gerakan tubuhnya seperti menyayat-nyayat hatinya.
Dengan dorongan terakhir yang penuh dengan kekuatan putus asa, bola energi gelap itu akhirnya menembus pertahanannya. Ledakan besar mengguncang bumi, dan tubuh Elara terhempas ke tanah dengan kekuatan yang mematahkan tulang-tulangnya. Ia merasakan sensasi tubuhnya yang hancur, seolah ada ribuan pecahan yang merobek dirinya. Setiap helai darah yang mengalir keluar dari tubuhnya. Ia sedang terbenam dalam lautan penderitaan yang tak berkesudahan.
Tubuhnya terjatuh dengan keras, menghantam tanah yang basah dan keras. Darah segar semakin mengalir deras dari luka-lukanya yang semakin parah. Setiap detik yang berlalu terasa seperti satu abad, dan Elara bisa energi kehidupannya perlahan pudar. Di tengah kepedihan itu, suaranya bergetar lemah, "Ian... Gerude..." Kata-katanya hampir tak terdengar, namun ada keberanian yang terpancar di matanya, seolah ingin memberi mereka harapan, meski dirinya sendiri sudah hampir kehilangan harapan. "Lari... Selamatkan diri kalian..."
Saat itu, tawa Gorgoyle terdengar seperti suara gemuruh yang merobek kesunyian. Suaranya yang dalam dan mengerikan, penuh dengan kebencian, menggema di seluruh hutan. "Kalian terlalu lemah untuk menghadapi dunia yang kejam ini!" katanya dengan nada penuh penghinaan, matanya yang menyala merah menatap Ian dan Gerude dengan bengis. "Saat ini, tak ada yang bisa menyelamatkanmu lagi!" Kata-kata itu menghantam Gerude dan Ian. Seperti pedang tajam yang menghunus ke dalam hati mereka.
Elara dalam hatinya yang sekarat, ada satu hal yang ia tahu dengan pasti: ia telah memberikan segalanya. Bahkan jika dirinya harus runtuh, ia tahu bahwa tak ada pengorbanan yang sia-sia jika itu untuk melindungi orang yang ia cintai. Dengan sisa-sisa napasnya yang tersisa, Elara memejamkan matanya. Mempersiapkan dirinya menghadapi peristirahatan abadi, tanpa batas.
**
Elara tumbang. Keheningan mencekam seolah meresap ke dalam tanah. Dalam kegelapan malam yang pekat, medan pertempuran itu seperti sebuah neraka yang menyelimuti, menunggu momen terakhir yang menakutkan. Angin malam yang berbisik mengitari tubuh Gorgoyle, menciptakan kilatan cahaya ungu kehitaman pekat yang menari-nari. Seolah alam itu sendiri pun bergeming, takut akan kekuatan jahat Gorgoyle—yang terlahir kembali.
Gorgoyle menjadi semakin brutal. Serangan demi serangan yang ia lepaskan terasa seperti badai, membabibuta. Gelombang energi hitam yang tak terhentikan mengubah tanah menjadi debu, menghancurkan pepohonan dengan mudah, dan menyiksa setiap makhluk yang cukup malang untuk berada dalam jangkauannya. Setiap serangan Gorgoyle meninggalkan jejak kehancuran. Tubuhnya menjadi bayangan yang begitu mengerikan dalam keremangan malam, seolah ia adalah pelanggaran terbesar terhadap hukum alam. Kekuatan gelap yang ia bawa tidak hanya merusak dunia fisik, tetapi juga menyayat hati, menjerat jiwa setiap yang ada di sekitarnya dalam rasa takut yang mendalam.
Tubuh Elara yang kini terlentang di tanah yang retak, terhimpit rasa sakit yang luar biasa. Matanya yang dulu berkilau dengan harapan kini tertutup rapat, dan nafasnya terengah-engah, seolah ada dunia yang runtuh dalam dirinya. Keadaan itu bukan hanya luka fisik, tetapi seolah membawa dunia yang rapuh itu ke dalam kedalaman yang tak terjangkau. Perasaan pesimis menyelimutinya, dan tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain berharap—berharap agar ada yang datang untuk menyelamatkan dunia yang mulai terjatuh ke dalam kegelapan yang tak terelakkan.
Di sisi lain, Ian dan Gerude berdiri terdiam, mematung, dengan tubuh yang gemetar karena ketakutan yang datang begitu mendalam. Mereka bisa merasakan rasa kehilangan yang perlahan mencekam dada mereka. Rasa kehilangan yang terasa akrab dan dalam hati mereka. Teriakan putus asa bergaung dalam hai mereka. Napas Ian dan Gerude terdengar sangat berat, penuh dengan keputusasaan.
Gerude merasakan jantungnya berdegup sangat keras, seolah-olah jiwanya mulai terenggut oleh kenyataan bahwa Elara, teman—sahabat mereka, hampir tidak lagi memiliki harapan hidup. Ian, dengan matanya yang kini terlihat kosong, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Setiap darah yang menetes dari tubuh Elara seolah mengingatkan mereka akan kesalahan yang mungkin telah mereka buat, ketidakmampuan mereka.
Gorgoyle berdiri dengan penuh keangkuhan, senyum gelap yang terukir di wajahnya seperti tanda kemenangan yang mutlak. Matanya yang berwarna merah gelap itu menatap mereka dengan pandangan yang begitu tajam, seolah ia tengah menikmati penderitaan yang ia timbulkan. "Kalian... yang begitu percaya diri, begitu yakin bisa mengalahkan ku, kini hanya bisa menyaksikan kehancuran yang ku bawa," katanya dengan suara yang dalam, setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti kutukan yang akan menghancurkan segala hal yang mereka perjuangkan.
**
Namun, saat itu, dalam momen keputusasaan yang membungkam mereka, alam yang sunyi tiba-tiba bergetar. Perlahan sebuah kekuatan magis yang sangat besar mulai mengalir lembut di sekitar mereka. Angin yang tadinya berkibar tidak karuan kini berubah menjadi pusaran yang lebih liar. Berputar-putar di udara dengan kekuatan yang tak terduga. Sesuatu yang sangat tua dan kuat terbangun. Energi yang lebih besar dari apapun yang ada di dunia menyongsong, mendekat.
Gorgoyle menoleh ke arah pusaran angin yang semakin kencang. Ketenangan dan kesombongan yang ia dirikan kini perlahan pudar, disusul ketegangan merayap dalam dirinya. Rasanya, segala yang ia percayai dalam hidupnya—kekuatan gelap yang ia bawa—tiba-tiba terasa rapuh, seolah ada sesuatu yang lebih besar darinya.
Dari dalam hutan yang lebat, sebuah suara lembut namun sangat agung terdengar. Itu bukan sekadar suara, melainkan nyanyian yang sangat tua. Penuh dengan kebijaksanaan yang melebihi apapun yang ada di dunia ini. "Keseimbangan yang kau rusak... akan dipulihkan," suara itu berbisik, merasuk dalam jiwa mereka semua, tanpa terkecuali Gorgoyle yang sedang berdiri tegap. Ia memalingkan kepalanya kesana kemari. Berusaha mencari sumber suara itu.
Setiap kata yang terdengar terasa seperti gelombang energi yang berpendar ke seluruh penjuru dunia, membawa kedamaian dan juga peringatan. "Dan harga yang harus kau bayar, Gorgoyle, akan lebih tinggi dari yang dapat kau bayangkan."
Mata Gorgoyle membelalak. Ekspresinya berubah dari kemenangan menjadi kewaspadaan yang mendalam. Ia merasa seolah ada sesuatu yang sangat besar sedang mendekat. Sesuatu yang akan menghancurkan segala kekuatan gelap yang ia miliki tanpa sisa.
Tpat pada saat itu, muncul sosok yang terlihat sangat agung—seorang wanita yang begitu anggun, begitu kuat, dengan aura yang tak bisa digambarkan oleh kata-kata. Langkahnya begitu ringan namun penuh dengan kewibawaan, seolah setiap gerakannya adalah penaklukan terhadap dunia itu sendiri. Wanita itu berjalan perlahan, namun pasti, menuju mereka—Ian, Gerude, dan Elara yang kini terkapar.
**
Thalindra, penyihir agung yang dikenal oleh Elara dan yang kini menjadi satu-satunya harapan yang tersisa telah muncul dengan kemegahan yang tak terkatakan. Ia mengenakan jubah panjang berwarna biru kehijauan yang berkilau seperti permukaan laut yang tenang. Setiap hembusan angin yang menyentuh jubahnya menciptakan kilatan cahaya yang sangat indah. Mengundang kagum bagi siapapun yang melihat. Rambutnya, panjang dan terurai, berwarna perak kehijauan yang berkilau lembut, seolah mengandung kekuatan magis yang tak bisa terhitung. Matanya yang bercahaya emas. Memancarkan ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Menembus segala kebohongan dunia ini.
Thalindra melangkahkan kakinya dengan anggun. Aura magis yang mengelilinginya semakin memancar, menyatu dengan alam yang terganggu. "Gorgoyle, kekuatanmu tidak akan selamanya bertahan," suaranya begitu lembut namun penuh kekuatan. "Keseimbangan dunia harus dipulihkan, dan kau adalah penghalang yang harus dihancurkan."
Gorgoyle tertawa. namun kali ini tawanya tidak terdengar penuh percaya diri. "Thalindra... Penyihir tua yang sudah dilupakan. Apa yang bisa kau lakukan terhadapku? Aku telah menguasai kekuatan yang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun!" Dengan kedua tangannya, ia mulai mengumpulkan energi hitam yang begitu besar, melepaskan serangan gelap yang menakutkan, menyebarkan kehancuran yang lebih luas.
Namun Thalindra tetap tenang. Ia tidak bergerak, hanya menatap Gorgoyle dengan pandangan penuh kebijaksanaan dan kedamaian. Dalam diamnya, kekuatan alam mulai mengalir ke dalam dirinya, seperti sungai yang tidak berhenti mengalir
Badai magis yang terbentuk di sekitar Thalindra semakin kuat. Alam semesta merespons perintahnya. Langit yang gelap berubah menjadi semburat keemasan, cahaya yang penuh dengan kekuatan datang dari kedalaman dunia yang sangat tua—tempat di mana seluruh kekuatan magis dimulai, tempat di mana langit pertama kali terbelah dan bumi terbentuk.
Di antara serpihan-serpihan langit yang menggelegar, Thalindra berdiri seperti dewa yang turun dari angkasa, membuat waktu berhenti, terhenti dalam ketenangan yang luar biasa. Tanpa bergerak, ia mengangkat tongkat kayunya, yang terbuat dari pohon kehidupan yang tumbuh di jantung alam, dan dengan kekuatan yang berasal dari ribuan tahun pengetahuan, ia memulai mantranya.
Suaranya yang lembut menggema. Setiap kata yang diucapkan mengandung kekuatan yang tidak tertakar. "Aelithar Verunai," katanya. Dengan mantra pertama itu, angin yang berhembus di sekitar mereka menjadi berputar lebih dahsyat, menciptakan pusaran energi yang berkilauan seperti bintang-bintang yang saling bertabrakan di langit. Setiap sentuhan angin yang mengenai tubuh mereka terasa seperti tepukan lembut dari dunia itu sendiri, menyatu dengan aliran darah mereka, memperkuat ikatan yang lebih kuat dari apapun yang pernah ada. "Halistrael Daerun..." Thalindra melanjutkan, dan larik mantra berikutnya. Meluncur ke udara dengan kekuatan yang lebih besar, mengguncang pohon-pohon, membuat tanah di bawahnya bergetar, seolah akan runtuh.
Keheningan malam yang sebelumnya tegang itu berubah menjadi okresta kekuatan dewa. Sebuah ruang kosong yang hanya dipenuhi oleh mantra yang mengalir dengan kuat, memecah kesunyian seperti dentuman guntur yang tak terhindarkan. Mantra yang keluar dari bibir Thalindra menciptakan lapisan-lapisan energi yang saling menopang. Semakin lama semakin kuat dan semakin memancar.
Ketika mantra itu terucap, api yang tak pernah padam di cakrawala dunia kini muncul. Pendar keemasannya menyinari alam disekeliling merek. Membanjiri segalanya dengan cahaya yang memurnikan. Angin membawa suara-suara dari zaman kuno, dari setiap makhluk yang telah hidup sejak pertama kali dunia ini tercipta, memberi mereka kekuatan untuk melawan segala bentuk kejahatan yang ada.
Gorgoyle, yang sebelumnya percaya diri mengarahkan serangannya ke Thalindra. Gorgoyle merasa untuk pertama kali dalam hidupnya sebuah ketakutan yang begitu mendalam. Tubuhnya yang besar dan mengerikan mulai gemetar, dan ia berusaha keras untuk mengendalikan energi gelap yang telah ia kumpulkan dalam diamnya. "Tidak!" teriaknya, suaranya penuh dengan kekesalan dan kepanikan. "Kau pikir mantra-mantra itu bisa mengalahkan kekuatan yang aku miliki? Aku adalah Gorgoyle sang penjaga malam, yang tak bisa dihentikan oleh apapun!"
Namun Thalindra tetap tenang. Suaranya sama sekali tidak goyah. Aura magisnya semakin kuat. Semakin berpendar seiring dengan pengucapan mantra yang mengalir dari dalam dirinya. "Kekuatanmu yang kau anggap tak terkalahkan hanyalah bayangan dari kegelapan yang telah menipumu, Gorgoyle," katanya dengan lembut, namun penuh dengan wibawa yang tak bisa disangkal. "Aku adalah penjaga keseimbangan dunia ini, dan dunia ini tidak akan membiarkanmu menghancurkannya."
Dengan mantra terakhir yang keluar dari bibirnya, Thalindra mengangkat tongkat kayunya ke atas, dan dunia sekitar mereka seolah berhenti berputar. Dari ujung tongkatnya, sebuah cahaya keemasan yang begitu terang muncul. Meliuk-liuk seperti ular yang memanjat langit. Bergerak dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Cahaya itu menembus awan hitam yang mengelilingi mereka. Menembus tubuh Gorgoyle dengan kekuatan yang tidak bisa dia hindari. Seperti matahari yang terbit dan menyinari dunia, cahaya itu menembus kegelapan yang ada di dalam tubuh Gorgoyle, menyentuh setiap sudut jiwanya yang terselubung dalam kekuatan hitam. Segala yang ada dalam dirinya—energi jahat yang telah ia kumpulkan—mulai bergetar, terkoyak, dan terasa seperti terpecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang tak bisa ia kendalikan.
Gorgoyle berteriak kesakitan, tubuhnya terhuyung maju mundur. Berusaha menahan serangan dari dalam. Setiap bagian tubuhnya yang terpapar cahaya itu mulai terbakar, bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam esensi dirinya yang terbuat dari kegelapan. Gorgoyle melawan. Namun, semakin keras dia berjuang, semakin kuat kekuatan Thalindra menyusup ke dalam dirinya. Cahaya itu menggerogoti Gorgoyle semakin dalam. Tubuh Gorgoyle menggigil. Setiap bagian dari makhluk itu terasa seperti terurai satu per satu, serpihan energi gelapnya hancur dan menghilang dalam ledakan cahaya yang sangat terang. Menyisakan cangkang kosong yang tergeletak tidak bergerak diatas tanah.
"Ini akhir dari perjalananmu, Gorgoyle," Thalindra mengucapkan kata-kata terakhirnya dengan penuh ketenangan. Dengan gerakan yang anggun, ia menurunkan tongkat kayunya, menyelesaikan mantra yang telah dipancarkan. Ketika itu terjadi, seluruh dunia bergetar, dan tanah di bawah mereka bergetar keras, mengeluarkan suara bergemuruh yang membuat setiap makhluk yang menyaksikan peristiwa itu merasa seperti ada energi yang begitu besar menyelimuti mereka. Gorgoyle, makhluk yang hampir tak tertandingi, akhirnya terjatuh. Tubuhnya, yang sebelumnya begitu perkasa, kini runtuh dalam kedalaman bumi dengan suara ledakan yang mengguncang dunia itu sendiri.
Namun, meskipun Gorgoyle telah dikalahkan, kekuatan kegelapan masih bisa terasa oleh Thalindra. Ada ketegangan yang tertinggal di udar. Sebuah perasaan kosong yang melanda dunia. Aura jahat dan gelap.
Thalindra lalu mengangkat tangannya, dan dengan lembut, dia mengubah energi yang mengalir dari kemenangan itu menjadi kedamaian yang meresap ke seluruh dunia. Seolah memutar kembali waktu. Memukul mundur detik. Menghapus kemalangan yang tercipta disekitar mereka.
Cahaya yang bersinar di langit kini mulai memudar perlahan, meninggalkan dunia dalam kedamaian yang baru saja diciptakan, sementara langit yang gelap mulai kembali cerah dengan cahaya bintang yang berkilau. Keheningan yang mendalam terasa seperti bernafas, dunia yang semula terancam oleh kegelapan kini kembali ke jalurnya.
Thalindra berdiri diam, matanya yang bercahaya emas memandang ke arah mereka yang masih terkejut, dan dengan gerakan lembut, dia mendekat ke Elara yang terjatuh di tanah. "Kegelapan itu telah berlalu," kata Thalindra dengan suara yang penuh kelembutan, membebaskan dunia dari bayangan yang menjeratnya. "Kini, kamu bisa beristirahat."
**
Suasana hutan yang semula dipenuhi oleh gemuruh kekuatan alam kini berubah sunyi. Udara, yang beberapa saat lalu terasa bergetar dengan energi pertempuran, perlahan kembali tenang, meskipun ketegangan tetap menyelimuti setiap pohon dan batu. Cahaya matahari yang temaram seolah kehilangan kehangatannya, meninggalkan bayangan panjang yang mencekam. Thalindra berdiri di tengah-tengah itu semua, diam namun penuh kewaspadaan, matanya tertuju pada tubuh Gorgoyle yang tergeletak tak bergerak di tanah.
Thalindra menyadari, sesuatu yang tidak biasa muncul. Tubuh Gorgoyle yang tadinya diam kini mulai memudar. Perlahan-lahan, seperti kabut yang menguap, tubuh itu terserap ke udara, larut dalam kegelapan yang tak kasatmata. Tidak ada jejak, tidak ada suara. Hanya kehampaan yang perlahan meluas, menelan sisa-sisa keberadaan Gorgoyle. Ian, Gerude memandang kejadian itu, terkejut. Mata mereka lebar, diliputi kebingungan yang bercampur rasa takut.
"Apa yang terjadi?" bisik Ian, suaranya gemetar. Pertanyaan itu lebih seperti bicara pada dirinya sendiri, seolah ia ragu pada kenyataan di depannya.
Thalindra tetap diam sejenak, matanya menatap tajam ke arah tubuh Gorgoyle yang kini lenyap. Ia lalu menghela napas panjang. Suaranya penuh ketegangan ketika berkata, "Ini bukan akhir. Gorgoyle bukan makhluk biasa. Kekuatan yang menguasainya jauh lebih gelap daripada yang kita duga."
Kata-katanya baru saja menggantung di udara ketika suara menggelegar tiba-tiba memecah keheningan. Bukan sekadar suara — itu adalah bisikan licik, penuh kebencian, yang merayap melalui kegelapan. Suara itu menggema dari segala arah, seperti berasal dari kedalaman yang tak terjangkau waktu dan ruang.
"Sungguh... kalian pikir kalian bisa menghentikan apa yang telah kami mulai?" Suara itu berdesis, penuh penghinaan. "Gorgoyle hanyalah awal. Dunia ini... semuanya akan jatuh. Tidak ada yang bisa melawan kegelapan yang telah bangkit."
Kata-kata itu berputar di udara, membawa ancaman yang menyusup ke dalam relung mereka. Suara itu kembali berbicara, kali ini lebih tajam. Suara itu memanggil nama Thalindra dengan nada mencemooh. "Thalindra," katanya, "kamu dan para pengikutmu yang lemah akan segera tahu bahwa tidak ada tempat bagi kalian di dunia ini. Kegelapan... akan menelan segalanya. Dan tidak ada yang dapat kau lakukan untuk menghentikannya."
Tawa jahat menyusul ancaman itu. Menggema seperti gelombang yang memukul setiap sudut hutan. Rasanya seperti dunia ini hanyalah permainan kecil bagi kekuatan di balik suara itu. "Kegelapan akan kembali, Thalindra. Ini baru permulaan."
Suara itu kemudian lenyap. Meninggalkan keheningan yang lebih menyesakkan. Hutan yang tadinya penuh dengan desau angin dan suara binatang kini terasa mati, seperti menahan untuk bersuara. Ian, Gerude kembali saling berpandangan. Wajah mereka mencerminkan ketakutan dan kebingungan yang sama. Tidak ada yang berani bicara, seolah kata-kata mereka bisa memanggil kembali suara menyeramkan itu.
Thalindra lalu memecah keheningan. Dia menundukkan kepalanya, seakan merenungkan makna dari apa yang baru saja terjadi. Ketika dia berbicara, suaranya pelan namun sarat dengan kesedihan. "Itu bukan suara makhluk biasa. Itu kekuatan yang lebih besar, lebih tua dari yang bisa kita pahami. Gorgoyle... hanya awal. Sesuatu yang jauh lebih gelap telah terbangun, dan kita... kita tidak siap."
Elara yang kini kembali sadar membuka matanya. Ia menatap Thalindra, mengharapkan jawaban yang lebih pasti. Namun, Thalindra hanya menggelengkan kepala dengan perlahan. "Kalian tidak mengerti," katanya. "Kegelapan yang datang ini tidak bisa dihentikan dengan kekuatan biasa. Kita harus mencari tahu apa atau siapa yang ada di balik semua ini. Kita harus menemukan cara untuk melawannya sebelum semuanya terlambat."
Namun, kata-kata Thalindra tampak lebih sebagai peringatan daripada dorongan semangat. Ian merasakan berat yang merongrong hatinya. Semua yang dia kenal, semua yang dia percayai, tampak runtuh di depannya. Ayah dan ibunya, bahkan Gorgoyle, saudaranya sendiri, semuanya tampaknya terperangkap dalam permainan yang jauh lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan. Di hadapannya kini adalah ancaman kegelapan yang tampaknya tak terhindarkan.
"Jadi ini belum berakhir," gumam Ian, suaranya serak, dipenuhi kesedihan yang tidak mampu dia sembunyikan. "Mereka... mereka akan kembali, bukan?"
Thalindra menatap Ian, matanya penuh belas kasih tetapi juga keteguhan yang tak tergoyahkan. "Ya, Ian," jawabnya pelan namun tegas. "Ini baru saja dimulai."
**
Di tengah kesunyian hutan yang mencekam, angin berdesir melalui pepohonan tinggi, membawa aroma tanah basah dan daun gugur. Di sanalah Elara terbaring dengan tubuh penuh luka, napasnya terengah-engah. Pertarungan dengan Gorgoyle telah meninggalkan bekas yang sangat dalam, dan kekuatan gelap yang dipancarkan makhluk itu masih terasa di udara. Ia menggigit bibirnya menahan rasa sakit, tubuhnya bergetar, tetapi matanya yang cerah tak lepas menatap Thalindra yang mendekat.
Thalindra berdiri di depan Elara, wajahnya yang penuh ketenangan menyiratkan keyakinan yang luar biasa. Dengan gerakan lembut, ia mengangkat tangannya, dan dengan kata-kata yang hampir tidak terdengar, sebuah mantra kuno mengalir dari bibirnya. Cahaya biru terang mulai berpendar dari telapak tangannya, meresap ke dalam luka-luka Elara, perlahan-lahan meredakan rasa sakit yang mencekam tubuhnya.
"Biarkan energi alam mengalir, membalut luka, dan mengembalikanmu pada kedamaian," suara Thalindra memancar dengan kekuatan yang berasal dari kedalaman ilmu sihir yang telah teruji oleh waktu.
Elara merasakan perubahan, tubuhnya yang semula kaku dan penuh rasa sakit mulai sedikit demi sedikit terlepas dari cengkeraman penderitaan. Cahaya itu menyembuhkan luka-luka yang terbuka, mengurangi pembengkakan, dan menyatukan kembali daging yang tercabik. Dalam sekejap mata, tubuh Elara mulai pulih, meskipun kelelahan masih terasa di sekujur tubuhnya.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, Thalindra menarik tangannya, mengakhiri penyembuhan dengan satu tarikan napas panjang. Elara mengangkat pandangannya, berterima kasih dengan tatapan penuh rasa kagum. "Aku tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih," katanya, suaranya serak.
Thalindra tersenyum lembut. "Kekuatan alam adalah pemberian yang tak terhingga. Jangan khawatirkan itu, Elara."
**
Setelah berjam-jam berjalan menembus hutan lebat yang penuh dengan keheningan, langkah mereka akhirnya menghantar ke sebuah lembah yang tersembunyi di balik kabut tipis. Alam di sekitar mereka berubah secara perlahan, seolah bertransformasi dari dunia manusia menjadi dimensi yang penuh dengan keajaiban dan keindahan yang tak terjangkau oleh imajinasi. Setiap langkah yang mereka ambil semakin menuntun mereka ke sebuah tempat yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Thalindra memimpin mereka, berjalan dengan langkah yang tenang namun pasti, seolah sangat mengenal setiap sudut alam yang mengelilinginya. Ian dan Gerude, meskipun terbungkus kelelahan dan rasa takjub, tidak bisa menahan rasa kagum mereka terhadap keindahan yang ada di sekitar mereka. Setiap pohon yang mereka lewati tampak seperti hidup, daunnya bergetar seakan merespons kedatangan mereka. Udara terasa lebih segar, lebih hidup, dan setiap hembusan angin membawa aroma yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya—aroma manis dari bunga-bunga yang hanya tumbuh di tempat yang jauh dari jangan makhluk tak abadi.
Saat mereka semakin mendekati pusat lembah, sesuatu yang lebih megah mulai tampak. Di balik kabut yang tipis, berdiri sebuah rumah yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata biasa. Bangunan itu tampak lebih seperti karya seni alam yang sangat dinamis, seolah dibuat dari harmoni antara batu, pohon, dan elemen-elemen magis lainnya yang bersatu menjadi sebuah struktur yang hidup. Dinding rumah terbuat dari batu-batu besar yang berkilau, dihiasi dengan ukiran-ukiran yang seolah mengisahkan sejarah dunia kuno. Batu-batu tersebut memancarkan cahaya lembut, mengeluarkan kilauan yang menari-nari di bawah cahaya bulan yang perlahan muncul di langit.
Atap rumah itu tampak melengkung indah, terbuat dari daun dan ranting yang saling terjalin erat, membentuk sebuah pola yang tampak seolah-olah alam itu sendiri telah menenunnya dengan tangan halusnya. Rumah ini tidak terpisah dari alam di sekitarnya; sebaliknya, rumah ini tampak tumbuh dari dalam tanah itu sendiri, seperti pohon raksasa yang telah menjadikan lembah ini sebagai rumahnya selama berabad-abad. Setiap jendela dan pintu terbuat dari kaca yang sehalus embun pagi, tetapi berkilau seperti kristal, memantulkan cahaya dan warna alam yang menakjubkan di luar.
"Sambutlah rumahku," suara Thalindra bergema lembut namun penuh wibawa, seperti sebuah undangan yang tak bisa ditolak. "Ini bukan sekadar tempat berlindung, tetapi sebuah ruang di mana semua yang hidup berhubungan—dimana energi alam menyatu, mengalir tanpa henti."
Mereka melangkah lebih dekat ke pintu utama, yang terbuat dari kayu berwarna keemasan, namun tampak seolah bernafas bersama alam. Saat Thalindra mengangkat tangan dan menyentuh pintu dengan lembut, pintu itu terbuka tanpa suara, seperti merespons kedatangan mereka. Tak ada deritan atau gemerisik—hanya kedamaian dan rasa saling mengenal. Ruangan di dalam rumah itu tidak seperti rumah biasa. Begitu mereka memasuki rumah, mereka disambut dengan kehangatan yang menyelimuti tubuh, meskipun cuaca di luar terasa dingin dan berkabut. Suasana di dalamnya sangat kontras.
Langit-langit rumah ini tinggi, menjulang hingga tak terlihat ujungnya, dihiasi dengan lukisan langit malam yang seolah hidup, penuh dengan bintang-bintang yang bergerak perlahan. Cahaya dari kristal-kristal yang menggantung di udara memberikan penerangan lembut, seperti sinar bulan yang dipantulkan oleh air. Di dinding, ada ukiran yang berkilauan, menggambarkan pemandangan dunia lain yang penuh dengan makhluk-makhluk fantastis—binatang mitologi, makhluk elemental, dan entitas-entitas alam yang tampaknya mengingatkan mereka akan kekuatan kuno yang bergerak dibalik dunia yang Ian dan Gerude tahu.
Ruangan utama rumah itu terbagi menjadi beberapa bagian, setiap bagiannya didekorasi dengan tanaman-tanaman ajaib yang tumbuh tanpa ada yang mengganggu, dan bahkan beberapa di antaranya tampak memancarkan cahaya mereka sendiri, menambah atmosfer yang semakin luar biasa. Udara di sini terasa lebih hidup, seperti ada sesuatu yang mengalir di dalamnya, sesuatu yang lebih besar dari sekadar kehidupan yang mereka kenal. Di tengah ruangan besar, terdapat sebuah meja batu besar yang tampaknya terbuat dari inti bumi itu sendiri, di sekitarnya terdapat kursi-kursi dari kayu raksasa yang nyaman, dengan bantal-bantal dari bahan yang tampak terbuat dari serat alam yang luar biasa lembut.
Di satu sisi ruangan, ada sebuah perapian besar yang tidak hanya menghangatkan ruangan tetapi juga mengeluarkan cahaya yang berwarna-warni, seolah api itu tidak hanya membakar kayu, tetapi juga menyebarkan energi sihir ke seluruh ruangan. Di sekitar perapian, terdapat buku-buku kuno yang tersusun rapi, siap dibuka kapan saja untuk mengungkapkan lebih banyak misteri yang mengagetkan.
"Sini, duduklah," Thalindra berkata dengan suara lembut. Ia menunjuk ke arah kursi-kursi di dekat perapian, dan mereka pun duduk. Kehangatan dan kenyamanan yang menyelimuti tubuh mereka. Elara, yang masih merasakan efek dari pertarungan yang baru saja terjadi, menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan mata yang terbuka lebar, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
"Tempat ini... lebih dari sekadar tempat tinggal," kata Gerude dengan suara penuh kekaguman. "Ini seperti dunia lain, dunia yang seolah tidak terikat oleh hukum alam yang kita kenal."
Thalindra tersenyum, matanya yang penuh pengetahuan memandang mereka dengan pandangan penuh makna. "Di sinilah segala rahasia alam terjaga, di sinilah kekuatan-kekuatan kuno disatukan, dan di sinilah kalian akan memahami lebih dalam tentang takdir kalian—takdir yang lebih besar daripada yang kalian bayangkan."
Gerude dan Ian saling berpandangan, tak bisa menahan rasa kagum dan ketakjuban mereka terhadap tempat ini. Semua yang mereka lihat, semua yang mereka rasakan di tempat ini, mengungkapkan sebuah kebenaran yang lebih besar—bahwa mereka berada di ambang sebuah perjalanan yang jauh lebih epik daripada yang pernah mereka bayangkan. Thalindra, dengan segala pengetahuannya, adalah kunci untuk membuka rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam diri mereka.
Gerude menggigit bibirnya, menahan kecemasan yang mendadak menyeruak—meluap di dalam dirinya. Matanya terfokus pada Thalindra, wanita yang penuh misteri ini, yang telah mengungkapkan lebih banyak daripada yang mereka harapkan. Suasana dalam ruang tersebut terasa berat, seakan waktu sendiri menahan napas.
"Jadi, kamu benar-benar percaya ada harapan untuk Gorgoyle?" suara Gerude terbelah, meskipun dia berusaha mengendalikan setiap kata. "Dia—dia sudah terjerumus jauh ke dalam kegelapan itu. Bagaimana kita bisa menariknya keluar?"
Thalindra menatap Gerude dengan tatapan yang sulit dibaca. Matanya yang cerah tampak memancarkan kebijaksanaan yang telah terbentuk sepanjang hidupnya, dan meskipun senyumnya kecil, ada kepedihan dalam sorot matanya. "Ada harapan, selama kita tidak menyerah. Tetapi, harapan itu bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Harapan itu—kalian harus mencapainya. Kalian akan menapaki jalan yang sangat berbahaya, dengan banyak rintangan yang tidak bisa kalian tebak."
Ian menggertakkan giginya, matanya terbuka lebar karena kebingungannya. "Aku masih tidak mengerti," katanya dengan suara yang dalam dan penuh pencarian. "Apa yang membuat Gorgoyle seperti itu? Apakah Gorgoyle berbeda dari kami? Kami—kami adalah saudara, kenapa dia bisa terjatuh ke dalam kegelapan itu sedangkan kami tidak?"
Thalindra menarik napas panjang, seperti menimbang-nimbang apakah ini saat yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam. Keheningan pun menyelimuti mereka, membuat setiap detik terasa seperti berabad-abad. Di luar, angin malam berdesir dengan lembut, seakan meresapi setiap kata yang akan terucap. Akhirnya, Thalindra berbicara, suaranya serak dan berat, seperti menggali masa lalu yang penuh dengan rahasia gelap.
"Kalian tidak sepenuhnya memahami kekuatan yang mengalir dalam darah kalian," Thalindra memulai perlahan, matanya kini terfokus pada api yang masih berkobar di tungku. "Darah kalian bukan darah biasa. Darah kalian adalah darah yang mewarisi sesuatu yang lebih tua, lebih dari keberadaan. Sesuatu yang jauh lebih kuat daripada apa yang kalian bayangkan."
Gerude dan Ian saling bertukar pandang, kebingungan masih jelas terpantul di wajah mereka. "Kami... tidak tahu apa-apa tentang itu," kata Ian, suaranya penuh rasa bingung. "Apa maksudmu dengan darah yang lebih kuat? Kami hanya... manusia. Orang tua kami bukan penyihir ataupun pahlawan."
Thalindra menggeleng perlahan, matanya penuh kepedihan yang mendalam. "Kalian mungkin tidak tahu, tetapi darah kalian telah lama dilihat oleh kekuatan kuno yang sangat berbahaya. Ada kekuatan besar yang terjaga dalam garis keturunan kalian—sesuatu yang tidak kalian pilih, sesuatu yang tak bisa kalian hindari. Itu adalah bagian dari takdir kalian."
Suasana di sekitar mereka terasa semakin membinngungkan, seolah-olah hidup mereka di putar balikkan. Gerude merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disembunyikan, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sebuah rahasia keluarga.
"Takdir?" suara Gerude pecah, seolah mencoba untuk menangkap makna dari kata-kata Thalindra. "Jadi, kami... kami tidak bisa memilih? Semua ini sudah ditentukan?"
Thalindra menatap Gerude dengan pandangan yang penuh pengertian, lalu mengangguk perlahan. "Tidak ada yang sepenuhnya bisa memilih jalannya sendiri, meskipun kalian merasa demikian. Takdir kalian sudah tercatat sejak kalian lahir, bahkan sebelum itu. Kalian adalah penerus dari garis keturunan yang sangat kuat—dan sangat berbahaya."
Ian menunduk, matanya mulai dipenuhi dengan gelombang pertanyaan yang tak terjawab. "Tapi kenapa kami tidak tahu tentang semua ini? Kenapa Orang tua kami tidak memberitahukan kami?"
Thalindra memejamkan matanya sejenak, mengumpulkan kata-kata yang akan menjelaskan hal yang tak bisa dijelaskan dengan mudah. "Tidak ada yang bisa mempersiapkan kalian untuk mengetahui ini. Orang tua kalian, mereka melindungi kalian dari kebenaran ini. Mereka tahu bahwa jika kalian tahu terlalu banyak, kalian mungkin tidak bisa menanggungnya. Kalian lahir untuk menjaga keseimbangan antara terang dan gelap. Kalian adalah kunci."
Elara, yang sebelumnya hanya mendengarkan dengan cermat, kini tak bisa menahan rasa ingin tahunya lagi. "Tapi apa maksudmu dengan kegelapan itu?" tanyanya, suara penuh ketegasan, tetapi juga ada keraguan. "Gorgoyle—kenapa dia terjatuh begitu dalam ke dalam kegelapan itu? Apa yang membuatnya begitu rentan?"
Thalindra menatap mereka semua, mengamati setiap wajah dengan seksama, sebelum akhirnya menghela napas panjang, seolah akan mengungkapkan rahasia yang sangat berat. "Gorgoyle... memiliki sisi lain yang sangat gelap dalam dirinya," jawabnya dengan penuh hati-hati. "Ketika kalian dilahirkan, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan alam yang mengalir dalam darah kalian. Kalian—Ian dan Gerude, mewarisi kekuatan yang sangat kuat dari garis keturunan Gaia dan Gram—kekuatan alam yang murni, yang sulit dipengaruhi oleh kegelapan. Tetapi, Gorgoyle... dia memiliki darah yang lebih gelap dalam dirinya. Itu adalah warisan dari sisi lain keluarga kalian juga—sesuatu yang lebih tua, lebih gelap. Darah itu tidak bisa dikendalikan begitu saja."
Gerude menatap Thalindra dengan mata penuh kebingungannya, seolah mencoba memahami lebih dalam. "Jadi... dia lebih mudah terjerumus dalam kegelapan karena darahnya?" katanya, meskipun jelas sekali ia berusaha keras untuk mencerna penjelasan yang penuh teka-teki ini.
Thalindra mengangguk pelan. "Benar. Namun, itu bukan hanya masalah darah. Gorgoyle memiliki sisi itu dalam dirinya, tetapi kekuatan yang bangkit saat kerusuhan itu—itu yang memicu segalanya. Ketika kegelapan mulai meresap ke dalam dunia ini, Gorgoyle menjadi lebih mudah terpengaruh. Kekuatan itu merasuki hatinya, dan ia tidak dapat menahan godaan itu."
Ian menggigit bibirnya, merasa seakan ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan sepenuhnya. "Jadi, dia tidak bisa melawan kegelapan itu sendiri? Apa yang bisa kita lakukan? Apa yang bisa kami lakukan untuk membantunya?"
Thalindra menatap mereka dengan tatapan yang penuh keprihatinan. "Gorgoyle berjuang keras, Ian. Tetapi pertempuran itu terlalu berat bagi dirinya. Ada kegelapan yang lebih kuat dalam dirinya—kegelapan yang tak bisa dilawan dengan mudah. Dan itu... itu bukan hanya kegelapan luar yang kalian hadapi. Itu adalah kegelapan dalam dirinya sendiri. Dan hanya dia yang bisa menghadapinya. Tapi, kalian bisa membantu. Perjalanan ini... itu akan membawa kalian ke tempat yang lebih gelap, ke dalam diri kalian sendiri."
Gerude menelan ludahnya, perasaan berat memenuhi dadanya. "Kami harus siap menghadapi kegelapan dalam diri kami?" tanyanya, suaranya bergetar, penuh ketidakpastian. "Bagaimana jika kami juga terjerumus ke dalamnya?"
Thalindra memandang mereka semua, dan dalam tatapannya ada kedalaman yang tak bisa diukur. "Itulah sebabnya kalian harus berhati-hati. Kekuatan yang kalian miliki sangat besar—terlalu besar untuk dikendalikan tanpa kebijaksanaan. Jangan biarkan kegelapan mengambil alih diri kalian. Jika kalian bisa menghadapinya, mungkin kalian bisa menyelamatkan Gorgoyle suatu hari nanti. Tetapi jika kalian tidak hati-hati, kalian bisa terjatuh ke dalamnya bersama-sama. Bersama Gorgoyle dan kegelapan"
Ketegangan bergumul di udara. Suasana ruangan itu seakan dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang belum terungkap. Tidak ada lagi jalan mundur. Mereka berada di ujung jurang, dan satu langkah yang salah bisa menuntun mereka ke dalam kegelapan yang tak terduga. Dengan hati yang penuh pertanyaan, Ian, Gerude berdiri di ambang perjalanan yang akan mengubah segalanya—perjalanan yang tak hanya akan mengungkap kebenaran tentang Gorgoyle, tetapi juga tentang mereka sendiri, takdir mereka, dan darah yang mengalir di dalam tubuh mereka.
Gerude merasa ada sesuatu yang sangat mendalam dan tak terucapkan menggantung di udara. Kata-kata Thalindra, meskipun penuh dengan kebijaksanaan, meninggalkan rasa cemas yang tak bisa diabaikan. Suasana di sekitar mereka seakan membekukan waktu—segala sesuatu yang telah terjadi terasa terhubung dengan takdir yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan.
"Jadi, jika kami gagal..." suara Ian terdengar seperti bisikan, hampir tak terdengar, namun begitu dalam dan penuh rasa takut. "Apa yang akan terjadi? Kami akan terjatuh ke dalam kegelapan itu juga?"
Thalindra menatapnya dengan tatapan yang tajam, seolah-olah menilai keberanian mereka, mengukur seberapa siap mereka untuk menghadapi jalan yang penuh ketidakpastian. "Jika kalian gagal, kegelapan itu tidak hanya akan menguasai Gorgoyle," jawabnya dengan suara serak, suara seorang yang telah menyaksikan kekejaman dan penderitaan dalam waktu yang lama. "Itu akan menguasai kalian juga. Semua yang kalian cintai, semua yang kalian perjuangkan, akan dihancurkan oleh bayangannya. Kegelapan ini tidak hanya mengancam tubuh, tetapi jiwa—dan setelah itu, tidak ada yang tersisa."
Gerude merasa dadanya sesak, napasnya tertahan. Tidak hanya untuk Gorgoyle yang mereka coba selamatkan, tetapi untuk mereka sendiri. Setiap langkah yang mereka ambil menuju kegelapan itu terasa semakin berat, seakan ada kekuatan yang menarik mereka ke dalam ruangan tak terbatas, tak terlihat ujungnya, dan tak terduga. Mereka tak bisa mundur. Mereka sudah terlalu jauh, terjebak dalam jalan yang tak bisa dipilih kembali.
"Jika kami terjatuh... jika kami tidak bisa menahan kegelapan itu... apakah itu akan berakhir untuk kami?" suara Gerude pecah, dan ada gemetar di dalam suaranya. "Apa yang akan terjadi pada kami? Kami akan hilang?"
Thalindra menghela napas, dan untuk sesaat, dia tampak lebih tua, lebih lelah. "Terkadang, yang terburuk bukanlah kehilangan diri kita sendiri," jawabnya dengan pelan, kata-katanya terasa menusuk langsung ke dalam hati mereka. "Yang terburuk adalah ketika kita kehilangan semuanya, tetapi tetap merasa seperti kita masih ada—terjebak antara dua dunia, antara terang dan gelap, tanpa bisa keluar dari sana."
Ian menggenggam tangan Gerude, sebuah ikatan yang hampir terasa lebih penting daripada sebelumnya. "Aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu, Gerude," katanya, suaranya serak, penuh ketakutan yang tertahan. "Aku tidak tahu apakah kita bisa melewati ini. Aku takut... takut kalau kami terjatuh ke dalam kegelapan itu bersama Gorgoyle. Takut kalau kita tidak bisa kembali."
Gerude menoleh pada Ian, matanya berkilau dengan rasa sakit dan keraguan yang sama. "Aku tahu, Ian. Aku juga takut. Tapi kita harus melangkah, Kita saat ini tidak bisa lagi mundur. Tidak sekarang." Suaranya bergetar, tapi ada kekuatan yang terpendam di dalamnya. "Jika kita takut, kita hanya akan terperangkap dalam ketakutan itu. Kita tidak bisa... kita tidak bisa membiarkan semuanya sia-sia. Aku tidak akan membiarkan kamu hilang begitu saja. Aku tidak akan membiarkan Gorgoyle hilang."
Thalindra mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang memberi sedikit kenyamanan, meskipun hanya sesaat. "Kalian benar. Tidak ada jalan mundur. Tapi ingatlah—kekuatan yang kalian bawa ini bisa menjadi pedang bermata dua. Jika kalian tidak berhati-hati, kalian mungkin akan terluka lebih dalam dari yang kalian pikirkan. Tidak ada yang bisa mempersiapkan kalian untuk kegelapan ini. Hanya satu yang pasti: kalian harus bersatu, atau kalian akan dihancurkan."
Suasana di dalam ruangan itu semakin pekat, seakan dunia di luar sana telah memudar, meninggalkan mereka di dalam ruang ini dengan pilihan yang begitu besar dan begitu mencekam. Setiap napas terasa lebih berat, dan setiap kata yang terucap berdering seperti gema di dalam hati mereka.
Gerude menatap Ian, matanya penuh keteguhan. "Kita akan melawan ini bersama, Ian," katanya, meskipun hatinya sendiri dipenuhi oleh ketakutan yang begitu dalam. "Apa pun yang terjadi, kita tidak akan menyerah. Kita tidak akan membiarkan dunia ini terjatuh ke dalam kegelapan. Kita akan berjuang, sampai akhir."
Ian menatapnya dengan pandangan yang campur aduk—cinta, ketakutan, kebingungan—semua terpancar jelas di wajahnya. "Aku tidak tahu apakah kita bisa melawan, Gerude," jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Tapi aku tahu satu hal—aku bersamamu. Apa pun yang terjadi. Bahkan jika kita terjatuh ke dalam kegelapan, kita akan melakukannya bersama-sama."
Thalindra mengangkat tangan, menandakan bahwa mereka harus siap. "Ingatlah," katanya, suara itu penuh dengan peringatan, "kegelapan yang kalian hadapi bukan hanya milik Gorgoyle. Itu adalah bayangan dari setiap pilihan yang kalian buat. Setiap langkah yang kalian ambil akan menentukan apakah kalian akan tetap utuh atau terperosok dalam kegelapan. Perjalanan ini tidak hanya tentang Gorgoyle. Ini tentang siapa kalian sebenarnya."
Ian dan Gerude berdiri dalam diam, menatap satu sama lain. Dunia luar terasa sangat jauh, seakan mereka terjebak di dalam labirin pikiran mereka sendiri, dengan hanya satu jalan keluar yang tak pasti. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai—perjalanan yang akan menguji bukan hanya keberanian mereka, tetapi juga jiwa mereka.
Dengan satu pandangan terakhir pada Thalindra, yang masih duduk dengan ekspresi penuh teka-teki, mereka melangkah menuju takdir yang sudah menanti mereka—takdir yang penuh dengan kegelapan dan kemungkinan, tetapi juga dengan harapan, meskipun begitu tipis. Karena satu hal yang pasti—mereka tidak akan pernah menyerah begitu saja.