Ruang bawah tanah tempat mereka berlindung tampak seperti ruang penyimpanan biasa, tetapi udara di dalamnya dingin dan berat. Bau logam menyengat memenuhi ruangan, bercampur dengan debu yang tampaknya telah lama tidak tersentuh. Darius menyandarkan punggungnya ke dinding batu, mencoba mencerna apa yang baru saja ia alami.
Lila berdiri di depannya, memegang lentera kecil yang tampak aneh. Cahaya lentera itu berkilauan seperti nyala api, tapi warnanya tidak alami—hijau dan biru bercampur, memancarkan cahaya yang menenangkan tetapi juga menyeramkan.
"Jelaskan," kata Darius dengan suara serak.
Lila menghela napas panjang, kemudian mulai berbicara. "St. Velton Academy dibangun di atas sesuatu yang tidak seharusnya disentuh manusia. Ada portal kuno di bawah tanah sekolah ini, portal yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia lain—tempat di mana dosa-dosa manusia paling gelap hidup. Tujuh dosa besar, tepatnya."
"Tujuh dosa besar?" ulang Darius.
"Ya," jawab Lila sambil menatap mata Darius. "Keserakahan, Kemalasan, Nafsu, Iri Hati, Kerakusan, Kemarahan, dan Kesombongan. Mereka bukan hanya konsep atau sifat buruk. Mereka adalah entitas nyata, makhluk yang hidup dari kegelapan manusia. Selama berabad-abad, portal itu menjaga mereka terkurung di dimensi mereka. Tapi sekarang, sesuatu telah berubah. Portal itu telah terbuka."
"Dan kau mengharapkan aku untuk percaya itu?" Darius menyipitkan mata, suaranya penuh keraguan.
Lila mendekatinya, wajahnya serius. "Apakah kau pikir pedang itu muncul dari udara begitu saja? Atau makhluk-makhluk itu hanya halusinasi? Kau baru saja membunuh Avarice, salah satu dari tujuh dosa. Itu bukan kebetulan, Darius. Pedangmu—itu adalah senjata kuno yang dirancang untuk melawan mereka. Dan sekarang, kau tidak punya pilihan selain bertarung."
Darius memandang pedang di tangannya. Bilahnya yang panjang dan ukirannya yang aneh memancarkan aura yang menakutkan tetapi juga memikat. Namun, pedang itu terasa berat, seolah membawa beban yang jauh lebih besar daripada sekadar logam.
"Kenapa aku?" tanyanya akhirnya, suara pelan.
Lila tersenyum tipis. "Kau pikir kau hanya murid pindahan biasa? Kau lebih dari itu, Darius. Kau adalah keturunan dari salah satu penjaga portal. Dan sekarang, ketika portal terbuka, pedang itu memilihmu."
---
Pertarungan di Lorong
Sebelum Darius bisa mencerna semua informasi itu, suara gemuruh menggema dari luar. Lila segera mematikan lentera, menarik Darius ke balik tumpukan kotak tua.
"Mereka sudah di sini," bisiknya.
Darius merasakan sesuatu yang berat di udara, seperti kehadiran gelap yang merayap mendekat. Suara langkah kaki berat terdengar semakin dekat, disertai dengan suara tawa yang dalam dan menggelegar.
"Apa itu?" tanya Darius, mencoba mengintip.
"Wrath (Kemarahan)," jawab Lila singkat. "Makhluk lain dari dosa besar."
Makhluk itu akhirnya muncul di pintu ruang bawah tanah. Tingginya hampir tiga meter, dengan tubuh berotot yang dipenuhi luka dan bekas bakar. Kulitnya berwarna merah gelap, dan matanya bersinar seperti lava. Ia membawa palu besar yang tampaknya terbuat dari batu hitam yang berasap.
"Manusia lemah… kalian tidak bisa lari dari kami," makhluk itu menggeram.
Darius merasakan seluruh tubuhnya gemetar, tapi Lila menepuk bahunya. "Ini waktumu untuk bertarung. Gunakan pedang itu. Tapi hati-hati—Wrath tidak seperti Avarice. Dia lebih kuat, dan dia tidak akan memberimu kesempatan kedua."
"Bagaimana aku seharusnya melawan itu?!" bisik Darius panik.
"Kau akan tahu," kata Lila. "Pedang itu akan membimbingmu."
Sebelum Darius bisa protes, Wrath menerobos masuk, menghancurkan kotak-kotak di sekeliling mereka. Lila melompat ke samping, sementara Darius hanya bisa mengangkat pedangnya sebagai perlindungan.
Palu Wrath menghantam pedang itu dengan kekuatan luar biasa, membuat Darius terdorong mundur hingga menabrak dinding. Tubuhnya terasa sakit, tapi ia tahu ia tidak bisa menyerah sekarang.
"Bangkit, Darius!" teriak Lila.
Darius berdiri, meskipun tubuhnya gemetar. Pedangnya mulai bersinar lagi, kali ini dengan cahaya merah yang intens. Wrath menerjang lagi, tapi kali ini Darius siap. Ia menghindar dengan gerakan refleks, kemudian membalas dengan ayunan pedang yang memotong lengan makhluk itu.
Wrath mengaum kesakitan, darahnya yang panas memercik ke lantai. Namun, makhluk itu tidak menyerah. Dengan satu tangan, ia mengayunkan palunya lagi, mencoba menghancurkan Darius.
Pertarungan itu berlangsung sengit, dengan setiap serangan Wrath mengguncang seluruh ruangan. Namun, dengan setiap ayunan pedangnya, Darius merasa sesuatu berubah dalam dirinya. Ia menjadi lebih cepat, lebih kuat, tetapi juga lebih gelap.
Akhirnya, dengan satu serangan terakhir, Darius menusukkan pedangnya ke dada Wrath. Makhluk itu mengaum sebelum tubuhnya meledak menjadi debu gelap.
Darius terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah. Tapi saat ia melihat ke arah Lila, ia menyadari sesuatu yang mengerikan.
Matanya—mata Lila—bersinar dengan cahaya yang sama seperti pedangnya.
---
Rahasia Lila
"Bagus sekali," kata Lila, suaranya tenang tetapi juga aneh.
"Apa yang terjadi padaku?" tanya Darius, memegang kepalanya yang terasa berat.
"Kau menggunakan kekuatan pedang itu, tapi kau juga membayar harganya," jawab Lila. "Setiap kali kau mengalahkan salah satu dosa besar, kau mengambil sebagian dari mereka ke dalam dirimu. Itu harga yang harus dibayar untuk melawan mereka."
Darius terdiam, merenungkan kata-kata itu. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang gelap tetapi juga kuat.
"Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?" tanyanya akhirnya.
Lila tersenyum tipis. "Aku akan memberitahumu nanti. Untuk sekarang, kita harus pergi. Masih ada dosa-dosa lain yang harus kita kalahkan."
Darius tahu ia tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Namun, di dalam hatinya, ia mulai meragukan segalanya—termasuk Lila.