Chereads / The Chronicles : Lament of The Forsaken (Ver. Bahasa Indonesia) / Chapter 5 - Chapter 4 : Kemunculan Tidak Terduga

Chapter 5 - Chapter 4 : Kemunculan Tidak Terduga

Hari-hari berlalu sejak latihan terakhir yang mengguncang perasaan Ian dan Gerude. Mereka berdua kini kembali merasa lebih tenang, meskipun kenangan dari kekuatan yang hampir merusak kendali mereka masih membekas. Hari ini, mereka kembali berkumpul di tempat yang sama, di bawah naungan pepohonan raksasa. Udara segar berhembus lembut, seolah alam menyambut mereka kembali.

Namun, suasana kali ini terasa berbeda. Kegelisahan yang biasa menyelimuti mereka saat menghadapi latihan kini digantikan dengan sesuatu yang lebih ringan—sesuatu yang membuat suasana lebih hangat. Gerude, dengan senyuman nakal, memecah keheningan.

"Jadi... setelah petir dan api, kali ini kita bermain dengan es dan kegelapan?" Gerude bertanya, suaranya berlagak seolah-olah ia sedang berbicara tentang permainan anak-anak.

Ian, yang masih merasa cemas akan apa yang akan datang, hanya menggelengkan kepala. "Aku rasa kita akan selamat... kali ini," katanya dengan canda, meskipun ada keraguan di ujung kalimatnya.

Elara, yang berdiri di samping Thalindra, ikut tersenyum. "Kalian berdua ini benar-benar lucu. Semoga kalian tetap punya keberanian setelah latihan ini selesai," ujarnya, matanya bersinar dengan kegembiraan yang jarang terlihat.

"Jika kita selamat, aku rasa kita akan punya cerita yang tak ada duanya," kata Gerude dengan senyum lebar, mencoba mengurangi ketegangan yang ada di antara mereka.

Thalindra, yang sejak tadi berdiri diam di belakang mereka, akhirnya maju, matanya menyiratkan sesuatu yang lebih serius—sebuah keseriusan yang menandakan bahwa latihan kali ini akan jauh lebih berat.

"Cukup dengan candaannya," kata Thalindra, suaranya dalam dan tegas. "Kalian sudah siap untuk mempelajari elemen yang lebih sulit?"

Ian dan Gerude saling berpandangan. Kali ini, meskipun mereka merasa gugup, mereka tahu bahwa inilah bagian dari perjalanan mereka. Tidak ada lagi jalan mundur.

"Latihan kali ini adalah tentang elemen menengah—petir, es, kegelapan, dan cahaya," Thalindra melanjutkan, suaranya seperti memulai sebuah cerita kuno yang sarat makna. "Untuk memahami kekuatan ini, kalian harus terlebih dahulu memahami asal usul dan komposisi masing-masing elemen."

Ian dan Gerude memperhatikan dengan seksama, sementara Elara berdiri dengan senyuman tipis, menunggu penjelasan Thalindra.

"Petir berasal dari elemen api dan udara, sebuah gabungan yang menciptakan kekuatan yang menggelegar. Kalian sudah merasakannya dalam latihan sebelumnya dengan api. Angin, yang menggerakkan percikan api, menciptakan petir yang memiliki daya hancur yang sangat besar. Untuk memanggil petir, kalian harus menyatukan kedua elemen ini dalam harmoni yang sempurna." Thalindra memberi mereka waktu untuk mencerna penjelasannya.

"Es," lanjutnya, "merupakan hasil dari perpaduan antara air dan udara dingin. Air yang terjebak dalam suhu rendah, beku dan diam, membentuk es. Namun, memanggil es bukan hanya tentang mengubah suhu. Kekuatan es juga membutuhkan keseimbangan. Terlalu banyak es bisa menenggelamkan kalian dalam kekosongan yang tak bisa kalian kendalikan."

Gerude sedikit mengerutkan dahi mendengar penjelasan Thalindra, seolah bertanya-tanya bagaimana mereka akan memanggil elemen-elem itu. Tetapi, Thalindra melanjutkan tanpa memberi kesempatan untuk bertanya.

"Kegelapan dan cahaya adalah dua elemen yang berbeda, namun saling terkait. Kegelapan, yang berasal dari alam yang tersembunyi, sering kali dikaitkan dengan iblis, monster, dan makhluk-makhluk jahat yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Namun, kegelapan juga bisa menjadi tempat untuk melindungi, tempat untuk penyembuhan yang tersembunyi di balik kabut. Cahaya, di sisi lain, datang dari keberadaan malaikat, naga, peri, dan elf—makhluk-makhluk yang dilahirkan dari cahaya dan kehidupan. Cahaya memiliki kekuatan untuk menerangi, tetapi juga bisa menyakiti jika tidak digunakan dengan bijak."

Suasana di sekitar mereka menjadi lebih serius, dan udara terasa lebih berat saat Thalindra melanjutkan penjelasan. "Kegelapan dan cahaya bukan hanya soal terang dan gelap. Mereka adalah dua sisi dari koin yang sama. Mereka berhubungan erat dengan alam semesta yang lebih besar, dengan makhluk-makhluk yang menjaga keseimbangan dunia ini. Untuk mengendalikan kegelapan, kalian harus memahami bahwa tidak semua yang tersembunyi itu buruk, dan untuk mengendalikan cahaya, kalian harus tahu bahwa tidak semua yang terang itu baik."

Elara, yang mendengarkan dengan seksama, menambahkan, "Menggunakan kegelapan atau cahaya bukan hanya soal pengendalian elemen, tapi juga soal keseimbangan dalam hati kalian. Kekuatan ini bisa melukai kalian jika kalian tidak siap."

Thalindra akhirnya menarik napas panjang, mengisyaratkan bahwa mereka siap untuk memulai latihan. "Sekarang, waktunya kalian mencoba memanggil keempat elemen ini. Mulailah dengan petir dan es."

Gerude dan Ian saling bertukar pandang, merasakan beratnya beban yang ada di depan mereka. Mereka tahu ini akan menjadi tantangan baru yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Tetapi mereka juga tahu bahwa inilah saatnya untuk menghadapi ketakutan mereka—untuk menerima dan mengendalikan kekuatan yang ada di dalam diri mereka.

Dengan gerakan hati-hati, mereka mulai merapal mantra pertama mereka.

**

Di tengah keheningan yang menggantung, suara angin yang berbisik pun seakan terhenti. Thalindra memandang mereka berdua dengan tatapan penuh makna. "Ingat, petir bukan hanya kekuatan. Ia adalah manifestasi dari langit dan bumi yang bergejolak. Kekuatan ini bisa merusak atau memberkati, tergantung bagaimana kalian memahaminya."

Gerude dan Ian saling bertukar pandang, tidak ada kata yang terucap, hanya ketegangan yang membalut mereka. Hati mereka berdetak lebih cepat. Ini bukan hanya latihan biasa. Mereka tahu bahwa petir adalah kekuatan alam yang begitu luar biasa—tak terduga dan membabi buta.

Thalindra melambaikan tangannya perlahan, memberi isyarat kepada mereka untuk mulai. Gerude menarik napas dalam-dalam, merasakan udara yang kian berat di sekitarnya. "Fyr… Aeros… Fulminar," ucapnya dengan suara yang bergetar, memanggil kekuatan petir, menggabungkan elemen api dan angin dengan mantra kuno itu.

Ian mengikutinya, mengucapkan mantra yang sama dengan harapan yang tinggi. "Fyr… Aeros… Fulminar."

Namun, pertama-tama hanya keheningan yang menjawab mereka. Tak ada suara, tak ada petir yang datang. Gerude memandang Ian, matanya sedikit bingung, tapi tidak gentar. "Apa yang salah?" tanyanya, mulutnya berdesis. Angin berhembus semakin kencang, api yang ada di sekelilingnya mulai membesar, mengitari tubuhnya dengan api berwarna oranye kekuningan.

"Ulangi!" kata Thalindra dengan penuh tekad. "Kendalikan perasaan kalian! Jangan biarkan ketakutan menguasai kalian."

Dengan suara yang lebih tegas, Gerude mengulang mantra. "Fyr… Aeros… Fulminar!"

Seketika itu juga, langit di atas mereka yang semula cerah mulai berubah, gelap seolah malam datang lebih cepat dari yang seharusnya. Awan hitam menggulung dengan kecepatan yang luar biasa, berkumpul di langit, menutupi matahari yang tersisa. Angin yang berputar semakin deras, seperti ingin mencabik-cabik bumi.

Tiba-tiba, kilat pertama menyambar dengan suara yang menggelegar, gemuruhnya begitu keras, hingga tanah di bawah kaki mereka bergetar. Sinar petir membelah langit, memancar ke bawah dengan kekuatan yang sangat besar, menciptakan cahaya putih yang sangat terang. Gelombang suara itu seperti dentuman petir yang datang menghantan bumi, seolah akan membuat dunia ini terbelah. Petir itu menyambar tanah dengan kecepatan yang menakutkan, menciptakan percikan api yang meluap dan menari-nari di udara.

Gerude terperanjat. Jantungnya berdegup kencang saat melihat petir pertama menyambar. Dengan kecepatan yang tak terduga, kilatan itu meluncur ke tanah hanya dalam hitungan detik, hampir menyentuh tubuhnya. Angin yang berputar di sekitar mereka mengeringkan udara, menciptakan rasa panas yang membakar seolah langit tengah marah.

Namun, mereka tidak berhenti di sana. Ian dan Gerude kembali merapal mantra mereka dengan lebih kuat, lebih penuh tekad. "Fyr… Aeros… Fulminar!" kata mereka serentak, kali ini dengan lebih dalam dan penuh keyakinan.

Tiba-tiba, langit yang gelap itu menggelora dengan ledakan petir yang lebih dahsyat. Berkilat-kilat, petir yang terbentuk dari kekuatan angin dan api ini datang tanpa peringatan. Dengan kecepatan luar biasa, kilatan petir menyambar tanah dan udara di sekitar mereka. Setiap sambaran petir menimbulkan suara gemuruh yang mengguncang tulang, seakan dunia ini bergetar di bawah kekuatan alam yang tak terelakkan.

Kilat-kilat petir datang bertubi-tubi, menyambar dengan liar. Sinar putih dari sambaran petir memantulkan cahaya di antara pepohonan besar, seolah-olah dunia ini terbuat dari api dan cahaya yang meledak-ledak. Gerude dan Ian merasa seperti mereka dikelilingi oleh lautan petir yang tak terhingga, menggelegar dan meluncur ke segala arah dengan cepat. Setiap percikan petir menciptakan nyala api yang semakin besar, dan angin yang menyapu dengan keras hampir membuat mereka terjatuh.

Elara yang berdiri di samping mereka merasakan ketegangan yang luar biasa, dan saat petir meluncur begitu dekat, dia langsung melompat ke samping dengan gerakan yang sangat kocak. Petir hampir menyambar tepat di tempat dia berdiri, membuatnya berteriak kaget. "Ahhh!" teriak Elara, melompat ke samping dengan cara yang sangat tidak anggun. Teriakan dan reaksinya yang lucu menciptakan tawa kecil di antara mereka, meskipun ancaman petir yang terus menyambar di sekitar mereka begitu menegangkan.

"Ah! Hati-hati, kalian berdua!" Elara teriak sambil tertawa terpingkal-pingkal, matanya terbelalak melihat petir yang hampir menyambar tubuhnya. "Petir bukan main-main! Aku bisa jadi bahan bakar di sini!"

Dengan segenap kekuatan yang dimiliki, Gerude dan Ian terus berusaha mengendalikan petir yang datang dengan dahsyat. Petir itu semakin liar, semakin bertenaga, membelah langit, seakan bumi ini berteriak kesakitan. Angin yang berputar semakin cepat, membuat mereka merasa seolah-olah berada di pusat badai yang luar biasa.

Setiap sambaran petir seperti ledakan energi yang tak terkendali. Api yang sebelumnya mulai membesar karena angin yang dikeluarkan Gerude, kini semakin liar terbakar, disertai kilat yang datang begitu cepat, menciptakan paduan antara api, angin, dan petir yang hampir mematikan.

Setelah beberapa waktu yang penuh ketegangan, petir akhirnya mereda, meskipun angin masih berhembus dengan kencang. Gerude dan Ian berdiri terengah-engah. Tubuh mereka terasa lelah dan terkuras. Perasaan takut bercampur dengan keheranan, mereka baru saja mengalami sesuatu yang luar biasa.

Thalindra berdiri di belakang mereka, matanya menyiratkan kepuasan, meski ia tetap terlihat serius. "Kalian telah memanggil petir dengan sangat hebat, meskipun tidak sepenuhnya terkendali. Itu adalah kekuatan besar yang harus kalian pelajari lebih dalam lagi. Petir adalah salah satu manifestasi alam yang paling mengerikan, dan kalian telah memulainya."

Gerude dan Ian saling berpandangan, tubuh mereka gemetar, dan senyum kecil terukir di wajah mereka. "Petir… benar-benar petir," kata Ian, matanya masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Elara, yang masih sedikit terguncang, akhirnya bisa tersenyum lebar. "Ya, kalian benar-benar berhasil… meskipun hampir membuatku jadi korban petir!"

**

Latihan masih berlanjut. Kali ini, elemen yang akan mereka panggil bukanlah api yang menggelegak atau angin yang menderu, melainkan es, kekuatan dingin yang memendam keheningan dan keindahan yang mematikan.

Gerude dan Ian berdiri tegak, matanya mengarah pada Thalindra yang berdiri di hadapan mereka, penuh wibawa. Elara berdiri di samping mereka, matanya penuh rasa ingin tahu, menunggu dengan cemas namun penuh semangat. "Es," suara Thalindra terdengar seperti bisikan angin, lembut namun penuh kekuatan. "Elemen yang sangat berbeda dari yang kalian panggil sebelumnya. Ia adalah kekuatan yang datang dari kedalaman, kekuatan yang tidak terburu-buru, namun bisa membekukan jiwa. Es adalah elemen yang paling jujur, yang akan memperlihatkan siapa diri kalian sesungguhnya."

Gerude dan Ian mengangguk, meskipun rasa takut dan ketegangan masih terasa jelas di wajah mereka. Thalindra melanjutkan, "Es menunjukkan sisi terdalam dari diri manusia—keteguhan, kesendirian, bahkan penderitaan. Ia bisa menjadi sangat indah, namun juga sangat mematikan. Mengerti itu, kalian harus lebih bijaksana dengan bagaimana kalian memanggilnya."

Mereka menyerap kata-kata itu dalam diam, berusaha untuk memahami apa yang dimaksud Thalindra. Saat itu, udara semakin dingin, seakan dunia di sekitar mereka terhenti dalam sekejap. Hawa dingin yang tak terlihat mulai menyelimuti tubuh mereka, dan bahkan tanah di sekitar mereka terlihat mengerut dalam kedinginan yang semakin meningkat. Thalindra melambaikan tangan dengan perlahan, memberi isyarat agar mereka memulai.

"Aeros... Aquos... Glacium," Gerude mulai mengucapkan mantra dengan suara yang jelas dan tegas. Diikuti oleh Ian, yang mengucapkan kata-kata kuno itu dengan penuh konsentrasi. "Aeros....Aquos… Glacium."

Untuk sejenak, hanya ada keheningan. Namun, dari udara yang hampa, sesuatu mulai terbentuk. Seperti kabut yang perlahan mendingin, partikel-partikel es mulai terkumpul dengan anggun, membentuk jalinan halus yang berkilau. Suasana yang tadinya tenang kini berubah menjadi suasana yang hampir magis, seakan alam sedang menunggu sesuatu yang besar terjadi.

Es itu pertama kali muncul dengan lambat, hampir tidak terlihat. Namun perlahan-lahan, bentuknya mulai lebih jelas, berkilau seperti kristal-kristal kecil yang saling bertautan. Es itu tampak seperti uap yang membeku, menggantung di udara. Seolah-olah dunia ini terhenti dalam bekuan waktu yang sangat indah. Setiap serpihan es berkilau di bawah sinar matahari yang perlahan hilang di balik awan, menciptakan pendaran cahaya biru yang menakjubkan.

Tapi, es itu bukan hanya sekadar bentuk yang indah. Secara perlahan, bentuk itu mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih nyata, lebih mengerikan. Gerude memandangnya dengan hati-hati, merasakan kekuatan yang mulai terbangun di dalam dirinya. Es yang terbentuk di sekitarnya menggigilkan tulangnya. Ia merasa seperti tubuhnya terhubung dengan elemen ini, seolah es itu menjadi bagian dari dirinya yang paling dalam, paling terlupakan.

Ian juga merasakan hal yang sama. Es itu, meskipun indah, terasa seperti beban yang sangat berat. Setiap serpihannya membekukan jiwanya. Membuat tubuhnya terasa dingin, menggerogoti tubuhnya dari dalam.

Thalindra berdiri diam, matanya mengamati dengan seksama. Elara yang berada di sampingnya, menahan napas. "Lihat," Thalindra berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh kekuatan yang ada di sekitar mereka. "Es itu… berbicara tentang mereka."

Gerude dan Ian tidak tahu mengapa, mereka mulai melihat gambaran dalam es yang terbentuk, gambaran yang berusaha mencerminkan diri mereka yang selama ini tersembunyi. Gerude melihat sosok bayangan dirinya yang terperangkap dalam istana yang hancur, dengan mata yang penuh kebingungan dan amarah, sosok yang tampak lelah dengan penderitaan yang telah ia alami. Es itu menggambarkan kegelapan dalam dirinya, kekuatan yang terpendam akibat masa lalu yang kelam, terperangkap dalam dunia yang dingin dan sunyi.

Ian melihat gambaran serupa, tetapi dengan nuansa yang berbeda. Dalam es itu, ia melihat dirinya yang tenggelam dalam kehampaan, terkubur dalam kesendirian dan penyesalan. Mata birunya yang biasanya penuh harapan, kini tampak kosong, dipenuhi dengan bayangan-bayangan luka yang tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun. Es yang terbentuk dari dirinya adalah cermin dari jiwanya yang tersembunyi, terperangkap dalam dunia yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.

Es yang terbentuk di antara mereka berdua kini semakin padat, semakin kuat, dan semakin besar. Setiap serpihan es mulai menciptakan garis-garis halus yang memancar dari pusat es itu. Warna biru pucat yang mulanya tenang kini berubah menjadi biru gelap kehitaman yang semakin mencekam.

Thalindra mengamati dengan mata yang tajam, terpesona sekaligus khawatir. Elara yang berdiri di sampingnya merasakan getaran yang tidak biasa. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, Elara tidak bisa menyembunyikan rasa takut yang mulai menguasainya. Ada sesuatu yang sangat kuat di sini, sesuatu yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.

"Perhatikan!" Thalindra berkata perlahan, matanya berbinar penuh pemahaman. "Es itu menunjukkan siapa diri kalian, meskipun kalian belum sepenuhnya menyadarinya. Ini adalah manifestasi dari perasaan terdalam kalian. Kekuatan yang ada di dalam diri kalian akan selalu berbicara melalui elemen ini. Kalian harus lebih mengerti diri kalian sendiri untuk bisa menguasainya."

Gerude dan Ian, yang merasa terperangkap dalam kekuatan yang mereka panggil, kini lebih paham. Mereka mengerti bahwa es ini bukan hanya soal kekuatan luar, tetapi juga cerminan dari setiap lapisan hati mereka yang terpendam. Lapisan-lapisan itu, yang penuh dengan penderitaan dan ketakutan, kini terungkap dalam setiap bentuk es yang membeku di depan mereka.

Thalindra mendekat, memberi isyarat kepada mereka untuk menenangkan pikiran dan perasaan mereka. "Es tidak pernah memaafkan ketidaktulusan. Ia hanya akan menunjukkan kenyataan yang ada. Jika kalian tidak bisa mengendalikannya, maka kalian akan membekukan diri kalian sendiri dalam ketakutan dan kesendirian."

Gerude dan Ian terdiam, merasakan kedalaman kata-kata Thalindra. Mereka belum sepenuhnya mengerti. Namun, ada sesuatu yang begitu kuat menguasai diri mereka. Takdir mereka, yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang, kini semakin dekat untuk ditemukan.

Es yang terbentuk dari kata-kata kuno itu mulai membentuk struktur yang perlahan-lahan semakin jelas. Sesuatu yang tak terduga muncul, bentuk yang tampak menggabungkan keindahan yang memukau sekaligus kengerian yang membekukan. Kekuatan yang mereka panggil, meskipun mereka tidak menyadari sepenuhnya, mencerminkan sisi terdalam dari jiwa mereka yang tersembunyi dalam kegelapan.

Pada awalnya, bentuk es itu tampak seperti kabut biru yang perlahan mengumpul menjadi kristal-kristal halus. Lambat laun, es itu mulai memadat. Membentuk sosok yang menakutkan dan indah pada saat yang sama.

Bentuk pertama yang terbentuk adalah sebuah siluet besar, tinggi menjulang, dengan sayap yang terbentang lebar. Sayap itu bukanlah sayap malaikat yang lembut dan penuh cahaya, melainkan sayap yang keras dan berlapis es yang tajam, membekukan udara di sekitarnya. Setiap helai sayap tampak seperti piringan es yang berlubang, memantulkan cahaya dengan kilau yang tajam, seakan menantang siapa pun yang berani mendekat.

Terukir wajah yang tidak jelas, hampir seperti wajah manusia, namun dengan fitur yang tampak terdistorsi oleh es yang membeku. Wajah itu memiliki dua pasang mata yang menyala dengan cahaya biru gelap yang sangat tajam. Menembus ke dalam jiwa siapa pun yang memandangnya. Dari matanya memancar sebuah aura kegelapan yang dalam, memunculkan perasaan cemas dan ketakutan yang mendalam. Ada pula kilatan terang yang menyilaukan, seolah mengingatkan akan masa lalu yang penuh dengan penderitaan dan harapan yang telah lama terkubur.

Bentuk tubuhnya tampak berlapis-lapis, mirip dengan bentuk naga yang terbungkus dalam lapisan es yang sangat tebal, namun lebih anggun dan penuh perasaan. Bagian tubuhnya yang lebih dekat ke tanah melengkung seperti cakar naga raksasa, memantulkan cahaya dengan setiap gerakan yang sedikit menggoyahkan struktur tersebut. Tubuh ini tampaknya begitu kokoh. Duri-duri es yang menonjol di sepanjang punggung, menjulang tinggi, seolah siap untuk meluncur ke depan dan menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.

Sayapnya dipenuhi dengan garis-garis halus yang menyerupai sayap malaikat, namun sayap-sayap tersebut lebih kaku, seakan mengingatkan pada beban yang tak terhingga yang harus dibawa oleh malaikat yang terperangkap dalam kegelapan. Puncak sayap itu, meskipun indah dalam keheningannya, juga tampak seperti pedang tajam yang siap menebas siapa pun yang mendekat.

Sebuah tangan es yang besar muncul dari bagian tubuh yang lebih bawah, telapak tangan terbuka seperti ingin meraih sesuatu, namun dengan kekuatan yang sangat dingin hingga bisa membekukan siapa pun yang terperangkap dalam jari-jarinya. Di sekitarnya, es itu juga membentuk jejak-jejak lembut yang menyerupai akar pohon yang mengakar dalam tanah, dengan cabang-cabang es yang melengkung, menonjolkan citra alam yang telah dibekukan dalam waktu yang tak terhitung lamanya.

Sementara itu, es yang terbentuk oleh Ian memunculkan gambaran yang lebih misterius. Dari dalam es itu, muncul sosok tinggi yang hampir transparan, seperti siluet elf yang dikelilingi oleh kabut. Tubuh elf itu dibalut dalam lapisan es bening yang sangat tipis, namun dengan keanggunan yang luar biasa. Sayapnya lebih halus daripada sayap malaikat yang terbentuk oleh Gerude, tetapi sayap itu terbuat dari es yang begitu rapuh, menyerupai kaca yang bisa pecah dalam sekejap, memberi kesan bahwa keindahan itu hanya akan bertahan dalam sekejap mata. Wajah elf itu juga tidak jelas, lebih seperti bayangan dari mereka yang telah pergi, atau jiwa yang hilang dalam waktu.

Namun, yang paling mengejutkan adalah bentuk es yang menyerupai naga kecil yang berada di sekitar sosok elf tersebut. Naga itu tampak memancarkan kilauan biru muda yang hampir transparan, dengan sisik-sisik es yang berkilat dan bercahaya seperti salju yang tertiup angin. Mulutnya sedikit terbuka, menunjukkan taring es yang tajam. Siap menyemburkan napas beku yang mematikan. Tubuh naga itu berkelok-kelok, seolah hidup dan bernafas dalam keheningan es yang penuh dengan kekuatan.

Setiap serpihan es, setiap garis yang terbentuk, mengisahkan sebuah cerita yang kelam, namun penuh keindahan yang tak dapat dipungkiri. Ada kesan bahwa bentuk-bentuk ini berasal dari masa lalu yang sangat lama, kekuatan yang terperangkap dalam es dan dibekukan oleh waktu. Tidak ada yang bisa menahan kekuatan ini, selain mereka yang memiliki kontrol penuh atasnya—dan meskipun Gerude dan Ian berusaha sekuat tenaga, mereka tahu bahwa apa yang terbentuk di depan mereka adalah cerminan dari diri mereka yang terdalam.

Thalindra mengamati dengan seksama, matanya terbuka lebar, terperangah oleh apa yang baru saja mereka ciptakan. "Kalian telah memanggil lebih dari sekedar es," kata Thalindra dengan suara yang berat dan dalam. "Kalian telah membuka pintu bagi kekuatan-kekuatan yang tidak hanya berasal dari diri kalian, tetapi juga dari dunia yang jauh lebih tua dan lebih besar. Ini adalah cermin dari masa lalu kalian yang tak terungkap—tapi juga tak terelakkan."

Elara yang berdiri di samping Thalindra hanya bisa menahan napas, tak bisa menyembunyikan kekaguman dan ketakutannya. "Kekuatan ini… apakah mereka tahu apa yang telah mereka panggil?" tanyanya, suaranya bergetar. Thalindra hanya diam, menatap dengan mata yang penuh pemahaman. "Belum… tetapi mereka akan segera mengetahuinya."

Gerude dan Ian berdiri terpaku, matanya terbelalak tidak percaya. Mereka memandang bentuk es yang telah terbentuk di hadapan mereka, es yang kini menggabungkan keindahan dan kengerian yang mereka belum pernah bayangkan sebelumnya. Rasa cemas mulai merayapi hati mereka, dan mereka saling bertukar pandang, kebingungan dan terkejut. Es yang membeku di sekitar mereka seakan menatap kembali, memanggil, menguji, dan mempertanyakan siapa mereka sebenarnya.

"Thalindra!" Gerude berseru, suaranya mengandung ketegangan. "Apa artinya ini? Apa yang baru saja kami panggil? Mengapa bentuknya seperti ini?" Tangannya terulur, menunjuk ke sosok es yang menggambarkan sosok malaikat dengan sayap tajam, naga yang membeku, dan wajah yang tersembunyi dalam kabut es. "Apa yang sebenarnya terjadi pada kami?"

Ian tidak kalah bingung. "Bentuk ini... bukan hanya sekadar es, bukan? Ini terasa seperti bagian dari kami, tapi juga seperti sesuatu yang lebih besar—lebih tua. Apa yang sebenarnya kami panggil? Mengapa semuanya terasa begitu... berat, begitu mengikat?" Dia menatap Thalindra dengan tatapan penuh tanya, kebingungan.

Thalindra dan Elara saling memandang, sejenak saling bertukar pandang dengan ekspresi penuh arti. Mereka tahu bahwa momen ini adalah titik balik yang tak terhindarkan, tempat di mana Ian dan Gerude harus menghadapi kenyataan yang lebih besar dari apa yang mereka bayangkan.

"Es adalah elemen yang sangat jujur," Thalindra memulai, suaranya rendah dan penuh kekuatan, hampir berbisik ke udara yang membeku. "Ia tidak dapat berbohong, tidak bisa menyembunyikan apa pun yang tersembunyi dalam jiwa seseorang. Ia membekukan apa pun yang ada di dalam, dan memunculkan kebenaran yang paling dalam, meskipun itu adalah kebenaran yang tak terungkapkan. Apa yang kalian lihat di depan kalian adalah bagian dari diri kalian yang tidak pernah kalian lihat sebelumnya—bagian yang terkubur dalam kedalaman hati dan jiwa kalian."

Gerude menggigit bibirnya, merasakan ketegangan yang semakin meningkat. "Tetapi... ini terlalu banyak. Saya tidak mengerti... kenapa ada bentuk naga, malaikat, bahkan wajah yang seperti iblis?"

Thalindra mengangguk perlahan, seolah-olah sudah menunggu pertanyaan ini. "Itulah kekuatan es. Ia tidak hanya mencerminkan esensi kalian, tetapi juga menyatukan bagian-bagian yang terpecah. Sayap malaikat, cakar naga, sosok yang mirip iblis—semua itu adalah lambang dari perjalanan kalian yang penuh konflik, penderitaan, dan harapan yang tidak pernah bisa dipisahkan. Kalian, Gerude, Ian, tidak hanya terikat pada satu sisi. Kalian dipenuhi dengan kekuatan yang berasal dari banyak dimensi—dari dunia ini dan yang lebih tua."

Elara, yang berdiri di samping Thalindra, menambahkan dengan suara yang dalam dan penuh arti, "Kalian mungkin belum sepenuhnya menyadari ini, tetapi kalian memiliki warisan yang sangat kuat—sangat kompleks. Kekuatan-kekuatan ini adalah manifestasi dari apa yang telah kalian alami, dari darah yang mengalir di tubuh kalian, dan dari takdir yang akan kalian hadapi. Ada bagian dari diri kalian yang berasal dari dunia yang lebih gelap, namun ada juga bagian yang bercahaya, yang membawa harapan"

Ian menundukkan kepala, merasakan beban yang berat. "Saya... Saya tidak tahu apakah saya siap untuk ini. Bagaimana saya bisa mengendalikan semuanya? Apa yang harus saya lakukan dengan kekuatan ini?" Suaranya bergetar, penuh ketakutan dan kebingungannya yang mendalam.

"Kontrol datang dengan waktu," Elara menjawab, suaranya lebih lembut. "Kalian harus belajar untuk memahami dan mengerti tentang bagaimana hal ini bisa saling berhubungan. Es ini adalah kunci untuk mengenal diri kalian lebih dalam. Hanya dengan menerima semua bagian dari diri kalian—baik itu yang terang maupun yang gelap—barulah kalian bisa menemukan keseimbangan. Tidak ada yang bisa dikendalikan sepenuhnya jika kita menolaknya. Kalian harus membiarkan kekuatan ini mengalir, dan hanya dengan begitu kalian akan menemukan cara untuk mengendalikannya."

Gerude dan Ian saling menatap, perasaan kebingungan dan kekhawatiran menyelimuti mereka. Banyak pertanyaan yang masih menggantung di udara, tetapi satu hal yang mereka tahu pasti—mereka telah menghubungi sesuatu yang lebih besar daripada yang mereka bayangkan, dan takdir mereka telah dimulai, meskipun mereka belum sepenuhnya siap untuk menghadapinya.

**

Di bawah langit yang mulai gelap, Gerude dan Ian, yang masih kebingungan, kini bersiap untuk melanjutkan latihan mereka.

"Elemen Cahaya dan Kegelapan bukan hanya tentang kekuatan," kata Thalindra dengan suara lembut namun penuh kewibawaan. "Mereka adalah refleksi dari dualitas dunia ini. Mereka tidak bisa hidup tanpa yang lain. Kegelapan memberi ruang bagi Cahaya untuk bersinar, dan Cahaya memberikan tujuan bagi Kegelapan. Keduanya adalah entitas yang saling membutuhkan, dan Famulus—makhluk yang kita panggil—adalah representasi dari hubungan ini."

"Famulus?" Ian mengerutkan dahi, menatap Thalindra dengan kebingungan. "Apa itu?"

Gerude mengangguk setuju, ekspresi wajahnya penuh rasa ingin tahu.

Thalindra tersenyum tipis, mata keemasannya. Sebelum dia sempat menjawab, Elara, melangkah maju dengan anggun.

"Famulus adalah perwujudan dari jiwa batinmu," kata Elara, suaranya tenang namun memiliki nada seperti mengajari anak kecil yang penasaran. "Ia adalah makhluk yang berasal dari energi murni sihir. Wujudnya mencerminkan siapa dirimu di dalam—keyakinanmu, ketakutanmu, bahkan apa yang mungkin belum kau sadari tentang dirimu sendiri."

Ian dan Gerude saling memandang, keraguan di mata mereka tergantikan oleh campuran rasa penasaran dan kekhawatiran.

"Jadi... seperti cermin, tapi hidup?" tanya Ian, mencoba memahami.

"Lebih dari itu," jawab Elara dengan senyum kecil. "Famulus tidak hanya mencerminkan dirimu. Ia juga menjadi bagian dari kekuatanmu. Semakin erat hubunganmu dengannya, semakin kuat pula sihirmu. Famulus adalah mitra, bukan alat. Perlakukan mereka dengan hormat, dan mereka akan setia kepadamu."

Thalindra lalu melangkah maju. Ian dan Gerude memperhatikan dengan seksama. Tjhalindra mengangkat tangannya dengan anggun. Dari tubuhnya yang tenang, muncul energi yang sangat kuat, namun tak terlihat, yang perlahan-lahan berputar di sekitar dirinya. Seperti kegelapan yang perlahan-lahan menyelimuti ruang di sekelilingnya, sebuah makhluk muncul, berbentuk kabut yang gelap dengan mata yang menyala terang, memancarkan aura yang begitu mendalam.

"Ini adalah Nyxaris," kata Thalindra dengan suara yang hampir seperti berbisik, namun jelas dan kuat. Nyxaris, Famulus miliknya, tampak seperti sosok besar yang terbuat dari bayangan gelap yang tak terdefinisikan, namun jelas terasa aura kegelapan yang mengelilinginya. Bentuknya tak sepenuhnya padat, lebih mirip dengan asap gelap yang bisa berubah-ubah bentuk, namun ada kehadiran yang nyata, mengintimidasi, dan menakutkan.

Nyxaris—Famulus milik Thalindra—memiliki sayap lebar yang tampak terbuat dari bayangan pekat, yang menyebar seperti tirai malam yang melindungi segala sesuatu yang ada di dalamnya. Mata makhluk itu bersinar dengan warna biru yang tajam, seperti dua bintang di tengah kegelapan, menatap setiap orang yang berada di hadapannya.

"Nyxaris adalah Famulus saya, yang berhubungan dengan elemen Kegelapan," lanjut Thalindra, suaranya penuh rasa hormat. "Nyxaris adalah ras Umbralith. Salah satu ras dari makhluk yang menghuni kegelapan. Ia adalah penjaga batas-batas antara dunia terang dan dunia gelap. Meskipun ia berasal dari Kegelapan, ia bukanlah makhluk jahat. Nyxaris adalah pelindung, pengendali segala hal yang tersembunyi dalam kegelapan. Ia memiliki kemampuan untuk menyelimuti area dalam kegelapan pekat atau mengungkapkan kenyataan tersembunyi yang tak terlihat. makhluk yang berasal dari bayangan purba, terjalin dari esensi Kegelapan yang murni. Mereka dikenal sebagai penjaga rahasia malam, dengan tubuh yang tampak seperti siluet padat yang diselingi kilauan bintang di permukaan kulit mereka. Mata mereka bersinar seperti obor biru atau ungu yang dalam, dan mereka mampu bergerak di antara bayangan seolah itu adalah rumah mereka. Umbralith memiliki kemampuan untuk menyerap dan memanipulasi bayangan di sekitar mereka, sering kali digunakan untuk melindungi sekutunya atau menyembunyikan rahasia yang mereka anggap berharga. Mereka hidup dengan prinsip keseimbangan, percaya bahwa Kegelapan ada untuk memberi makna pada Cahaya."

Gerude dan Ian menatap makhluk itu dengan penuh kekaguman, merasakan aura dingin yang menyelimuti mereka. Thalindra melanjutkan penjelasannya, memberikan mereka waktu untuk menyerap setiap kata yang ia ucapkan. "Famulus kalian akan berbeda, masing-masing akan mencerminkan siapa kalian sebenarnya, siapa diri kalian yang terdalam. Seperti Nyxaris yang lahir dari Kegelapan, kalian juga akan melihat Famulus kalian tumbuh dari elemen yang ada dalam diri kalian."

Kemudian, Elara berdiri di samping Thalindra dengan senyuman cerah, penuh semangat. Dengan gerakan tangan yang lincah, Elara memanggil Famulusnya, dan dengan serta merta, muncul di hadapan mereka makhluk yang sangat berbeda dari Nyxaris. Famulus milik Elara adalah sosok yang terang, namun tidak kurang kuat dan megah.

Famulus Elara dikenal dengan nama Luxira. Tubuhnya bersinar dengan cahaya putih keemasan yang begitu murni, hampir seperti bintang yang memancarkan sinarnya dari langit malam. Luxira tampak anggun dengan sayap berkilauan, seolah terbuat dari cahaya itu sendiri, yang mampu menembus kegelapan di sekelilingnya. Rangka tubuhnya seolah diciptakan dari ribuan partikel cahaya yang berpadu sempurna, membentuk sosok yang tak terhingga indahnya.

Mata Luxira menyala dengan cemerlang, berwarna putih kebiruan, memberikan rasa kedamaian yang menyelimuti sekitarnya. Namun di balik kecantikan itu, ada kekuatan yang luar biasa, yang bisa melindungi siapa pun yang berada di dekatnya. Dengan setiap gerakannya, Luxira menebarkan cahaya yang menghangatkan, membawa kedamaian, sekaligus memberi ketegasan dan perlindungan bagi mereka yang membutuhkan.

"Luxira adalah Famulus saya," kata Elara dengan penuh bangga. "Luxira adalah ras Lumineth. Ia adalah penjaga Cahaya dan pelindung yang memancarkan kebenaran dan kejelasan. Famulus ini mampu menyinari kegelapan, menunjukkan jalan saat segala sesuatu tampak hilang. Luxira mengungkapkan kenyataan, menerangi dunia yang sering kali kabur dan penuh kebingungan."

Gerude dan Ian merasakan perbedaan yang mendalam antara dua Famulus ini—satu begitu gelap, misterius, dan menakutkan, sementara satu lagi sangat terang, bersih, dan penuh kedamaian. Mereka tahu bahwa Famulus mereka nanti akan memiliki kekuatan yang sama, namun dengan bentuk dan sifat yang sangat bergantung pada elemen yang mereka kuasai.

"Famulus bukanlah sekadar kekuatan," lanjut Elara dengan suara yang lembut namun tegas. "Mereka adalah bagian dari diri kita. Mereka akan mengungkapkan siapa kita sebenarnya—siapa kita dalam cahaya atau dalam kegelapan."

Thalindra dan Elara berdiri di samping Famulus mereka, yang kini memancarkan energi yang sangat kuat. "Untuk memanggil Famulus kalian, kalian harus benar-benar mengenal elemen yang ada dalam diri kalian. Kegelapan dan Cahaya ada dalam diri setiap orang, dan hanya ketika kalian benar-benar menerima elemen ini, barulah Famulus kalian akan muncul."

Gerude dan Ian merasa tekanan yang luar biasa ketika mereka merenung tentang kata-kata itu. Mereka tahu bahwa mereka berada di ujung perjalanan yang penuh misteri, dan mereka akan segera memahami lebih dalam tentang kekuatan yang ada dalam diri mereka—termasuk bagaimana mereka akan memanggil Famulus mereka sendiri.

Thalindra dan Elara memberi mereka waktu untuk merenung, memberi mereka kesempatan untuk merasakan ikatan mereka dengan Kegelapan dan Cahaya. Pada akhirnya, mereka tahu bahwa latihan ini adalah kunci untuk membuka potensi tersembunyi dalam diri mereka, dan mereka akan segera menemukan siapa mereka sebenarnya di hadapan dunia ini, bersama Famulus yang telah menunggu untuk muncul.

Dengan ketenangan yang dalam, Thalindra berkata, "Sekarang, mari kita mulai latihan kalian. Panggil Famulus kalian. Jangan takut untuk merasakannya. Biarkan kekuatan Kegelapan dan Cahaya mengalir melalui kalian."

**

Thalindra mengamati kedua muridnya, Gerude dan Ian, dengan pandangan yang penuh perhatian. Dia tahu bahwa memanggil famulus bukanlah perkara sederhana—itu adalah ujian sejati untuk mengakses potensi terdalam dari diri mereka dan menghubungkan diri mereka dengan elemen-elemen alam yang lebih besar.

"Untuk memanggil Famulus kalian," kata Thalindra dengan suara tenang, "kalian harus memahami bahwa setiap Famulus adalah manifestasi dari ikatan yang terjalin antara diri kalian dan elemen tersebut. Kegelapan dan Cahaya akan mengungkapkan keaslian kalian—entah itu dalam bentuk kegelapan yang penuh misteri atau dalam kemurnian yang terang."

Thalindra berdiri tegak, matanya terfokus pada Gerude dan Ian. "Sebelum kita mulai, ada beberapa hal yang harus kalian ketahui. Setiap Famulus muncul dengan mantra khusus—mantra yang hanya dapat kalian panggil dengan kekuatan sejati dalam hati kalian. Mantra ini adalah gabungan dari kata-kata kuno yang telah ada sejak zaman yang sangat lama. Kata-kata ini bukan hanya sekadar perkataan; mereka adalah potongan-potongan dari alam semesta yang mengalir melalui kalian."

Thalindra mengangkat tangannya, dan dari udara sekitar mereka, seakan mengalir energi yang tak terlihat. "Ingat, Famulus Kegelapan dan Cahaya berasal dari dua dunia yang sangat berbeda, namun mereka saling berhubungan dalam kesatuan yang tak terpisahkan. Untuk memanggil Famulus Cahaya, kalian harus memahami ketulusan dan kejujuran dalam hati kalian. Sedangkan untuk memanggil Famulus Kegelapan, kalian harus menerima bagian tersembunyi dalam diri kalian—bahkan yang paling kelam sekalipun."

Gerude dan Ian mendengarkan dengan seksama, sedikit cemas, tetapi juga penuh harap. Mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang sangat penting dalam perjalanan mereka. Thalindra menatap mereka, dan dengan lembut, dia mulai merapal mantra kuno yang akan membimbing mereka.

"Lux et Umbra, anima mea resonet. Per harmoniam internam, Famulus emergat. Fiat lux, fiat tenebrae, unum sumus. Exaudi vocem meam, et manifestare cor tuum."

Gerude dan Ian merasa kekuatan kata-kata itu menggema dalam pikiran mereka. Thalindra melanjutkan, "Sekarang, rapalkan mantra tersebut dengan sepenuh hati kalian. Bayangkan elemen Kegelapan atau Cahaya itu mengalir dalam diri kalian, dan serahkan diri kalian pada energi yang mengalir itu."

Dengan napas dalam, Gerude menatap langit, dan Ian menatap tanah yang kokoh di bawah kaki mereka. Keduanya mulai merapal mantra, pertama dalam hati mereka, kemudian diucapkan dengan suara yang mulai bergetar.

"Lux et Umbra, anima mea resonet. Per harmoniam internam, Famulus emergat. Fiat lux, fiat tenebrae, unum sumus. Exaudi vocem meam, et manifestare cor tuum." Gerude mengucapkan mantra dengan lembut, diikuti dengan kata-kata yang semakin kuat.

"Lux et Umbra, anima mea resonet. Per harmoniam internam, Famulus emergat. Fiat lux, fiat tenebrae, unum sumus. Exaudi vocem meam, et manifestare cor tuum." Ian, nadanya lebih tegas, mencoba untuk memahami makna dari setiap suku kata yang keluar dari bibirnya.

Saat kata-kata itu meluncur keluar dari mulut Gerude, cahaya yang terang mulai menyelimuti dirinya, namun tak hanya itu—sebuah ledakan cahaya yang memancar keluar dengan kecepatan luar biasa, lebih terang daripada apa pun yang pernah ia rasakan. Cahaya itu berputar mengelilinginya, membentuk sebuah pusaran yang memancar dalam bentuk kekuatan yang sangat besar.

Disaat yang bersamaan, ketika Ian melafalkan mantra, kegelapan tidak datang dengan cara yang ia harapkan. Sebaliknya, sebuah gelombang kegelapan yang pekat muncul, begitu intens hingga rasanya seperti ruang itu dihancurkan dalam sekejap. Kegelapan itu menyelimuti Ian, tetapi tidak seperti Nyxaris yang lembut dan mengalir; kali ini, itu melahap segalanya, tanpa ampun, begitu mengerikan.

Kedua elemen ini bergabung dalam cara yang tidak terduga—cahaya yang sangat terang berkelok-kelok dengan kegelapan yang sangat pekat. Mereka saling berbenturan, menciptakan suasana yang begitu mencekam hingga udara terasa sesak. Thalindra dan Elara terkejut, mata mereka terbelalak, tak menyangka kekuatan yang terlepas akan begitu dahsyat.

"Berhenti! Kalian harus berhenti!" teriak Thalindra, namun suaranya tenggelam dalam gemuruh yang semakin kuat.

Gerude dan Ian sama sekali tidak bisa mengendalikan kekuatan yang mereka panggil. Cahaya dan Kegelapan bersatu dalam ledakan energi yang begitu besar, berputar dengan cepat, mengancam untuk meledakkan sekeliling mereka. Cahaya dan Kegelapan ini seperti dua kekuatan yang bertarung untuk memperebutkan ruang yang sama.

"Elara, bantu aku!" teriak Thalindra, yang berusaha untuk mengendalikan energi yang meluap.

Elara segera bergerak, menggunakan tangan untuk mengarahkan energi Cahaya miliknya, mencoba untuk menyeimbangkan kekuatan yang meluap dari Gerude dan Ian. Namun, cahaya yang dipanggil oleh Gerude begitu terang hingga sulit bagi Elara untuk menghentikannya. Di sisi lain, kegelapan yang meliputi Ian begitu pekat dan berat, seolah ingin menyelimuti semuanya.

"Mereka…" Thalindra hampir tidak bisa berbicara karena kegelisahan, "…mereka telah memanggil kekuatan yang mengerikan."

Kegelapan dan Cahaya itu semakin menggila, bergerak dengan cara yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Famulus yang muncul bukan hanya sekadar pelindung atau kekuatan—mereka menjadi manifestasi dari dualitas yang sangat mendalam dalam diri Gerude dan Ian, sesuatu yang lebih besar dari sekadar elemen alam. Sesuatu yang menakutkan, sekaligus sangat indah.

**

Cahaya yang berkumpul di sekitar Gerude semakin intens, seakan menjawab panggilan dalam jiwanya. Matanya terpejam rapat, dan untuk sesaat, ia merasakan sebuah bisikan yang lembut, namun sangat kuat, menembus pikirannya. Bisikan itu datang dari jauh, sebuah suara yang seolah berasal dari kedalaman dunia yang tidak diketahui. Suara itu memanggilnya, memandu setiap kata yang harus diucapkannya, dan Gerude merasa tak bisa menahannya lagi.

Helel ben Shachar...

Nama itu mengalir dari bibirnya, begitu alami, seperti mantra yang telah ada sejak awal waktu. Saat kata itu terucap, seketika cahaya yang menyelimuti dirinya meledak dengan dahsyatnya, menciptakan suatu kilatan yang begitu terang hingga seolah menyelimuti seluruh dunia dalam sinar yang menyilaukan. Dari kilatan cahaya yang terhampar luas, sosok mulai terbentuk—perlahan, namun dengan keanggunan yang tak terungkapkan oleh kata-kata biasa.

Sosok itu muncul dengan anggun, melayang di udara, cahaya yang memancar dari tubuhnya berkelap-kelip seperti ribuan bintang di langit malam. Setiap gerakan, setiap kedipan cahaya yang memancar dari tubuhnya seperti tarian yang menari di atas permukaan air, begitu sempurna dan mempesona. Gerude bisa merasakan adanya kekuatan yang tak terhingga mengalir dari sosok ini—sebuah kekuatan yang tak hanya berasal dari elemen Cahaya, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih tinggi, lebih luhur.

Famulus yang muncul di hadapannya adalah seorang pria muda, tinggi, dengan wajah yang menyilaukan. Kulitnya berwarna emas pudar, seakan disinari oleh cahaya matahari yang tak pernah padam. Rambutnya panjang, berwarna keperakan, lembut dan berkilau seperti sutra, mengalir anggun menyentuh bahunya. Setiap helai rambutnya berkilau seakan mengandung gemerlap bintang yang tak terhitung jumlahnya, berpadu dengan cahaya yang terpantul dari tubuhnya.

Pasangan mata itu bukanlah sekadar bola mata biasa. Mereka memancarkan cahaya biru kehijauan, seperti lautan dalam yang misterius, dengan kedalaman yang tak bisa dimengerti oleh siapapun. Cahaya dari mata yang begitu mempesona, penuh kehangatan dan kedamaian, namun juga menyiratkan kekuatan yang sangat besar.

Tubuh tinggi dan ramping, dengan otot-otot yang terbentuk sempurna, namun tidak kasar. Sebaliknya, sosoknya terlihat anggun, seolah dibentuk dari cahaya itu sendiri—begitu sempurna, begitu sempurna. Pakaian yang dikenakan Famulus ini juga terbuat dari cahaya yang begitu terang, membungkus tubuhnya dengan kesan ringan namun megah, seperti gaun yang diolah dari lapisan udara dan kilatan bintang.

Dari setiap gerakan Famulus ini, terbesit kesan bahwa dia adalah sosok yang terhubung langsung dengan alam semesta. Satu-satunya cahaya yang dapat menembus kegelapan. Satu-satunya keindahan yang mampu menahan kesedihan dunia. Gerude menatap kemunculan makhluk itu, seakan seluruh dunia terhenti sejenak disaat sosok ini muncul.

Dengan lembut, Famulus itu mengangkat tangannya, dan tanpa kata, ia melayang turun ke arah Gerude, matanya penuh kasih dan perlindungan. Dia menundukkan kepalanya sedikit, seolah memberi penghormatan kepada pemanggilnya, dan suaranya terdengar begitu merdu saat dia berbicara.

"Gerude... Aku adalah Helel ben Shachar, cahaya abadi, Pelindung semesta, datang untuk membimbing dan melindungimu. Aku akan berada di sisimu. Menerangi jalanmu dan memberikan kekuatan pada setiap langkahmu."

Suara itu begitu halus, namun sangat jelas. Seperti musik dalam keheningan malam yang sunyi. Gerude tak bisa menahan perasaan takjub yang membanjiri hatinya. Ini adalah sosok yang begitu agung, luar biasa. Semua yang ada di sekitar mereka seakan menjadi lebih terang, lebih hidup, dengan kehadiran Helel ben Shachar. Dia adalah Cahaya yang tak terlukiskan, sosok yang lahir dari kebenaran dan keindahan yang mutlak.

Di sisi lain, Ian mengamati dengan terpesona. Matanya tak bisa berpaling dari Famulus milik Gerude, yang memancarkan aura begitu kuat dan penuh dengan kasih sayang serta kebesaran. Meski kegelapan yang mengelilinginya saat ini begitu pekat, dia tahu bahwa Cahaya ini adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan.

Thalindra dan Elara pun tertegun melihat sosok yang telah muncul, keduanya merasa kekuatan luar biasa yang mengalir dari Famulus itu—simbol dari kekuatan besar yang baru saja dibangkitkan.

"Helel ben Shachar," kata Thalindra dan Elara bersamaan dengan nada penuh rasa hormat, seakan menyadari pentingnya sosok itu. "Cahaya Abadi yang memancar dari jiwa yang murni. Sosok ini adalah manifestasi dari kebenaran dan keberanian yang ada dalam dirimu, Gerude. Terimalah, dan biarkan dia membimbingmu."

Gerude masih terdiam, matanya terfokus pada Famulus yang ada di depannya. Dia merasa seperti baru saja menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sangat trasenden—sesuatu yang berada di luar jangkauan pemahamannya. Di hadapannya kini berdiri Helel ben Shachar, cahaya agung, yang akan selalu ada untuk membimbingnya dalam setiap langkahnya ke depan.

**

Pendar redut kegelapaan yang menyelimuti Ian mulai menggelap lebih pekat. Menutupi tanah, dan segala yang ada tidak jaug dari sekitarnya. Ian terdiam, mendengarkan bisikan yang bergema dibenaknya. Seperti sebuah panggilan yang tak terhindarkan, suara itu mengalir, mengundangnya untuk mengucapkan sebuah nama.

Ereshkigal...

Nama itu terucap begitu jelas. Seakan berasal dari dunia yang sangat jauh. Sunia yang terhubung langsung dengan inti kegelapan. Begitu nama itu terlontar, sekeliling Ian mulai bergetar dengan intensitas yang tak dapat digambarkan. Kegelapan yang membungkusnya berkembang, mengental, membentuk suatu inti yang semakin besar, semakin kuat. Dan dari kegelapan itu, sosok muncul—perlahan, dengan keanggunan yang tak biasa. Perlahan-lahan, sosok itu semakin jelas—sebuah bentuk yang tinggi dan ramping, dikelilingi oleh kegelapan yang menari di sekelilingnya. Diiringi aura kekuatan luar biasa memancar dari tubuhnya, seakan seluruh kegelapan di dunia ini terhisap ke dalam sosok itu. Langit dan bumi seakan berhenti sejenak, memberikan perhatian penuh pada kehadiran yang baru saja terwujud.

Famulus yang muncul di hadapan Ian adalah sosok pria muda, dengan wajah yang memancarkan aura kemegahan yang memikat. Kulitnya gelap, berkilau dengan warna hitam yang bercahaya seperti obsidian, memberikan kesan bahwa ia berasal dari dunia yang jauh lebih tua dan lebih dalam. Rambutnya panjang, hitam legam, mengalir dengan elegan seperti air yang terperangkap dalam malam yang tanpa batas. Rambut itu tampak seolah bisa bergerak dengan sendirinya, berkilau dalam kilatan cahaya yang sangat lembut, menciptakan bayangan yang bergerak seiring dengan angin yang tak terdengar.

Matanya, sepasang bola mata yang seolah berkilau dengan cahaya merah gelap, memancarkan kekuatan besar. Menyorotkan tatapan yang tajam dan memikat. Menembus langsung ke dalam jantung setiap orang yang memandangnya. Kedalaman mata itu memancarkan segala kegelapan dan misteri yang tak bisa terungkapkan, seolah dunia ini tidak dapat menghindar dari kenyataan yang disembunyikan oleh sosok ini.

Ereshkigal terbalut pakaian yang sangat megah, terbuat dari bahan yang terlihat seperti bayangan itu sendiri—hitam pekat, namun dengan kilauan yang memberikan kesan mistis. Lapisan-lapisan pakaian yang ia kenakan tampak bergerak dengan hidup, menciptakan pola-pola bayangan yang seolah berputar, berpadu dengan kegelapan yang mengelilinginya. Pakaian itu tidak hanya menutupi tubuhnya, tetapi juga membentuk sosok yang semakin mempesona dan mengintimidasi. Setiap gerakan dari Ereshkigal meninggalkan jejak kegelapan yang melayang di udara, menciptakan aura yang begitu kuat, penuh kekuatan yang tak terhingga.

Tangannya begitu panjang dan ramping, dengan jari-jari yang berujung tajam seperti paku, namun terbungkus dalam kelembutan yang kontras. Setiap gerakan yang dilakukannya terasa penuh kendali, penuh keanggunan yang sangat luar biasa. Di sekelilingnya, kegelapan yang muncul semakin mengental, membungkus tubuhnya dengan perlindungan yang tak terbatas.

Ereshkigal sangat tenang. Ia melayang turun perlahan, seolah kegelapan itu sendiri menuntunnya menuju Ian, memandu langkahnya tanpa suara, tanpa benturan dengan dunia sekitar. Ketika ia mendekat, kekuatan yang memancar darinya semakin terasa. Ian bisa merasakan ketenangan yang aneh, seolah dunia ini terhenti sejenak hanya untuk mengakui kehadiran Famulus ini.

"Ian," suara Famulus itu terdengar begitu dalam, begitu megah, bagaikan gema yang datang dari kedalaman alam semesta itu sendiri. "Aku adalah Ereshkigal, kegelapan yang abadi, Penjaga kegelapan, aku datang untuk membimbingmu melalui kegelapan pada dirimu, dan yang ada di dunia ini."

Suara itu memiliki kekuatan yang menenangkan, namun pada saat yang sama, penuh dengan kegelapan yang mencengkram jiwa. Kegelapan yang mengelilingi Famulus ini tak lagi menakutkan—sebaliknya, ia membawa kedamaian yang tak terlukiskan, sebuah pengertian yang lebih besar tentang dunia ini, yang tak dapat dicapai dengan hanya menggunakan cahaya.

Ian berdiri terpaku. Matanya terbuka lebar. Tidak percaya pada apa yang baru saja dia panggil. Ereshkigal, Makhluk kegelapan, telah muncul di hadapannya. Sosok ini, membuatnya merasa dirinya hanyalah bagian kecil dari alam semesta yang tak terukur. Ereshkigal bukan hanya kegelapan—ia adalah bagian dari dirinya dan juga bagian dari dunia yang lebih besar dari apa yang ia bisa pahami.

Thalindra dan Elara yang berdiri tidak jauh dari mereka, tertegun dengan kehadiran kedua Famulus yang begitu luar biasa. Thalindra mengangguk perlahan, menyadari bahwa perjalanan Ian dan Gerude telah memasuki tahap yang jauh lebih mendalam. Mereka kini telah memanggil bukan hanya elemen, tetapi juga kekuatan sejati yang berasal dari dalam diri mereka—kekuatan yang akan membimbing mereka ke arah takdir yang lebih besar.

Dengan suara yang penuh ketenangan, Thalindra berbicara, "Ereshkigal... Kegelapan yang abadi, sang penjaga kegelapan, datang untuk menunjukkan jalan di tengah kesunyian. Ini adalah Famulus yang benar-benar lahir dari jiwa yang telah menerima kegelapan dan terang dalam diri mereka."

**

Ian dan Gerude terdiam, mata mereka masih terpaku pada dua Famulus yang berdiri di hadapan mereka. Perasaan kebingungan dan ketakutan menyelubungi mereka tidak memberi waktu untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Famulus-famulus yang muncul—Helel ben Shachar dan Ereshkigal—adalah sosok yang tak hanya menakjubkan, tetapi juga mengerikan. Mereka adalah manifestasi dari cahaya dan kegelapan.

Gerude bergetar, langkahnya terhenti sementara. "Thalindra," suaranya bergetar, "apa... apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa mereka?" tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi buruk yang sangat nyata.

Ian berdiri tegak, tubuhnya kaku, dan pandangannya tak lepas dari Ereshkigal. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya," gumamnya, matanya mencari jawaban di wajah Thalindra yang tenang.

Thalindra memandang mereka dengan tatapan yang dalam, seolah bisa membaca kebingungan dan ketakutan yang menyelimuti mereka berdua. Ia melangkah maju, perlahan, menepuk tangan mereka dengan lembut, berusaha menenangkan gelombang emosi yang mengalir begitu kuat di antara mereka.

"Gerude, Ian," suara Thalindra mengalun lembut, "kalian baru saja memanggil Famulus yang sangat kuat—kehadiran yang berasal dari dalam diri kalian sendiri. Mereka bukan sekadar entitas eksternal. Mereka adalah manifestasi dari dalam jiwamu. Cahaya dan kegelapan yang kalian temui selama perjalanan ini adalah bagian dari kalian. Mereka tidak hanya makhluk yang kalian panggil, tetapi juga bagian dari takdir yang telah terjalin dalam kehidupan kalian sejak lama."

Gerude menatapnya bingung. "Tapi, kenapa mereka seperti ini? Kenapa mereka tampak begitu... kuat dan menakutkan?"

Thalindra menghela napas panjang, memandangi Helel ben Shachar yang anggun dan Ereshkigal yang penuh kegelapan. "Famulus kalian, Helel ben Shachar dan Ereshkigal, adalah manifestasi dari dua kekuatan primordial: Cahaya dan Kegelapan. Mereka adalah makhluk yang lahir dari energi alam semesta yang lebih besar, berasal dari zaman yang sangat kuno. Helel ben Shachar adalah perwujudan dari Cahaya, yang diwakili oleh terang yang murni dan kekuatan penyembuhan. Ia adalah penghubung antara dunia ini dan dunia yang lebih tinggi, antara dunia manusia dan alam malaikat. Ereshkigal, di sisi lain, adalah manifestasi dari Kegelapan—bukan kegelapan yang menakutkan atau jahat, tetapi kegelapan yang menyimpan segala pengetahuan yang tersembunyi, yang memberi pemahaman dan kebijaksanaan. Ia adalah pelindung rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi, yang tak dapat dijangkau oleh mereka yang hanya melihat terang."

Elera, yang sejak tadi diam, kini membuka mulut. "Kalian mungkin merasa terkejut atau takut, karena ini adalah manifestasi dari elemen yang belum sepenuhnya kalian pahami. Helel ben Shachar dan Ereshkigal muncul karena kalian telah memanggilnya dengan sangat tulus. Mereka merespons bukan hanya kata-kata yang kalian ucapkan, tetapi juga energi yang ada dalam jiwa kalian. Mereka adalah cerminan dari kekuatan yang ada dalam dirimu—sisi terang dan sisi gelap yang saling berhubungan, saling melengkapi."

Ian menundukkan kepala, mencoba untuk mencerna kata-kata tersebut. "Tapi mengapa mereka tampak seperti... seperti mereka mengenal kami lebih dalam daripada yang kami tahu?"

Gerude menggigit bibir, mencoba menahan rasa takut yang mulai mereda, tetapi masih ada kekhawatiran di matanya. "Tapi apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami belum siap untuk memiliki kekuatan seperti ini. Kami belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya."

"Yang kalian perlukan sekarang adalah pemahaman," kata Thalindra dengan suara yang penuh kedamaian. "Pemahaman tentang diri kalian sendiri, tentang siapa kalian sebenarnya. Famulus yang telah kalian panggil bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi awal dari penemuan yang lebih besar. Mereka akan membantu kalian memahami kekuatan yang ada di dalam diri kalian—kekuatan yang akan membawa kalian pada takdir yang jauh lebih besar dari yang kalian bayangkan."

Thalindra melangkah maju, menatap mata mereka satu per satu. "Ingatlah, kalian tidak sendirian. Sekali lagi, kekuatan kalian adalah bagian dari alam, bagian dari dunia yang lebih besar. Dan kalian tidak akan pernah mengetahui potensi sejati kalian tanpa berani menghadapi kegelapan dan cahaya dalam diri kalian."

Ian mengangguk perlahan, sementara Gerude memandang Famulusnya dengan penuh rasa takut dan kagum. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan meskipun mereka masih bingung dan terkejut, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar menunggu mereka di depan—sesuatu yang mungkin akan mengungkapkan takdir yang tak pernah mereka duga sebelumnya.

**

Ian menoleh ke arah Thalindra, matanya penuh dengan kebingungan. "Kau bilang kita tidak sendirian, tapi aku merasa... aku merasa lebih jauh dari sebelumnya. Mereka tampak begitu kuat, begitu besar, dan aku tak tahu apakah aku bisa menghadapinya."

Thalindra memandang mereka dengan mata yang penuh pemahaman, matanya yang penuh kedamaian berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Ia melangkah mendekat, menyentuh bahu masing-masing dengan lembut, memberi mereka sedikit rasa aman di tengah kebingungan yang menguasai hati mereka.

"Kalian memang tidak sendirian," jawab Thalindra dengan suara yang penuh kelembutan. "Tapi perjalanan ini adalah milik kalian. Helel dan Ereshkigal akan selalu bersama kalian, memberi bimbingan, memberi kekuatan. Tapi bagaimana kalian menghadapinya, bagaimana kalian memahaminya, itu tergantung pada kalian."

Elera yang sejak tadi hanya diam, kini melangkah maju. "Kalian telah membuka pintu yang sangat besar, dan ada banyak hal yang harus kalian pelajari. Tidak ada jalan yang mudah, tidak ada jawaban yang sederhana. Tapi ingatlah, keberanian bukan berarti tidak ada rasa takut. Keberanian adalah keberanian untuk menghadapi ketakutan itu, untuk menggali lebih dalam."

Gerude menundukkan kepalanya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Perasaannya begitu campur aduk—takut, cemas, sekaligus merasa begitu terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Sesuatu yang membuatnya merasa seolah ia telah lama melupakan bagian dari dirinya yang paling mendalam. Sementara itu, Ian merasakan perasaan yang hampir sama—keinginan untuk lari dan melupakan semuanya, namun di saat yang bersamaan, dorongan yang kuat untuk tetap berdiri dan menghadapinya.

Malam semakin larut, dan ketenangan yang seharusnya terasa menenangkan malah menambah berat di hati mereka. Helel ben Shachar dan Ereshkigal berdiri dengan megah, seakan menunggu mereka untuk mengambil langkah selanjutnya, langkah yang akan membawa mereka lebih jauh ke dalam dunia yang penuh rahasia dan tak terduga.

"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" tanya Ian dengan suara pelan, penuh rasa cemas yang sulit disembunyikan.

Thalindra memandang mereka berdua, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kalian akan tahu waktunya nanti. Tapi untuk sekarang, kalian perlu beristirahat. Jalan yang panjang masih menanti kalian, dan kalian harus siap untuk itu."

Dengan kata-kata itu, Thalindra dan Elera melangkah mundur, memberi mereka waktu untuk merenung, untuk mencoba mengerti apa yang baru saja mereka alami. Gerude dan Ian berdiri dalam diam, terpesona oleh kekuatan yang baru mereka panggil, sambil menatap langit malam yang penuh dengan bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya. Dunia di sekitar mereka terasa begitu luas, begitu misterius, dan di saat yang sama, begitu dekat. Mereka tahu bahwa ini bukanlah akhir—ini baru saja dimulai.

Dengan hati yang penuh kebingungan, kecemasan, dan sedikit rasa takut, mereka menatap satu sama lain. Tak ada kata yang terucap, namun dalam diam, mereka merasakan ikatan yang tak terlihat, ikatan yang mengikat mereka pada takdir yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Malam semakin dalam, namun di dalam hati mereka, ada sebuah cahaya yang mulai menyala, meskipun kecil. Sebuah harapan yang perlahan berkembang, meskipun mereka belum sepenuhnya mengerti apa yang akan datang. Tapi satu hal yang pasti—perjalanan ini akan menguji mereka lebih dari yang mereka bayangkan.

Dan hari melelahkan itu berakhir. Mereka berdua beristirahat ditemani dengan famulus mereka masing-masing, dalam kebingungan yang campur aduk.