Chereads / Sylphoria / Chapter 4 - Bab 4: Badai di Tengah Fajar

Chapter 4 - Bab 4: Badai di Tengah Fajar

Dini hari di perkemahan, keheningan hanya terganggu oleh suara langkah-langkah para penjaga yang berpatroli. Api unggun yang mulai padam memancarkan cahaya samar, menyinari wajah-wajah letih para pekerja yang tertidur di tenda-tenda mereka. KingKoboy berdiri di luar tenda utamanya, memandangi cakrawala yang perlahan memancarkan warna jingga. Fajar baru sedang menyingsing, membawa janji akan hari baru. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa badai sedang mendekat.

"Yang Mulia," suara tegas Lira membuyarkan lamunannya. Wanita itu berjalan mendekat dengan langkah cepat, membawa gulungan surat di tangannya. Wajahnya yang biasanya tenang kini menyiratkan kecemasan. "Pesan dari mata-mata kita di utara. Kerajaan Elarion telah mengetahui keberadaan kita dan mereka tidak senang."

KingKoboy mengambil gulungan itu dan membacanya dengan seksama. Isinya jelas: Elarion, salah satu kerajaan terkuat di benua Sylphoria, menganggap keberadaan kerajaan baru ini sebagai ancaman potensial. Mereka telah mengirim pasukan kecil untuk menyelidiki dan, kemungkinan, mengintimidasi.

"Seperti yang kuduga," gumamnya sambil menggulung kembali surat itu. "Kerajaan besar tidak akan tinggal diam. Mereka takut akan perubahan."

"Apa langkah kita selanjutnya, Yang Mulia?" tanya Lira, matanya menatap penuh harap.

"Kita harus siap menghadapi mereka, tetapi tanpa memancing perang," jawab KingKoboy. "Kumpulkan Galdor dan Kael. Kita perlu membahas strategi."

Beberapa jam kemudian, di dalam tenda besar yang berfungsi sebagai ruang rapat, KingKoboy duduk di ujung meja kayu panjang. Di sebelahnya, Lira berdiri dengan catatan di tangannya, sementara Galdor dan Kael duduk berhadapan. Ketegangan terasa jelas di udara.

"Jadi, Elarion telah mengirim pasukan pengintai," kata Galdor, suaranya berat. "Menurutku, ini adalah langkah awal sebelum serangan penuh. Kita harus menghentikan mereka sekarang sebelum mereka punya kesempatan untuk menyerang."

Kael, yang selama ini diam, mengangkat alis. "Dan bagaimana rencanamu menghentikan mereka? Menyerang duluan? Itu hanya akan memberi mereka alasan untuk menghancurkan kita."

"Kita tidak bisa hanya duduk diam dan berharap mereka akan pergi," balas Galdor tajam. "Kekuatan adalah satu-satunya bahasa yang mereka pahami."

"Cukup," potong KingKoboy sebelum perdebatan itu memanas. Ia menatap keduanya dengan pandangan tegas. "Aku menghargai pendapat kalian, tetapi kita perlu pendekatan yang lebih cerdas. Lira, apa opsi kita?"

Lira menghela napas dan membuka catatannya. "Kita bisa mengirim utusan untuk berbicara dengan mereka. Mungkin mereka hanya ingin memastikan bahwa kita bukan ancaman. Jika kita bisa menunjukkan niat damai kita, mungkin konflik bisa dihindari."

"Dan jika mereka menolak?" tanya Kael, nada suaranya skeptis.

"Maka kita akan siap mempertahankan diri," jawab KingKoboy. "Tetapi aku ingin diplomasi menjadi langkah pertama kita. Kael, aku ingin kau memimpin delegasi ini. Kau tahu bagaimana berbicara dengan orang-orang yang tidak percaya pada otoritas."

Kael terlihat terkejut, tetapi ia mengangguk perlahan. "Baiklah. Tetapi jika ini gagal, jangan salahkan aku."

Delegasi itu berangkat sebelum matahari mencapai puncaknya. Kael, ditemani oleh beberapa prajurit dan seorang diplomat muda bernama Eryn, menuju lokasi di mana pasukan Elarion terakhir terlihat. Mereka membawa bendera putih sebagai tanda damai, meskipun tangan mereka tetap siaga di senjata.

Hutan yang mereka masuki terasa sunyi, terlalu sunyi. Bahkan suara burung pun tak terdengar. Kael merasa bulu kuduknya meremang. "Siapkan diri kalian," bisiknya kepada rombongan. "Mereka ada di dekat sini."

Tak lama kemudian, dari balik pepohonan, muncul sekelompok prajurit berseragam hitam dan emas, warna khas Elarion. Pemimpinnya, seorang pria tinggi dengan rambut pirang yang diikat rapi, melangkah maju. Wajahnya tampak angkuh.

"Aku adalah Kapten Varik dari pasukan Elarion," katanya dengan suara lantang. "Siapa kalian, dan apa tujuan kalian di sini?"

Kael melangkah maju, menatap Varik tanpa gentar. "Aku Kael, utusan dari kerajaan baru yang dipimpin oleh KingKoboy. Kami datang dengan niat damai untuk menjelaskan keberadaan kami dan memastikan bahwa kami bukan ancaman bagi Elarion."

Varik menyipitkan mata, jelas tidak percaya. "Kerajaan baru? Di wilayah ini? Itu adalah tindakan yang berani, mengingat kalian berada di bawah bayang-bayang Elarion."

"Kami tidak berada di bawah bayang-bayang siapa pun," balas Kael tajam. "Kami hanya ingin hidup damai dan membangun masa depan kami sendiri."

Varik tertawa kecil, tetapi ada nada ancaman di baliknya. "Damai? Kerajaan yang lemah seperti milikmu tidak akan bertahan tanpa perlindungan. Jika kau bijak, kau akan tunduk pada Elarion sebelum terlambat."

Kael mengepalkan tangannya, tetapi ia menahan diri. "Kami tidak mencari perlindungan, tetapi kami juga tidak mencari musuh. Jika Elarion menyerang, kami akan bertahan. Tetapi kami lebih memilih untuk bekerja sama daripada berperang."

Varik terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Kael. Akhirnya, ia berkata, "Aku akan membawa pesanmu kepada atasanku. Tetapi jangan berharap terlalu banyak. Elarion tidak dikenal karena kemurahan hatinya."

Ketika delegasi kembali ke perkemahan, malam telah tiba. Kael melaporkan hasil pertemuannya kepada KingKoboy. Meskipun belum ada keputusan, mereka tahu bahwa ancaman dari Elarion belum berakhir.

"Kita harus memperkuat pertahanan," kata Galdor setelah mendengar laporan itu. "Jika mereka menyerang, kita harus siap."

"Aku setuju," jawab KingKoboy. "Tetapi kita juga harus melanjutkan pembangunan. Kita tidak bisa membiarkan ancaman ini menghentikan kemajuan kita."

Selama beberapa minggu berikutnya, perkemahan berubah menjadi benteng kecil. Para pekerja dan prajurit bekerja tanpa lelah, membangun tembok kayu, menyiapkan persediaan, dan melatih taktik bertahan. Di sisi lain, Lira terus berusaha mencari dukungan dari wilayah lain, sementara Kael mencoba membangun kepercayaan lebih dalam di antara rakyat.

Namun, di tengah semua itu, ancaman baru muncul. Pesan rahasia yang diterima Lira menyebutkan bahwa ada pengkhianat di dalam perkemahan, seseorang yang diam-diam memberikan informasi kepada Elarion. Nama pengkhianat itu masih belum diketahui, tetapi keberadaannya menambah ketegangan di antara mereka.

KingKoboy memanggil Lira, Galdor, dan Kael ke tenda utama. "Kita harus menemukan siapa pengkhianat ini sebelum dia merusak semua yang telah kita bangun," katanya dengan nada serius. "Lira, aku ingin kau memimpin penyelidikan. Gunakan semua sumber daya yang kita miliki."

Lira mengangguk. "Akan kulakukan, Yang Mulia. Tapi ini tidak akan mudah. Pengkhianat ini pasti cerdas dan berhati-hati."

"Kita tidak punya pilihan lain," jawab KingKoboy. "Jika kita tidak bisa mempercayai orang-orang di sekitar kita, kerajaan ini tidak akan pernah bertahan."

Malam itu, KingKoboy berdiri sendirian di depan api unggun, memikirkan semua tantangan yang telah mereka hadapi dan yang masih akan datang. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa jalan menuju masa depan tidak akan mudah. Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa menyerah.

"Ini baru permulaan," bisiknya pada dirinya sendiri. "Aku tidak akan berhenti sampai mimpi ini menjadi kenyataan."