Hari pertama Nathan pindah ke SMA Mentari Perdana dimulai dengan gaya khas mereka—penuh sindiran dan ejekan. Pagi itu, Nathan yang menyetir mobil, sementara Galang duduk di sebelahnya, masih terlihat lesu setelah malam sebelumnya berlatih tinju hingga kelelahan.
"Lo aja yang nyetir, Nate. Gue nggak kuat pagi ini," keluh Galang sambil menyandarkan kepala ke jendela mobil.
Nathan, dengan gayanya yang ceria tapi menyebalkan, melirik sekilas. "Makanya, jangan sering-sering olahraga atau bela diri. Lihat tuh, badan lo udah kayak rongsokan."
Galang mendengus lemah. "Justru itu yang bikin kita bugar, Nate. Lo aja nggak ngerti pentingnya olahraga."
"Tapi lihat efeknya," Nathan membalas sambil tertawa kecil. "Muka lo udah kayak gangster jalanan. Jangan heran kalau anak-anak sekolah takut ngelihat lo."
Galang, meskipun lelah, masih sempat tersenyum sinis. "Makanya lo selalu kalah kalau berantem. Gue yang selalu nolongin lo waktu SMP, ingat nggak?"
Nathan mendelik sejenak. "Yaelah, itu kan dulu. Sekarang gue udah beda. Gue udah belajar bela diri juga, tahu! Jangan kira lo bisa ngeledek gue terus."
"Coba aja nanti," balas Galang santai. "Kalau lo beneran berubah, gue pengen lihat langsung. Jangan cuma ngomong doang."
Percakapan mereka terus berlanjut dengan nada bercanda sampai mereka tiba di gerbang sekolah. SMA Mentari Perdana terlihat sama seperti biasanya—megah tapi menyimpan banyak rahasia. Nathan turun dari mobil dengan percaya diri, meskipun ini adalah hari pertamanya. Galang, di sisi lain, berjalan sedikit santai, tapi matanya tetap awas mengamati sekitar, terutama setelah kejadian dengan Arka kemarin.
Di lapangan sekolah, beberapa siswa sudah berkumpul, termasuk kelompok Arka. Mereka langsung melirik ke arah Galang dan Nathan dengan tatapan tidak bersahabat. Nathan, yang tidak tahu banyak tentang situasi ini, hanya tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
"Lo kenapa sok akrab gitu?" tanya Galang dengan suara rendah.
"Kenapa enggak? Gue kan baru di sini. Penting buat gue ninggalin kesan pertama yang baik," jawab Nathan santai.
"Percaya sama gue," balas Galang dengan nada serius. "Mereka itu nggak cari teman, Nate. Mereka cari masalah."
Nathan terdiam sejenak, menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dengan suasana di sekolah ini. Namun, alih-alih khawatir, ia justru merasa tertantang. "Bagus. Gue suka tantangan."
Galang hanya menggelengkan kepala. "Lo bakal tahu sendiri nanti."
Hari itu, Nathan mulai berkenalan dengan siswa-siswa lain, sementara Galang tetap fokus pada misinya mencari tahu lebih banyak tentang Stevie dan keluarga Danendra. Di sela-sela kegiatan sekolah, Nathan yang penuh semangat dan gaya cerianya menarik perhatian banyak siswa, termasuk Gabri.
"gue nggak tahu lo punya saudara yang ceria banget, Galang," komentar Gabri saat istirahat.
Galang mengangkat bahu. "Dia emang suka sok akrab sama orang. Tapi jangan tertipu, dia itu ceroboh."
Gabri tertawa kecil. "kayaknya dia cukup pintar juga."
Galang mendengus. "Tunggu sampai lo lihat dia bikin kekacauan."
Sementara itu, Nathan yang sudah mulai bergaul dengan beberapa siswa justru mendengar kabar tentang Arka dan kelompoknya. Salah satu siswa, Malta, sempat memperingatkan Nathan untuk berhati-hati. "lo harus waspada sama Arka dan teman-temannya. Mereka nggak suka sama kakak lo."
Nathan hanya tersenyum. "Santai aja. Kalau mereka nyari masalah, gue juga siap kok."
Namun, di balik senyumnya, Nathan mulai memahami bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di SMA Mentari Perdana. Ia sadar bahwa keputusannya untuk pindah ke sekolah ini mungkin bukan hanya tentang mendekatkan diri pada keluarga, tetapi juga tentang menghadapi tantangan yang lebih besar—dan ia bertekad untuk menjadi bagian dari perjuangan itu.
Galang, meski masih ragu dengan kehadiran Nathan, merasa ada sedikit harapan. Mungkin, dengan Nathan di sisinya, ia bisa menghadapi tekanan dari keluarga Danendra dengan lebih kuat. Namun, ia juga tahu bahwa Nathan adalah kartu liar—bisa menjadi kekuatan besar, tapi juga potensi masalah yang tak terduga.
Jam istirahat yang biasanya dipenuhi obrolan ringan dan tawa berubah menjadi momen mencekam. Kerumunan siswa di lapangan tengah SMA Mentari Perdana terlihat panik dan penuh bisik-bisik. Di antara mereka, suara teriakan beberapa siswa terdengar histeris. Nathan dan Galang, yang sedang berbincang di dekat kantin, segera berlari menuju sumber keramaian.
Ketika mereka tiba, pemandangan mengerikan menyambut mereka- seorang siswi tergeletak tak bernyawa di tanah. Kepalanya hancur, dan darah menggenangi area di sekitarnya. Galang merasakan tubuhnya menegang, sementara Nathan yang biasanya santai langsung membatu melihat kejadian itu.
Anjay!" Nathan berseru, mulutnya setengah terbuka. "Itu... manusia, kan? Gila, parah banget ini!"
Galang tidak menjawab, tatapannya terpaku pada tubuh korban. Ada sesuatu yang aneh dari suasana ini, seolah kematian ini bukan sekadar tragedi biasa. la melirik sekitar, mencoba membaca ekspresi para siswa, tapi semuanya tampak bingung dan ketakutan. Sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya: kenapa ini terjadi?
Tak lama kemudian, kerumunan terbelah. Danendra, Arjuna, dan seorang gadis bernama Kirene berjalan mendekati lokasi kejadian. Ketiganya adalah siswa dari hierarki tertinggi di sekolah, yang dikenal dengan pengaruh besar dan sikap mereka yang selalu tenang dalam situasi apa pun. Arka juga terlihat mengikuti mereka dari belakang, meskipun raut wajahnya tampak sedikit lebih tegang.
Namun, yang membuat Galang dan Nathan semakin curiga adalah bagaimana mereka bertindak.
Danendra dan Arjuna hanya memandang tubuh siswi itu tanpa ekspresi, seolah ini adalah pemandangan biasa bagi mereka. Setelah beberapa detik, mereka
berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan lokasi tanpa sepatah kata pun. Kirene melirik sekilas ke arah Galang dan Nathan sebelum mengikuti mereka.
Nathan, yang baru pertama kali melihat ketenangan seperti itu,berbisik dengan nada setengah kagum, "Gila, tuh orang emang keren banget sih. Cewek itu, siapa namanya? Kirene, ya? Cantik, cok."
Galang, yang masih memikirkan situasi ini, mendengus dan berjalan meninggalkan Nathan. "Kalau soal cewek aja, lo cepat banget, Nate. Fokus, ini bukan waktu buat mikirin cewek."
Nathan menggaruk kepala sambil mengikutinya. "Eh, gue cuma bilang dia cantik, bro. Tapi serius, lo nggak ngerasa mereka aneh banget? Kalau gue lihat orang mati, gue udah pasti panik. Mereka malah kayak nggak peduli."
"Justru itu," jawab Galang, suaranya lebih serius. "Lo lihat Arka tadi? Dia tegang, tapi ngikutin mereka kayak nggak punya pilihan. Ada yang nggak beres, Nate. Danendra, Arjuna, Kirene... mereka bukan orang biasa di sekolah ini."
Nathan mengangguk, mulai memahami maksud Galang. "Lo curiga mereka ada hubungannya sama kejadian ini?"
"Mungkin," jawab Galang singkat. "Atau mereka tahu sesuatu yang kita nggak tahu."
Nathan berhenti sejenak, memandangi mayat siswi itu dari kejauhan. la mencoba menyusun kata-kata, tapi akhirnya memilih diam. Situasi ini terlalu rumit, bahkan untuknya yang biasanya penuh bicara.
Galang dan Nathan memutuskan untuk menjauh dari kerumunan dan mencari tempat sepi untuk berdiskusi lebih lanjut. Mereka tahu, kejadian ini akan membawa mereka lebih dekat pada rahasia besar yang tersembunyi di balik SMA Mentari Perdana. Tapi mereka juga tahu, semakin dalam mereka menggali, semakin besar risiko yang harus mereka hadapi.
"Lo siap, Nate?" tanya Galang, menatap adiknya dengan tatapan tajam.
Nathan menghela napas panjang. "Gue nggak tahu bakal sejauh apa ini, tapi kalau lo siap, gue juga siap."
Galang mengangguk. "Bagus. Mulai sekarang, kita nggak bisa main-main lagi."
Saat mereka berjalan menuju area yang lebih sepi, Nathan menyadari sesuatu. "Eh, tunggu," katanya sambil memegang lengan Galang. "Gue inget sesuatu. Waktu gue lewat gerbang tadi, gue ngelihat Arka ngobrol sama siswi itu—yang sekarang jadi korban. Mereka kelihatan kayak lagi berdebat."
Galang langsung menghentikan langkahnya. "Lo yakin?"
Nathan mengangguk. "Seratus persen. Mereka berdiri di samping gedung aula, dan kelihatan tegang. Gue nggak tahu soal apa, tapi kayaknya nggak santai."
Galang mengerutkan kening, pikirannya mulai menghubungkan beberapa potongan informasi. "Berarti Arka tahu sesuatu, atau lebih buruk, dia terlibat."
Nathan menyilangkan tangan di dada. "Kalau gitu, kita tinggal konfrontasi dia. Gue yakin, kalau gue ajak ngomong baik-baik, dia pasti buka suara."
Galang memutar bola matanya. "Lo beneran nggak ngerti situasi, ya? Arka itu bukan tipe orang yang bakal kasih tahu apa pun tanpa alasan. Apalagi kalau dia terlibat. Kita harus hati-hati."
Nathan menghela napas panjang. "Oke, kalau gitu kita cari cara lain. Tapi satu hal yang jelas, Galang—ini bukan kecelakaan biasa. Gue rasa ada yang sengaja bikin ini kelihatan kayak bunuh diri."
Galang terdiam. Ia tahu Nathan mungkin benar. SMA Mentari Perdana, meskipun terlihat seperti sekolah biasa, memiliki hierarki yang jauh lebih dalam dan gelap. Danendra, Arjuna, dan Kirene jelas bukan hanya siswa biasa. Mereka seperti punya kendali atas segala hal yang terjadi di sini.
Saat mereka berdua berdiskusi, suara langkah mendekat menginterupsi percakapan mereka. Gabri muncul dari balik sudut gedung, wajahnya tampak gelisah. "Gue dengar kabar soal korban," katanya dengan suara rendah. "Lo harus tahu sesuatu."
Galang melirik Nathan sebelum menatap Gabri. "Apa yang lo tahu?"
Gabri menelan ludah sebelum menjawab. "Siswi itu, namanya Celine. Dia pernah ngomong ke gue soal sesuatu yang aneh. Dia bilang, ada rahasia besar yang disembunyikan di sekolah ini. Dan dia nyebut nama Danendra."
Nathan langsung bereaksi. "Danendra lagi? Dia kayak pusat dari semua masalah ini, ya?"
Gabri mengangguk. "Dia nggak kasih banyak detail, tapi dia kelihatan takut. Dia bilang, kalau dia buka mulut, sesuatu yang buruk bakal terjadi."
Galang memejamkan mata, mencoba menyusun rencana. "Oke, berarti kita punya dua hal yang harus kita fokuskan sekarang. Pertama, kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Celine. Kedua, kita cari tahu apa rahasia yang disembunyikan Danendra."
Nathan tersenyum kecil. "Seru juga. Gue udah kayak detektif, nih."
"Ini serius, Nate," balas Galang. "Kalau kita salah langkah, kita bisa dalam bahaya. Jadi mulai sekarang, jangan bikin kekacauan."
Nathan menepuk bahu Galang dengan santai. "Santai aja, bro. Gue nggak bakal bikin masalah... besar."
Gabri mendesah, menatap keduanya. "Kalian beneran yakin mau ngelakuin ini? Kalau benar Danendra terlibat, dia bukan orang yang gampang dihadapi."
Galang menatap Gabri dengan serius. "Kita nggak punya pilihan. Kalau kita nggak bertindak, siapa lagi?"
Gabri mengangguk pelan, meskipun keraguan masih terlihat di wajahnya. Nathan, di sisi lain, sudah tampak penuh semangat, seolah ini adalah petualangan baru baginya. Namun di balik senyumannya, ia sadar bahwa ini bukan sekadar tantangan biasa. SMA Mentari Perdana telah memperlihatkan sisi gelapnya, dan mereka baru saja membuka pintu menuju sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya.
Malam itu, Galang dan Nathan memutuskan untuk mulai menggali informasi lebih dalam. Mereka tahu, perjalanan ini tidak hanya akan mengungkap rahasia SMA Mentari Perdana, tetapi juga menguji kekuatan hubungan mereka sebagai saudara. Danendra, Arjuna, Kirene, dan hierarki sekolah ini adalah teka-teki yang harus mereka pecahkan—sebelum mereka menjadi korban berikutnya.