Rasa sakit yang luar biasa menghantam tubuhnya seperti badai, membangunkan Fang Ye dari kegelapan. Tubuh ini terasa berat, nyeri, dan asing, seolah bukan miliknya. Ia terbaring di atas tanah yang lembap, dikelilingi oleh aroma tanah basah dan daun-daun yang membusuk.
Matanya terbuka perlahan, menatap kanopi gelap dari dedaunan yang lebat, dengan sinar bulan memancar samar melalui celahnya. Ia berusaha menggerakkan tubuh, tetapi rasa sakit yang tajam di perut membuat napasnya terhenti. Tangannya yang gemetar perlahan menyentuh perut yang membuncit—besar dan keras, memberikan peringatan jelas tentang apa yang sedang terjadi.
Tiba-tiba, cairan hangat mengalir deras di antara pahanya, membasahi bagian bawah hanfu yang ia kenakan. Ketuban pecah.
"Melahirkan..." gumamnya pelan, nada suaranya dingin meskipun rasa sakit merambat ke seluruh tubuh.
Fang Ye tahu dia tidak punya waktu untuk terkejut. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia menyeret tubuh lemas ini ke arah batang pohon besar. Setiap tarikan napas terasa menyakitkan, sementara rasa nyeri dari kontraksi pertama mulai menghantam perut dan punggung bawahnya seperti gelombang besar.
Setelah berhasil bersandar pada pohon, ia menarik napas panjang, tangannya yang gemetar meraih pisau kecil di pinggangnya. Dengan hati-hati, ia merobek rok hanfu yang ia kenakan menjadi empat bagian. Robekan pertama digunakan sebagai alas di tanah untuk melahirkan, yang kedua untuk membungkus bayi, yang ketiga untuk membalut luka setelah melahirkan, dan yang keempat—potongan kecil panjang—dipersiapkan untuk membungkus pusar bayi.
Gelombang kontraksi datang semakin kuat, tubuhnya terasa seperti ditarik ke dalam dua arah berbeda. Napas Fang Ye pendek dan terputus-putus, keringat membasahi wajahnya meskipun udara malam dingin menggigit kulit. Tangannya mencengkeram kain yang disiapkan untuk membungkus bayi, mencoba menahan erangan saat rasa nyeri menghantam panggulnya.
Tekanan di bawah semakin intens, seolah-olah seluruh tubuhnya terkoyak dari dalam. Dalam keadaan seperti ini, ia tidak punya pilihan selain menyerahkan tubuh ini pada naluri alamiah.
Fang Ye menekuk kakinya, membuka jalan bagi bayi yang akan lahir. Dengan napas yang terengah-engah, ia mendorong sekuat tenaga saat kontraksi berikutnya datang. Rasa panas dan perih di panggulnya semakin tajam, tetapi ia tetap fokus, tidak membiarkan rasa sakit menguasainya.
Setelah beberapa dorongan yang menyakitkan, kepala bayi mulai keluar, memaksa perineum meregang hingga batasnya. Sensasi robekan di tubuhnya begitu tajam hingga ia hampir berteriak, tetapi ia menggigit kain lebih keras, mencegah suaranya keluar. Darah hangat mengalir deras di antara pahanya, membasahi kain alas yang ia siapkan.
Akhirnya, dengan dorongan terakhir yang brutal, tubuh bayi keluar sepenuhnya bersama aliran darah dan cairan ketuban. Suara tangisan pertama bayi itu memecah kesunyian malam. Fang Ye mengulurkan tangan yang gemetar, mengangkat bayi mungil yang masih berselimut cairan dan darah.
Fang Ye menatap bayi itu dengan mata tajam, wajahnya tanpa ekspresi meskipun tubuh ini terasa hancur. Kemudian memeluk bayi itu dengan satu tangan, tubuh mungilnya terasa hangat meskipun basah oleh cairan. Namun, kontraksi baru muncul kembali, lemah tetapi tetap menyakitkan, menandakan keluarnya plasenta.
Ia meringis saat kontraksi itu semakin kuat. Dengan beberapa dorongan yang menyakitkan, plasenta akhirnya keluar, disertai dengan aliran darah segar yang membuatnya merasa semakin lemah. Nafasnya tersengal, tetapi ia memaksa dirinya tetap sadar. Dengan susah payah, ia mengambil pisau kecil di dekatnya. Dengan hati-hati, ia memotong tali pusar di tempat yang tepat, membungkusnya dengan kain kecil yang sudah disiapkan untuk mencegah infeksi, lalu membungkus plasenta dengan kain lain untuk dikubur nanti.
Fang Ye meletakkan bayi itu di atas kain, tangannya gemetar. Bayi kecil itu—kulitnya merah, tubuh mungilnya bergerak lemah. Ia tahu dirinya harus membersihkan bayi ini dan tubuhnya sendiri meskipun tenaga yang tersisa hampir habis.
Suara gemericik air yang lembut menarik perhatian Fang Ye. Ia menoleh, matanya menemukan aliran sungai kecil yang jernih, memantulkan cahaya bulan di permukaannya. Sungai itu mengalir tenang, dikelilingi oleh bebatuan kecil dan tumbuhan liar.
Dengan langkah tertatih, ia berjalan menuju sumber air, membawa bayi itu dalam pelukannya. Setiap langkah terasa berat, tetapi ia tidak berhenti. Tubuh ini terlalu lemah, tetapi ia tahu bahwa bayi ini harus segera dibersihkan.
Sesampainya di tepi sungai, Fang Ye berlutut di atas batu yang dingin. Ia mulai membersihkan bayi terlebih dahulu, membasuh tubuh mungil itu dengan air jernih. Tangannya yang gemetar perlahan menghapus darah dan cairan ketuban dari kulit bayi, memastikan tubuh kecil itu bersih.
Bayi itu sempat menangis saat air dingin menyentuh kulitnya, tetapi tangisan itu perlahan berubah menjadi rintihan kecil. Setelah selesai, Fang Ye membungkus bayi itu dengan kain bersih yang ia siapkan sebelumnya.
Fang Ye beralih ke dirinya sendiri. Ia membasuh tubuh ini, membiarkan air sungai yang dingin mengalir membersihkan darah dan kotoran dari paha dan panggulnya. Luka robek di perineum terasa perih setiap kali disentuh air, tetapi ia hanya mendesah pendek, menekan rasa sakit itu.
Ia mengambil beberapa daun antiseptik dari sekitar sungai, mengunyahnya hingga halus, lalu menempelkannya pada luka di sekitar vagina. Daun itu kemudian dililitkan dengan kain bersih untuk menghentikan pendarahan lebih lanjut.
Fang Ye kembali ke pohon terdekat tempat ia bersandar. Bayi itu kini terbungkus dengan kain bersih, tubuh mungilnya terasa hangat di pelukan Fang Ye.
Ia memandang bayi itu dengan tatapan tajam, tidak ada kelembutan di wajahnya. Namun, ketika bayi itu tertidur pulas, napas kecilnya terdengar lembut, Fang Ye membiarkan dirinya bersandar lebih dalam ke batang pohon.
"Aku bukan ibumu, tetapi mulai sekarang, kau milikku," bisiknya dingin, seperti berbicara kepada takdir yang kejam.
["Sialan siapa wanita ini?, sakit sekali daripada di tusuk pedang sialan!!"]
Di bawah sinar bulan yang dingin, Fang Ye memeluk bayi itu lebih erat.