Langit senja memerah di atas desa kecil bernama Nirmala, tempat Aruna tumbuh besar. Gadis itu duduk di tepi sungai, membiarkan kakinya bermain dengan aliran air yang dingin. Udara sore membawa aroma tanah basah setelah hujan, menenangkan hati yang resah.
"Aruna!" suara Rehan memecah keheningan. Sahabat kecilnya itu mendekat dengan senyum cerah. Ia membawa sekantung plastik berisi mangga muda yang baru dipetik. "Kamu kabur lagi dari tugas rumah, ya?" godanya.
Aruna tertawa kecil, menutupi rasa lelah di hatinya. "Aku cuma ingin sendiri sebentar, Han. Dunia nggak akan berhenti kalau aku ambil waktu untuk diriku sendiri."
Rehan hanya menggeleng pelan, tapi sebelum ia sempat menjawab, suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak di belakang mereka.
"Siapa itu?" tanya Rehan, wajahnya tiba-tiba serius.
Sosok tinggi muncul dari balik bayang semak. Seorang pria dengan wajah dingin, mengenakan seragam sekolah mereka yang sedikit kusut. Mata hitamnya tajam, seolah mampu membaca setiap pikiran Aruna.
"Aku tidak bermaksud mengganggu," katanya dengan suara datar. "Aku cuma lewat."
Rehan maju selangkah, melindungi Aruna secara refleks. "Kamu siapa? Aku nggak pernah lihat kamu di sini sebelumnya."
"Nara." Nama itu keluar begitu saja, pendek dan tegas. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, dia melangkah pergi, meninggalkan Aruna dan Rehan yang masih diam mematung.
---
Malam itu, di bawah langit berbintang, Aruna tidak bisa menghilangkan bayangan pria itu dari pikirannya. Ada sesuatu yang aneh dalam cara dia menatap—dingin, tapi menyimpan beban yang berat.
"Kamu kenapa, Na?" tanya ibunya saat mereka makan malam.
"Nggak apa-apa, Bu," jawab Aruna cepat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Tapi hatinya tahu, ini bukan pertemuan biasa.