Chereads / SHADOW OF THE DYNASTY / Chapter 2 - anggota baru

Chapter 2 - anggota baru

Keesokan harinya, suasana di SMA Mentari Perdana terasa lebih mencekam dari biasanya. Setelah kejadian kemarin, di mana Galang mempertontonkan kemampuannya dalam MMA dan menantang kelompok Danendra, ia tahu ada sesuatu yang berubah. Beberapa siswa tampak berbisik di sudut-sudut sekolah, saling melirik dengan tatapan yang penuh arti. Galang bisa merasakan ada ketegangan di udara, seolah-olah semua orang tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi, tetapi tak ada yang berani membicarakannya secara terbuka.

Di kelas, Galang berusaha tetap fokus, meski pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan besar tentang Stevie dan apa yang sebenarnya terjadi di sekolah ini. Di luar sana, di dunia yang lebih gelap, ada sesuatu yang sedang ia gali—sesuatu yang lebih besar dari sekadar masalah pertemanan atau kekuasaan antar kelompok. Ini tentang kebenaran yang tersembunyi di balik kematian Stevie, dan bagaimana keluarga Danendra terlibat dalamnya.

Gabri duduk di sebelahnya, masih tampak agak canggung sejak kejadian kemarin. Meskipun ia berusaha bersikap biasa, Galang bisa merasakan bahwa gadis itu masih terpengaruh oleh insiden tersebut. "Lo baik-baik aja?" tanya Galang, berusaha membuka percakapan.

Gabri meliriknya sejenak, lalu mengangguk. "Iya, cuma... itu agak mengejutkan kemarin," jawabnya dengan suara pelan. "Makasih, lo udah bantu."

Galang tersenyum tipis. "Gak masalah. Gue nggak suka lihat orang dibuli." Namun, di balik kata-katanya, ia tahu bahwa apa yang ia lakukan kemarin bukan hanya soal melawan intimidasi, tetapi juga soal keberanian untuk menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar.

Saat pelajaran selesai, Galang berniat untuk pergi ke perpustakaan, mencari informasi lebih lanjut tentang Stevie. Tapi begitu ia keluar dari kelas, ia merasakan sesuatu yang aneh. Beberapa siswa dari kelompok Danendra melintas di depannya, dan meskipun mereka tidak berkata apa-apa, pandangan tajam yang mereka lontarkan membuat Galang merasa ada yang tidak beres. Arka, yang semalam masih terkapar di lantai, kini tampak lebih dingin dan marah. Wajahnya yang tadi terkejut kini berubah menjadi penuh dendam.

"Lo pikir ini selesai begitu saja?" tanya Arka dengan suara rendah, seolah mengancam. "Lo udah buat kesalahan besar, Galang."

Galang menatapnya tanpa rasa takut. "Gue nggak takut sama lo atau kelompok lo," jawabnya tegas, sambil menahan tatapan tajam Arka.

Arka hanya tersenyum sinis. "Kita lihat saja nanti," ujarnya sambil berjalan pergi bersama teman-temannya.

Galang tahu bahwa ancaman itu bukan hanya kata-kata kosong. Ia merasa bahwa ia telah menarik perhatian mereka—dan bukan dalam cara yang baik. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus terus mencari kebenaran tentang Stevie, meskipun ini berarti menghadapi bahaya yang lebih besar lagi.

Pulang ke rumah, Galang membuka laptopnya dan mulai mencari tahu lebih banyak tentang keluarga Danendra dan hubungan mereka dengan sekolah ini. Ia kembali membuka forum yang ia temukan kemarin, dan kali ini ada lebih banyak diskusi tentang Stevie dan keterlibatannya dengan kelompok-kelompok tertentu. Sebuah komentar menarik perhatiannya: "Stevie memang sering bergaul dengan orang-orang yang nggak jelas. Ada yang bilang, dia tahu sesuatu yang seharusnya nggak diketahui orang banyak. Keluarga Danendra mungkin terlibat."

Hati Galang berdebar. Ini adalah petunjuk yang selama ini ia cari. Kematian Stevie bukanlah kecelakaan biasa, dan keluarga Danendra tampaknya memiliki kaitan yang dalam dengan kejadian itu. Namun, Galang juga tahu bahwa semakin ia mendekati kebenaran, semakin besar risikonya.

Keesokan harinya di sekolah, Galang merasa semakin terasing. Semua orang tampak seperti menghindarinya, terutama setelah kejadian semalam. Namun, ia tidak bisa mundur. Ia harus terus menggali, mencari tahu lebih banyak, dan mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dengan Stevie.

Hari itu, ia bertemu dengan Malta di koridor. Gadis itu terlihat khawatir, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Galang, hati-hati deh. Lo udah buat banyak orang nggak suka sama lo," kata Malta pelan.

"Apa maksud lo?" tanya Galang, merasa curiga.

"Lo nggak tahu apa yang lo hadapi. Kelompok itu... keluarga Danendra... mereka nggak akan tinggal diam. Gue cuma nggak mau lo jadi masalah," jawab Malta, tampak ragu-ragu.

Galang mengernyitkan dahi. "Maksud lo, gue harus mundur?"

Malta terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Lo harus cari tahu lebih banyak, tapi jangan gegabah. Mereka sangat berkuasa, dan kalau lo terlalu berani, lo bisa terjerumus ke dalam masalah besar."

Pesan itu makin mempertegas tekad Galang. Ia tidak akan mundur. Stevie layak mendapat keadilan, dan Galang akan menggali kebenaran ini, tidak peduli betapa berbahayanya itu.

Keadaan di SMA Mentari Perdana semakin tidak bersahabat bagi Galang. Keesokan harinya, setelah tidur terlambat dan bertingkah seperti anak pemalas, dia tetap berusaha menyembunyikan ketegangan yang semakin mencekam. Namun, kejadian yang terjadi di kelas semakin memperburuk suasana. Kak Arka, yang selalu tampak mengintimidasi, kali ini bertindak lebih kasar. Dia membuli Gabri, dan Galang yang tidak bisa diam begitu saja, akhirnya terlibat dalam adu jotos yang tak terhindarkan. Suasana kelas yang penuh ketegangan itu membuat bu guru hanya keluar tanpa berusaha melerai, semakin mempertegas ada yang salah di sekolah ini.

"Mengapa bu guru gak melerai kami?" batin Galang, frustrasi dengan sikap yang seolah tidak peduli. "Ada yang gak beres dengan sekolah ini."

Setelah kejadian itu, Galang segera menuju mobil yang sudah dijemput Rendra. Rasa jengkelnya semakin besar. "Lo kenapa sih? Manusia pemalas banget!" ejek Rendra saat melihat Galang yang merengut di kursi mobil. "Gak ada semangat sama sekali."

Galang hanya diam, mencerna semua yang terjadi. Situasi di sekolah semakin pelik. Ia merasa terjebak dalam permainan yang lebih besar dari sekedar masalah pribadi. "Ini bukan cuma soal sekolah," pikirnya, "ini tentang Stevie, keluarga Danendra, dan kemungkinan besar, ada sesuatu yang jauh lebih gelap di balik semua ini."

Di dalam mobil, Galang mulai merenung. "Gue harus tahu lebih banyak tentang Arka, tentang hubungan dia dengan keluarga Danendra, dan apa yang sebenarnya terjadi pada Stevie," katanya pada dirinya sendiri. Meskipun Rendra tampaknya lebih tertarik untuk mengejek, Galang tahu dia tidak bisa mundur dari penyelidikan ini. Setiap petunjuk yang dia temui membawanya lebih dekat kepada kebenaran yang tersembunyi di balik sekolah yang tampak megah itu.

Misi ini baru saja dimulai, dan meskipun jalan yang harus dilalui penuh dengan ancaman dan rintangan, Galang sudah siap untuk menghadapinya.

Dalam perjalanan pulang, suasana di mobil mendadak serius ketika Rendra membuka percakapan. "Oh iya, gue baru dapat kabar dari Nathan," katanya sambil melirik Galang. "Dia bilang dia mau balik ke Jakarta. Lo tahu kan, dia sekolah di Bali."

Galang mengangkat alis. "Nathan? Bukannya dia betah di sana?"

Rendra menggeleng. "Katanya, dia mulai bosan, dan selain itu, dia merasa lebih baik dekat sama keluarga lagi. Apalagi, bokap udah angkat dia jadi bagian resmi keluarga kita sejak kecil."

Galang terdiam sejenak, memikirkan saudara angkatnya itu. Nathan, yang diadopsi oleh Hendrick setelah kehilangan orang tuanya dalam kecelakaan tragis, adalah anak tunggal yang ceroboh tapi selalu penuh semangat. Galang ingat bagaimana mereka tumbuh bersama dan betapa Nathan sering membuat suasana rumah menjadi hidup meski terkadang sedikit merepotkan.

Sore harinya, Nathan tiba-tiba muncul di rumah dengan senyumnya yang cerah. "Gue pikir lebih seru kalau gue pindah sekolah ke tempat lo, Lang!" katanya dengan antusias sambil duduk di sofa.

Namun, respons Rendra berbeda. "Nggak, Nate. Sekolah lo di Bali itu udah bagus. Ngapain pindah ke SMA Mentari Perdana? Lagi pula, lo tahu kan, sekolah di sini nggak seindah yang kelihatan."

Nathan memandang Rendra dengan ekspresi bersikeras. "Gue nggak peduli bang. Gue mau bareng kalian. Lagi pula, mungkin gue bisa bantu Galang dalam masalah yang dia hadapi." Nathan melirik Galang yang hanya mendengus.

"Jangan harap, Nate," balas Galang. "Lo ceroboh, lo nggak ngerti apa-apa soal misi ini. Lo bakal lebih merepotkan daripada ngebantu."

"Tapi dia jauh lebih rajin dari kamu, Lang," timpal Hendrick yang muncul di ambang pintu, mendengar percakapan mereka. "Ayah setuju kalau Nathan pindah. Lebih baik kalau kalian saling membantu."

Galang mendesah keras. "Ayah serius? Nathan itu ceroboh. Galang lebih baik sendiri meskipun aku ini pemalas."

"Tapi gue jago di banyak hal, terutama strategi," jawab Nathan dengan bangga. "Bahkan meski lo lebih kuat secara fisik, Galang, gue bisa menutupi kelemahan lo dengan otak gue. Lagipula, siapa yang bakal nyangka kalau gue ini juga bisa bikin lo lebih tanggap?"

Galang tahu Nathan memang punya semangat yang tinggi dan sifatnya yang pemarah kadang bisa jadi keuntungan dalam situasi tertentu. Tapi tetap saja, ia merasa keberadaan Nathan akan membuat misinya lebih rumit. Di sisi lain, ia tak bisa membantah bahwa Nathan sudah seperti saudara kandung baginya sejak mereka kecil. Mereka sering bertengkar, tapi akhirnya selalu kompak.

"Kita lihat aja nanti," kata Galang akhirnya, meski raut wajahnya masih penuh keraguan. Ia tahu, meskipun Nathan ceroboh, ia juga memiliki kemampuan unik yang mungkin akan sangat berguna di SMA Mentari Perdana, terutama dalam menghadapi masalah yang melibatkan keluarga Danendra.

Di dalam hati, Galang berharap kehadiran Nathan tidak akan memperumit misinya, tetapi ia juga tak bisa memungkiri bahwa kehadiran Nathan mungkin membawa harapan baru dalam perjuangannya mengungkap misteri kematian Stevie.