Hari-hari berlalu, dan Aruna mulai merasa ada yang aneh. Setiap kali matahari mulai tenggelam, dia merasa seolah ada yang mengawasi. Di sekolah, Nara sering terlihat berjalan sendirian, seperti orang yang tidak ingin diganggu. Meskipun mereka berada di sekolah yang sama, Aruna tidak pernah benar-benar berinteraksi dengannya, kecuali pertemuan singkat di sungai beberapa hari lalu.
Namun, semakin lama Aruna merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Nara. Ada sesuatu dalam tatapan mata pria itu yang menyimpan cerita, sesuatu yang Aruna ingin pahami. Tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Suatu sore, saat Aruna sedang duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, dia melihat Nara lagi. Kali ini, pria itu tidak sendirian. Ia berdiri di dekat pagar belakang sekolah, berbicara dengan seorang pria lain yang mengenakan jaket hitam tebal, menutupi sebagian wajahnya dengan topi. Nara tampak serius, bahkan cemas. Sesekali, mereka berdua menoleh ke arah Aruna, seolah merasakan kehadirannya.
Aruna merasa gelisah, matanya terus mengikuti mereka dari jauh. Tiba-tiba, Nara berbalik dan melihat ke arah Aruna. Matanya yang tajam seolah menembus jauh ke dalam pikirannya, dan dalam sekejap, Aruna merasa seperti ada sesuatu yang mengikat mereka. Tetapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, Nara sudah berbalik dan pergi, meninggalkan Aruna dengan kebingungan yang semakin dalam.
"Na, kamu kenapa?" Rehan mendekat, duduk di samping Aruna. Sejak pertemuan dengan Nara, Rehan sepertinya semakin memperhatikan setiap gerak-gerik Aruna. "Kamu terlihat aneh hari ini. Apa yang terjadi?"
Aruna menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang semakin kacau. "Nggak ada, Han. Mungkin aku cuma capek." Tetapi dia tahu, hatinya sedang mengarah ke sesuatu yang lebih dari sekadar rasa lelah.