Fajar menyingsing dengan tenang, namun suasana di perkemahan KingKoboy penuh kesibukan. Para pekerja mulai mengangkut kayu untuk membangun struktur pertama, sementara pasukan kecil yang dipimpin Jenderal Galdor menjaga perimeter dengan ketat. Meskipun suasana tampak penuh harapan, ketegangan tak bisa disembunyikan. Semua orang tahu bahwa tantangan pertama mereka sudah dekat.
Di dalam tenda utama, KingKoboy duduk menghadap peta besar yang terhampar di meja kayu. Di sebelahnya, Lira berdiri dengan gulungan catatan di tangan. Wajahnya menunjukkan ekspresi serius.
"Utusan kita telah kembali," kata Lira membuka pembicaraan. "Mereka berhasil bertemu dengan pemimpin pemberontak di hutan barat. Namanya Kael. Dia mendengarkan tawaran kita, tapi belum memberikan jawaban pasti."
KingKoboy mengangguk pelan. "Apa kesanmu terhadap Kael?"
"Dia keras, tapi bukan tanpa alasan. Pemberontakannya didasarkan pada kekecewaan terhadap kerajaan-kerajaan besar yang selama ini menindas rakyat kecil. Jika kita bisa menunjukkan bahwa kerajaan kita berbeda, mungkin ada harapan untuk bekerja sama," jawab Lira.
Sebelum KingKoboy sempat menjawab, Galdor masuk ke dalam tenda dengan langkah tegas. Wajahnya mengeras, menandakan bahwa ia membawa kabar buruk.
"Kami menemukan jejak kaki yang mencurigakan di sekitar perkemahan," lapor Galdor. "Sepertinya ada pengintai yang mencoba mendekati kita semalam."
"Pengintai dari pemberontak?" tanya KingKoboy.
"Belum jelas, tapi kemungkinan besar iya. Kita harus bersiap menghadapi serangan," jawab Galdor dengan nada penuh keyakinan.
KingKoboy menghela napas panjang. "Aku berharap mereka datang dengan niat damai, bukan pedang terhunus."
Sementara itu, di tengah hutan barat, Kael berdiri di depan kelompok kecilnya. Mereka berkumpul di sekitar api unggun, membahas tawaran dari KingKoboy. Mata Kael menyipit saat ia membaca ulang pesan dari utusan kerajaan baru itu.
"Apa pendapat kalian?" tanya Kael kepada kelompoknya.
Seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang bernama Mira angkat bicara. "Ini bisa jadi jebakan. Kerajaan-kerajaan lain selalu menggunakan diplomasi sebagai cara untuk memancing kita keluar, lalu menyerang."
"Tapi kita juga tidak bisa terus hidup seperti ini," sela seorang pria tua dengan jubah compang-camping. "Jika tawaran mereka tulus, ini adalah kesempatan bagi kita untuk hidup lebih baik."
Kael termenung, pandangannya terarah pada bara api yang berkilauan. "Aku akan bertemu langsung dengan mereka. Tapi aku tidak akan datang tanpa persiapan. Jika ini jebakan, mereka akan menyesal."
Malam harinya, KingKoboy berdiri di depan rakyat kecilnya. Ia menyampaikan pidato yang membakar semangat, mencoba menanamkan keyakinan bahwa jalan diplomasi adalah pilihan terbaik untuk masa depan mereka. Namun, ia sadar bahwa tidak semua orang berbagi keyakinannya.
"Kita tidak bisa mengubah dunia hanya dengan kekuatan senjata," katanya dengan suara penuh tekad. "Kita membutuhkan sekutu, bahkan jika itu berarti harus menghadapi mereka yang dulunya adalah musuh."
Sorak-sorai kecil terdengar, meskipun ada keraguan di wajah beberapa orang. Di kejauhan, bayangan sosok misterius mengawasi perkemahan, seperti ancaman yang tak terlihat namun selalu hadir.
Begitu hari berganti malam, keputusan KingKoboy untuk membuka jalan diplomasi mulai diuji. Kael, dengan niat yang belum sepenuhnya jelas, melangkah keluar dari hutan menuju perkemahan. Apakah pertemuan ini akan membawa perdamaian atau justru pertumpahan darah pertama bagi kerajaan baru? Hanya waktu yang akan menjawab.