Beberapa hari telah berlalu sejak pertarungan yang hampir merenggut nyawa mereka, namun meskipun mereka berada di tempat yang lebih aman, hati mereka tidak pernah benar-benar merasa tenang. Keheningan yang terasa begitu menenangkan itu selalu datang dengan bayang-bayang ketakutan. Mereka tahu, meskipun Gorgoyle dan ancaman langsung lainnya kini telah mereda, kegelapan yang lebih besar—sesuatu yang jauh lebih menakutkan—terus menghantui mereka.
Thalindra telah menawarkan mereka tempat perlindungan. Tetapi, ada sesuatu yang lebih dalam, jauh di luar kendali mereka yang terus mengguncang ketenangan itu. Kegelapan yang semakin tidak terkendali, gangguan yang merusak keseimbangan alam, dan bayang-bayang yang terus mengintai dari jauh—semua itu terus mendesak mereka untuk tidak lengah.
Di ruang tengah rumah Thalindra, yang penuh dengan aroma kayu tua dan udara segar dari bunga liar yang tumbuh di sekelilingnya, mereka duduk di atas permadani dari daun dan benang rumput, dikelilingi oleh lilin-lilin ungu yang memancarkan cahaya lembut. Api unggun yang menyala di tengah ruangan memberikan kehangatan, namun ada sesuatu di udara itu—sebuah getaran yang aneh, seperti rasa tidak aman yang menelusup ke dalam setiap bagian tubuh mereka. Gerude merasakan kekhawatiran yang terus menggerogoti hatinya. Sementara Ian merasa sebuah kekuatan yang tak kasat mata mulai meresap ke dalam dirinya.
Thalindra berdiri di depan mereka, dengan tatapan mata yang jauh, seolah mengamati sesuatu yang tak terlihat oleh Ian dan Gerude. Di belakangnya, Elara mengamati mereka dengan perhatian penuh, mencoba menenangkan suasana. Namun wajah Elara yang cemas tidak bisa disembunyikan begitu saja. Mereka tahu, seperti yang telah diberitahukan Thalindra sebelumnya, bahwa ritual ini bukanlah sesuatu yang mudah. Ini adalah langkah yang mengubah takdir mereka.
"Kalian sudah siap?" tanya Thalindra dengan suara yang dalam dan tenang, namun ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat jantung mereka berdebar lebih cepat. "Ingat, ini adalah perjalanan yang tidak hanya akan menguji tubuh kalian, tetapi juga jiwa kalian. Ada kekuatan di luar sana yang ingin mengganggu kalian, mencoba untuk menghalangi kalian. Roh-roh yang rusak, kekuatan gelap yang tak terbayangkan, dan kejahatan yang sudah lama terlupakan oleh dunia."
Ian dan Gerude saling berpandangan, tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksud oleh Thalindra. Kekuatan gelap? Mereka tahu tentang Gorgoyle, tetapi kegelapan yang dimaksud Thalindra tampak lebih jauh, lebih berbahaya dari itu.
Thalindra melanjutkan, suaranya menenun ketegangan di sekitar mereka. "Roh-roh alam yang telah terpecah, yang dulu menjaga keseimbangan dunia ini, kini terombang-ambing dalam kekosongan. Mereka yang dulu menjaga dunia, hidup dalam simbiosis dengan alam, sekarang menjadi makhluk yang dipenuhi kebencian dan keinginan untuk menghancurkan. Mereka adalah roh-roh yang terperangkap, yang mencoba mencari jalan keluar dari belenggu mereka."
Gerude mendekat, mendengarkan dengan seksama, merasa ada sesuatu yang lebih besar dari apa yang mereka bayangkan. "Maksudmu roh-roh itu... akan mengganggu kami selama ritual ini?"
Thalindra mengangguk. "Mereka akan mencoba menghentikan kalian, menarik energi kalian, merampas jiwa kalian. Mereka akan mencoba merasuki kalian dalam setiap langkah yang kalian ambil. Dan lebih dari itu, ada kegelapan yang lebih besar, yang telah memburu kalian—seperti yang mereasuki Gorgoyle yang telah kalian hadapi. Gorgoyle hanyalah sebuah saluran, sebuah manifestasi dari kekuatan gelap yang jauh lebih besar dari yang kalian pikirkan. Kekuatan itu ingin menguasai dunia ini, dan untuk itu, mereka akan memanfaatkan kalian juga."
Ian menggigit bibirnya, tak bisa membayangkan apa yang sedang dibicarakan Thalindra. Kegelapan yang mengejar mereka tidak hanya sekadar satu entitas, tetapi sesuatu yang jauh lebih besar—sebuah kekuatan jahat yang sudah lama bersembunyi di balik bayang-bayang, siap untuk menghancurkan segala hal yang menghalanginya. Mereka sudah selamat dari Gorgoyle, namun apakah mereka benar-benar aman?
"Kami harus menghadapi semua itu?" tanya Ian, suaranya bergetar. "Dan bagaimana kita bisa melawan kekuatan seperti itu?"
Thalindra menatap Ian dengan mata yang penuh makna. "Kekuatan yang ada dalam dirimu, Ian, adalah kunci untuk menghadapinya. Tapi, kamu harus siap dengan apa yang akan datang. Sebelum kalian bisa menghadapinya, kalian harus bangkitkan kekuatan dari dalam diri kalian—menggali kekuatan yang telah terpendam selama ini. Hanya dengan cara itu kalian bisa menahan kegelapan yang ingin merebut jiwa kalian."
Gerude mengangguk, meskipun ia merasakan ketakutan yang mulai menjalar di dalam dirinya. "Kami siap. Kami harus siap."
Thalindra memandang mereka sejenak, kemudian melangkah mundur, memberi mereka ruang untuk menyiapkan diri mereka. "Lingkaran perlindungan ini akan menjaga kalian dari gangguan roh-roh jahat yang akab mencoba merasuki kalian. Namun, perlindungan ini tidak akan bertahan selamanya. Energi yang akan kalian panggil adalah energi alam semesta itu sendiri, dan ketika kalian menghubungkannya dengan tubuh dan jiwa kalian, kalian akan membuka celah yang dapat dimasuki oleh kekuatan yang lebih gelap. Kekuatan yang tidak hanya ingin menghancurkan kalian, tetapi seluruh dunia."
Elara mengangguk pelan. "Tahan, dan jangan biarkan energi itu menguasai dirimu. Jika kalian tidak bisa mengendalikannya, maka kalian akan terperangkap dalam kekuatan yang sangat berbahaya. Tetapi jika berhasil, kalian akan memiliki kekuatan yang bisa menghentikan apa pun yang datang."
**
Thalindra memulai ritual. Ia merapalkan mantra pertama dengan suara yang dalam, penuh keagungan, dan membawa getaran yang kuat dalam setiap kata. "Sundara mirum phor velis toskara, Elementum fiora, mystos regar! Tehumen ustra kelae nara, Aethelios te regis, jhar duva sira!"
Saat mantra itu mulai bergema, tekanan udara di sekitar mereka berubah. Mereka merasakan sesuatu yang mengalir melalui tubuh mereka, sesuatu yang sangat panas. Kekuatan itu datang dengan rasa sakit yang luar biasa. Setiap urat darah mereka terasa terbakar, seakan tubuh mereka ingin meledak. Rasanya ada sesuatu yang sedang mencoba keluar dari dalam diri mereka, namun pada saat yang sama ada kekuatan gelap yang berusaha menariknya kembali, meremas jiwa mereka.
Gerude menjerit dalam hati, tubuhnya bergetar hebat. Ia merasakan kekuatan asing yang ia sedang coba kendalikan. Kekuatan itu kini bergejolak di dalam dirinya, lebih liar dari sebelumnya, lebih berbahaya. Ia hampir tidak bisa menahan diri, karena rasa sakitnya begitu mengerikan. "Aku... tidak bisa..." teriaknya, namun suaranya tenggelam dalam kekuatan yang mengalir begitu kuat.
Ian merasakan sesuatu yang lebih aneh. Kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya bukan hanya kekuatan yang asing, tetapi sesuatu yang sangat kuno, sangat kuat, dan sangat berbahaya. Rasanya seperti tubuhnya terbelah dua—satu sisi berusaha melawan, dan sisi lainnya berusaha melepaskan diri. Berusaha terhubung dengan alam yang lebih luas, lebih dalam. Tapi dengan setiap detiknya, semakin banyak roh jahat yang berusaha merasuki tubuh mereka. Sekilas Gorgoyle yang mengancam kembali muncul dalam bayangan gelap pikiran mereka. Mengingatkan mereka akan betapa dekatnya kegelapan itu.
"Jangan... lawan..." suara Thalindra terdengar di telinga mereka, penuh dengan peringatan. "Biarkan energi itu mengalir, dan jangan biarkan roh-roh itu merasuki kalian!"
Sakitnya semakin menjadi, namun mereka tahu satu hal: mereka tidak bisa mundur. Jika mereka berhenti, jika mereka gagal, kegelapan itu akan memenangkan dunia ini.
Proses pembangkitan kekuatan dalam diri mereka terus berjalan. Semakin memuncak mengiringi setiap mantra yang diucapkan Thalindra dan Elara. Tubuh Ian dan Gerude mulai merasakan sakit yang luar biasa, seolah-olah setiap organ mereka terbakar dari dalam. Gerude merasakan darahnya mendidih, setiap tetesnya berdenyut dengan panas yang tak tertahankan, merobek dagingnya, membakar segala yang ada dalam tubuhnya. Setiap kali ia mencoba bernapas, ia merasa seolah-olah udara itu menyiksa paru-parunya, menambah rasa tercekik, mencekiknya dalam penderitaan yang terus menerus.
"Aaargh!" Gerude mendengus, tubuhnya menggeliat, hampir tidak mampu menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Ia merasa seperti ada sesuatu yang berusaha merobek dirinya dari dalam, menariknya ke dalam jurang yang gelap dan tak terhingga. "Ian... aku tidak... bisa..." suaranya tercekat, namun tekadnya masih berusaha bertahan. Dia tahu, meski rasanya hampir tak tertahankan, ia harus melawan rasa sakitnya.
Di sampingnya, Ian merasakan serangan rasa sakit bertubi-tubi yang sama—lebih mendalam, lebih gelap. Tubuhnya terasa seperti terbakar oleh api yang berasal dari dalam. Setiap otot tubuhnya, setiap pembuluh darah yang mengalirkan darah panas, semuanya seolah-olah terbuat dari api yang tak pernah padam. Tidak hanya rasa sakit fisik yang ia rasakan, namun ia merasakan kekuatan yang perlahan muncul dalam dirinya, begitu besar, begitu kuat, mengalir begitu deras, sangat sulit untuk dikendalikan. Bagaikan sebuah sungai yang meluap, menggenangi setiap sudut tubuhnya, dan ia tak bisa berbuat apa-apa selain berusaha bertahan.
"Rasanya... seperti tubuhku akan meledak," bisik Ian dengan suara serak, suaranya hampir tak terdengar di tengah gemuruh rasa sakit yang menderanya. Namun, di balik penderitaan itu, ada tekad yang semakin menguat. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak surut. Sebuah tekad yang pelan pelan tumbuh pada setiap detik yang berlalu. Tubuhnya bergetar hebat. Ian bisa merasakan bagaimana saudara perempuannya—Gerude, juga merasakan hal yang sama. Mereka berdua merasakan penderitaan ini bersama-sama. Tanpa sadar, hal itu memberi mereka kekuatan untuk bertahan.
Di sekitar mereka, dunia mulai memudar. Lingkungan yang penuh dengan energi sihir semakin menekan mereka, seolah-olah energi itu semakin mencincang tubuh mereka, perlahan, satu persatu. Dalam waktu yang bersamaan, daya tarik dari dunia gelap semakin menguat. Mereka bisa merasakan kehadiran roh-roh jahat, makhluk-makhluk yang terperangkap dalam alam lainnya, ingin merasuki mereka, menarik mereka ke dalam kegelapan yang tak terkatakan.
Gerude merasakan sebuah tangan yang mengarah ke dirinya, seolah roh yang terperangkap mencoba merasukinya, menguasainya. Dia hampir tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Gerude bergetar hebat, merasakan merasakan pendar kekuatan sihir dari berbagai arah. Matanya memicing, mencoba berfokus, mencoba mengingat apa yang Thalindra dan Elara katakan—jangan biarkan kekuatan itu menguasai mereka.
Gerude dan Ian. Keduanya terengah-engah. Tubuh mereka merasakan ketegangan yang luar biasa saat kekuatan ritual ini mulai mengalir ke dalam tubuh mereka. Rasa sakit yang mereka alami begitu menggila. Seluruh tulang mereka seakan dihancurkan oleh beban yang tak terbayangkan. Bersama darah mereka yang mengalir dalam irama yang tidak mereka kenal.
Namun, yang paling menakutkan bukanlah rasa sakit itu, tetapi suara-suara yang semakin jelas terdengar—suara seperti jeritan roh-roh yang terperangkap di alam lain. Roh-roh jahat yang mencoba merasuki tubuh mereka, menyeret mereka jauh ke dalam jurang kegelapan yang tanpa dasar.
**
Ian merasa tubuhnya semakin terbakar. Rasa panas semakin membakar tulang dan tubuhnya. Terasa lebih menyakitkan daripada apa pun yang pernah ia alami. Seperti ada api yang mengalir melalui pembuluh darahnya, merambat dengan kecepatan yang tak terhingga, membakar setiap inci dari tubuhnya. Kepalanya terasa sangat berat, dan setiap napasnya terengah-engah, seakan tidak ada cukup udara untuk menahan beban yang sedang ia tanggung. Ia menjerit pelan, berusaha menahan diri agar tidak jatuh dalam kegelapan yang semakin mendalam. Setiap kali ia berusaha untuk bertahan, ada suara-suara yang berbisik di dalam dirinya, suara yang mengingatkannya akan kekosongan, mengingatkannya pada kematian yang sudah menunggu di ujung jalan.
Di sisi lain, Gerude merasakan sensasi yang sangat mirip—rasa sakit tanpa henti yang begitu mencekam. Membuat Gerude berada diujung kesadarannya. Ia merasa terhimpit oleh batu besar, sementara dalam dirinya sihir yang ia coba kendalikan dengan mudah kini bagaikan monster yang mengamuk. Sihir itu merasuki tubuhnya dengan kekuatan yang sangat besar, menghancurkan segala batasan yang ia buat untuk mengendalikannya. Rasanya seperti sedang dipaksa untuk bertarung dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya, sementara bagian dalam dirinya mulai terbelah.
**
Dengan perasaan yang penuh penderitaan, mereka mendengar suara Elara yang terdengar sangat dekat. Mantra kedua yang diucapkan Elara bagaikan gelombang yang datang menghantam mereka. Dengan setiap kata yang dilontarkan Elara, mereka merasakan getaran yang semakin keras di dalam tubuh mereka. Kata-kata itu bagaikan mantra yang menembus tubuh mereka. Menembus roh mereka. Membawa mereka lebih dekat ke ambang batas antara hidup dan mati.
"Kaelium dravar sithon lysala," suara Elara mengalun lembut, namun jelas bagaikan suara angin yang mengalir menjalar ke tubuh mereka. Kata-kata itu terdengar seperti seruan yang datang dari kedalaman dunia. Ian merasakan tubuhnya semakin terbakar. Seperti ia akan hangus, dan menjadi debu dalam sekejap.
"Corvash beluna ostra eron delare," lanjut Elara, dan kali ini suaranya semakin mendalam. Dalam sekejap, Gerude merasakan sebuah pusaran kekuatan yang sangat besar, yang bagaikan puting beliung yang menariknya lebih dalam lagi, sangat dalam. Rasa sakit yang ada dalam tubuhnya semakin mengerikan, namun ia berusaha bertahan, berusaha untuk tetap fokus pada tujuan mereka—untuk menguasai kekuatan ini.
"Elysis daerun varina kershon," Elara melanjutkan, dan kini suaranya penuh dengan gemuruh yang menggetarkan dunia di sekitar mereka. Perlahan, Ian bisa merasakan kekuatan yang sangat kuat menyelimuti dirinya—sebuah kekuatan yang sangat besar, yang bukan hanya datang dari dirinya, tetapi juga dari dunia yang jauh lebih dalam dan lebih luas dari yang bisa ia bayangkan. Kekuatan itu seperti mengalir melalui tulang-tulangnya, menghancurkan segalanya yang ada dalam dirinya yang tidak bisa ia kendalikan.
"Sphiron kalzaar linistran!" Elara mengucapkan mantra terakhir, dan kali ini suaranya menninggi, memecah udara di sekitar mereka. Elera terdengar seperti mengaungkan perintah mutlak. Perintah yang tak terbantahkan oleh siapapun. Gerude dna Ian merakan dunia ini terbuka dan menghisap mereka masuk ke dalam kegelapan yang tak terduga. Dan pada saat itu, saat tubuh mereka hampir kehilangan kendali, mereka mendengar suara Thalindra yang tegas dan penuh kekuatan, memberi mereka dorongan terakhir untuk bertahan.
"Jangan berhenti! Biarkan kekuatan itu mengalir melalui tubuh kalian! Ini adalah ujian terakhir kalian! Jika kalian dapat bertahan, kalian akan menjadi lebih kuat dari yang kalian bayangkan!"
Saat mantra Elara terucap, langit di luar rumah Thalindra mulai berubah dengan cara yang tidak bisa dijelaskan. Tiba-tiba cahaya bulan yang cerah menerobos melalui pepohonan, menerangi tanah di sekitar mereka dengan sinar putih yang begitu murni, hampir seolah-olah dunia ini sedang dilahirkan kembali. Namun, keindahan cahaya tersebut seolah hanyalah kedok dari sesuatu yang lebih besar, lebih mengerikan yang sedang terjadi. Sesuatu yang sangat kuat—sesuatu yang telah terpendam lama, bangkit dari kedalaman.
Angin yang semula tenang tiba-tiba berubah menjadi puting beliung kecil yang mengguncang pepohonan. Daun-daun berguguran dalam jumlah yang tidak wajar, berputar-putar di udara dengan kecepatan yang membuat rambut di tengkuk berdiri. Suara gemuruh yang rendah terdengar, seperti gelombang yang menghempas pantai jauh di kejauhan, namun semakin lama suara itu semakin mendekat. Alam sekitar mereka seakan-akan berontak—menolak perubahan yang sedang terjadi.
Di dalam rumah, aura yang menyelubungi tubuh Ian dan Gerude semakin padat. Udara di sekitar mereka menjadi kental, penuh dengan energi yang begitu kuat dan mematikan. Rasa panas yang membakar tubuh mereka semakin terasa tajam, menuju klimaks. Menyayat-nyayat kulit mereka seperti sembilu yang tak terhitung jumlahnya. Setiap detik adalah pergulatan hidup dan mati.
Dalam kegelapan pikiran yang semakin dalam, suara-suara aneh mulai terdengar. Tidak sudi membiarkan Gerude dan Ian terbebas dari siksa yang terasa abadi ini. Suara bisikan yang hampir tidak dapat didengar—suara yang terasa datang dari berbagai arah sekaligus. "Kalian... tidak akan bisa bertahan," bisikan itu terdengar, penuh dengan ancaman. "Kekuatan ini akan menghancurkan kalian, membawa kalian ke dalam kegelapan yang tak terhindarkan."
Suara itu semakin menguat, membelok dan bergema di seluruh rumah, seakan-akan ruang di sekitar mereka semakin sempit. Di luar, angin bertiup semakin kencang, dan daun-daun yang berguguran kini mulai berputar-putar menjadi pusaran yang semakin besar. Tiba-tiba, di antara hembusan angin, terdengar suara keras yang memekakkan telinga—suara dentingan logam, seperti serangkaian rantai yang terikat dengan kuat dan tiba-tiba terlepas. Suara itu mengiringi kehadiran bayangan gelap yang melintas di luar jendela.
Gerude menjerit pelan, merasakan hawa dingin menggantikan rasa terbakar yang menyelusup ke dalam tubuhnya. "Ian, apa itu?" suaranya terputus-putus, panik. "Apa yang terjadi?"
Ian, yang sedang berjuang melawan rasa sakit yang semakin dalam, memandang ke luar jendela dengan mata yang semakin kabur. Di balik bayangan pepohonan yang bergoyang kencang, ia bisa melihat sesuatu bergerak. Sesuatu yang besar, berbentuk seperti bayangan gelap yang berkeliaran. Hanya dengan sekejap, bayangan itu menghilang, menyelusup kembali ke dalam kegelapan.
"Sesuatu yang mengancam kita," jawab Ian dengan suara parau, nafasnya tersengal-sengal. "Tetap bertahan, Gerude. Kita... kita harus melewati ini!"
Gerude terhuyung-huyung, wajahnya pucat pasi. "Aku... aku tak tahu apakah aku bisa bertahan lebih lama lagi," suaranya hampir tak terdengar. Tubuhnya sudah tidak lagi bisa menahan beban energi yang mengalir, dan gerakan tubuhnya mulai melambat. Mata Gerude terpejam, dan ia merasakan dunia di sekelilingnya berputar begitu cepat.
"Tahan, Gerude!" teriak Ian, hampir tak mengenali suaranya sendiri. "Kita tidak bisa menyerah. Kekuatan ini—kita butuh ini! Kita harus menghadapinya!"
Mantra dari Thalindra dan Elara mulai bergema lebih dalam, menembus segala rasa sakit yang mereka rasakan. Setiap mantra membekukan diri mereka lebih dalam, menghancurkan lapisan terakhir pertahanan diri mereka. Energi yang mereka coba kendalikan kini seolah-olah melawan mereka. Terasa seperti sebuah kekuatan kuno yang telah terpendam selama ribuan tahun, ingin membebaskan diri, merasuki setiap serat tubuh mereka.
Langit yang cerah tiba-tiba menghitam, dan awan-awan gelap berkumpul dengan cepat, seperti mendung yang datang dengan keburukan. Suara gemuruh bergemakan di kejauhan, mengiringi gelombang angin yang semakin kencang. Kegelapan yang datang tidak hanya mengancam dunia di luar, tetapi juga menyusup ke dalam tubuh mereka, menarik mereka lebih dalam ke dalam kekosongan yang mengerikan.
Dan di saat itulah mantra Elara semakin dalam merasuk. "Aeris velor silva, calcaris vixstra, Ventus daerum corvus delum, ethra fremo, Ithur turos, arcanum patrum, Vehemor caldaria, purum saeva!"
Mantra Elara meluncur dengan kekuatan yang tak terbendung. Sebuah kehadiran yang begitu besar seolah-olah mulai merobek ruang di sekitar mereka, dan tubuh mereka kembali terbakar—lebih panas, lebih menyakitkan. Setiap serat tubuh mereka terasa dihancurkan dan dibentuk kembali oleh energi yang begitu liar, begitu kuat, bahwa mereka hampir merasa kehilangan kendali.
Gerude hampir jatuh, lututnya tidak sanggup lagi menopang badannya. "Ian..." suaranya hampir tidak terdengar, terengah-engah, "Aku tak bisa bertahan lebih lama..."
Ian menggerakkan tubuhnya yang hampir lumpuh, berusaha menahan dirinya agar tetap tegak. "Gerude, kita akan melewati ini! Kita harus bertahan! Jangan menyerah, kita bisa menghadapinya!"
Tubuh mereka hampir tak mampu lagi bertahan. Suara yang datang dari sekeliling mereka semakin keras. Semakin mencekam, mereka tahu satu hal yang pasti: jika mereka gagal, bukan hanya jiwa mereka yang akan hilang, tetapi juga harapan terakhir dunia ini. Dengan sisa kekuatan yang ada, mereka berusaha bertahan—mereka harus bertahan.
Proses yang mereka jalani jauh lebih mengerikan dan mematikan daripada yang pernah mereka bayangkan. Ian dan Gerude sudah begitu dekat dengan ambang batas kematian, berada di ujung jurang kegelapan yang mengancam akan menelan mereka. Tubuh mereka bergetar hebat, tak mampu lagi menahan beban luar biasa yang tengah merobek setiap serat tubuh mereka. Tak ada lagi napas yang teratur, hanya sesak, hanya deru nafas yang terputus-putus seperti udara yang habis direbut oleh angin malam yang liar. Gerude, tak mampu bertahan lebih lama, terjatuh ke lutut, wajahnya berkerut dalam kesakitan, sementara Ian merasakan tubuhnya seperti terpecah, setiap otot dan sendi tak lagi mampu mengikuti kehendaknya. Tubuhnya sudah hampir kehilangan kendali sepenuhnya, dan dalam kegelapan yang menyelimuti kesadarannya, rasa sakit itu semakin menusuk hingga hampir membuatnya gila.
Saat itu Thalindra, dengan ketenangan yang menakutkan, melanjutkan mantranya—mantra yang tak hanya memanggil kekuatan kuno, tetapi juga mengguncang dunia di sekitar mereka. Suara itu mulai mengalun, semakin dalam, seolah-olah setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah desiran angin yang berbisik di tengah badai, ombak yang menghantam karang dengan kekuatan alam, suara gemuruh dari kedalaman tanah yang berabad-abad usianya. Bukan hanya kata-kata itu yang menggema, tetapi juga energi yang terkandung di dalamnya—energi yang begitu kuat, begitu menggetarkan, sampai terasa seperti gempa yang menghancurkan setiap fondasi yang ada dalam diri Ian dan Gerude.
"Velaeron vulmara idris fomar, Jura pharostra, temris luxor, Hecros bael inum etros virga, Luminaria vera, viii..."
Mereka merasa tubuh mereka tergulung dalam lautan energi yang tak bisa dihentikan, seperti dihantam gelombang panas yang membakar, menghancurkan segala yang ada. Ian menggertakkan gigi, darahnya mendidih di dalam pembuluhnya, tubuhnya terasa seperti akan hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Setiap sendi terasa rapuh, setiap otot bagaikan terkoyak, dan rasa sakit yang mendalam itu membuatnya hampir kehilangan kesadaran. "Gerude..." suara Ian keluar, hampir tak terdengar, bibirnya bergetar.
Gerude hampir kehilangan kendali atas tubuhnya yang semakin melemah. "Aku... tak... bisa..." Katanya, darah mulai mengalir dari sudut bibirnya, wajahnya berkerut dalam penderitaan. Air mata kesakitan bercucuran, namun ia berusaha keras untuk bertahan, mengingat janji yang ia buat dengan Ian—janji untuk bertahan.
Mantra-mantra Thalindra mengalir semakin cepat. Semakin keras. Bergema seperti suara gemuruh yang datang dari pusat bumi, dari kegelapan yang jauh lebih dalam daripada apa pun yang bisa mereka bayangkan. Setiap kata membawa beban yang lebih berat, lebih mematikan. Kedua kakak beradik itu hampir tak bisa bernapas lagi, tubuh mereka terasa begitu rapuh, seolah tak ada lagi kekuatan yang tersisa untuk melawan. Setiap detik berasa seperti seumur hidup.
Dengan suara yang semakin keras, melengking. Thalindra mengucapkan mantra terakhir—mantra yang begitu kuno, begitu berat, begitu penuh dengan kekuatan yang tak terbayangkan, hingga rasanya dunia ini seakan berhenti sejenak, terhenti oleh kebesaran energi yang dilepaskannya.
"Krelian astravus orheim lios, Egeris falvor lus trisanna, Optra faelia sorbellos, Ignis ultima, caris praetori!"
Mantra itu meluncur bagaikan semburan api yang tak terbendung. Suara gemuruhnya memekakkan telinga mereka, menghantam tubuh mereka dengan kecepatan yang tak terduga. Dunia seolah mengguncang, dan tubuh mereka terpelanting ke tanah, seolah-olah mereka dipukul oleh gelombang energi yang begitu kuat, begitu dahsyat, hingga setiap otot dan pembuluh darah mereka meledak. Darah mereka mendidih di dalam tubuh mereka, dan rasa sakit itu, rasa sakit yang hampir melampaui batas kemanusiaan, memaksa mereka untuk terdiam, kehilangan suara. Tidak ada teriakan, tidak ada jeritan, hanya kesakitan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Lalu, tiba-tiba, dalam sekejap mata, rasa sakit itu berubah menjadi kebisuan yang mencekam. Seperti terjun ke dalam kehampaan yang sangat dalam, sebuah kekosongan yang begitu luas, begitu sunyi, hingga mereka hampir merasa tak ada lagi yang hidup dalam tubuh mereka. Mereka jatuh ke dalam keheningan. Tubuh mereka hampir tak terasa, seolah menjadi bagian dari kegelapan yang menyelubungi dunia.
Namun di balik kebisuan itu, sesuatu mulai terbangun. Sebuah kekuatan yang begitu besar, begitu kuat, yang tidak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata, mulai mengalir melalui tubuh mereka. Seluruh alam semesta mengalir dalam darah mereka. Kekuatan yang mengalir dalam setiap denyut jantung mereka, dalam setiap hela nafas yang mereka tarik. Mereka merasakan energi itu mengisi setiap ruang kosong dalam tubuh mereka, mengisi setiap sel, dan memberikan kekuatan yang jauh melampaui batas manusia.
Di sana, dalam keheningan malam yang terus berlangsung, mereka tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup. Mereka berjuang untuk menemukan arti dari segala penderitaan ini—untuk menemukan diri mereka yang sebenarnya, untuk memahami kekuatan yang baru saja mereka bangkitkan, dan untuk menghadapinya dengan tekad yang tak tergoyahkan.
Dengan napas yang hampir terhenti dan tubuh yang terkulai lemah, mereka akhirnya jatuh ke dalam ketidaksadaran. Namun, di dalam keheningan itu, mereka berdua tahu—kekuatan yang mereka bawa bukanlah akhir. Itu hanyalah awal dari perjalanan mereka yang lebih besar, sebuah perjalanan yang akan mengubah takdir dunia.
**
Selama tujuh hari penuh, Ian dan Gerude terbaring tak sadarkan diri. Tenggelam dalam suatu kedalaman yang tak terjangkau oleh waktu dan ruang. Mereka berada di luar jangkauan dunia yang mereka kenal, di suatu tempat yang lebih gelap daripada tidur, lebih dalam daripada mimpi. Mereka terperangkap dalam kekosongan yang begitu luas dan penuh misteri, sebuah ruang yang bagaikan jurang tak berdasar, di mana hanya ada gelap yang menunggu untuk menyerap mereka sepenuhnya.
Kekuatan yang mereka bangkitkan melalui ritual pembangkitan itu begitu dekat, terasa menggetarkan dari setiap serat tubuh mereka, namun sangat jauh, seperti sebuah kekuatan yang terlalu besar untuk ditanggung oleh tubuh manusia. Tubuh mereka, lelah dan rusak, tidak mampu sepenuhnya menahan beban itu, tetapi jiwanya, yang kini terlahir kembali, telah disulam oleh kekuatan alam itu sendiri—setengah manusia, setengah alam. Mereka bukan lagi sekadar makhluk fana, tetapi sesuatu yang melampaui batas mortalitas, sesuatu yang lebih besar dari apa pun yang bisa dibayangkan.
Pada hari ketujuh, setelah kekuatan itu hampir menghabiskan mereka hingga batas tak terbayangkan, tubuh mereka akhirnya mulai memberi respons. Tanpa suara, tanpa peringatan, mata Ian dan Gerude perlahan terbuka. Keheningan yang menyelimuti mereka begitu mencekam, begitu padat, seakan dunia itu sendiri terdiam untuk memberi ruang pada kelahiran mereka yang baru. Tarikan napas mereka terasa lebih berat dari sebelumnya, lebih penuh dengan kehidupan yang tak pernah mereka kenali sebelumnya, namun juga lebih memberatkan.
Ian membuka matanya terlebih dahulu. Pandangannya kabur, dunia di sekelilingnya hanya tampak sebagai kabut tipis yang membingkai segalanya. Namun ada sesuatu yang berbeda. Dunia yang dulunya asing dan menakutkan kini terasa begitu hidup. Hutan yang ada di sekeliling mereka seolah bergetar dengan kehidupan yang baru, mereka adalah bagian darinya. Matahari yang bersinar melalui celah-celah daun, menciptakan serpihan-serpihan cahaya yang menari di tanah, sementara udara segar membawa aroma tanah basah dan kehidupan baru yang berkembang. Dan rasa sakit, yang semula menekan tubuhnya, kini terasa menghilang, diterbangkan oleh udara yang penuh dengan kehidupan dan energi segar. Tubuhnya hanya menyisakan bekas—sisa-sisa energi yang membara, belum sepenuhnya terkendali.
Di sampingnya, Gerude menggeliat perlahan, tubuhnya mengeluarkan desahan lemah. Perlahan, matanya terbuka, menghadap langit yang dipenuhi dengan daun-daun hijau yang bergoyang lembut, seolah menyambut mereka kembali ke dunia ini. Ia menatap sekeliling, mencoba untuk mengerti apa yang telah terjadi.
"Apa yang terjadi?" suara Gerude serak, tertegun dan penuh kecemasan. "Apakah... kita berhasil?" Ia mencoba duduk, tubuhnya terasa lemah dan kesulitan, seakan-akan seluruh energi yang ada belum sepenuhnya pulih.
Ian menatap langit di atas mereka, menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya yang masih terperangkap dalam kekuatan yang mengalir begitu deras. "Aku... aku rasa kita berhasil." Suaranya terdengar lebih tegas daripada yang ia rasakan dalam hatinya. Ia tahu mereka baru saja membuka pintu menuju sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menantang.
Elara, yang duduk tak jauh dari mereka, menatap mereka dengan wajah yang penuh pengertian. Ia mengangguk pelan, matanya mengandung kewaspadaan yang dalam. "Kalian baru saja mengatasi tahap pertama," ujarnya dengan suara lembut, namun jelas dan penuh makna. "Tapi kalian harus melanjutkan. Kekuatan ini—kekuatan alam—akan terus menguji kalian. Apa yang kalian rasakan saat ini hanyalah sebagian kecil dari apa yang akan datang. Kalian hanya mendapatkan sedikit darinya. Kalian harus berlatih, mengendalikan apa yang telah terbangun dalam diri kalian."
Dari sudut ruangan yang lain, Thalindra berdiri, memandang mereka dengan mata yang penuh kebijaksanaan dan kesabaran. "Keberanian kalian menghadapinya adalah langkah pertama," katanya, suara penuh ketegasan, namun tak terburu-buru. "Kalian harus memahami sihir lebih dalam. Sihir alam bukan hanya soal kekuatan. Ini adalah tentang keseimbangan—tentang hidup, kematian, dan segala yang ada di antaranya. Kalian baru saja menyentuh permukaannya. Jika kalian ingin menguasainya, kalian harus siap untuk memahami esensinya."
Mereka tidak memiliki banyak waktu untuk bertanya lebih lanjut. Tubuh mereka, meskipun telah pulih dari ritual yang hampir merenggut nyawa mereka, masih terasa lemah dan rapuh. Gerude merasakan rasa sakit ringan pada persendiannya, sementara Ian merasakan aliran kekuatan di dalam dirinya, meskipun sesuatu masih terasa tertahan, seolah ada bagian dari kekuatan itu yang belum sepenuhnya tercapai.
Thalindra menatap mereka sekali lagi, memberi isyarat dengan tatapan yang penuh ketegasan. "Ayo," katanya, suara tegasnya menggetarkan udara di sekitar mereka, "Saatnya berlatih. Saatnya melanjutkan perjalanan kalian."
**
Di bawah naungan pepohonan raksasa yang menjulang tinggi dan membentuk atap alami di atas mereka, suasana hutan terasa penuh dengan kehidupan yang tak terucapkan. Udara yang mengalir, meski lembut, seakan membawa sensasi energi yang kuat, seolah setiap helaan napas mereka dipenuhi dengan kekuatan yang tidak terlihat namun terasa di setiap inci tubuh. Setiap dedaunan yang bergoyang, setiap riak air di sungai yang mengalir, bahkan setiap batu di bawah kaki mereka, semuanya seolah berbicara dalam bahasa yang tidak mereka mengerti. Dunia di sekitar mereka hidup, dan di sinilah mereka akan belajar untuk mendengarnya.
Thalindra berdiri di hadapan Ian dan Gerude. Posturnya tegak penuh ketenangan. Matanya tenang memancarkan kebijaksanaan yang telah diasah oleh waktu yang tak terhitung jumlahnya. Setiap gerakan tubuhnya memancarkan kedamaian, tetapi mereka dapat merasakan kekuatan yang begitu besar tersembunyi dalam setiap kata yang ia ucapkan.
"Jadi, kalian sudah merasakan sedikit dari kekuatan alam ini," kata Thalindra, suaranya rendah namun jelas, seakan membentuk setiap kata menjadi mantra yang menenangkan dan menggugah. "Namun untuk benar-benar menguasai sihir, kalian harus mengerti lebih dari sekadar cara menggunakannya. Kalian harus memahami apa yang mendasarinya—bagaimana sihir pertama kali tercipta, bagaimana ia bekerja, dan bagaimana kalian bisa menyatu dengan kekuatan kalian."
Thalindra berhenti sejenak, memberi ruang bagi kedua pemuda itu untuk mencerna kata-katanya. Getaran halus mulai mengelilingi mereka, menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah yang lebih dalam—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan magis.
"Sihir," lanjut Thalindra dengan suara yang bergetar lembut namun penuh kewibawaan, "adalah bahasa yang lebih tua daripada waktu itu sendiri. Ia bukan hanya sekedar alat atau kekuatan yang bisa dimiliki, tetapi merupakan kekuatan primordial yang mengalir di dalam setiap hal yang ada di dunia ini—baik yang terlihat maupun yang tak terlihat. Sihir adalah jembatan antara manusia dan alam, sebuah cara untuk berkomunikasi dengan dunia yang lebih besar dari diri kita sendiri." Ian dan Gerude mendengarkan dengan seksama, rasa ingin tahu mereka semakin membesar.
Thalindra melanjutkan, "Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh, kalian harus tahu bagaimana sihir ini tercipta. Sihir bukanlah sesuatu yang ditemukan oleh manusia seperti kita. Sihir pertama kali ada jauh sebelum kita ada di dunia ini. Ada zaman yang lebih tua dari zaman kita, sebuah era yang tak tercatat dalam sejarah. Pada masa itu, dunia ini dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan alam yang tak terhingga, kekuatan yang mengalir melalui segala sesuatu—batu, air, udara, cahaya bahkan kegelapan. Alam adalah satu kesatuan yang utuh, yang bergerak sesuai dengan ritme yang tidak dapat kita pahami sepenuhnya."
Thalindra mengangkat tangannya, seakan merasakan energi itu mengalir di tubuhnya. "Kekuatan pertama yang disebut sebagai sihir ditemukan oleh makhluk yang jauh lebih tua daripada manusia—makhluk yang disebut Valtharion. Mereka bukanlah makhluk seperti yang kita kenal sekarang; mereka adalah entitas yang menguasai dan memahami inti dari kehidupan itu sendiri. Mereka adalah penjaga pertama alam, makhluk yang lebih dekat dengan alam semesta, lebih dekat dengan kekuatan yang lebih besar dari yang bisa kita bayangkan."
Ia berhenti sejenak, menatap jauh ke depan, seakan mengingat kisah yang sudah begitu lama terlupakan. "Valtharion ini hidup pada zaman yang sangat kuno, jauh sebelum peradaban manusia pertama kali muncul. Mereka mengerti bagaimana alam ini bekerja, bagaimana semua elemen—tanah, air, api, udara, cahaya, kegelapan—berkaitan satu sama lain. Mereka tidak hanya tahu bagaimana cara menggunakan elemen-elemen tersebut, tetapi mereka juga tahu bagaimana cara berbicara dengan elemen-elemen itu, bagaimana cara membuat mereka bekerja sesuai dengan kehendak mereka."
"Namun," lanjut Thalindra, suara tangguhnya menggetarkan udara di sekitar mereka, "pada akhirnya, mereka menyadari bahwa kekuatan ini—kekuatan yang mereka temukan dan pelajari—adalah sesuatu yang harus dijaga. Mereka menyembunyikan pengetahuan ini dari dunia luar, hanya membagikan sedikit dari apa yang mereka ketahui kepada orang-orang tertentu yang mereka anggap layak. Sihir itu kemudian mulai dipelajari oleh beberapa ras dan bangsa yang memiliki kebijaksanaan untuk memahaminya. Dari sinilah mantra pertama kali tercipta."
Gerude menelan ludah, merasa takjub oleh penjelasan Thalindra. "Jadi... sihir berasal dari makhluk yang lebih tua dari kita? Dan mereka yang pertama kali menciptakan mantra-mantra itu?"
Thalindra mengangguk perlahan, "Ya. Mantra pertama kali tercipta dari pemahaman mereka terhadap energi alam, yang kemudian dituangkan dalam bentuk kata-kata kuno. Kata-kata itu bukan sekadar rangkaian bunyi, tetapi kunci untuk membuka energi alam yang terpendam di bawah permukaan. Setiap mantra adalah representasi dari sebuah elemen, dan setiap kata dalam mantra itu mengandung energi yang dapat menghubungkan kita dengan alam."
Ian, yang mendengarkan dengan penuh perhatian, bertanya, "Lalu bagaimana kita bisa mengetahui nama-nama elemen dan mantra-mantra itu?"
Thalindra tersenyum bijak. "Mantra-mantra kuno ini disusun dengan sangat hati-hati. Setiap elemen alam memiliki nama yang telah diturunkan selama ribuan tahun. Nama-nama ini adalah kunci untuk memanggil kekuatan yang terkandung di dalam elemen tersebut. Namun, tidak semua orang dapat mengucapkannya dengan benar. Setiap kata, setiap suara, harus diucapkan dengan benar-benar memahami esensi dari kata tersebut."
Thalindra melanjutkan penjelasannya, "Ada empat elemen dasar yang membentuk dunia ini: Tanah, Air, Api, dan Udara. Ini adalah elemen-elemen yang paling mendasar dan mudah diakses oleh sihir. Namun, seiring dengan berkembangnya pemahaman tentang sihir elemen-elemen yang lebih kompleks dan lebih kuat tercipta."
Ia berhenti sejenak, memperhatikan kedua pemuda itu, lalu dengan serius melanjutkan, "Setelah menguasai empat elemen dasar, ada elemen-elemen tingkat menengah dan tinggi yang lebih sulit dan berbahaya, seperti Petir, Es, Cahaya, Kegelapan, bahkan Waktu, Ruang, dan Energi Murni. Elemen-elemen ini jauh lebih rumit dan membutuhkan lebih banyak latihan dan pemahaman."
Thalindra kemudian menyebutkan beberapa nama kuno untuk elemen dasar dengan suara yang dalam, seakan memperkenalkan mereka kepada kekuatan yang terkandung dalam kata-kata tersebut, "Untuk Tanah, kita menggunakan kata 'Terra', yang berarti tanah itu sendiri, dan 'Velorus', untuk menggerakkan atau memanipulasi benda padat. Untuk Air, kita menggunakan 'Aquos' untuk memanggil air, dan 'Sirae' untuk mengubah bentuknya. Api dipanggil dengan 'Fyr', dan untuk mengendalikannya, kita menggunakan 'Ossera'. Angin menggunakan kata 'Aeros', dan 'Saethos' untuk mempercepat pergerakannya."
"Setiap elemen memiliki kata-kata kuno yang khusus," lanjut Thalindra, "dan untuk merangkainya menjadi mantra, kalian harus menghubungkan kata-kata ini dengan niat kalian, dengan perasaan kalian. Kalian harus memahami bagaimana elemen-elemen ini bekerja bersama, dan bagaimana satu elemen bisa memengaruhi yang lainnya."
Thalindra berdiri tegak, matanya memandang jauh ke depan. "Sekarang, mari kita mulai dengan latihan pertama. Cobalah untuk merasakan elemen-elemen ini di sekitar kalian, dan ucapkan kata-kata kuno dengan penuh perhatian. Jangan hanya mengucapkannya—rasakan energi yang terkandung di dalamnya. Biarkan kata-kata itu mengalir melalui tubuh kalian, dan lihat bagaimana alam ini merespons."
**
Ian dan Gerude berdiri di hadapan elemen-elemen alam yang tak terlihat, siap untuk memulai latihan mereka. Masing-masing dari mereka telah diberi kesempatan untuk merasakan energi yang mengalir di sekitar mereka, dan keduanya kini memusatkan perhatian pada elemen yang ada di sekitar mereka.
"Mulailah dengan elemen yang paling dekat dengan kalian," kata Thalindra, suaranya tenang namun penuh penekanan. "Rasakan bagaimana mereka bergerak di sekitar kalian. Gunakan kata-kata kuno untuk memanggil mereka, dan biarkan energi mereka mengalir melalui tubuh kalian."
Gerude mengambil napas dalam-dalam, memfokuskan pikirannya pada elemen pertama yang ingin ia panggil—Tanah. Ia menyebutkan kata pertama dalam mantra kuno, "Terra…" suaranya bergema lembut di udara. Ia menunggu, merasakan apakah kekuatan tanah akan merespons. Namun, tidak ada perubahan. Tanah di bawah kakinya tetap terdiam, seolah tidak mendengarnya. Ia mencoba sekali lagi, sedikit lebih keras kali ini, "Terra!" Namun, tidak ada reaksi.
Frustrasi mulai tumbuh di dalam dirinya. Ia merasakan ada sesuatu yang menghalangi, sebuah batas yang tak terlihat. Tidak seperti yang dijelaskan Thalindra, ia merasa seolah elemen itu menolaknya, tidak bergerak sedikit pun. "Apa yang salah?" gumam Gerude, menatap tanah yang tak memberi respons.
Di sisi lain, Ian juga sedang mencoba untuk memanggil elemen Air. Ia berdiri di dekat sungai kecil yang mengalir di dekat mereka, berharap bisa merasakan sentuhan elemen air yang begitu dekat. Dengan suara yang tegas, ia mengucapkan kata kuno, "Aquos." Namun, meskipun ada suara lembut air yang mengalir di sekitar mereka, tak ada perubahan pada aliran sungai itu. Ian mencoba sekali lagi, menambah konsentrasi, "Aquos!" Tapi tetap saja, air itu hanya mengalir seperti biasa, tanpa ada tanda-tanda perubahan.
"Kenapa ini tidak bekerja?" Ian berpikir, kebingungannya mulai merayap.
Thalindra, yang telah memperhatikan latihan mereka, menghampiri mereka berdua dengan langkah tenang. Ia tidak terkejut melihat kesulitan yang mereka hadapi, "Kalian merasakan hambatan, bukan?" tanya Thalindra dengan lembut.
Gerude mengangguk dengan ekspresi bingung. "Kenapa elemen-elemen ini tidak merespons kami? Kami sudah mengucapkan kata-kata kuno dengan benar, kenapa mereka tetap diam?"
Thalindra menatap mereka berdua dengan mata yang penuh pemahaman. "Sihir bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Alam ini hanya akan merespons jika kalian benar-benar terhubung dengannya, bukan hanya dengan kata-kata. Kalian harus mengerti inti dari elemen-elemen ini, dan bagaimana mereka terhubung dengan kekuatan dasar dalam diri kalian."
Ia berhenti sejenak, memberi mereka waktu untuk mencerna kata-katanya. "Ada kekuatan yang lebih dalam mengalir di diri kalian, kekuatan yang berasal dari sumber yang lebih tua daripada apa yang bisa kalian bayangkan. Namun, kekuatan ini bukanlah sesuatu yang bisa kalian kendalikan dengan mudah. Ada bagian dari diri kalian yang masih terikat, yang masih belum sepenuhnya terbuka. Alam ini membutuhkan lebih dari sekadar mantra—ia membutuhkan keselarasan, dan untuk mencapai keselarasan itu, kalian harus memahami diri kalian sendiri terlebih dahulu."
Gerude menatap Thalindra dengan penuh rasa penasaran, sementara Ian mencoba untuk mencerna kata-kata Thalindra. "Jadi... ada sesuatu yang ada di dalam diri kami yang menghalangi?" tanya Ian, suaranya bergetar sedikit.
Thalindra mengangguk perlahan, "Ya. Kalian berdua memiliki kekuatan yang luar biasa, namun ada bagian dari diri kalian yang belum sepenuhnya terhubung dengan alam. Kekuatan kalian bukan hanya tentang mengucapkan kata-kata atau merangkai mantra. Ada sesuatu yang lebih penting, sesuatu yang kalian belum temukan."
Gerude, yang merasa semakin bingung, bertanya, "Apa yang harus kami lakukan?"
Thalindra memandang mereka. "Kalian harus lebih dari sekedar merapalkan sihir. Kalian harus menjadi bagian dari alam itu sendiri. Sihir ini adalah sebuah perjalanan panjang. Perjalanan itu adalah belajar untuk mendengar. Kalian harus belajar mendengar suara alam yang lebih luas—bukan hanya angin atau gemericik air, tetapi suara yang ada di dalam hati kalian."
Ia memberi mereka waktu untuk menyerap penjelasannya sebelum melanjutkan. "Kalian harus melatih diri untuk menjadi satu dengan elemen-elemen ini, untuk merasakannya bukan hanya dengan tubuh kalian, tetapi dengan pikiran dan jiwa kalian. Kalian harus menemukan keseimbangan dalam diri kalian, dan hanya setelah itu alam akan merespons."
Thalindra kemudian menjelaskan lebih lanjut, "Setiap elemen memiliki sifat yang berbeda. Tanah adalah dasar, ia stabil dan berat, tetapi ia bisa menjadi keras dan tidak dapat digerakkan jika kalian tidak memahami ritme dan alirannya. Air, di sisi lain, lebih fleksibel, tetapi ia membutuhkan kelembutan dan ketenangan untuk bisa mengalir dengan bebas. Kalian harus belajar untuk merasakan perbedaan ini—untuk mengerti bagaimana cara masing-masing elemen bekerja."
Thalindra menatap mereka dengan penuh pengertian. "Latihan kalian baru saja dimulai. Kalian harus berlatih lebih banyak untuk menemukan keseimbangan dalam diri kalian, hanya mereka yang bisa menemukan keseimbangan dalam diri mereka yang bisa mengaksesnya."
Dengan kata-kata itu, Thalindra memberi mereka sedikit ruang untuk berlatih lebih banyak, sambil mengawasi dari kejauhan.
**
Gerude dan Ian terdiam sejenak, mencerna setiap kata Thalindra yang menggema dalam pikiran mereka. Mereka berdiri di tengah hutan yang penuh dengan kehidupan, namun terasa seperti dunia yang baru bagi mereka—dunia yang penuh dengan misteri, tantangan, dan kekuatan yang jauh melampaui pemahaman mereka. Udara di sekitar mereka semakin terasa tebal, seolah alam itu sendiri sedang menunggu jawaban dari mereka.
Perlahan, Gerude kembali menundukkan kepalanya dan mencoba untuk merasakan Tanah. Ia menutup matanya, mencoba membuang segala pikiran yang menghalanginya. Ia memusatkan perhatian pada tanah di bawah kakinya, merasakan energi yang tersembunyi di dalamnya, kekuatan yang membangun segala sesuatu dari akar yang terdalam hingga puncak pohon yang menjulang tinggi. "Terra..." ia bisikkan pelan. Lebih lembut dari sebelumnya, penuh rasa hormat. Ia mengatur napas, berusaha agar setiap kata yang ia ucapkan datang dari kedalaman hatinya, bukan sekadar suara.
Beberapa detik berlalu, dan meskipun tanah di bawah kakinya tidak bergoncang atau bergerak, ia merasakan sesuatu yang halus, getaran lembut yang mulai terasa dari telapak kakinya. Seakan tanah itu meresponsnya, meresapi niat dan ketulusan yang ia coba masukkan dalam kata-kata yang ia rapalkan. Gerude membuka matanya perlahan, wajahnya tersenyum samar. Ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama, dan meskipun tidak banyak, ini adalah tanda bahwa ia mulai terhubung.
Di sisi lain, Ian juga kembali fokus pada elemen Air. Ia memandang sungai kecil yang mengalir di dekat mereka, merasakan setiap tetes yang bergerak dengan bebas, seakan bernyanyi dengan irama alam yang tak terucapkan. "Aquos..." katanya, kali ini dengan lebih tenang. Penuh keyakinan. Ia merasa elemen itu, entah bagaimana, mulai mendekat. Air di sungai itu tetap mengalir, namun ia bisa merasakan aliran yang lebih dalam, seolah air itu sedang menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.
Tak ada perubahan yang mencolok, tetapi Ian merasa sensasi halus yang melingkupi tubuhnya—sebuah hubungan yang tumbuh perlahan. Ia menyadari bahwa kekuatan ini bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, melainkan sesuatu yang harus dipahami dan diterima dengan penuh ketenangan.
Thalindra, yang memperhatikan latihan mereka, merasa senang melihat mereka mulai merasakan sedikit demi sedikit kekuatan yang tersembunyi dalam elemen-elemen tersebut. Namun, ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Mereka baru saja menyentuh permukaan dari apa yang akan mereka hadapi.
"Bagus, kalian mulai merasakannya," kata Thalindra, suaranya tenang namun penuh makna. "Namun ingat, ini bukan hanya tentang kata-kata. Elemen-elemen ini tidak hanya merespons suara, tetapi juga hati yang mengucapkannya. Alam tidak melihat apakah kalian kuat atau lemah, pintar atau bodoh. Alam melihat niat kalian, kedalaman kalian. Kalian harus belajar untuk mendengar, untuk merasakan."
"Sekarang, kita coba berpindah ke elemen selanjutnya," Thalindra melanjutkan, matanya berkilau penuh kebijaksanaan. "Kalian akan belajar untuk mengendalikan Api dan Angin, dua elemen yang sangat kuat, namun juga sangat berbahaya."
Ia memberi mereka waktu sejenak untuk mencerna, lalu melanjutkan. "Api adalah elemen yang penuh dengan semangat dan kehancuran. Ia tidak bisa dikendalikan oleh mereka yang memiliki hati yang lemah. Hanya mereka yang memahami kehancuran dan menghormati kekuatannya yang dapat mmenaggil elemen api. Angin, di sisi lain, adalah elemen yang penuh kebebasan dan kecepatan. Ia bisa membawa kalian terbang, tetapi ia juga bisa menghancurkan jika tidak dihargai dan diacuhkan."
Gerude dan Ian mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu bahwa pelajaran ini akan jauh lebih berat daripada sebelumnya. Mereka harus lebih berhati-hati, lebih sadar akan kekuatan yang ada di tangan mereka.
"Mantra pertama untuk Api adalah Fyr," Thalindra berkata, menatap mereka satu per satu. "Namun untuk memanggilnya dengan benar, kalian harus memahaminya. Api bukan hanya tentang api yang membakar. Ia juga tentang pengorbanan, tentang keberanian untuk menghadapi kegelapan dalam diri kalian. Tanpa pemahaman ini, mantra hanya akan menjadi kata-kata kosong."
Gerude dan Ian mengangguk, meskipun mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Mereka sudah merasakan betapa kuatnya alam ini, dan mereka tahu bahwa untuk menguasainya, mereka harus lebih dari sekadar berlatih. Mereka harus menjadi satu dengan elemen-elemen ini, memahami setiap makna yang terkandung dalam setiap kata dan setiap kekuatan yang ada di dunia ini.
Thalindra melanjutkan, "Untuk Angin, kata-kata yang kalian butuhkan adalah Aeros. Tetapi seperti halnya Api, Angin membutuhkan keharmonisan. Angin datang dengan kebebasan, tetapi juga dengan tanggung jawab. Kalian harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan kecepatan dan aliran Angin, bukan memaksanya untuk mengikuti kehendak kalian."
Ketika Thalindra selesai menjelaskan, suasana menjadi lebih tenang. Gerude dan Ian merasa ada beban berat yang menekan dada mereka, namun di sisi lain, ada rasa tanggung jawab yang besar—tanggung jawab untuk memahami kekuatan ini dan menggunakannya dengan bijak.
**
Saat latihan kembali berlanjut, suasana hutan terasa penuh dengan energi yang memancar dari Ian dan Gerude. Mereka dengan penuh fokus, mencoba meresapi kata-kata yang baru saja mereka pelajari. Kali ini, mereka berdiri lebih tegap, seolah siap menghadapi tantangan yang lebih besar. Keduanya mengerti bahwa ini bukan hanya sekadar latihan—ini adalah bagian dari proses penguasaan diri mereka atas kekuatan yang telah mereka tangani dengan hati-hati.
Gerude menatap api yang mulai berkobar di dekatnya, hatinya berdebar lebih cepat. "Fyr..." kata-kata itu keluar dari bibirnya, lebih tegas dan jelas dari sebelumnya. Ia merasakan api itu menjawab, merespons dengan cepat, seolah menunggu perintah. Tapi kemudian, perasaan yang tidak terduga melanda dirinya. Api itu seperti hidup, menyala lebih kuat, lebih panas, dan lebih ganas, mengingatkannya pada kenangan yang mengerikan—api yang telah menghancurkan desanya, yang merenggut orang-orang yang ia cintai. Kenangan tentang ibunya, yang meninggal dalam kerusuhan yang tidak terduga, kembali menghantuinya. Api yang dulu ia coba lupakan, kini meresap dalam dirinya, mengingatkan tentang kematian dan kehilangan yang ia alami.
Ian, di sisi lain, mulai merasakan getaran dari Angin yang ia panggil. Angin datang dengan kecepatan yang luar biasa, berputar-putar di sekitarnya, seakan mengundang kekuatan alam untuk mendekat. Namun angin ini bukan hanya angin biasa. Angin yang diciptakannya begitu kuat, seolah membawa sebuah kecepatan yang bisa merobek langit.
Kedua elemen itu merespons dengan sangat cepat, begitu kuat, seolah-olah mereka mendengar jeritan dari kenangan yang tersembunyi dalam diri Gerude dan Ian. Api yang keluar dari Gerude semakin membesar, melahap udara di sekelilingnya, berputar-putar seperti maelstrom, begitu liar dan tak terkendali. Sementara angin yang diciptakan Ian berputar dengan kecepatan tinggi, menghantam pohon-pohon dan batu-batu di sekeliling mereka, menciptakan angin topan yang membuat tanah terangkat dan langit seakan terbelah oleh kekuatan yang tiada tara.
Thalindra dan Elara terkejut, mata mereka membelalak saat melihat kekuatan yang terlepas dari kedua pemuda itu. "Tidak... ini terlalu cepat..." bisik Thalindra, wajahnya tampak cemas. Ia bisa merasakan gelombang energi yang mengguncang udara, seperti gelombang yang datang sebelum badai besar. Elara, yang berdiri di samping Thalindra, tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa memandang dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
Gerude merasa api itu melahap dirinya, hampir mengendalikan pikirannya, menguasai hatinya. Ia teringat betapa api itu telah mengambil segalanya darinya—ibu, rumah, masa depan. Api yang dulu dia benci, kini membakar begitu hebat dalam dirinya, membuatnya merasa hampir tak terkendali. "Aku tidak bisa... aku tidak bisa..." bisiknya dengan suara yang pecah.
Disisi lain, Ian merasa angin yang begitu kuat menyekap tubuhnya, membawanya ke dalam pusaran tak terarah. Angin itu seperti ingin mengangkatnya ke udara, menghancurkan segala sesuatu di jalannya. "Aeros... berhenti..." teriaknya, berusaha meredam kekuatan yang telah dia panggil. Namun angin itu tidak mau mendengarkan, ia malah semakin kuat, semakin ganas, berputar-putar tak terkendali, bertemu dengan api yang menyala di sekitar Gerude.
Keduanya, dalam keadaan panik, mulai menyadari betapa kuatnya kekuatan yang mereka panggil, namun mereka belum cukup menguasai kendali elemen ini. Api yang mengalir dari Gerude bertemu dengan angin yang dihasilkan oleh Ian, dan dalam sekejap, terjadi ledakan energi yang begitu dahsyat, seolah alam terpecah. Api dan angin berpadu menjadi kehancuran yang mengerikan. Api yang awalnya terkontrol, kini membesar tak terkendali, semakin marah oleh angin yang bertiup kencang. Dedaunan yang lebat terbakar dalam sekejap, tanah terangkat, dan pohon-pohon besar hampir tumbang oleh kekuatan yang terbentuk.
"Menjauh!" teriak Thalindra, melangkah maju, mencoba untuk menenangkan mereka. Tetapi sebelum ia bisa melakukan apapun, sebuah gelombang besar dari api dan angin itu mengalir begitu cepat, menghantam segala yang ada di sekeliling mereka. Debu dan api beterbangan, menciptakan gelombang kehancuran yang mendekat dengan cepat.
Gerude dan Ian terperangah, wajah mereka diliputi ketakutan. Mereka merasa tidak berdaya, kekuatan yang mereka panggil kini menjadi sesuatu yang sangat asing dan menakutkan. Mata mereka melirik satu sama lain, merasa cemas akan apa yang bisa terjadi jika mereka tidak segera mengendalikannya.
"Mereka harus dihentikan!" teriak Elara, kini bergerak lebih cepat, mencoba menghalau kekuatan yang meluap tersebut. Tetapi Thalindra menahan tangan Elara, dengan ekspresi serius. "Tidak, mereka harus belajar menghadapinya sendiri," katanya, menatap Gerude dan Ian yang kini terperangkap dalam kekuatan yang mereka panggil sendiri.
Dengan nafas yang berat, Gerude dan Ian mencoba mengalihkan perhatian mereka, berusaha meredakan rasa takut yang menyelubungi mereka. Mereka berdua bersatu dalam niat yang sama—untuk meredakan api dan angin itu. Dengan gemetar, Gerude merangkum kata-kata dalam pikirannya. "Fyr... kembali!" Suara itu keluar dengan penuh keinginan kuat, berusaha meredam api yang berkobar. Ian, dengan gemetar, menambahkan dalam hati, "Aeros... hentikan!"
Lambat laun, kekuatan itu mulai mereda, meskipun tidak sepenuhnya. Api yang membara di sekitar Gerude mulai mereda, angin yang mengamuk di sekitar Ian mulai menghilang. Tetapi ada jejak kehancuran yang tak bisa dihapuskan—tanah yang hangus, pohon yang terbakar, dan suara riuh yang perlahan memudar.
Gerude dan Ian jatuh terduduk, terengah-engah, tubuh mereka gemetar. Ketakutan dan kecemasan masih terbalut di dalam hati mereka. Mereka baru saja menyadari betapa besar kekuatan yang mereka pegang, dan betapa mudahnya mereka bisa menghancurkan segalanya.
Thalindra dan Elara mendekat, wajah mereka serius namun juga penuh pemahaman. "Ini adalah bukti," kata Thalindra dengan suara rendah, "bahwa kalian memiliki potensi besar. Tetapi kalian harus belajar mengendalikan ketakutan kalian, karena ketakutan adalah kekuatan yang bisa menghancurkan segalanya—termasuk diri kalian sendiri."
Gerude dan Ian menundukkan kepala, merenung. Mereka tahu bahwa jalan ini tidak akan mudah, dan bahwa kekuatan yang mereka miliki bisa membawa kehancuran atau penyelamatan. Namun, mereka juga tahu bahwa mereka harus belajar untuk mengendalikannya, atau semuanya akan hilang begitu saja.
**
Hari itu berakhir dengan keheningan yang penuh ketegangan. Ian dan Gerude duduk terdiam, tubuh mereka masih gemetar setelah kekuatan yang merenggut kendali diri mereka. Matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan raksasa, meninggalkan langit yang memerah, seolah mencerminkan perasaan mereka yang masih kacau.
Ian meraba-raba tanah di bawahnya, seolah mencoba mencari pegangan untuk menenangkan dirinya. Pandangannya kosong, terfokus pada sesuatu yang tak terlihat. Ada kekosongan dalam dirinya, sebuah rasa tidak terdefinisi yang mencengkeram jiwanya. Ia tidak bisa menghilangkan perasaan takut yang mendalam, takut akan kekuatan yang telah ia lepaskan, dan lebih takut lagi akan dirinya sendiri. "Aku... hampir membunuh kita semua," pikirannya berulang kali mengingatkan dirinya pada seberapa besar potensi kehancuran yang dia bisa ciptakan hanya dengan sedikit dorongan emosional. Api dan angin yang begitu liar, begitu tak terkendali, hanya mengingatkan betapa rapuhnya kendali mereka atas kekuatan alam.
Gerude yang duduk di sebelahnya merasakan hal yang sama, meskipun perasaannya lebih terfokus pada api yang masih terbayang dalam benaknya. Ia tidak bisa menahan rasa bersalah yang mengalir dalam dirinya, seakan api yang ia panggil telah menjadi bagian dari kegelapan hatinya sendiri. "Kenapa aku memanggilnya?" pikirannya terus bertanya-tanya, merasa seolah-olah dia tidak pantas memegang kekuatan itu. Api itu, yang dulu hanya menjadi kenangan pahit, kini telah kembali menguasai dirinya. Rasanya seperti sebuah beban yang tak bisa ia lepaskan—sebuah simbol dari semua yang telah hilang, semua yang ia benci dan ingin lupakan.
"Aku tidak tahu... jika aku bisa mengendalikannya," Gerude akhirnya berbicara, suaranya serak, hampir tak terdengar oleh Ian. Ia menatap tanah dengan pandangan kosong, pikirannya masih terperangkap dalam api yang baru saja ia lepaskan. "Aku takut..." katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku takut akan kekuatan ini, Ian. Aku takut apa yang bisa aku lakukan dengannya." Air mata mulai menggenang di sudut matanya, namun ia berusaha untuk tetap tegar, meskipun perasaan itu begitu menghimpit dadanya.
Ian menoleh ke arahnya, melihat kekhawatiran yang terpancar dari wajah Gerude. "Aku tahu..." jawabnya, suaranya terasa berat. "Aku merasakannya juga." Ia menundukkan kepala, meresapi perasaan yang mengguncang dirinya. "Tapi kita tidak bisa lari dari ini, Gerude. Kita sudah terlibat dalam sesuatu yang lebih besar dari yang kita bayangkan."
Thalindra dan Elara berdiri beberapa langkah di belakang mereka, memberikan ruang bagi keduanya untuk merenung dan menyembuhkan diri setelah kekacauan yang baru saja terjadi. Keduanya saling bertukar pandang, wajah mereka menunjukkan keprihatinan. Mereka tahu betul bahwa perasaan cemas dan takut yang dirasakan oleh Gerude dan Ian adalah reaksi alami setelah apa yang mereka alami. Kekuatan yang begitu besar, yang begitu mengguncang, bisa menghancurkan siapa saja yang tidak siap menghadapinya. Dan saat itu, Gerude dan Ian belum sepenuhnya siap.
Thalindra akhirnya melangkah maju, menghampiri mereka dengan langkah pelan, mencoba memberikan sedikit ketenangan di tengah kerumitan yang mereka rasakan. "Kekuatan ini tidak akan mudah, dan kalian belum sepenuhnya mengerti bagaimana cara mengendalikannya," katanya, suaranya lembut namun tegas. "Namun, Kalian harus belajar menerima ketakutan itu, bukan menghindarinya. Ketakutan adalah bagian dari proses belajar. Itu adalah tanda bahwa kalian menyadari tanggung jawab yang ada di tangan kalian."
Ian dan Gerude hanya mengangguk pelan, kata-kata Thalindra seperti sebuah pelukan dalam bentuknya yang paling kuat, meskipun mereka masih merasa kosong di dalam. Perasaan tidak karuan itu—antara ketakutan, kebingungan, dan harapan—masih mengganjal di hati mereka. Keduanya tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah, dan bahwa mereka akan menghadapi banyak rintangan yang jauh lebih besar di depan.
Elara yang berdiri di samping Thalindra memandang dengan penuh perhatian. "Ingatlah," katanya pelan, "kekuatan tidak hanya tentang apa yang bisa kalian lakukan. Tetapi tentang siapa kalian ketika kalian menggunakannya." Ada sedikit kehangatan dalam kata-katanya, mencoba mengangkat beban yang terasa begitu berat di pundak Ian dan Gerude.
Malam itu, hanya ada suara lembut angin yang berbisik di antara daun-daun raksasa, dan bunyi serangga malam yang menenangkan. Ian dan Gerude duduk di sana, terperangkap dalam pikiran mereka sendiri, mencoba mencari jalan keluar dari perasaan yang masih membekas. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan meskipun mereka merasa tidak karuan, mereka juga tahu bahwa mereka harus terus maju—karena di balik ketakutan itu, ada kekuatan yang menunggu untuk ditemukan, dan sebuah takdir yang telah ditulis untuk mereka berdua.