Ryu mengikuti Master Toshi menuju sebuah tempat yang tersembunyi di balik hutan lebat, jauh dari pandangan pasukan iblis yang terus mengancam dunia. Di sana, di tengah pegunungan yang tinggi dan berbatu, mereka tiba di sebuah kuil tua yang terlupakan oleh waktu. Kuil itu dipenuhi dengan udara ketenangan dan aura kekuatan kuno yang terasa begitu kuat, seolah tempat ini telah ada sejak zaman para dewa.
"Ini adalah tempat yang telah lama terlupakan oleh dunia luar," kata Master Toshi, matanya menyapu lingkungan sekitar dengan penuh rasa hormat. "Di sini, kamu akan mempelajari seni sejati dalam mengendalikan kekuatan, tetapi itu tidak akan mudah, Ryu. Hanya mereka yang memiliki tekad sejati yang bisa bertahan."
Ryu mengangguk dengan sungguh-sungguh. Walaupun perjalanan mereka baru dimulai, ia sudah merasa bahwa ini adalah kesempatan terbaik untuk mengendalikan kekuatan yang ada dalam dirinya. Kekuatan *Flame Heart* yang selama ini begitu membebaninya kini menjadi sumber kebingungannya. Ia tahu, untuk mengalahkan Akuma dan menghentikan kehancuran dunia, ia harus memahami sepenuhnya kekuatan itu—bukan hanya mengandalkan insting belaka.
Selama beberapa minggu pertama, pelatihan di kuil ini berlangsung dengan sangat keras. Master Toshi mengajarkan Ryu teknik-teknik pedang yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan batin yang mendalam. "Seorang pendekar sejati tidak hanya mengandalkan fisiknya, tetapi juga harus memahami kedamaian dalam hatinya," ujar Toshi pada suatu malam setelah sesi pelatihan yang melelahkan. "Untuk mengendalikan kekuatan yang luar biasa, kau harus bisa mengendalikan kegelapan dalam dirimu. Kekuatan *Flame Heart* bisa membuatmu kuat, tapi jika kau tidak berhati-hati, itu bisa menjadi api yang menghanguskan segalanya."
Ryu merasa frustasi. Kekuatan itu semakin lama semakin besar, tetapi ia merasa tidak mampu mengendalikannya. Setiap kali ia mencoba menggunakan pedangnya dengan sepenuh hati, ia merasakan gejolak gelap yang mendalam di dalam dirinya. *Flame Heart* bukan hanya memberi kekuatan untuk melawan musuh, tetapi juga membangkitkan sisi kelam yang selama ini tersembunyi dalam dirinya. Rasa amarah dan keinginan untuk membalas dendam sering kali menguasainya, memaksanya untuk bertindak tanpa berpikir.
Suatu malam, ketika Ryu berlatih di luar kuil, angin yang dingin berhembus kencang, dan gelapnya malam semakin menekan jiwanya. Ia duduk bersila di tanah, menutup matanya, berusaha mencari kedamaian di dalam dirinya. Namun, bayangan-bayangan kelam masa lalu, termasuk peristiwa ketika desa mereka dihancurkan dan keluarganya dibantai, terus menghantuinya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara halus di telinganya. "Kekuatan itu akan membunuhmu, Ryu. Kau harus melepaskan rasa sakitmu dan membiarkan api itu menyatu dengan dirimu."
Ryu membuka matanya dan melihat Master Toshi berdiri di hadapannya. Wajah gurunya tampak penuh kebijaksanaan, namun juga terlihat kelelahan. "Ryu, ingatlah, api yang menghanguskan bisa juga memberi kehidupan. Tetapi hanya mereka yang mampu menahan panasnya yang dapat menggunakannya dengan bijak."
Ryu menatap Master Toshi dalam diam, menyadari bahwa ia harus belajar untuk mengendalikan kekuatan tersebut dengan cara yang berbeda. Ia harus belajar untuk tidak membiarkan api itu menguasainya, tetapi mengendalikannya dengan hati yang penuh ketenangan.
Hari-hari berikutnya di kuil menjadi lebih berat. Master Toshi mengajarkan Ryu untuk berdamai dengan sisi gelap dalam dirinya, untuk menerima kenyataan bahwa kekuatan tidak selalu datang dari tempat yang terang. "Keberanian sejati bukan hanya tentang melawan musuh, Ryu," kata Toshi pada suatu kesempatan. "Keberanian sejati adalah ketika kita berhadapan dengan diri kita sendiri, dan memilih untuk tidak membiarkan kegelapan menguasai hati kita."
Sementara itu, hubungan antara Ryu dan Master Toshi semakin kuat. Meskipun Ryu merasa frustasi dengan kemajuan pelatihannya yang lambat, Toshi selalu ada untuk memberi nasihat dan membimbingnya. Mereka berbicara banyak tentang kehidupan, tentang dunia yang telah berubah, dan tentang harapan yang masih ada meskipun segala sesuatu tampak suram.
Suatu pagi, ketika Ryu sedang berlatih pedang, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Dari hutan yang berada di dekat kuil, terdengar suara langkah kaki. Sebuah sosok muncul dari balik pepohonan, seorang wanita muda dengan pakaian penyihir yang sangat berbeda dari orang-orang yang pernah Ryu temui sebelumnya.
Wanita itu memiliki rambut panjang berwarna perak, dengan mata yang tampak seperti memancarkan cahaya biru. Ia berhenti beberapa langkah dari Ryu, memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Aku mendengar tentangmu," katanya dengan suara lembut namun penuh kekuatan. "Ryu, kau adalah pemegang *Flame Heart*, kan?"
Ryu terkejut dan terdiam sejenak. "Siapa... siapa kau?" tanyanya, sedikit curiga.
"Aku Aya," jawab wanita itu, "seorang penyihir yang mencari jalan untuk menyembuhkan dunia ini dari kehancuran yang semakin dekat. Aku tahu bahwa kamu memiliki kekuatan besar, dan aku ingin bergabung dalam perjalananmu."
Ryu mengamati wanita itu dengan penuh perhatian. "Kenapa kamu ingin bergabung dengan kami? Bukankah perjalanan ini berbahaya?"
Aya tersenyum tipis. "Aku punya alasan sendiri. Dunia ini membutuhkan lebih banyak dari sekadar pedang. Kekuatan magis seperti yang aku miliki bisa membantu kita dalam menghadapi musuh yang semakin kuat. Kita bisa saling melengkapi."
Ryu merasakan ketulusan dalam kata-kata Aya, dan meskipun ia masih ragu, ia tahu bahwa perjalanan mereka untuk mengalahkan General Akuma tidak bisa dilakukan seorang diri. Dengan keputusan itu, ia akhirnya mengangguk. "Baiklah, Aya. Bergabunglah dengan kami."
Dengan demikian, perjalanan mereka bertiga pun dimulai. Ryu, dengan kekuatan *Flame Heart*-nya yang semakin sulit dikendalikan, bersama Master Toshi yang bijaksana dan Aya yang penuh misteri, memulai langkah pertama menuju dunia yang terancam hancur oleh kegelapan. Tetapi meskipun mereka baru saja memulai, satu hal sudah pasti—perjalanan ini akan mengubah segalanya, tidak hanya untuk mereka, tetapi juga untuk dunia yang mereka cintai.