Chereads / St. Velton Academy / Chapter 3 - BAB 3 : Jejak di Lorong Gelap

Chapter 3 - BAB 3 : Jejak di Lorong Gelap

Lorong-lorong St. Velton Academy yang biasanya dipenuhi siswa dengan tawa dan obrolan kini berubah sunyi, hanya menyisakan bayangan dan bisikan samar yang entah berasal dari mana. Dindingnya yang dulu terang kini tampak retak, seperti memancarkan aura kegelapan.

Darius berjalan di belakang Lila, masih menggenggam pedangnya yang perlahan memudar cahayanya. Tubuhnya terasa lelah, tetapi pikirannya terus dipenuhi pertanyaan.

"Aku tidak bisa terus seperti ini," gumam Darius akhirnya, memecah keheningan.

"Kau tidak punya pilihan," jawab Lila tanpa menoleh. Langkahnya mantap, seperti tahu persis ke mana mereka menuju.

"Aku tidak percaya sepenuhnya padamu, Lila," lanjut Darius, kali ini dengan nada lebih tegas. "Kau tahu terlalu banyak tentang dosa-dosa ini, tentang pedangku, tentang portal... siapa sebenarnya kau?"

Lila berhenti, menoleh ke arah Darius dengan tatapan dingin. "Aku? Aku hanya seseorang yang mencoba menyelamatkan dunia ini, sama seperti kau."

Darius menyipitkan mata. Jawaban itu tidak memuaskannya.

"Dan pedang ini," lanjut Darius sambil mengangkat senjata itu, "apa yang sebenarnya terjadi setiap kali aku menggunakannya? Kenapa aku merasa semakin... gelap?"

Lila berjalan mendekat, memandang Darius dengan serius. "Pedang itu bukan hanya senjata. Itu adalah penjara. Setiap kali kau membunuh salah satu dosa besar, sebagian dari esensi mereka terserap ke dalam pedang... dan ke dalam dirimu. Itu sebabnya aku bilang, kau harus berhati-hati."

Darius ingin marah, tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia tahu Lila tidak berbohong. Ia bisa merasakan sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak pertarungan melawan Wrath. Emosinya lebih sulit dikendalikan, dan bayangan bisikan-bisikan gelap terus menghantuinya.

"Apa yang terjadi jika aku menyerap semuanya?" tanyanya akhirnya.

Lila terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pelan, "Kau akan kehilangan dirimu sendiri. Dan kau akan menjadi dosa besar itu sendiri."

 

Jejak Darah

Mereka melanjutkan perjalanan, menuju bagian sekolah yang jarang dijamah siswa. Lila mengatakan bahwa ada sesuatu yang harus mereka periksa di ruang arsip lama, tempat yang hanya diketahui oleh segelintir orang.

Namun, semakin dekat mereka ke ruang arsip, bau busuk mulai tercium. Darius menutupi hidungnya, tetapi Lila tampak tidak terpengaruh.

"Apa ini?" tanya Darius.

"Jejak dosa," jawab Lila singkat.

Dinding di sekitar mereka mulai berubah. Tanda-tanda hitam seperti akar menjalar ke segala arah, memancarkan energi gelap yang membuat udara terasa berat. Cahaya di lorong itu mulai redup, seolah ditelan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Ketika mereka sampai di depan pintu ruang arsip, Darius merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Pintu itu besar dan berat, terbuat dari kayu tua yang tampaknya telah terkikis oleh waktu. Namun, di permukaannya terdapat simbol-simbol yang sama seperti yang ada di pedangnya.

"Buka," kata Lila, memberi isyarat pada Darius.

"Kenapa aku?"

"Pedangmu adalah kuncinya."

Darius menatap pintu itu dengan ragu-ragu, tetapi akhirnya ia mengangkat pedangnya dan menyentuh simbol di tengah pintu. Cahaya terang memancar, dan pintu itu terbuka dengan suara gemuruh.

Di dalamnya, ruangan itu jauh lebih besar dari yang terlihat dari luar, dengan rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dan dokumen. Namun, yang paling mencolok adalah lingkaran besar di tengah ruangan, terbuat dari batu hitam dengan ukiran-ukiran aneh yang tampak seperti berdenyut hidup.

"Itu adalah tempat portal pertama kali dibuka," kata Lila dengan suara pelan.

 

Serangan Mendadak

Sebelum Darius bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah berat terdengar dari belakang mereka. Mereka berbalik, dan kali ini, makhluk yang muncul tampak lebih mengerikan daripada yang sebelumnya.

Makhluk itu adalah Gluttony (Kerakusan) , tubuhnya besar seperti bola dengan mulut raksasa yang dipenuhi gigi tajam. Tangannya yang pendek tetapi kuat membawa semacam rantai berduri, dan matanya yang kecil memancarkan kegilaan.

"Kalian manusia... makanan lezat!" Makhluk itu melompat ke arah mereka dengan kecepatan yang tidak terduga.

Darius melompat ke samping, tetapi Lila tetap tenang. Ia mengangkat lentera birunya, dan cahaya aneh itu menahan makhluk itu sementara waktu.

"Cepat, Darius! Gunakan pedangmu!"

"Aku butuh waktu untuk berpikir!"

"Kita tidak punya waktu!"

Makhluk itu berhasil melepaskan diri dari cahaya lentera dan menyerang lagi. Kali ini, Darius mengayunkan pedangnya, tetapi serangan itu hanya memotong salah satu tangan makhluk itu, yang segera tumbuh kembali.

"Kau harus menyerang intinya!" teriak Lila.

"Intinya di mana?!"

"Mulutnya!"

Darius merasa mustahil untuk mendekati mulut makhluk itu tanpa dilahap. Namun, ia tidak punya pilihan. Dengan satu gerakan cepat, ia melompat ke arah makhluk itu, menghindari serangan rantainya, dan menusukkan pedangnya langsung ke mulut raksasa itu.

Makhluk itu mengeluarkan jeritan melengking sebelum meledak menjadi debu.

Namun, seperti sebelumnya, Darius merasakan sesuatu yang gelap memasuki dirinya. Tubuhnya bergetar, dan ia hampir pingsan.

 

Sisi Gelap Darius

Setelah semuanya selesai, Lila membantu Darius berdiri. Namun, kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda di mata Darius.

"Kau semakin terpengaruh," kata Lila dengan nada khawatir.

"Aku baik-baik saja," jawab Darius, meskipun ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.

"Tidak, kau tidak baik-baik saja. Setiap kali kau melawan dosa, kau semakin kehilangan kendali. Jika ini terus berlanjut, kau tidak akan bisa kembali."

Darius tidak menjawab. Ia tahu Lila benar, tetapi ia tidak tahu apa lagi yang bisa ia lakukan.

 

Petunjuk Baru

Mereka mulai memeriksa ruangan itu, mencari petunjuk tentang dosa-dosa besar dan bagaimana cara menghentikan mereka. Lila menemukan sebuah buku tua yang penuh dengan tulisan tangan dan diagram aneh.

"Ini," katanya sambil membuka halaman-halamannya. "Ini adalah catatan tentang portal dan cara menutupnya."

Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih jauh, suara gemuruh terdengar lagi dari luar.

"Kita harus pergi," kata Lila.

"Tidak, kita harus menyelesaikan ini," jawab Darius, matanya penuh tekad.

"Aku tidak bisa kehilanganmu juga, Darius."

"Kau tidak akan kehilanganku," jawabnya sambil menggenggam pedangnya lebih erat.